Sutan Daulat, Bukti Hubungan Erat Aceh dan Minangkabau

Kita Telah Lama Bersama
 
Kompleks makam Sutan Daulat
Subulussalam
Pada plang kompleks makam tertulis keterangan: Makam Raja Batu-batu Sultan Daulat Kampong Singgersing Kecamatan Sultan Daulat Kota Subulussalam.

Beberapa makam dengan corak batu nisan yang tampaknya berasal dari abad ke-19 Aceh Darussalam itu berada di tengah-tengah perkebunan kelapa sawit saat dikunjungi pada November 2012 silam. Dalam kunjungan sebelumnya pada Desember 2008, kompleks makam yang terletak di dekat sebuah aliran sungai itu masih dikelilingi hutan semak belukar. Sepi, dan tidak nampak tanda-tanda adanya bekas permukiman lama di sana selain batu-batu nisan makam.

Masyarakat Subulussalam menyebut kompleks makam tersebut dengan Makam Sultan Daulat. Dalam kunjungan 2008, saat kami sedang berusaha mencari tempat keberadaan makam, salah seorang warga yang kami tanyai balik bertanya, apakah dia itu (Sultan Daulat) saudara Anda? Kami tidak ragu menjawab, ya, tapi juga sambil tertawa. Tahun 2008, kami tidak sempat menemukan makam dengan batu nisan bertulis Sultan Daulat sebab "sesuatu" telah membuat kami untuk segera menjauh dan meninggalkan kompleks yang sangat sepi itu. Tahun 2012 barulah kami melihat sebuah nama terpahat denga jelas pada salah satu batu nisan:

Nisan makam Raja Harun bin Sutan Daulat
Subulussalam
راج هارن بن سوتن دولت
"Raja Harun bin Sutan Daulat"

Bukan makam Sultan Daulat, memang, tapi makam putranya, Raja Harun bin Sutan Daulat. Yang menarik adalah penyebutan gelar "sutan" bukan sultan. Sekalipun sutan dan sultan memiliki maksud yang sama, namun jelasnya "sutan" merupakan sebuah gelar terkenal berasal dari Minangkabau. Ya, Raja Harun dan ayahnya Sutan Daulat adalah keluarga bangsawan berasal dari Minangkabau yang telah berdiam, dan memerintah sebuah negeri yang sekarang berada dalam wilayah administrasi Kota Subulussalam. Ya, hubungan Aceh dan Minangkabau telah terjalin lama, dan tampaknya demikian dekat.

H. M. Zainuddin--semoga Allah merahmatinya--dalam tulisannya yang penting telah menambah terang tentang adanya jalinan kuat ini. Berikut adalah salah satu petikan di antara banyak hal yang diutarakan Zainuddin mengenai kenyataan tersebut:

"Dalam pemerintahan Sultan Ibrahim Manshur Syah (1841-1870), negeri-negeri di Aceh Barat makin bertambah maju karena banyak orang dari Sumatera Barat pindah dan mengungsi ke Aceh Barat (Meulaboh dan Tapaktuan) berkebun lada sebab mereka tidak bebas lagi berkebun di sana berhubung dengan peraturan oktrooi dan cultuurstelsel yang diadakan oleh pemerintah Belanda yang mewajibkan anak negeri menjual hasil kebun kopinya kepada Pemerintah Belanda. Karena majunya perkebunan lada di daerah Aceh Barat maka kapal dagang Inggris telah ramai masuk ke pesisir itu, untuk mengangkut hasil lada dibawa ke Bandar Pulau Penang."

Nisan makam Paduka Sri Sultan Manshur Syah bin Sultan Jauharul 'Alam Syah.
Banda Aceh
Nisan makam ini, dan berbagai catatan sejarah lainnya, membuktikan bahwa kita telah lama bersama, meniti dan menghidupi perjalanan sejarah bersama, saling memberi dan berbagi, dan Islam dengan nilai-nilai luhur yang dibawanya telah mengikat kita dalam suatu ikatan kuat.

Oleh: Musafir Zaman
(Dikutip dari akun facebook Musafir Zaman di Group Mapesa)