Menuju Rekonstruksi Sejarah Aceh

Perjalanan untuk sampai ke tujuan terasa makin jauh. Dalam pada itu keraguan sering datang dan hinggap untuk mengaburkan pandangan dan melemahkan tekad. Di persimpangan-persimpangan umur, arah jalan terkadang terlihat lebih dari delapan penjuru mata angin. Haluan yang dipilih tak jarang menyesatkan, dan butuh tempo yang relatif lama untuk kembali menemukan arah yang benar. Dalam sunyi malam, acap kali terbetik harap andaikan saja sebuah keputusasaan dapat dimaafkan oleh generasi-generasi mendatang.

Lembaran Manuskrip koleksi Masykur Syafruddin.
Sejarah Aceh adalah bentang waktu panjang yang teramat padat peristiwa. Sejarah Aceh, mulai dari sebuah daratan sunyi yang mengapung di tengah lautan sampai dengan menjadi bandar pesat di jalur lalu lintas dunia terpadat yang menghubungkan timur dan barat, sama sekali bukanlah sesuatu yang mudah untuk direkonstruksi. Kepelikannya datang dari berbagai sudut dan dalam berbagai tingkat. 

Persoalan sumber sejarah merupakan yang terberat dari sekian banyak kepelikan. 

Pencarian sumber saat ini tengah menjadi prioritas kerja dalam rangka rekonstruksi. Tetapi, dari sekian banyak kerja pencarian yang telah diagendakan untuk jangka dekat dan panjang tampaknya baru sebagian kecil saja yang baru berhasil dilakukan, dan itu masih jauh dari memadai untuk dapat merekonstruksi wajah kehidupan masa silam.

Masykur Syafruddin memperlihatkan salah satu halaman manuskrip koleksinya.

Arkeologi dan epigrafi merupakan dua disiplin yang diandalkan dalam pencarian ini. Namun, lagi-lagi dikeluhkan, bahwa keragaman tema yang meliputi seluruh aspek kehidupan serta keluasan wilayah yang menjadi objek penelitian arkeologi dan epigrafi sungguh tidak berbanding dengan usaha yang dicurahkan.

Dan, kalau ditanyakan tentang peran pemerintah dalam hal ini, maka jawabannya masih saja seperti yang dulu-dulu: pemerintah tidak mengerti dan sama sekali tidak mau ambil pusing! Alasan yang diajukan pemerintah bervariasi, tapi intinya tetap sama: sejarah itu tidak penting. Sejarah, bagi pemerintah, baru penting apabila ada proyek fisik yang dapat dikerjakan. Tapi jika hanya untuk pengembangan ilmu pengetahuan serta berbagai kepentingan pencerdasan dan penyadaran, maka sejarah berada di urutan nomor paling belakang dalam perhatian.

Suasana diskusi di sekretariat Mapesa bersama Epigraf, peneliti sejarah dan kebudayaan Islam, Taqiyuddin Muhammad dan kolektor muda Aceh, Masykur Syafruddin.

Arkeologi dan epigrafi merupakan dua disiplin yang diandalkan dalam pencarian ini. Namun, lagi-lagi dikeluhkan, bahwa keragaman tema yang meliputi seluruh aspek kehidupan serta keluasan wilayah yang menjadi objek penelitian arkeologi dan epigrafi sungguh tidak berbanding dengan usaha yang dicurahkan. 

Dan, kalau ditanyakan tentang peran pemerintah dalam hal ini, maka jawabannya masih saja seperti yang dulu-dulu: pemerintah tidak mengerti dan sama sekali tidak mau ambil pusing! Alasan yang diajukan pemerintah bervariasi, tapi intinya tetap sama: sejarah itu tidak penting. Sejarah, bagi pemerintah, baru penting apabila ada proyek fisik yang dapat dikerjakan. Tapi jika hanya untuk pengembangan ilmu pengetahuan serta berbagai kepentingan pencerdasan dan penyadaran, maka sejarah berada di urutan nomor paling belakang dalam perhatian.

Beberapa manuskrip yang dibawa oleh Masykur di sekretariat Mapesa, diantaranya mushaf dari hasil penjelajahannya dalam upaya penyelamatan manuskrip dari zaman Aceh Darussalam.

Dalam khazanah itu sesungguhnya tersimpan baris-baris yang tak terhingga yang merekam secara langsung maupun tidak langsung peristiwa-peristiwa masa silam. Filologi adalah disiplin yang dapat mengeluarkan informasi-informasi masa silam itu dari kegelapan yang melingkunginya. Dan sekali lagi, bobot beban yang mesti ditanggung jauh lebih dari besar jumlah pemikul yang tersedia. 

Mulai dari penelitian arkeologi dan epigrafi sampai ke penelitian filologi yang semuanya dalam tingkat berat yang sama tergambarlah bagaimana peliknya usaha pencarian sumber sejarah yang jika tanpanya, maka rekonstruksi sejarah tidak akan pernah terjadi. 

Saya tidak dapat meramalkan penghujung dari usaha ini. Akankah usaha ini berhasil mencapai tujuannya ataupun tidak, saya tidak tahu. Tapi, barangkali, memadailah bagi saya saat ini untuk mencatat bahwa usaha itu pernah dilakukan oleh pribadi-pribadi yang tulus, yang di antaranya adalah Anaknda saya, Masykur Syafruddin ( Luengputu Manuskrip Melayu Aceh ). Saya mengupload gambar-gambar ini adalah untuk mengabulkan permintaan khusus Anaknda saya tersebut sebagai bukti bahwa usaha pencarian itu memang pernah dilakukan. Sampai atau tidaknya kepada tujuan, semuanya dipasrahkan kepada Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Menghendaki.

Bitai, 17 Jumadil Akhir 1437 H
Oleh:  Musafir Zaman
Dikutip dari postingan Musafir Zaman di group Mapesa.