Karya Para Intelektual Aceh Tempo Dulu Yang Tercerai Berai


Imajinasi dalam Gerak Pena


(Tulisan ini dipersembahkan kepada Khaththath [kaligrafer] Aceh kawakan, Almarhum Sayed Rabadian bin Sayed Ali, disertai doa semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala melimpahkan maghfirah dan rahmat kepadanya)

Gambar-gambar ini sudah pernah disiarkan beserta tulisan singkat berjudul "Catatan Singkat mengenai Lembaran-lembaran Manuskrip yang Tercerai Berai". Judul itu sendiri, sebenarnya, masih belum mewakili apa yang sesungguhnya diinginkan sebab setiap kali memperhatikan gambar-gambar tersebut serta lain-lain lagi semisalnya, selalu saja ada sesuatu yang bangkit, bergerak, bahkan seolah-olah menari, di kedalaman alam pribadi yang sadar.

Gambar-gambar itu tidak saja memperlihatkan baris-baris berisi aneka ilmu pengetahuan, tapi sesungguhnya juga memamerkan karya-karya kaligrafi bercita rasa tinggi, yang mustahil dicapai tanpa ketekunan, keuletan dan daya khayal yang subur. Dari itulah, hakikatnya, ia merupakan "imajinasi dalam gerak pena". Dan syukurnya lagi, ia adalah warisan dari para pendahulu kita yang bagaimanapun merupakan suatu keajaiban ketika kita dapat mengamatinya lama-lama serta merasa terhubung dengan para pencipta karya-karya tersebut.



Lembaran-lembaran manuskrip (Arab: makhthuthah; Aceh: tuleisan jaroe) yang disiarkan ini adalah di antara sekian lembaran yang telah tercerai berai dari sekian salinan kitab oleh sekian penyalin pula. Umurnya, hari ini, berkisar antara 100 sampai 200 tahun atau bahkan lebih, dan semuanya ditemukan di Aceh.

Pemilik lembaran-lembaran ini adalah kolektor muda yang mempunyai naluri tinggi dan ketekunan yang patut dipuji dalam melacak berbagai warisan budaya Islam di Aceh. Arah tujuan dari berbagai upaya yang saat ini dilakukannya secara mandiri telah dibulatkan untuk semata-mata pelestarian warisan budaya dan pengembangan ilmu pengetahuan. Anak muda ini benar-benar diharapkan menjadi bintang kebudayaan di masa depan. Ia adalah Masykur Syafruddin, pendiri Pedir Museum Manuscript--semoga Allah selalu menganugerahkan 'afiah kepadanya.

Atas izin Masykur Syafruddin, saya menyiarkan beberapa gambar lembaran manuskrip dari koleksinya. Lembaran-lembaran itu merupakan pilihan dari sekian banyak lembaran manuskrip yang cerai berai, yang sekarang telah dikumpulkan dan berada dalam penjagaan Masykur--hakikatnya, yang dibicarakan ini baru tentang koleksi yang tersimpan pada satu orang kolektor dan masih terbilang belia, belum lagi tentang limpah ruah manuskrip Aceh yang disimpan oleh sekian banyak lembaga serta para kolektor kawakan lainnya, dan belum lagi dibicarakan tentang manuskrip yang masih tersimpan atau terabaikan di banyak tempat di Aceh.


Dengan lembaran-lembaran itu saja sudah cukup bukti atas suatu kegairahan maha dahsyat terhadap ilmu pengetahuan di masa kehidupan yang telah berlalu, sedikitnya, 100 tahun yang silam. Tampak jelas, penghuni zaman itu dengan penuh gairah telah mengikuti perkembangan berbagai bidang ilmu pengetahuan. Mereka mencari, mempelajari, meneliti, menulis, menerjemahkan, menyalin, mengajarkan, menyebarkan. Suatu kegairahan yang hakikatnya sangat mengagumkan bila diingat sarana-sarana kehidupan yang pada waktu itu tidak se-'memanjakan' sebagaimana halnya dewasa ini. Tapi demikianlah sejatinya kehidupan bangsa-bangsa yang kuat; Allah meninggikan orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberikan ilmu pengetahuan beberapa derajat lebih tinggi (Al-Qur'an; Al-Mujadalah: 11).

Lembaran-lembaran manuskrip yang tercerai berai dari sekian salinan kitab itu ibarat 'slideshow' yang setidaknya memberitahukan kepada kita tiga hal penting: pertama, keanekaragaman bidang ilmu pengetahuan yang menjadi objek penekunan dan keahlian; kedua, kekayaan karya yang pernah ditulis, diterjemahkan atau disalin; dan ketiga, dan ini yang akan selalu istimewa, adalah perkembangan seni kaligrafi Arab. Semua ini, secara umum, menampilkan gambaran nyata dari kehandalan serta kemapanan penghuni zaman itu dalam berbagai bidang kebudayaan Islam. Mereka mumpuni (mutamakkin) dalam kebudayaan yang tengah mendominasi zaman mereka--yakni, kebudayaan Islam yang semestinya dilanjutkan pengembangannya sampai dengan hari ini dan masa depan.


Penyiaran beberapa lembaran manuskrip ini masih dalam rangka upaya membangun kemauan serta tekad kuat untuk menembus tembok tebal ketidaktahuan--jika bukan kebodohan--yang menghalangi antara kita dan para pendahulu di masa silam. Sementara itu, sekian kerja berat memang sudah menanti.

Menembus ke masa silam bukan berarti kembali ke masa silam seperti prasangka sebagian orang. Sama sekali bukan untuk itu! Tapi, untuk kembali ke posisi di mana perjalanan bangsa yang terlahir dari 'peristiwa hijrah Nabi 'Alaihi Afdhalush Shalawati wa Azkaz Salam' ini--sebagaimana kalimat yang terpahat pada nisan Almarhum Sri Paduka Sultan 'Alauddin Manshur Syah bin Jauharul 'Alam Syah--mesti dilanjutkan.

Kita telah tertinggal sangat jauh, itu adalah hal yang tidak dapat dipungkiri lagi. Kita mesti berlari sekencang-kencangnya untuk mengejar ketertinggalan, itu pun sudah merupakan suatu keharusan yang diakui akal sehat. Tapi sebelum itu, kiranya, kita perlu segera menemukan dan sesegera mungkin pula kembali ke posisi yang tidak menempatkan kita di arah berlawanan dengan jalur sejarah bangsa.

Bitai, 11 Dzulhijjah 1437

Oleh : Musafir Zaman
Dikutip dari akun facebook Musafir Zaman di Group Mapesa.

 

 
 

Posting Komentar

0 Komentar