Komentar Pengarang Fathul Mu'in Tentang Sultan 'Ali Mughayat Syah

Secuil Informasi Kesultanan Aceh dalam Kitab “Tuhfah al-Mujâhidîn fî Akhbâr al-Burtughâliyyîn” Karangan Syaikh Zain al-Dîn al-Malîbârî (w. 1579)



Bagian halaman "Tuhfah al-Mujâhidîn fî Akhbâr al-Burtughâliyyîn”
Karangan Syaikh Zain al-Dîn al-Malîbârî (w. 1579)
yang menceritakan tentang kisah heroik Sultan 'Ali al-Asyi
Repro: Ahmad Ginanjar Sya'ban
"...para penduduk bandar dan pelabuhan menjadi berada di bawah kendali Portugis. Kontrol dagang mutlak berada di bawah kekuasaan mereka. Rute perjalanan dan perdagangan laut menjadi berubah. Tidak ada kapal-kapal Muslim yang berlayar di sepanjang wilayah jajahan Portugis kecuali di bawah kendalinya. Kegiatan dagang mereka pun meningkat. Kapal-kapal mereka kian banyak. Benteng-benteng dan bandar-bandar (milik bangsa Muslim) yang dijajah oleh Portugis tidak bisa diambil kembali oleh mereka. Semuanya. Kecuali hanya satu bandar saja, yang berhasil direbut kembali oleh Sultan Pejuang Ali dari Aceh..."
Kitab yang berjudul “Tuhfah al-Mujâhidîn fî Akhbâr al-Burtughâliyyîn” karangan Syaikh Zain al-Dîn al-Malîbârî (w. 1579 M) adalah salah satu sumber yang cukup penting terkait kajian sejarah Kolonialisme Eropa di Asia pada awal abad ke-16 M.
“Tuhfah al-Mujâhidîn fî Akhbâr al-Burtughâliyyîn” bisa menjadi sumber pembanding bagi sumber-sumber Eropa yang “mu’âshir” (dicatat pada) masa tersebut, seperti “Suma Oriental” karangan Tomé Pires (ditulis sepanjang tahun 1512-1515 M), “Livro de Duarte Barbosa” karangan Duarte Barbossa (ditulis sekitar tahun 1516 M), juga catatan reportase Francis Xavier (w. 1552 M). 
Pengarang kitab ini, yaitu Syaikh Zain al-Dîn al-Malîbârî, adalah mufti Kesultanan Malibar di pesisir Barat India yang menganut madzhab Syafi’i. Al-Malîbârî juga tercatat sebagai salah satu murid terdekat Syaikh Ibn Hajar al-Haitamî al-Makkî (w. 1566 M), guru besar sealigus ulama sentral dunia Islam abad ke-16 M yang berkarir di Makkah.
Di dunia pesantren di Indonesia, tentu sosok Zain al-Dîn al-Malibârî bukanlah sosok yang asing. Ya, beliau tak lain dan tak bukan adalah juga penganggit kitab “Fath al-Mu’în” (lengkapnya ‘Syarh Fath al-Mu’în ‘alâ Qurrat al-‘Ain fî Muhimmât al-Dîn’), salah satu rujukan kajian yurisprudensi Islam (fikih) madzhab Syafi’i, yang banyak dikaji dan dirujuk di Pesantren. Kitab ini berkerabat dengan kitab “Nihâyah al-Zain fî Syarh Qurrat al-‘Ain” karangan Syaikh Nawawî al-Bantanî al-Jâwî (Nawawi Banten, w. 1897 M). 
Tapi fokus kajian kita kali ini bukan sosok Syaikh Zain al-Dîn al-Malibârî dan kitab fikih-nya (Fath al-Mu’în fî Syarh Qurrat al-‘Ain), bukan juga masalah kekerabatan kitab tersebut dengan kitab “Nihâyah al-Zain fî Syarh Qurrat al-‘Ain” karangan Syaikh Nawawî al-Bantanî al-Jâwî. Bukan. Fokus ulasan kali ini adalah kitab “Tuhfah al-Mujâhidîn” karangan al-Malîbârî dan secuil informasi berharga tentang Kesultanan Aceh di Nusantara, serta sosok sultan ‘Alî al-Âsyî yang selintas direkam di kitab tersebut dengan sanjungan heroik. 
Kitab “Tuhfah al-Mujâhidîn” menjadi “indigineous source” (sumber pribumi) utama yang merekam peristiwa kedatangan dan penjajahan yang dilakukan oleh bangsa Portugis ke Samudera India dan wilayah di sekitarnya, termasuk Aden (Yaman), Hormuz (Teluk Persia), Wilayah Pesisir India, juga kedatangan Portugis atas Nusantara dengan segala tindakan brutal penjajahannya. 
Menurut pengarangnya, kitab ini dipersembahkan untuk Sultan ‘Alî ‘Âdil Syâh (memerintah 1558-1580 M), sultan ke-5 dinasti ‘Âdil Syâhiyyah yang menguasai wilayah Bijapur dan sekitarnya, yang saat itu (kembali) membentuk koalisi kesultanan-kesultanan Muslim India untuk (kembali) melakukan perang melawan penjajah Portugis.

Makam Sultan Agung Aceh Darussalam Sultan 'Ali Mughayat Syah bin Sultan Syamsu Syah berdampingan dengan makam anaknya Sultan 'Alauddin Ri'ayat Syah al-Qahhar  di komplek Kandang XII kampung Baru Banda Aceh.

Diceritakan dalam “Tuhfah al-Mujâhidîn”, bahwa pada tahun 1509 M, armada laut Portugis datang dan menduduki beberapa pelabuhan dagang besar di wilayah Laut Merah dan Teluk Arab, seperti Aden dan Hormuz. Armada tersebut kemudian menduduki pelabuhan dan kota Gowa di pesisir barat India. 
Di tahun yang sama, terjadi perang naval besar di Diu, wilayah barat laut India, antara armada Portugis dan armada gabungan kesultanan-kesultanan Muslim (Mamluk, Ottoman, Gujarat dan Delhi—saya berasumsi keras jika Kesultanan Pasai dan Malaka turut serta mengirimkan bala bantuan dalam pertempuran legendaris ini). 
Kemenangan berpihak pada armada Portugis dalam perang bersejarah itu. Portugis pun kian menguasai lebih banyak lagi bandar dan pelabuhan di sepanjang pesisir India (baik Barat, Selatan, dan Timur). Dicetikan al-Malibârî, armada Portugis terus bergerak ke arah timur, menjajah Ceylon (Srilanka), Malakka, Sumatra, hingga Maluku yang merupakan pulau lumbung rempah; sumber kekayaan dunia kala itu. 
Di sepanjang wilayah taklukan dan jajahannya yang merentang mulai dari Aden, Hormuz, Gowa, Calicut, Ceylon, Malakka, hingga Maluku, pihak Portugis mendirikan benteng pertahanan dan pos dagang. Portugis juga mendirikan benteng dan pos dagang di Kalapa (kini Jakarta), pelabuhan utama milik kerajaan Sunda Padjadjaran (1522 M). 
Inskripsi pada nisan kaki Sultan 'Ali Mughayat Syah yang merangkan bahwa  "...dialah sultan yang berperang di darat dan di laut dan Allah memenangkannya"
Perdagangan rempah-rempah dunia pun pada akhirnya dikuasai oleh pihak Portugis. Bangsa ini pun menjadi kaya raya. Di setiap wilayah jajahannya di India dan Kepulauan Nusantara, Portugis memiliki benteng, pos dagang, dan lumbung barang. 
Dikatakan “Tuhfah al-Mujâhidîn”, bangsa-bangsa Muslim yang terjajah negerinya tidak mampu mengalahkan bangsa Portugis. Benteng-benteng Portugis di sepanjang wilayah itu pun tidak bisa ditaklukkan, kecuali di satu wilayah, yaitu di Aceh. Pasukan Kesultanan Aceh dibawah pimpinan Sultan ‘Alî al-Âsyî (Ali Mughayyat Syah, memerintah 1514-1530 M). 
Al-Malîbârî menulis; “para penduduk bandar dan pelabuhan menjadi berada di bawah kendali Portugis. Kontrol dagang mutlak berada di bawah kekuasaan mereka. Rute perjalanan dan perdagangan laut menjadi berubah. Tidak ada kapal-kapal Muslim yang berlayar di sepanjang wilayah jajahan Portugis kecuali di bawah kendalinya. Kegiatan dagang mereka pun meningkat. Kapal-kapal mereka kian banyak. Sementara, aktivitas dagang dan kapal-kapal bangsa Muslim menjadi sedikit dan menurun.
Benteng-benteng dan bandar-bandar (milik bangsa Muslim) yang dijajah oleh Portugis tidak bisa diambil kembali oleh mereka. Semuanya. Kecuali hanya satu bandar saja, yang berhasil direbut kembali oleh Sultan Pejuang Ali dari Aceh. Semoga Allah senantiasa menerangi taman kuburnya. Sultan Ali dari Aceh berhasil mengusir Portugis dari Sumatera. Ia menjadikan Sumatera sebagai negeri Islam. Semoga Allah membalas jasa baiknya bagi umat Islam ini”.
Selain itu, Al-Malîbârî juga menyinggung bantuan yang diberikan Kekhalifahan Turki Ottoman untuk memerangi dan mengusir penjajah Portugis dari India. Bantuan serupa juga diberikan Ottoman kepada Kesultanan Aceh pada tahun 1565 M setelah sebelumnya sultan Aceh masa itu, ‘Alâ al-Dîn Ri’âyat Syâh al-Qahhâr (1539–1571 M) mengirimkan duta ke Istanbul dan bertemu dengan Sultan Sulaiman al-Qanuni.

Bandung, November 2016

Dikutip dari facebook Ahmad Ginanjar Sya'ban.

Posting Komentar

0 Komentar