Dari Warisan Kaya Negeri Pedir (Pidie) I


Zakhrafah pada batu nisan di komplek makam Poteumerhom
Gampong Barieh, Kemukiman Kandang, Kecamatan Sakti, Kabupaten Pidie.

Gambar-gambar
Ekspedisi CISAH 2014 di Pidie
Terselenggara atas swadaya CISAH.
Dua pekan ke depan, genap empat tahun sudah berlalu sejak gambar-gambar ini diambil.

Gambar-gambar ini dan ribuan lainnya masih menanti sorotan ilmiah. Sorotan ilmiah diperlukan karena itu semua adalah materi-materi di lapangan ilmiah. Dari arah masa depan, hanya satu dua derap langkah yang terdengar sayup-sayup mendekat ke lapangan ilmiah yang sulit ini. Andai kata pemilik langkah-langkah itu berhasil mendekat, itu pun masih akan sangat jauh dari jumlah ketersediaan tenaga yang diperlukan.

Pendidikan yang dikembangkan dewasa ini di Aceh, tampaknya, masih belum ada yang berfungsi untuk membekalkan kemampuan melakukan tugas-tugas dalam lapangan ilmiah ini. Atau malah, barangkali, benar juga pendapat sebagian orang bahwa pendidikan di Aceh memang tidak untuk melahirkan siapapun selain orang-orang yang bekerja sebatas demi menjamin kesejahteraan atau untuk mencapai kemewahan hidup pribadi mereka. Atau dengan kalimat lain, pendidikan dalam kerangka pikir yang berorientasi kepada kesejahteraan dan kekayaan individual di mana term-term seperti kebersamaan, jama'ah, bangsa, tanah air, ummmah dan masa depannya, atau lain semisalnya, kurang mendapatkan tempat atau menjadi istilah-istilah yang diucapkan tanpa makna.

Kesejahteraan dan penyejahteraan juga dipahami sebagai sebuah tujuan dan usaha untuk membuat hidup menjadi lebih senang di tempat yang telah ditakdirkan hanya untuk sementara. Pemahaman seperti ini secara pasti telah menghilangkan kehendak untuk bercita-cita serta berupaya mencapai cita-cita yang lebih tinggi, untuk berperan dan berpengaruh dalam skop yang lebih luas, untuk berdaulat dan bermartabat, yang semua itu mesti melalui perjuangan yang hebat dan berat.

Kedudukan sebuah masyarakat, bangsa atau ummah dalam perjalanan sejarah, pada hakikatnya, sangat ditentukan oleh setinggi mana kehendak yang dimilikinya serta seberapa kuat perjuangan yang dilakukan untuk mewujudkan kehendak tersebut.

Belajar dari masa silam, Aceh tidak akan pernah menemukan namanya dalam sejarah jika tanpa memiliki kehendak yang demikian tinggi dan perjuangan yang berat--terkadang muncul dalam benak saya pertanyaan, bagaimana rupa kawasan yang luas di Asia Tenggara ini andai Aceh di masa lampau hanya berpikir tentang kesejahteraan dan penyejahteraan dirinya sendiri dan dalam makna yang sangat sempit?! Aceh masa lampau adalah pemilik kehendak yang tinggi sebelum menjadi pemilik sejarah yang besar. Untuk sekadar mencontohkan: perang konfrontasi yang panjang melawan Kolonial Belanda merupakan salah satu bukti atas kepemilikan Aceh akan kehendak yang tinggi itu.

Pendidikan di Aceh, dengan demikian, mesti mampu melampaui pemahaman tentang kesejahteraan dan penyejahteraan dalam makna sesempit tadi. Pendidikan yang diharapkan adalah pendidikan yang mampu menciptakan kehendak yang tinggi pada masyarakatnya, terutama generasi masa depan, dalam rangka melanjutkan sejarah. Menjadi pengikut buta dari sistem pendidikan yang tidak akan membawa Aceh selain ke terowongan buntu perlu disadari sebagai suatu penyimpangan sejarah, yang pada akhirnya, akan melemparkan Aceh lebih jauh ke belakang.

Dari itu, saya kira, pendidikan di Aceh sama sekali tidak patut kehilangan kemampuan untuk melahirkan sejumlah besar para penyumbang bagi ilmu pengetahuan dan peradaban manusia, serta bagi gerak Al-I'laiyyah (meninggikan agama Allah). Jika pendidikan di Aceh kehilangan kemampuan untuk itu, maka upaya membawa Aceh ke peran dan pengaruhnya sebagaimana di zaman silam tidak akan pernah menemukan hasil. Lantas? Lantas, cerita kehebatan Aceh dalam sejarahnya tidak lebih dari sekadar "jangeun" (senandung) di bawah rimbunnya hutan belantara; tanpa makna!

Kuta Malaka, Jum'at, 18 Rabi'ul Akhir, 1439

Oleh: Musafir Zaman.
Dikutip dari group facebook Mapesa.






Posting Komentar

0 Komentar