Pusaka Kenangan


Sebuah Komunikasi
Kemarin, saya telah menyiarkan gambar ini, dan sampai saat ini ada 17 Sahabat MAPESA yang telah memberikan tanggapan: suka, super dan sedih.
Ya, andai saja saya bisa memberikan untuk gambar ini semua tanggapan itu sekaligus, maka saya akan melakukannya, sebab semuanya tepat dan beralasan. "Suka", paling tidak, karena batu nisan ini telah ditemukan dan didokumentasikan. "Super", barangkali, karena ini merupakan gambar dari sebuah pusaka yang istimewa. Dan "sedih" sudah pasti lantaran tidak rela hati melihat pusaka kenangan ini tergeletak dan terbengkalai begitu rupa.
Melihat gambar seperti ini, perasaan memang dapat teraduk, sampai terkadang sulit untuk menentukan mana di antara perasaan-perasaan itu yang dominan. Bahkan ketika nilai pusaka kenangan ini semakin tinggi dalam pandangan, semakin mengagumkan hati, semakin "super", maka di sudut lain dalam hati, pedih dan perih semakin pula membengkak oleh karena keadaanya yang demikian.
Saya menyiarkan kembali gambar batu nisan ini oleh karena kekaguman. Suatu kekaguman yang memang sudah sejak lama bersinggasana di hati terhadap pusaka kenangan semisal ini. Alasan dari kekaguman bukan saja karena itu merupakan jejak yang ditinggalkan para pendahulu, bukan pula cuma karena ungkapan-ungkapan baik dan segala nilai keindahan yang dimilikinya, tapi juga karena di sana hadir semacam komunikasi yang hangat, bahkan terkadang sangat hebat! Namun, sebelum Pembaca budiman mulai menaruh curiga kalau-kalau ada sesuatu yang aneh yang telah terjadi pada diri saya, maka terlebih dahulu saya mesti menyatakan bahwa "komunikasi" yang dimaksud tidak punya sangkut pautnya sama sekali, dari jauh maupun dekat, dengan hal-hal yang terkait supranatural!
Mengagumkan bagaimana batu nisan semisal ini membangun komunikasi! Membahagiakan ketika komunikasi itu menempatkan saya pada posisi murid, siswa atau bahkan kanak-kanak yang sedang dilatih dan diberi tugas untuk menjawab dan menguraikan sesuatu yang rumit. Karena itu, seperti tak ubahnya siswa yang sedang menghadapi soal-soal ujian yang sukar, saya terkadang jadi panik, gundah, berkeringat bahkan tak jarang merasa sangat lapar oleh karena energi yang seakan-akan terkuras habis.
Pada saat-saat seperti itulah terasa seolah-olah di sana ada seraut wajah yang sedang menyungging senyum bahkan menertawakan kebodohan dan kedunguan saya. Keadaan seperti itu terkadang bisa berlangsung sangat lama.
Sampai suatu ketika kemudian, senyum dan tawa di wajah itu tampak telah berubah bentuk dan nada, tidak lagi merendahkan dan mencemooh, tapi justru sebuah senyum dan suara tawa yang menyiratkan kerelaan hati serta syukur. Dan itu adalah ketika saya telah dapat mencerna sejumlah pelajaran dan menyelam ke alam keindahan dari sebuah ekspresi seni yang dipertunjukkan; menyentuh serat-serat pikiran pembuatnya yang cendikia, dan bernafas dalam imajinasi penciptanya yang seniman. Seiring itu pula, kekaguman dan penghormatan kepada pemilik seraut wajah itu semakin bertambah dalam.
Ia, yakni pemilik seraut wajah yang dimaksud, adalah para seniman di masa lampau Aceh yang berjaya, yang lewat sejumlah besar "masterpiece" hasil karya mereka, telah mengajarkan doktrin-doktrin estetika yang teramat penting bagi perkembangan kesenian Islam. Bahkan lebih dari itu, mereka tak ubahnya para sufi yang menuntun muridin ke jalan-jalan mencintai lewat keindahan. Mereka menyadarkan bahwa Cinta (Al-hubbul Ilahiy) itulah sesungguhnya sumber sekaligus tuangan dari segala keindahan dalam berbagai ekspresi seni seorang Mu'min, dari sanalah keindahan itu mengalir dan ke sanalah pula ia bermuara.
Kalimat Ta'awwudz dan Basmallah yang terpahat pada batu nisan ini--setelah mendoakan keampunan dan rahmat Allah bagi almarhum yang kuburnya ditandai dengannya--sudah tentu tidak semata-mata sebuah tulisan kaligrafi Arab, tapi juga merupakan sebuah karya seni rupa yang secara nyata memperlihatkan segala sesuatu yang dibangun di atas prinsip-prinsip estetika dalam Islam, merepresentasikan semangat Islam sekaligus menyampaikan pesan-pesannya.
Karya semisal ini sudah tentu pula tidak dihasilkan oleh seorang peniru. Ini mesti merupakan karya orisinal dari seorang pencipta yang selalu kehausan akan pola-pola pengungkapan yang baru bagi gagasan dan perasaannya. Relief kalimat Ta'awwudz dan Basmallah pada batu nisan ini secara eksplisit menyatakan kegairahan yang tinggi dalam pencarian dan penemuan pola pengungkapan yang baru. Desain huruf serta pola-pola sambungan, susunan dan hiasan dalam ekspresi yang demikian rupa pada gilirannya, mendorong munculnya sebuah diskusi hangat bersama pencipta, dan pada ketika itulah pula sebuah komunikasi lintas zaman terbangun. Dari komunikasi itu kemudian disadari bahwa pecipta karya ini adalah dengan sebenarnya seorang seniman, ilmuwan dan sufi dari masa lampau Aceh yang berjaya. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala merahmatinya dengan rahmat yang luas.
Di akhir, suatu hal yang pantas pula untuk dicatat di sini adalah bahwa para pencipta pada taraf semisal ini secara alami hanya berada di pusat-pusat kebudayaan Islam, tidak di bagian "Islam Pinggiran" sebagaimana label aneh yang beredar atau label-label lain yang semakna dengannya.

Inskripsi:
1. أعوذ بالله من الشيطان
2. بسم الله الرحمن الرحيم





Lokasi situs: Lam Badeuk, Peukan Bada, Aceh Besar.
Oleh: Musafir Zaman.
Dikutip dari group facebook Mapesa.

Posting Komentar

0 Komentar