Lamuri Kota Pelabuhan di Gerbang Maritim Asia Tenggara


Mesti tidak kurang dari 600 tahun yang silam, sebuah kawasan yang hari ini berada dalam wilayah Gampong Lamreh, di Kecamatan Mesjid Raya, Kabupaten Aceh Besar, telah terpilih untuk menjadi kota pelabuhan (bandar) penting di bagian barat laut Aceh.
Dalam waktu yang sama, kota yang menghadap ke Jalur Malaka (Malacca Passage) di laluan pelayaran Dunia itu juga merupakan kediaman para penguasa Muslim yang digelar dengan "malik" (raja) dan sultan. Di sana, mereka telah silih berganti memerintah sampai lebih separuh abad dalam abad ke-9 Hijriah (ke-15 Masehi). Kubur-kubur mereka ditemukan di berbagai sisi daerah yang hari ini disebut secara umum dengan Ujoeng Batee Kapai dan Kuta Leuboek.
Penanggalan-penanggalan yang dijumpai pada berbagai nisan kubur yang bernilai seni tinggi di Lamreh dapat saja memberitahukan tentang era puncak kemajuan yang dicapai oleh kota pelabuhan itu di paruh pertama abad ke-9 Hijriah (ke-15 Masehi). Keletakannya di tebing tepi laut antara teluk Krueng Raya dan teluk di depan Kuta Leuboek juga dapat menandakan peran kota sebagai sebuah pelabuhan dagang yang sibuk, di samping sebagai pusat pemerintahan untuk mengatur berbagai aktifitas perdagangan maritim di kawasan itu. Berbagai bukti dan indikator yang telah ditemukan sejauh ini dengan terang menunjukkan bahwa Lamuri merupakan sebuah kota pelabuhan di gerbang maritim Asia Tenggara.
Tidak hanya kubur-kubur yang ditemukan di bekas kota tua itu tapi juga berbagai peninggalan sejarah semisal mata uang, tembikar dan berbagai struktur bangunan.
Sebuah konstruksi bangunan kuno yang relatif masih banyak menyisakan bagian-bagiannya adalah bangunan benteng yang dikenal dengan benteng Kuta Leuboek. Benteng ini berlokasi di sebelah timur perbukitan Ujoeng Batee Kapai, di sebuah lembah sempit di mana Krueng Leuboek mengalir menuju teluk di depan Kuta Leuboek.
Konstruksi benteng yang berorientasi barat laut-tenggara dan mengikuti jalur bukit secara jelas menunjukkan bagian yang dilindungi oleh benteng, yaitu area luas di atas bukit di mana lokasi-lokasi kubur para pemerintah Lamuri ditemukan. Ini menjadi sebuah pertanda bahwa benteng itu setidaknya telah ada sejak masa kota pelabuhan itu masih aktif di paruh pertama abad ke-9 Hijriah (ke-15 Masehi).
Satu lokasi di antara lokasi-lokasi yang dilindungi dengan benteng tersebut tampak sangat khusus dan sentral di bekas kota lama itu. Di lokasi sentral itu telah ditemukan kubur seorang Sultan Lamuri yang wafat dalam abad ke-9 Hijriah (ke-15 Masehi). Ia bernama Muhammad, putera dari Malik 'Alawuddin yang wafat pada 822 Hijriah (1419 Masehi).
Tidak sebagaimana ayahnya yang bergelar sebagai Malik (raja), Muhammad malah bergelar sebagai "Sultan" yang menunjukkan daerah kekuasaannya yang lebih luas serta bala tentaranya yang lebih kuat daripada yang dimiliki oleh seorang Malik (raja).
Untuk sementara ini, dari seluruh inskripsi yang pernah ditemukan pada batu-batu nisan kubur di wilayah Kabupaten Aceh Besar dan Kota Banda Aceh, hanya inskripsi batu nisan Sultan Muhammad yang memberitakan tentang seseorang yang pertama sekali digelar dengan sultan di kedua wilayah ini.
Sesuai catatan pada nisan kuburnya, Sultan Muhammad bin 'Alawuddin telah wafat pada hari Senin, tanggal 20 Dzul Qa'adah tahun 834 Hijriah (29 Juli 1431), selang sekitar 3 tahun setelah wafat Al-Malikah Nahrasyiyah di Kota Sumatra, yang hari ini berada dalam wilayah administratif Kecamatan Samudera di Kabupaten Aceh Utara.
Nisan Makam Sultan Muhammad bin 'Alauddin
wafat 834 H (1431 M).
Sayangnya, sampai kini, bekas kota pelabuhan yang memiliki sekian banyak peninggalan dan bukti sejarahnya ini masih belum memperoleh perhatian serta perlindungan yang seharusnya sebagai salah satu pusaka Aceh yang tidak ternilai harganya.
*) Materi ini dipamerkan di stan Wali Nanggroe pada acara Sail Sabang 2017. Kerjasama Lembaga Wali Nanggroe dengan Pengurus Mapesa
Dikutip dari group Mapesa.

Posting Komentar

0 Komentar