Mengenal Warisan Sejarah Islam


Batu Nisan
Jejak bendawi paling menonjol yang ditinggalkan oleh kerajaan-kerajaan Islam di Aceh adalah batu nisan. Batu nisan merupakan penanda kubur di mana setiap kerajaan memberikan ciri bagi identitas dirinya.
Batu-batu nisan tersebut menyimpan berbagai informasi sejarah yang amat bernilai, terutama tentang tokoh-tokoh penting baik penguasa, ulama maupun lainnya, yang pernah mengisi zaman sejarah Aceh. Selain itu, batu nisan juga merekam jejak perkembangan pemikiran dan kebudayaan Islam di sepanjang zaman sejarah Aceh lewat tulisan-tulisan, seni kaligrafi dan seni hias yang terpahat padanya. Dan yang tidak kalah pentingnya, keberadaan kompleks-kompleks makam berbatu nisan kuno ini di suatu wilayah dapat memberitahukan kita tentang pola penyebaran penduduk serta tata ruang permukiman dalam masa-masa tersebut. Dari sini, kita dapat belajar banyak hal dari ilmu pengetahuan dan kearifan yang telah dicapai oleh para pendahulu.

Merawat dan melestarikan batu nisan tinggalan sejarah, dengan demikian, merupakan suatu kemestian, selain sebagai suatu penghormatan bagi para pendahulu atas berbagai warisan yang telah mereka tinggalkan, juga untuk selalu berada dekat dengan masa lalu yang merupakan pembentuk identitas kita hari ini, dan kelak akan kita wariskan.

Manuskrip (Makhthuthat)
Manuskrip adalah naskah (dokumen) yang ditulis dengan tangan. Kata manuskrip berasal dari bahasa Latin manus scriptus, artinya naskah salinan tangan. Dalam bahasa Arab disebut makhthuth atau makhthuthah. Ilmu-ilmu yang mempelajari naskah-naskah manuskrip ini adalah kodikologi (ilmu tentang bahan-bahan tulisan tangan), Filologi (ilmu tentang bahasa dalam sumber-sumber tertulis) dan paleografi (ilmu tentang tulisan kuno).

Manuskrip Aceh, atau naskah salinan tangan para ulama dan cendikiawan Aceh masa lalu, adalah salah satu warisan kebudayaan yang mencerminkan kemajuan kebudayaan Aceh di masa lalunya. Karena itu, penting untuk selalu dijaga, dirawat, dikaji serta disiarkan demi terhubungnya generasi bangsa hari ini dan masa depan dengan generasi masa lalunya.

Mata Uang (Dirham)
Mata uang zaman kesultanan Samudra Pasai (abad XIII-XVI M) dan Aceh Darussalam (abad XVI-XX M) lazim disebut dengan Dirham. Mata uang ini terbuat dari emas dan perak (Arab: dinar untuk emas; dirham untuk perak), namun yang sangat sering dijumpai di kawasan Samudra Pasai maupun Aceh Darussalam adalah Dirham yang terbuat dari emas. Selain Dirham, juga dijumpai alat tukar kuno lain biasanya disebut dengan keuh, yaitu mata uang terbuat dari timah hitam. Kajian yang mempelajari sejarah mata uang, cara pembuatan, ciri-ciri serta variasinya dan lain-lain disebut dengan numismatik. Numismatik Aceh merupakan salah satu sumber pokok dalam penulisan sejarah Aceh dan Islam di Asia Tenggara.
***
Materi ini pernah di pamerkan pada Pedir Festival 2014
 

Posting Komentar

0 Komentar