Delapan Abad Seni Islam Di Aceh

Ornamen pada salah satu masjid tua di Pidie.

𝗛𝗔𝗥𝗜 𝗦𝗘𝗡𝗜 𝗜𝗦𝗟𝗔𝗠 𝗜𝗡𝗧𝗘𝗥𝗡𝗔𝗦𝗜𝗢𝗡𝗔𝗟
(𝘿𝙚𝙡𝙖𝙥𝙖𝙣 𝘼𝙗𝙖𝙙 𝙎𝙚𝙣𝙞 𝙄𝙨𝙡𝙖𝙢 𝘿𝙞 𝘼𝙘𝙚𝙝)

Aceh merupakan daerah yang tercatat sebagai tempat berdirinya negara Islam pertama di Asia Tenggara dan terus berkembang secara signifikan hingga abad ke-20. Dipelopori oleh 𝘋𝘢𝘶𝘭𝘢𝘩 𝘚𝘩𝘢𝘭𝘪𝘩𝘪𝘺𝘺𝘢𝘩 atau Kesultanan Sumatra-Pasai (abad ke-13–16) yang beribukota di 𝘔𝘢𝘥𝘪𝘯𝘢𝘩 𝘚𝘺𝘶𝘮𝘮𝘶𝘵𝘩𝘳𝘢𝘩/Kota Sumatra (Aceh Utara), kemudian diikuti 𝘔𝘢𝘮𝘭𝘢𝘬𝘢𝘩 𝘓𝘢𝘮𝘶𝘳𝘪 (abad ke-14–15) yang beribukota di Bandar Lamuri (Aceh Besar), dan ditutup dengan periode panjang Kesultanan 𝘈𝘤𝘦𝘩 𝘋𝘢𝘳𝘶𝘴𝘴𝘢𝘭𝘢𝘮 (abad ke-16–20) yang beribukota di 𝘉𝘢𝘯𝘥𝘢𝘳 𝘈𝘤𝘦𝘩 (Banda Aceh). Selain itu pada abad ke-16 wilayah 𝘗𝘦𝘥𝘪𝘳 (Pidie/ Pidie Jaya) dan 𝘋𝘢𝘺𝘢 (Aceh Jaya) juga merupakan salah satu negara Islam yang memiliki pemimpin (𝘴𝘶𝘭𝘵𝘢𝘯) sendiri dan secara politik keduanya terhubung dengan penguasa di Bandar Aceh.

Dokumen kartografi abad ke-16 sampai abad ke-18 hampir selalu konsisten menyebut wilayah: 𝘈𝘤𝘦𝘩, 𝘋𝘢𝘺𝘢, 𝘗𝘦𝘥𝘪𝘳, 𝘥𝘢𝘯 𝘗𝘢𝘴𝘢𝘪. Keempat wilayah tersebut merupakan kota pelabuhan internasional yang dikelola penguasa Muslim. Saat itu wilayah Lamuri sudah ditandai sebagai Aceh, karena kedekatan geografis dan juga faktor kekerabatannya. Selain kota pelabuhan besar, pelabuhan kecil ditemukan hampir di seluruh teluk yang umumnya terdapat muara sungai, baik di pesisir Timur maupun Barat Aceh. Bandar-bandar itu telah bertahan sampai abad ke-19, seperti yang terekam dalam peta Asia Tenggara buatan Aceh zaman 𝘚𝘶𝘭𝘵𝘢𝘯 '𝘈𝘭𝘢𝘶𝘥𝘥𝘪𝘯 𝘔𝘢𝘯𝘴𝘩𝘶𝘳 𝘚𝘺𝘢𝘩 (wafat tahun 1869).

Selat Malaka adalah pemain kunci dalam jaringan dinamis perdagangan maritim dan pertukaran budaya yang membentang dari Timur sampai Barat. Sebagai tempat tumbuh dan berkembangnya Negara Maritim Islam dalam kurun waktu yang lama, dengan beberapa pelabuhan internasionalnya yang berada di gerbang Selat Malaka, Aceh telah menerima banyak limpahan kebudayaan, termasuk dari pusat-pusat Islam. Berangkat dari itu semua, tentunya Aceh memiliki peti penyimpanan (𝘬𝘩𝘢𝘻𝘢𝘯𝘢𝘩) seni Islam yang kaya. Oleh karenanya penting bagi kita (generasi Aceh) membuka dan mengenali hartanya, kemudian menyusun, merapikan, dan mengaplikasikannya kembali menyesuaikan kemajuan zaman.

Dalam Islam penghindaran gambar makhluk hidup (Anikonisme) sangat ditekankan. Meski tidak sepenuhnya ditinggalkan (karena perbedaan interpretasi), yang kebanyakan terjadi di wilayah bukan penutur Arab, seperti miniatur pada manuskrip dan keramik Persia, juga tradisi lainnya seperti miniatur 'Utsmani dan lukisan Mughal. Di Aceh, anikonisme terlihat jelas pada warisan seninya. Walaupun sebagian pemerhati seni mencurigai adanya penggunaan secara abstrak bagian anatomi hewan tertentu seperti sayap, tanduk, sisik, dan sebagainya untuk desain batu nisan; tapi tampaknya dimaksudkan untuk menambah estetika atau memasukkan nilai filosfis tersendiri, bukan dengan tujuan penggambaran hewan yang sesungguhnya. Baru sekitar akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20, Teuku Teungoh memelopori miniatur Aceh yang terpengaruh oleh miniatur Persia atau 'Utsmani dengan menampilkan penggambaran manusia, hewan, dan juga citra Buraq-palsu tiruan Persia, yang asalnya adalah "Sphinx" mahluk mitologi pra-Islam; yang patungnya banyak dijumpai di Persia, Mesir, dan Yunani. Citra Buraq-palsu tersebut terus ditiru dengan berbagai variasi sebagai salah satu ornamen arsitektur tradisional di Aceh sampai kuartal ketiga abad ke-20.

Akar dari anikonisme Islam berasal larangan penyembahan berhala dan sebagian dari keyakinan bahwa penciptaan makhluk hidup adalah hak prerogatif Tuhan. Secara praktik, anikonisme dalam Islam tidak hanya berurusan dengan citra material saja, tetapi juga menyentuh representasi mental. Pada akhirnya ketiadaan citra mahluk hidup dalam Islam memiliki peran yang sangat positif. Seniman Muslim menjadi lebih terkonsentrasi pada motif ragam tumbuhan, geometris, dan kaligrafi Arab, yang kemudian kombinasi ketiganya dikenal menjadi fitur utama dalam seni Islam.

Secara umum karakter dalam seni hias Islam (𝘡𝘢𝘬𝘩𝘳𝘢𝘧𝘢𝘩 𝘐𝘴𝘭𝘢𝘮𝘪𝘺𝘺𝘢𝘩) memiliki tiga pola besar, yang pertama; 𝘈𝘳𝘢𝘣𝘪𝘴 "hiasan permukaan berdasarkan pola linier berirama dari jalinan dedaunan dan sulur, gulungan, atau garis polos, yang sering dipadukan dengan elemen lain". Kedua, pola geometri "perpaduan dan pengulangan bentuk lingkaran dan persegi, yang saling menjalin dan meliputi, sebagaimana arabis, dan kerapkali memadukan kedua pola itu. Ketiga, epigrafi (prasasti) "kaligrafi Arab dengan berbagai gaya yang sering juga dipadukan dengan arabis dan pola geometri (gaya tulisannya terkadang mewakili wilayah tertentu)". Karena pada praktiknya saling terkait dan sering digunakan secara bersamaan dalam satu rangkaian, ketiga pola itu masing-masing sering hanya disebut Arabis (𝘈𝘳𝘢𝘣𝘦𝘴𝘲𝘶𝘦).

Pada periode Sumatra-Pasai dan Lamuri satu-satunya benda seni yang terhubung dengan Seni Islam (𝘈𝘭-𝘍𝘢𝘯 𝘈𝘭-𝘐𝘴𝘭𝘢𝘮𝘪𝘺) yang masih bertahan sampai hari ini adalah batu nisan. Penyebabnya, karena bahan-bahan organik tidak bertahan lama di wilayah tropis yang lembab. Sedangkan pada periode Aceh Darussalam, karena kekuasaannya bertahan sampai abad ke-20, benda yang mewakili seni Islam dari periode ini menjadi yang paling kaya dijumpai. Terdiri dari batu nisan, dekorasi arsitektural dan benda yang terkait kegamaan (umumnya kayu); dekorasi masjid, zawiyah, meunasah, dharih, mimbar, rihal; hiasan mushaf atau naskah; hiasan cap, tekstil, perhiasan, regalia, dan termasuk berbagai peralatan keseharian.

Dari seluruh warisan seni Islam di Aceh, batu nisan merupakan representasi dari semuanya, baik karena segi kuantitas, pengaruhnya yang luas, maupun aspek keterpeliharaannya. Batu nisan telah mewakili seni Islam di setiap abad yang telah berlalu sejak awal berdirinya daulah Islam. Karena keunikan dan pengaruhnya, desain dan dekorasi batu nisan dari wilayah ini telah mewakili tipologi tersendiri dalam studi arkeologi, yang disebut "Batu Nisan Aceh" (Aceh Gravestone). Tipologi batu nisan Aceh secara umum dapat dibagi menjadi 3 sub-tipologi berdasarkan periode dan karakteristiknya, yaitu gaya Sumatra-Pasai, Lamuri, dan Aceh Darussalam.

Sebelumnya, untuk menghindari kerancuan, hal yang perlu dicatat bahwa para penulis historiografi Aceh saat ini menggunakan kata "𝘚𝘶𝘮𝘢𝘵𝘳𝘢" (tanpa '𝘦' pepet) untuk memberi kesan dan makna arkais, yang merujuk pada periode sejarah dan geografis asal dari kata "Sumatera" yang kontemporer. Kedua-dua ejaan itu akan digunakan secara bersamaan untuk membedakan konteksnya, seperti; Kota Sumatra dengan Pulau Sumatera.

Batu nisan periode Sumatra-Pasai umumnya terbuat dari batu andesit. Pada masa awal (abad ke-13) hiasannya berpola vegetal dengan prasasti kursif bergaya 𝘕𝘢𝘴𝘬𝘩𝘪 yang sederhana. Sekitar paruh abad ke-14 prasasti kursif lebih digayakan dengan pahatan yang lebih halus. Pada perkembangannya hiasan "𝘈𝘵-𝘵𝘢𝘸𝘳𝘪𝘲" (arabesk tumbuhan) dengan kombinasi pilinan dan simpul menjadi lebih atraktif, halus, dan padat; dengan munculnya kaligrafi perpaduan 𝘕𝘢𝘴𝘬𝘩𝘪-𝘛𝘴𝘶𝘭𝘶𝘵𝘴 dan 𝘛𝘴𝘶𝘭𝘶𝘵𝘴 yang sangat tegas. Permukaan nisan sudah lebih halus, menunjukkan setelah diukir dengan pahat dan kikir seluruh permukaan dipoles menggunakan abrasive.

Paruh awal abad ke-15 pengaruh dekorasi dari pusat Islam di daratan Asia sangat terasa. Masa ini menjadi titik kemajuan seni Islam, yang karakternya sangat mempengaruhi di masa kemudian dalam wilayah yang lebih luas. Kaligrafi gaya 𝘒𝘶𝘧𝘪-𝘔𝘶𝘳𝘢𝘣𝘣𝘢' (kufi kubus) pernah muncul sebagai dekorasi nisan masa ini. Kaligrafi jenis ini berkembang pesat di Asia Tengah era Timuriyyah. Ini akan membuka kemungkinan keberadaan komunitas pendukung budaya Turko-Persia di Kota Sumatra. Jika benar, prasasti ini dapat dipandang sebagai jejak kontak budaya dengan bangsa Turki sebelum era kejayaan 'Utsmani. Bahkan jika menilik dari gelar-gelar penguasa dan tokoh Sumatra, sejak awal memiliki banyak kesamaan dengan gelar yang dipakai penguasa dan pembesar keturunan Turko-Persia. Hal ini cukup beralasan mengingatkan hampir seluruh daulah Islam sejak abad ke-13, mulai dari Anatolia, Mesir, Asia Tengah, hingga Asia Selatan penguasanya merupakan keturunan dari percampuran bangsa Turki yang nenek moyangnya berasal dari Pegunungan Altai, di perbatasan Asia Tengah dan Asia Timur. Sejak era Samaniyah, Ghaznawi, sampai era Mughal, keturunan Turki Muslim ini dikenal sebagai pelindung utama bahasa dan kebudayaan Persia, karena itu secara kebudayaan disebut dengan Turko-Persia. Sayangnya khat Kufi Murabba' ini tidak berkembang, dan tiga pasang nisan (satu di antaranya milik salah seorang sultan) di Kuta Krueng, Aceh Utara menjadi contoh langka dari jenis itu. Puncaknya pada paruh akhir abad ke-15, dimana kaligrafi yang muncul telah menampilkan gaya 𝘛𝘴𝘶𝘭𝘶𝘵𝘴 dengan finial floral yang membuatnya sedikit berbeda; beberapa contohnya diusulkan sebagai kaligrafi gaya Sumatra.

Di sebelah barat dan barat daya Kota Sumatra (sebagian wilayah Lhokseumawe), kawasan dengan bentang alam lembah dan bukit kapur ini dekorasi nisannya menampilkan citra-citra astronomis, yang kemungkinan beberapa citra itu telah digunakan untuk simbol korps atau kepangkatan bagi Angkatan Laut. Hal itu didasari dari bukti epigrafi yang menyebutkan gelar-gelar terkait aktifitas kebaharian, yang mengindikasikan bahwa kawasan itu merupakan pemukiman pelaut zaman Sumatra-Pasai. Menjelang akhir abad ke-15 nisan di Kota Sumatra dan kawasan penyangganya, desain nisan diproduksi hampir seragam, yang dikembangkan dari 2 model utama. Desain utama nisan Sumatera-Pasai masa akhir ini nantinya menjadi purwarupa (prototype) dari nisan-nisan yang berkembang di Palembang, Cirebon, Kudus, dan Demak yang kebanyakan diproduksi abad ke-17 dan 18.

Batu nisan periode Lamuri bahan bakunya beragam, mulai dari batu andesit, batu gamping, dan batu pasir. Tipe Lamuri merupakan batu nisan dengan desain bentuk paling unik. Ini adalah kolom panjang dengan empat sisi yang ukurannya sama, sedikit meruncing ke bagian puncak. Sepintas diduga batu nisan jenis ini dipengaruhi oleh salah satu bentuk arsitektur di Asia Selatan, dan membuka kemungkinan bahwa asal seniman atau pengaruh besar seninya dari kawasan tersebut. Umumnya hiasan nisan pada keempat permukaannya merupakan sulur kurawal berulang berpadu dengan bunga mekar dijalin dengan gulungan yang dihubungkan pada setiap sisinya. Beberapa contoh di ujung sisi-sisinya dipahat tembus. Ukuran hiasannya lebih besar, terlihat sederhana tapi padat dan kompak yang terkadang hampir tidak menyisakan ruang, dan kaligrafi kursif disusun dengan gaya yang sama baik ukuran maupun polanya; yang juga memungkinkan kaligrafinya digolongkan ke dalam gayanya sendiri.

Selain desain kolom panjang, desain pipih gaya Sumatera-Pasai juga dikembangkan dengan tetap menampilkan dekorasi dan epigrafi khas Lamuri. Karena desain, dekorasi, dan kaligrafinya yang unik itu, batu nisan Lamuri yang secara lokal disebut "𝘗𝘭𝘢𝘯𝘨-𝘱𝘭𝘦𝘯𝘨" (bermakna belang-belang) lebih mudah untuk dikenali. Tipe ini juga agak terlokalisir ketimbang dua tipe lainnya, keberadaannya hanya ditemukan di wilayah Aceh sekarang. Mungkin terkait kebijakan ekspor masa lalu atau masyarakat pendukung seni ini terpusat dalam komunitasnya sendiri di wilayah tertentu dan menyalurkan karyanya untuk otoritas tertentu saja, tapi alasan tepatnya belum diketahui. Batu nisan periode Aceh Darussalam didominasi dengan bahan batu pasir, walaupun beberapa di antaranya telah dibuat menggunakan batu andesit. Nisan Aceh Darussalam merupakan yang paling kaya, baik dilihat dari kuantitas benda, varian desain, maupun dekorasinya. Batu nisan periode ini merupakan pengembangan dari seni sebelumnya, tetapi menampilkan karakternya sendiri.

Bahkan beberapa desain dapat menunjukkan masa penggunaan dan membedakan gender pemilik kubur. Pada periode ini dekorasi nisan berkembang menjadi lebih berkarakter. Pada masa peralihan (awal abad ke-16) telah berkembang kaligrafi berpasangan atau gaya cermin, beberapa di antara bahkan benar-benar dapat dibaca hanya dengan cara menggunakan cermin, karena kesan huruf yang ditampilkan negatif. Pola geometris, jalinan dan simpul yang dikombinasikan dengan pola tumbuhan yang rumit, serta kaligrafi kursif semi-𝘵𝘶𝘨𝘩𝘳𝘢 yang rata-rata fontnya lebih kecil, dan kerapkali sangat kecil (dari periode sebelumnya) yang dibatasi oleh bingkai; telah menjadi fitur utama nisan periode ini.

Kurun ke-17 dan ke-18, seniman batu nisan mendapat inspirasi baru untuk pengayaan ornamen dari berbagai perhiasan seperti rantai manik-manik, kalung papan jajar, anting-anting, mahkota, dan motif tekstil. Beberapa dekorasi bunga juga terlihat sedikit lebih natural. Bunga teratai bersusun tak jarang memahkotai desain nisan. Hal ini menunjukkan bahwa desain dan dekorasi batu nisan saat itu menjadi ajang kompetisi para seniman untuk menggali passion estetisnya.

Pada paruh abad ke-19, gaya kaligrafi tiba-tiba berubah (terutama pada batu nisan yang dirancang menyerupai lampion portabel), ukuran font menjadi besar kembali seperti epigrafi Lamuri dengan menampilkan jalinan dan simpul yang menyerupai anyaman tikar. Karakter kaligrafi dan dekorasi serupa juga ditemukan dalam dekorasi arsitektur religius dan manuskrip. Masa ini kaligrafi juga telah digunakan untuk mendekorasi kain tenun Aceh, ornamen tersebut secara lokal disebut "𝘣𝘶𝘯𝘨𝘰𝘯𝘨 𝘬𝘢𝘭𝘪𝘮𝘢𝘩", tapi contoh yang terpelihara sampai hari ini sangat langka ditemukan di Aceh, kebanyakan telah menjadi koleksi museum dan kolektor di Luar Negeri, terutama di Eropa.

Nampaknya seniman batu nisan Aceh cukup puas hanya dengan meninggalkan mahakaryanya tanpa tanda tangan. Mengingat tak satu pun tanda tangan yang menyebutkan secara tegas nama seniman pada batu nisan Aceh, seperti yang sering dijumpai di kawasan di Timur Tengah dan Asia Tengah. Tradisi tanda tangan seniman justru banyak terdapat pada karya arsitektur tradisional Aceh, yang umumnya bertanggal abad ke-20.

Pada dasarnya seni hias pada batu nisan, mushaf atau naskah religi, arsitektural, dan benda-benda lainnya satu sama lain memiliki relevansi. Meskipun arsitektur kayu yang bertahan hingga hari ini tidak lebih awal dari abad ke-18, dan manuskrip yang terpelihara tidak melampaui abad ke-17, tapi beberapa dekorasinya dapat dibandingkan dengan batu nisan dari abad ke-16 atau sebelumnya. Ini menunjukkan bahwa perupa atau seniman terkadang mempertahankan atau menyalin seni di abad sebelumnya untuk diterapkan kembali dan mengembangkannya demi memelihara patron lokal mereka. Oleh karena itu, seni pada benda-benda tersebut karakteristiknya dapat dilekatkan pada daerahnya. Hal ini pada gilirannya membentuk mazhab seni tersendiri yang mewakili daerah tersebut, Aceh dalam hal ini, yang pengaruh seni Islamnya meninggalkan banyak jejak di negeri-negeri lain di Kepulauan Melayu (𝘈𝘭-𝘉𝘪𝘭𝘢𝘥 𝘈𝘭-𝘑𝘢𝘸𝘪𝘺𝘺𝘢𝘩).

Hiasan kaligrafi pada batu nisan Aceh, selain berisi epitaf (keterangan pemilik kubur), banyak didominasi petikan ayat-ayat Al-Qur'an, Hadits, Rumus Iman, dan syair serta ungkapan religi. Kerapkali ayat-ayat, ungkapan, atau syair yang dipilih untuk menggambarkan keadaan masa itu. Biasanya seniman muslim memiliki pengetahuan yang cukup di bidang epigrafi dan bahasa Arab, baik teks maupun konteks. Pengetahuannya itu tentunya didorong juga oleh kewajiban personal Muslim utuk menuntut ilmu dan dakwah, yang kemudian memanfaatkan media seni untuk mendukung tujuan tersebut. Kaligrafi sebagai bagian dari dekorasi tidak hanya menampilkan nilai estetika, tetapi memiliki kandungan makna yang lebih dalam. Harus ditafsirkan bahwa pesan seni Islam melampaui keindahannya sendiri.

Kesenian Islam di Aceh telah berlangsung hampir delapan abad, yang artinya sama dengan separuh lebih dari usia seni Islam itu sendiri, tapi objek dan aspek keseluruhannya masih banyak yang belum tergali. Studi khusus tentangnya sangat minim. Kajian yang muncul dari meja para akademisi selama seratus tahun belakangan, juga belum seperseratus dari yang seharusnya. Namun, dengan keterbatasan dan minimnya kajian di bidang ini, tidak serta merta menjadikan seni Islam di Aceh dipandang sebagai seni pinggiran, seperti yang lebih dulu dialami dalam studi historiografinya.

Pada sesi ke-40 Konferensi Umum UNESCO yang berlangsung bulan November tahun 2019 yang lalu, UNESCO telah menetapkan tanggal "18 November" sebagai 𝘐𝘯𝘵𝘦𝘳𝘯𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯𝘢𝘭 𝘋𝘢𝘺 𝘰𝘧 𝘐𝘴𝘭𝘢𝘮𝘪𝘤 𝘈𝘳𝘵 ("Hari Seni Islam Internasional"), yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran ekspresi seni Islam masa lalu dan kontemporer, dan kontribusi budaya melalui Seni Islam untuk peradaban. Berikut ini salah satu petikan pidato Audrey Azoula, Direktur Jenderal - UNESCO pada moment penetapan tersebut: “𝘛𝘢𝘩𝘶𝘯 𝘪𝘯𝘪, 𝘬𝘢𝘮𝘪 𝘮𝘦𝘯𝘢𝘯𝘥𝘢𝘪 𝘏𝘢𝘳𝘪 𝘚𝘦𝘯𝘪 𝘐𝘴𝘭𝘢𝘮 𝘐𝘯𝘵𝘦𝘳𝘯𝘢𝘴𝘪𝘰𝘯𝘢𝘭 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘱𝘦𝘳𝘵𝘢𝘮𝘢 𝘬𝘢𝘭𝘪𝘯𝘺𝘢. 𝘏𝘢𝘳𝘪 𝘪𝘯𝘪 𝘥𝘪𝘱𝘳𝘰𝘬𝘭𝘢𝘮𝘪𝘳𝘬𝘢𝘯 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘮𝘦𝘳𝘢𝘺𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘣𝘦𝘳𝘴𝘢𝘮𝘢 𝘸𝘢𝘳𝘪𝘴𝘢𝘯 𝘭𝘶𝘢𝘳 𝘣𝘪𝘢𝘴𝘢 𝘪𝘯𝘪, 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘦𝘳𝘭𝘢𝘯𝘨𝘴𝘶𝘯𝘨 𝘴𝘦𝘭𝘢𝘮𝘢 𝘦𝘮𝘱𝘢𝘵 𝘣𝘦𝘭𝘢𝘴 𝘢𝘣𝘢𝘥, 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘦𝘳𝘶𝘴 𝘮𝘦𝘮𝘱𝘦𝘳𝘣𝘢𝘳𝘶𝘪 𝘥𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘦𝘮𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘮𝘣𝘢𝘭𝘪 𝘥𝘪𝘳𝘪𝘯𝘺𝘢 𝘴𝘦𝘯𝘥𝘪𝘳𝘪, 𝘥𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘳𝘶𝘩𝘪 𝘣𝘶𝘥𝘢𝘺𝘢 𝘥𝘪 𝘴𝘦𝘭𝘶𝘳𝘶𝘩 𝘥𝘶𝘯𝘪𝘢”.

Penetapan tersebut tentu membuat kita sedih dan bahagia secara bersamaan. Sedih karena seperti disebutkan di atas, bahwa studi di bidang ini sangat terbatas, dan di Aceh (tempat berdirinya negara Islam pertama di Asia Tenggara) belum memiliki Museum Seni Islam. Bahagianya, karena kita memiliki momentum tahunan untuk berbenah; untuk mengeksplorasi, menemukan, dan menyusun kembali, serta mengembangkan dan memanfaatkannya bagi peradaban.

Akhirnya kita akan mendengar sabda Paduka Nabi 𝔐𝔲𝔥𝔞𝔪𝔪𝔞𝔡 ﷺ tentang masalah kesombongan, yang bagian dari kalimatnya banyak dikutip oleh seniman Muslim sebagai salah satu teks penting bagi tumbuh kembangnya seni Islam:

 عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: “لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ” قَالَ رَجُلٌ: إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً، قَالَ: “إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ.

” Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “𝘛𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘮𝘢𝘴𝘶𝘬 𝘴𝘶𝘳𝘨𝘢 𝘴𝘦𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘪 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘩𝘢𝘵𝘪𝘯𝘺𝘢 𝘵𝘦𝘳𝘥𝘢𝘱𝘢𝘵 𝘬𝘦𝘴𝘰𝘮𝘣𝘰𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘣𝘦𝘴𝘢𝘳 𝘣𝘪𝘫𝘪 𝘴𝘢𝘸𝘪”. Ada seseorang yang bertanya, “𝘉𝘢𝘨𝘢𝘪𝘮𝘢𝘯𝘢 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘶𝘬𝘢 𝘮𝘦𝘮𝘢𝘬𝘢𝘪 𝘣𝘢𝘫𝘶 𝘥𝘢𝘯 𝘴𝘢𝘯𝘥𝘢𝘭 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘢𝘨𝘶𝘴?” Beliau menjawab, “𝑺𝒆𝒔𝒖𝒏𝒈𝒈𝒖𝒉𝒏𝒚𝒂 𝑨𝒍𝒍𝒂𝒉 𝒊𝒕𝒖 𝑴𝒂𝒉𝒂 𝑰𝒏𝒅𝒂𝒉 𝒅𝒂𝒏 𝒎𝒆𝒏𝒄𝒊𝒏𝒕𝒂𝒊 𝒌𝒆𝒊𝒏𝒅𝒂𝒉𝒂𝒏. 𝘚𝘰𝘮𝘣𝘰𝘯𝘨 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘮𝘦𝘯𝘰𝘭𝘢𝘬 𝘬𝘦𝘣𝘦𝘯𝘢𝘳𝘢𝘯 𝘥𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘳𝘦𝘮𝘦𝘩𝘬𝘢𝘯 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘭𝘢𝘪𝘯“. (𝐇adits 𝐑iwayat 𝐌𝐮𝐬𝐥𝐢𝐦).
_________________________________________ 
𝙿𝚊𝚜𝚊𝚒, 𝙹𝚞𝚖'𝚊𝚝, 𝟸𝟹 𝚁𝚊𝚋𝚒'𝚞𝚕-𝙰𝚔𝚑𝚒𝚛 𝟷𝟺𝟺𝟺 𝙷𝚒𝚓𝚛𝚒𝚊𝚑 (𝟷𝟾 𝙽𝚘𝚟𝚎𝚖𝚋𝚎𝚛 𝟸0𝟸𝟸).


Batu nisan bagian badan (abad ke-16) dengan kaligrafi yang sangat menawan, di Kompleks Makam Kesultanan Aceh, di Banda Aceh.

Mushaf Aceh koleksi British Library.

Panel berhias pada sebuah Zawiyah tua di Pidie.

Kain tenun sutra dan benang emas berhias kaligrafi lafas Allah (bungong kalimah). Sumber Museum Kebudayaan Dunia.

Kaligrafi gaya Kufi Murabba' (kufi kubus) menghiasi puncak nusan milik Sulthan Zainal 'Abidin Raubabdar (wafat tahun 841H/ 1438 M), di Kuta Krueng, Aceh Utara.

Wadah tembaga asal Aceh, memuat ornamen Arabis dan kaligrafi. Sumber Museum Kebudayaan Dunia.

Kaligrafi cermin, huruf negatif, hanya dapat dibaca dengan mudah menggunakan cermin. Nisan tipe Aceh Darussalam, di Aceh Utara.

Ornamen Arabis dan kaligrafi gaya Sumatra pada monumen makam milik Khwajah As-Sulthan Al-'Adil Ahmad bin Sulthan Zainal 'Abidin di Kompleks Makam Kesultanan Sumatra-Pasai, Kuta Krueng, Aceh Utara.

Nisan Aceh Darussalam (abad ke-16) di Kompleks Makam Kesultanan Aceh, di Gampong Pande, Banda Aceh.

Mimbar lama (abad ke-19) dengan cat baru. Berada di sebuah masjid tua di Pidie.

Ornamen Arabis pada batu nisan bagian badan di Kompleks Makam Raja Jalil, di Lam Lagang. Banda Aceh.

Kalung Papan Jajar emas dengan ornamen filigree 'Arabis' asal Aceh, sekarang tersimpan di Museum Hamburg. Sumber data: Museum Kebudayaan Dunia.

Ornamen perhiasan 'Kalung Papan Jajar' dan Arabis pada nisan Aceh abad ke-17/18 di Kompleks Makam Raja Jalil, Lamlagang, Banda Aceh.

Kupiah Aceh dengan pola geometris dan pseudo-inskripsi. Sumber data: Museum Kebudayaan Dunia.

Ornamen bunga mekar berpola roset pada salah satu nisan di Kompleks Makam Raja Jalil, Lamlagang, Banda Aceh.

Perhiasan telinga (anting) wanita Aceh yang terbuat dari emas dan permata dengan desain roset dan hiasan filigre pola Arabis. Sumber data: Museum Kebudayaan Dunia.

Nisan tipologi Sumatra-Pasai (abad ke-15) di Kompleks Makam Kesultanan Sumatra, Blang Me, Aceh Utara.

Nisan tipologi Sumatra-Pasai (abad ke-15) di Kompleks Makam Kesultanan Sumatra, Blang Me, Aceh Utara.

Nisan tipologi Aceh Darussalam (abad ke-16), di Aceh Utara.

Mimbar tua dengan cat baru, berornamen Arabis dan kaligrafi kursif floral yang unik, di salah satu masjid tua, Pidie.

Nisan tipologi Lamuri (awal abad ke-15) milik seorang raja yang bergelar Malik Syamsudin (wafat tahun 1419) di Kawasan arkeologi Lamuri, Lamreh, Aceh Besar.

Nisan tipe Lamuri (abad ke-15) di Kompleks Makam Kesultanan Aceh, Gampong Pande, Banda Aceh.

Ornamen kaligrafi dan flora pada salah satu panel di Zawiyah tua, Pidie.

Perisai rotan dan tembaga asal Aceh, dengan ornamen Khatim Sulaiman atau Najmat Daud dipadukan dengan tumbuhan. Sumber data: Musem Kebudayaan Dunia.

Perhiasan telinga (anting) wanita Aceh yang terbuat dari emas dan permata dengan desain roset dan hiasan filigre pola Arabis. Sumber data: Museum Kebudayaan Dunia.

Nisan tipologi Sumatra-Pasai (abad ke-15) milik Khawajah Sulthan Ahmad di Kompleks Makam Kesultanan Sumatra, Blang Me, Aceh Utara.

Nisan tipologi Sumatra-Pasai (abad ke-15) milik Khawajah Sulthan Ahmad di Kompleks Makam Kesultanan Sumatra, Blang Me, Aceh Utara.

Nisan (batu badan tipologi) Sumatra-Pasai (abad ke-15) di Kompleks Makam Kesultanan Sumatra, Blang Me, Aceh Utara.

Hiasan pilinan dan geometri pada salah satu dinding Masjid Tua di Pidie.

Cap milik Syaikh Muhammad Marhaban (Qadhi Kesutanan Aceh abad ke-19), dengan ornamen geometris. Sumber: Buku Cap Melayu dari Dunia Islam.

Nisan dengan ornamen Lampu Masjid dengan kaligrafi yang memesona. Miliki Amir Husain (wafat 830 H/ 1427 M), di Maddi, Aceh Utara.

Nisan tipologi Sumatra-Pasai (abad ke-15) di Kompleks Makam Kesultanan Sumatra, Blang Me, Aceh Utara.

Nisan tipe Aceh Darussalam (abad ke-16) berukuran kecil dengan ornamen Arabis, di Kompleks Makam Kesultanan Aceh (Mahkota Alam), di Banda Aceh.

Rehal (tempat Al-Qur'an) asal Aceh dengan ornamen Arabis, sekitar awal abad ke-20. Sumber data: Museum Kebudayaan Dunia.

Nisan masa peralihan (awal abad ke-16) dengan paduan gaya Lamuri dan Aceh, di Banda Aceh.

Hiasan menawan dengan inskripsi berisi puji-pujian pada nisan bagian badan (abad ke-15), di Aceh Utara.

Kaligrafi gaya Kufi Murabba' (kufi kubus) pada puncak nisan tipe Sumatra Pasai (abad ke-15) di Kompleks Makam Tajul Muluk Abdul Karim, Kuta Krueng, Aceh Utara.

Ornamen Arabis pada batu nisan bagian badan di Kompleks Makam Raja Jalil, di Lam Lagang. Banda Aceh.

Ornamen Arabis pada pada arsitektur Meunasah tua di Pidie.

Salah satu ornamen pada mimbar kuno dengan cat baru di Pidie.

Kain kerudung tenunan sutra dan benang perak berhias kaligrafi lafaz Allah (bungong kalimah). Sumber Museum Kebudayaan Dunia.

Kaligrafi cermin atau berpasangan pada nisan tipe Sumatra-Pasai (awal abad ke-16) di Blang Me, Aceh Utara.

Nisan tipe Sumatra-Pasai milik Tajul Muluk 'Abdul Karim, di Kuta Krueng, Aceh Utara.

Ketel tembaga berhias asal Aceh.
Sumber: Museum Kebudayaan Dunia.

Wadah sirih Aceh (besi dan kuningan) berornamen Arabis.
Sumber: Museum Kebudayaan Dunia.

Hiasan Arabis pada puncak nisan di Kompleks Makam Kesultanan Aceh (Mahkota Alam), Banda Aceh.

Hiasan Arabis dan kaligrafi menawan pada nisan batu badan (abad ke-16) di Kompleks Makam Kesultanan Aceh, Banda Aceh.

Ornamen Arabis pada mimbar kuno dengan cat baru di Pidie.

Ornamen pada salah satu masjid tua di Pidie.

Nisan tipologi Aceh Darussalam (abad ke-16) milik salah seorang putri Sultan, di Kompleks Makam Kesultanan Aceh Mahkota Alam, Banda Aceh.

Nisan (abad ke-15) yang dikelilingi inskripsi dan hiasan floral di Kompleks Makam Tajul Muluk 'Abdul Karim, Kuta Krueng, Aceh Utara.



Nisan tipe Aceh Darussalam (abad ke-17/18) dengan ornamen Arabis yang menawan, di Kompleks Makam Raja Jalil, Lamlagang, Banda Aceh.


Nisan milik Khwajah Tajuddin bin Ibrahim (wafat tahun 857 H/ 1453 M), di Kuta Krueng, Aceh Utara.

Ornamen Arabis pada batu nisan bagian badan di Kompleks Makam Raja Jalil, di Lamlagang, Banda Aceh.

Ornamen Arabis pada mimbar tua di Pidie.

Wadah sirih-pinang dari perak sepuh emas Asal Aceh dengan hiasan kerawang. Sumber data: Museum Kebudayaan Dunia.

Ornamen Arabis dan kaligrafi gaya Sumatra.pada monumen makam milik Khwajah As-Sulthan Al-'Adil Ahmad bin Sulthan Zainal 'Abidin di Kompleks Makam Kesultanan Sumatra-Pasai, Kuta Krueng, Aceh Utara.

Nisan tipologi Sumatra-Pasai (abad ke-15) di Kompleks Makam Kesultanan Sumatra, Blang Me, Aceh Utara.

Kaligrafi gaya Sumatra pada monumen makam milik Khwajah As-Sulthan Al-'Adil Ahmad bin Sulthan Zainal 'Abidin di Kompleks Makam Kesultanan Sumatra-Pasai, Kuta Krueng, Aceh Utara.

Kaligrafi gaya Sumatra pada monumen makam milik Khwajah As-Sulthan Al-'Adil Ahmad bin Sulthan Zainal 'Abidin di Kompleks Makam Kesultanan Sumatra-Pasai, Kuta Krueng, Aceh Utara.

Nisan tipe Sumatra-Pasai (abad ke-15) dengan ornamen bunga pasu, di Kompleks Makam Kesultanan Sumatra, Kuta Krueng, Aceh Utara.

Ornamen Arabis pada Keris Aceh berhulu gading.

Nisan (abad ke-15) hiasan Arabis di Kompleks Makam Tajul Muluk 'Abdul Karim, Kuta Krueng, Aceh Utara.

Nisan tipologi Sumatra-Pasai (abad ke-15) di Kompleks Makam Kesultanan Sumatra, Kuta Krueng, Aceh Utara.

Kaligrafi gaya Sumatra pada nisan (abad ke-15), di Kompleks Raja Khan, Kuta Krueng, Aceh Utara.

Sketsa Pedang Aceh abad ke-19.

Ornamen Arabis pada pada arsitektur Meunasah tua di Pidie.

Ornamen Arabis pada batu nisan bagian badan di Kompleks Makam Raja Jalil, di Lamlagang, Banda Aceh.

Pedang Aceh berhias Arabis dan epigrafi emas, bertanggal 1251 H.
Sumber & Koleksi: Museum Metropolitan.

Miniatur Aceh (awal abad ke-20) karya Teuku Teungoh yang terpengaruh oleh miniatur Persia atau 'Utsmani dengan menampilkan penggambaran manusia, hewan, dan juga citra Buraq-palsu tiruan Persia.
Sumber gambar: Museum Kebudayaan Dunia.

Kaligrafi pilinan dan simpul yang rumit, pada nisan tipe Aceh Darussalam milik Sulthan 'Alauddin Manshur Syah (wafat 1869) di Kompleks Makam Kesultanan Aceh Darussalam, Banda Aceh.

Ornamen Arabis dan kaligrafi gaya Sumatra.pada monumen makam milik Khwajah As-Sulthan Al-'Adil Ahmad bin Sulthan Zainal 'Abidin di Kompleks Makam Kesultanan Sumatra-Pasai, Kuta Krueng, Aceh Utara.

Nisan gaya paduan Sumatra-Pasai dan Lamuri dengan ornamen Arabis vegetal yang sangat menawan, di Kawasan Arkeologi Lamuri, Lamreh, Aceh Besar.

Hiasan Arabis pada hulu pedang Aceh. Sumber: Museum Kebudayaan Dunia.

Nisan tipe Lamuri (abad ke-15) dengan ornamen pola Arabis, di Kawasan Arkeologi Lamuri, Lamreh, Aceh Besar.

Hiasan Arabis pada bagian atas nisan, di Kompleks Makam Kesultanan Aceh, Banda Aceh.

Nisan Aceh Darussalam milik Perdana Menteri Seri Udahna wafat 968 Hijriah (1560 Masehi)
Gampong Ilie, kecamatan Ulee Kareng, kota Banda Aceh.

Posting Komentar

0 Komentar