Aceh, Pangkalan Islam Di Masa Lampau

Kejutan

Sudah tidak terhitung jumlah kejutan yang dialami sepanjang waktu pencarian. Sejak kali pertama dilabrak suatu kenyataan yang tidak pernah diperkirakan sebelumnya tentang negeri ini, saya jadi benar-benar tersadar bahwa cerita negeri ini sama sekali bukan seperti yang saya bayangkan sebelumnya. Negeri ini bukan sekadar sebuah daerah (provinsi) yang masyarakatnya Muslim dan fanatik terhadap Islam dari dulu-dulu, tapi lebih dari itu, ia ternyata pernah menjadi sebuah pangkalan Islam terbesar di Asia Tenggara.

Pangkalan Islam terbesar di Asia Tenggara. Pernyataan ini atau semisalnya, memang, pernah didengar-dengar, namun sebenarnya tidak begitu dipahami. Sampai suatu kenyataan hadir tepat di depan mata, dan bukti akan keberadaan pangkalan Islam itu di masa lampau benar-benar dapat digenggam. Indah sekali bagi saya kalimat yang terpahat batu nisan Sultan Al-Malik Ash-Shalih yang menerangkan tentang pribadi Almarhum. Kalimat itu singkat, namun sudah lebih dari cukup untuk menjelaskan bahwa benarlah negeri ini di masa lampaunya merupakan pangkalan Islam di Asia Tenggara, dan terbesar!

Kalimat itu, bagi saya, adalah sebuah kejutan yang mengawali seluruh kejutan yang dialami dalam perjalanan pencarian. Saya benar-benar dibuat seperti orang yang belum tahu apa-apa tentang negeri di mana saya telah dilahirkan. Ternyata ada banyak hal yang mencengangkan selain dari apa yang diketahui tentang Islam yang telah datang dan menyebar di negeri ini. Saya sebutkan satu contoh saja: khat naskhi.

Bagaimana khath naskhi yang semua tahu merupakan khath yang diciptakan Ibnu Muqlah dan dimantapkan oleh Dinasti Atabik di kawasan Syam dan Persia (abad ke-12 M) bisa sampai di negeri ini dan dipamerkan seolah sesuatu yang teramat biasa dalam abad ke-9 H/ke-15 M Samudra Pasai dan Lamuri? Bagaimana prosesnya sehingga hal ini bisa terjadi?!

Mereka yang ditemui di kawasan Timur Tengah, Persia, India, ternyata juga ditemui di sini: Muslim dan kebudayaan Islamnya. Ada kekhususan-kekhususan, memang, namun nyata ia tumbuh dari biji yang sama, satu: Islam. Negeri ini ternyata bagian penting dari bentang Islam yang luas, yang sejarah kejayaannya tertutupi kabut sehingga terlihat samar-samar.

Terus terang, ada rasa sakit hati tambah geram ketika sebagian besar orientalis berusaha mengklaim bahwa Islam di sini adalah “Islam Periferal”, Islam pinggiran, yang jauh dari “asli”-nya di Timur Tengah. Sakit hati serupa juga terasa manakala Hurgronje dengan gampangnya menjadikan adat-istiadat Aceh yang dipraktikkan pada masa ia mengamati Aceh (awal abad ke-20) sebagai sumber untuk menelusuri masa jaya sebelumnya! Suatu kekeliruan metodologis yang hari ini saya yakin itu tidak lebih dari penyesatan dan pembodohan. Ini menggeramkan!

[Paragraf oposisi sebagai ungkapan permintaan maaf atas ketidakberdayaan: Geram disebabkan persoalaan tadi sebenarnya tidak juga sebanding dengan geram terhadap diri sendiri yang sangat jauh dari kemampuan untuk melakukan sesuatu yang dapat membongkar penyesatan dan pembodohan tersebut secara bertubi-tubi. Kadang, datang keinginan untuk pergi membelakangi semua itu, tapi kepentingan generasi masa depan negeri ini menarik saya kembali untuk berhadapan dengan persoalan. Saat-saat seperti itulah kesunyian begitu terasa!]

Sekarang, ingin ditunjukkan salah satu kejutan yang pernah dialami. Kejutan yang kemudian memaksa saya untuk berpikir dalam-dalam karena yakin bahwa Allah telah mengajari manusia pengungkapan, dan mereka yang memahat kalimat di batu nisan hakikatnya sedang mengungkapkan sesuatu tentang diri mereka.


Di kompleks Makam Meurah II, Ulee Lueng, Aceh Besar, seseorang telah memahat sebaris kalimat pada batu nisan makam seorang yang mereka hormati dan sanjung, dan itu disetujui dan didukung oleh orang-orang lain di masanya. Kalimat itu ialah:

Satu sisi nisan yang memuat inskripsi.
Situs Meurah II, Ulee Lueng, Aceh Besar

محمد رسول الله الصادق الأمين
اللهم اغفر لأمة محمد صلى الله
عليه وسلم غفورا [شفيعا] رحيما

Muhammad Rasulullah yang jujur dan terpercaya
Ya Allah ampunilah Umat Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa Sallam dengan ampunan yang menghapuskan segala dosa dan penuh kasih sayang

Saya jadi tertegun lama di depan kalimat ini.

Ini adalah penanda makam seorang bangsawan dari abad ke-16 M Aceh Darussalam. Baris pertama adalah hakikat yang diyakini Mu’min di mana saja ia berada dan kapan saja. Mengenai baris kedua dan ketiga, saya berpikir ini adalah nisan seseorang yang layaknya hanya mencantumkan baris doa untuk orang yang dimakamkan, tapi di sini doa adalah untuk Umat Muhammad. Yakni, dia yang dimakamkan beserta seluruh Mu’min sejak Rasulullah saw. dibangkitkan sampai dengan hari kiamat. Kesadaran apa yang telah mendorong mereka untuk memahat kalimat ini pada nisan tersebut?


Dalam pikir saya kemudian terbetik, inilah bentuk kesadaran mereka yang menghuni pangkalan Islam terbesar di Asia Tenggara. Kesadaran ke-umat-an yang menghapus dan meniadakan batas-batas antara pusat dan pinggiran. Kesadaran umat yang satu, Umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.

Oleh: Musafir Zaman
(Dikutip dari akun facebook Musafir Zaman di Group Mapesa)