Mapesa Temukan Makam Syaikhul 'Askar Kesultanan Aceh Darussalam


Belasan Nisan berhasil ditata kembali oleh Tim Mapesa.
Gampong Pande kecamatan Kutaraja kota Banda Aceh.
Yang Kembali dari Masa Lalu

Andai kata pekerjaan yang dilakukan Mapesa Ahad lalu--dan Ahad-ahad sebelumnya--merupakan program kerja pemerintah, atau yang dianggarkan pemerintah, maka pekerjaan itu akan menelan uang negara puluhan juta. Sebab, di samping biaya operasional kerja, honor ahli dan pekerja, dan segala tektek bengek lainnya, juga ada lagi yang namanya penyetoran "fee" untuk pejabat polan dan polen atas nama wang pengurusan administrasi atau apalah namanya. Atau, jika itu berasal dari dana aspirasi wakil rakyat, maka akan ada pemulangan sekian persen untuk si empunya aspirasi. Ini, katanya, sudah rahasia umum. Alhasil, penganggaran dana yang dibutuhkan untuk pekerjaan semisal dilakukan Mapesa jadi jauh lebih besar daripada yang sebenarnya diperlukan.

Itu baru soal biaya, dan belum lagi soal volume kerja. Dalam satu tahun, pemerintah paling hanya bisa melakukan atau menganggarkan satu atau dua kegiatan semisal yang dilakukakn Mapesa, yang oleh Mapesa sendiri malah dilakukan pada setiap minggu. Itu pun jika birokrat-birokrat yang duduk di pemerintahan mau melakukan atau mengusulkan penganggarannya. Dan itu pun, jika wakil-wakil rakyat di dewan perwakilan rakyat bersedia menyetujui dan mengesahkan. Dan itu pun, jika disetujui, pencairan dana berikut kerjanya terkadang baru dimulai setelah lewat tengah tahun atau malah di ujung-ujung tahun. Dan itu pun masih banyak lagi "itu pun-itu pun" lain semacamnya.

Pendek kata, ada sekian belat-belit yang perlu diluruskan, serta sekian waktu yang dibutuhkan, untuk pemerintah sampai pada satu kerja semisal yang dikerjakan Mapesa di satu hari Ahadnya. Dan sekali lagi perlu digarisbawahi: itu pun andai kata pemerintah memiliki kemauan untuk melakukan semisal yang dikerjakan Mapesa! Tapi sejauh kenyataan yang terpantau sementara ini, pemerintah, di setiap tingkatnya, belum menunjukkan tanda-tanda memiliki kemauan untuk menanggung kerja semisal yang dilakukan Mapesa di tiap Ahad.

Nisan Syaikul 'Askar saat proses pengangkatan dari bendaman
lumpur sedalam satu meter.
Andai saja arti kerja tersebut setingkat dengan kerja pengadaan mobil mewah untuk pejabat, maka urusannya tidak akan begitu menggelisahkan. Sebab, mobil mewah untuk pejabat dapat dibeli kapan saja. Sementara kerja semisal yang dilakukan Mapesa justru berurusan dengan benda-benda yang sudah tidak dapat diproduksi ulang. Benda lain serupanya, mungkin, bisa-bisa saja diproduksi, namun yang tidak dapat diulangi lagi adalah masa atau waktu produksinya. Nilai 'waktu' yang melekat pada benda tersebut tidak akan pernah dapat dipesan dari pasar manapun. Kerusakan atau kelenyapannya berarti tidak akan pernah tergantikan untuk selamanya, tidak seperti halnya mobil mewah para pejabat yang bisa gonta-ganti. Ini baru dilihat dari sisi nilai 'waktu', belum dari berbagai sisi yang lain, terutama dari sisi nilai 'berita' yang dibawanya dari masa lalu. Karena berbagai nilai yang dimiliki benda-benda sejarah itulah, maka ketidakberdayaan dan kelambanan dalam usaha penelitian dan pelestariannya menjadi hal-hal yang teramat menggelisahkan.

Kekontrasan sebagaimana yang tampak antara pemerintah dan Mapesa, sebagai wadah yang mewakili masyarakat, tidak dapat dipahami secara dangkal sebagai akibat dari perbedaan tingkat keleluasaan dalam bertindak di mana pemerintah diikat dengan berbagai aturan dan prosedur sementara Mapesa tidak. Ini memang kerap dijadikan dalih dari ketidakpedulian dan kelambanan, namun hakikatnya, kekontrasan tersebut disebabkan oleh persoalan yang lebih mendalam. Kekontrasan itu justru sudah berawal dari dasar pijakan dan arah pandangan yang berbeda.

Proses penataan nisan Sitti Ula Syah bint Sultan 'Alauddin
(Al-Qahar) bin Sultan 'Ali Mughayat Syah
di gampong Pande Banda Aceh.
Dari peran yang dipanggungkan Mapesa beberapa tahun terakhir ini dapat terbaca dengan jelas bahwa Mapesa memiliki pijakan idealis yang memutuskan hubungannya dengan apapun usaha pencarian keuntungan materil baik itu untuk lembaga maupun untuk personal yang terlibat di dalamnya. Sampai saat ini, Mapesa masih terlihat semata-mata berpijak pada asas pengabdian. Maka adalah suatu keselarasan apabila peran yang ditampilkannya berbeda dengan gaya kerja orang-orang yang mengurusi sejarah dan kebudayaan hanya karena merupakan sumber mata pencaharian.

Dari peran itu pula tampak arah pandangan Mapesa yang jauh ke masa depan. Mapesa meyakini restrukturalisasi (penyusunan ulang; i'adatu tasykil) logika Aceh merupakan kepentingan mendasar yang mesti segera dilakukan dalam melangkah menuju masa depan, apalagi setelah Aceh mengalami berbagai goncangan besar sejak dekade-dekade penghujung abad silam sampai permulaan abad ini. Ikhtiar restrukturalisasi tersebut tentu menyebabkan sekian beban dan kegundahan, tetapi yang terutama sekali perlu dilakukan adalah menemukan titik awal di mana ikhtiar itu mesti dimulai.

Mapesa meyakini titik awal itu dari sejarah. Yakni, dari sejarah Aceh Darussalam [yang mewarisi sejarah negara-negara Islam sebelumnya di daratan ini]; sejarah kita! Namun untuk memulai dari titik ini juga ternyata tidak mudah. Sama sekali tidak mudah, dan menyebabkan sekian tambahan kegundahan. Terutama, dikarenakan sejarah Aceh masih wajib direkonstruksi, ditulis ulang dan disiarkan ke rata daratan Aceh yang membentang dari laut ke laut. Dalam persoalan ini saja, Mapesa menanggung beban yang teramat menggelisahkan. Beban yang sama sekali takkan berimbang jika dibanding postur tubuh organisasi yang tidak lebih dari sebuah lembaga swadaya masyarakat terpencil dari lingkaran politik dan kekuasaan.

Proses pengangkatan nisan Syaikhul 'Askar Jamaluddin
dari bendaman 
lumpur di gampong Pande Banda Aceh.
Mapesa terpaksa memacu diri untuk menemukan sumber-sumber sejarah yang nantinya memungkinkan kerja rekonstruksi sejarah Aceh. Ia diburu oleh rasa tanggung jawabnya sendiri untuk menyuguhkan sejarah yang sedapat mungkin menjadi sumber pelajaran dan ilhaman bagi generasi hari ini dan masa depan. Ia tidak mungkin menunggu penganggaran, "accepted", atau apapun urusan 'tahi minyak' lainnya, dari pihak yang tidak merasa perlu menanggung beban tersebut; dari mereka yang tujuan besar hidupnya semata-mata untuk memenuhi hajat kenikmatan pribadi. Mapesa tidak mungkin berharap kepada para birokrat yang seluruh daya pikir dan tenaga mereka telah diperuntukkan untuk menjalankan dikte-dikte dari pusat pemerintahan yang sesungguhnya buta akan sejarah Aceh, atau andai kata pun terbuka mata, mereka juga tidak akan pernah memihaknya disebabkan pijakan ideologis yang walau bagaimanapun tetap berbeda. Kekontrasan sebagaimana terlihat di daratan kenyataan, hakikatnya, adalah akibat dari perbedaan-perbedaan ini.

Tulisan ini sesungguhnya tidak dimaksudkan untuk menyudutkan atau menjatuhkan satu pihak dan menyanjung atau mengangkat pihak yang lain. Tujuan sebenarnya adalah untuk memberikan bayangan bagaimana beruntungnya kita andai kata pemerintah dengan tubuhnya yang besar dan kokoh bersedia memikul berbagai beban kerja rekonstruksi sejarah Aceh serta dengan giat melakukan pelestarian warisannya, sehingga di ujung ikhtiar tersebut nantinya dapat diharapkan Aceh menemukan jalannya kembali untuk menjadi penyumbang terbesar bagi kebudayaan dan peradaban Islam yang istimewa di belahan bumi ini sebagaimana para pendahulunya.

Usaha rekonstruksi sejarah Aceh sudah pasti memerlukan data-data sejarah autentik yang mesti secara terus menerus ditemukan. Mapesa sejauh ini masih konsisten di jalannya untuk melacak dan menemukan data-data sejarah terbaru.

Proses pengangkatan nisan Syaikh Tun Kamil dari bendaman
lumpur di gampong Pande Banda Aceh.
Ahad lalu dan sebelumnya, Mapesa telah kembali berhasil membawa pulang sejumlah bukti kehidupan dari masa lalu. Bukti-bukti itu selama ini terperangkap di areal kolam ikan Gampong Pande, Kecamatan Kutaraja, Banda Aceh. Beberapa di antaranya terbenam dalam lumpur sedalam 1 meter lebih, dan dalam kondisi saling menindih. Konteks di mana bukti-bukti sejarah itu ditemukan memperlihatkan proses terdeposisi yang sudah berlangsung sejak lama sekali, dan karena itu untuk sekian lama pula bukti-bukti fisik itu mendekam dalam zaman yang melupakannya sampai dengan Mapesa datang dan memberikannya ruang untuk mengungkapkan perihal dirinya.

Gampong Pande, hakikatnya, adalah salah satu gampong yang berada dalam kawasan padat situs sejarah di mana bukti-bukti sejarah Aceh Darussalam dari abad ke-9 hijriah (ke-15 masehi) sampai ke-11 hijriah (ke-17 masehi) dijumpai dalam jumlah besar. Kawasan itu sesungguhnya membentang di antara tiga batang air: Krueng Dhoe-Arosan di barat dan utara, Krueng Aceh di timur, dan Krueng Daroy di selatan. Daratan yang dikelilingi air dari seluruh sisinya ini, sebagaimana tampil dalam sebuah peta dibuat pada tahun 1833 oleh kartografer Belanda, merupakan kawasan paling utama dalam masa sejarah Aceh Darussalam sebab merupakan daratan yang acap kali terpilih menjadi pusat pemerintahan, terutama dalam masa-masa puncak kemajuannya. Namun, kawasan yang sangat penting bagi sejarah Aceh Darussalam ini telah mengalami perubahan yang dahsyat sejak lama, dan sampai hari ini masih terus menyaksikan perubahan yang sama sekali tidak mengindahkan nilai kesejarahannya. Tidak terkecuali Kecamatan Kutaraja. Di wilayah itu tampak beberapa areal yang telah ditimbun, yang mengakibatkan bukti-bukti sejarah tersebut lenyap untuk selamanya.

Proses pengangkatan nisan yang terbenam
Dari kerja Mapesa di lokasi situs sejarah Gampong Pande pada Ahad lalu dan sebelumnya telah muncul tiga nama tokoh penting dalam sejarah Aceh Darussalam. Inskripsi yang terpahat pada nisan-nisan yang telah ditegakkan kembali oleh Mapesa memberitahukan kehadiran tokoh-tokoh tersebut di zaman mana Aceh Darussalam tengah menaiki tangga ke puncak kejayaannya. Tokoh-tokoh itu, dengan demikian, telah kembali dari masa lalu dan datang untuk menempati ruangnya dalam ingatan generasi hari ini.

Mereka adalah:

Pertama, Almarhumah Sitti Ula Syah (namanya bermakna: puan besar yang pertama). Ia adalah putri Almarhum Sultan Agung 'Alauddin (Al-Qahhar) bin Sultan 'Ali Mughayat Syah. Dari namanya, barangkali, dapat dipertimbangkan jika ia adalah putri sulung dari Sultan 'Alauddin (Al-Qahhar). Sejauh ini, epitaf pada nisan tersebut merupakan satu-satunya sumber yang memberitakan tentang keberadaan seorang putri Sultan 'Alauddin, dan ia bernama Sitti Ula Syah. Tidak ada sumber apapun sebelumnya yang menyebutkan tentang keberadaan tokoh ini dan namanya.

Kedua, seorang ulama yang shalih lagi pemurah, syaikh (guru) yang cerdas, bernama Tun Kamil, yang wafat pada 930 hijriah (1524 masehi), masa Sultan Agung 'Ali Mughayat Syah bin Syamsu Syah memerintah.

Dan ketiga adalah tokoh dengan tugas yang baru pertama sekali ditemukan dan diketahui secara nyata. Disebutkan pada epitafnya bahwa Almarhum adalah Syaikhul 'Askar, yakni seorang ulama yang ditugaskan sebagai instruktur laskar (angkatan bersenjata) Kerajaan Aceh Darussalam. Ia bergelar Jamaluddin, dan wafat pada 951 hijriah (1544 masehi).

Berikut ini bunyi inskripsi pada nisan masing-masing tokoh tersebut:


Nisan Almarhumah Sitti Ula Syah
bint Sultan 'Alauddin
1. Almarhumah Sitti Ula Syah binti Sultan 'Alaiddin bin Sultan 'Ali

1.
أ. 1. الدنيا ساعة
2. هذا القبر
3. السعيدة السعدية
4. المسمية ست أولى
ب.1. شاه
ج. 1. فجعلها طاعة
2. بنت السلطان
3. علاء الدين بن
4. السلطان علي

Terjemahan:

A. 1. Dunia hanya sesaat
2. Inilah kubur
3. wanita yang berbahagia lagi sangat bahagia
4. yang bernama Sitti Ula
B. 1. Syah
C. 1. maka jadikanlah ia untuk berbuat taat
2. binti Sultan
3. 'Alaiddin bin
4. Sultan 'Ali


2. Syaikh Tun Kamil
Nisan Syaikh Tun Kamil.

2.
أ. 1. هذا القبر المصون السخي الشيخ العاقل المسمى تون كميل
2. توفي إلى رحمة الله يوم الجمعة التاسع من شهر ذي الحجة سنة ثلاثين
3. وتسعمائة من انتقال المصطفية عليه أفضل الصلوات والتحية

Terjemahan:

A. 1. Inilah kubur orang yang terjaga lagi pemurah, Syaikh (guru) yang cerdas, yang bernama Tun Kamil
2. diwafatkan ke rahmatu-Llah pada hari Jum'at sembilan (9) dari bulan Dzul Hijjah tahun tiga puluh
3. dan sembilan ratus (930) dari hijrah Al-Mushthafa ke atas beliau seutama-utama shalawat dan salam.







Nisan Syaikh 'Askar Jamaluddin.



3. Syaikhul 'Askar Jamaluddin
3. أ. 1. .... شيخ العسكر الملقب جمال الدين
2. ..في إلى رحمة الله يوم الثامن والعشرين من ربيع الآخر
3. سنة واحد وخمسين وتسعمائة من انتقال النبوية المصطفية عليه أفضل الصلوات

Terjemahan:

A. 1. .... Syaikhul 'Askar (Instruktur angkatan bersenjata) yang bergelar Jamaluddin
2. .[diwafatkan] ke ramatu-Llah pada hari dua puluh delapan (28) dari Rabi'ul Akhir
3. tahun sembilan ratus lima puluh satu (951) sejak hijrah Nabi Al-Mushthafa, ke atas beliau seutama-utama shalawat.





Bitai, 1 Dzul Hijjah 1437.
Oleh: Muzafir Zaman, dikutip dari group Mapesa.


Tim Mapesa Foto Bersama seusai penataan situs di bersejarah di gampong Pande, Kutaraja, Banda Aceh.

Nisan Almarhumah Sitti Ula Syah bint
Sultan 'Alauddin (Al-Qahar) bin Sultan 'Ali Mughayat Syah.

Proses pengangkatan nisan yang terbenam.

Posting Komentar

4 Komentar

Anita TMJ mengatakan…
Maju terus mapesa !!!
Ikhwan mengatakan…
ya Allah.. semoga rahmat Allah selalu tercurah kepada Kakanda, Adinda dan handai taulan semua yang terlibat dalam meusaraya ini...
Hanif Eljazuly mengatakan…
Tijoh ie mata lon...