Protes Jamaah Haji Aceh terhadap Perlakuan Belanda

Semacam pengantar untuk publikasi ini ingin disampaikan dua hal.

Pertama:
Sejak Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk, entah berapa juta ton kertas yang sudah habis digunakan untuk penulisan dan penyediaan buku ajar sejarah bangsa. Entah berapa jumlah uang negara yang sudah dihabiskan untuk pengajaran sejarah bangsa. Tentu sudah tidak terbayangkan lagi. Namun yang dituai dari itu semua, tampaknya, malah krisis rasa kebangsaan. Pelajaran sejarah bangsa yang katanya bertujuan untuk memperdalam rasa cinta kebangsaan seolah justru berperan dalam menipiskan rasa itu. Sejarah bangsa yang semula dimaksudkan untuk mengingatkan generasi penerus bangsa tentang pentingnya mengisi kemerdekaan yang telah diperjuangkan ujung-ujungnya ternyata malah digunakan untuk semacam tunggangan bagi pencapaian ambisi-ambisi individuil.

Di mana salahnya? Salah satu penyebabnya, barangkali, adalah karena sejarah bangsa yang ditulis dan diajarkan selama ini lebih merupakan sebuah kampanye ideologi untuk mendapatkan kekuasaan dan mempertahankannya daripada suatu penuturan fakta sebagaimana adanya untuk kemudian dapat diambil hikmah dan pelajaran. Lumrah, bila kemudian banyak sekali peristiwa penting dan menentukan, dengan tokoh-tokoh yang maha penting dan menentukan, luput dengan sendirinya dalam penulisan dan bahan ajar sejarah bangsa.

Maka, singkat cerita, yang ingin dikatakan ialah: ya, untuk kesatuan dan persatuan bangsa, tapi tidak dan sekali-kali tidak untuk nasionalisme yang tamak dan para penunggangnya.

Kedua:
Dokumen-dokumen yang dipublikasi oleh pemilik akun ini, berikut sekelumit informasi serta kajian seadanya, tidak ditujukan kelak menjadi bahan seminar atau acara-acara ber-budgetting lainnya, tidak pula untuk dikomersilkan dengan bagaimanapun cara. Semua yang dikirim pemilik akun ke grup di media sosial ini hanya ditujukan untuk semata-mata ditempelkan di kronologi grup ini. Semua orang berhak untuk mengutip, membagikan, menyunting dan memperbaikinya, dan bahkan semua orang boleh saja mengklaim apapun keterangan dan informasi yang dibagikan oleh pemilik akun ini sebagai miliknya, asalkan saja dapat dipertanggungjawabkan. Sama sekali tidak akan ada tuntutan apapun dari si pemilik akun di kemudian hari.

Yang sangat diharapkan, selain dari berbagai publikasi ini bermanfaat untuk memperluas dan mengembangkan pengetahuan sejarah kita, dan selain untuk mendorong aktifitas penelitian dan pengkajian sejarah, selain itu semua, yang sangat-sangat diharapkan agar para pembaca, sahabat-sahabat MAPESA bersedia untuk berbagi ke dalam grup ini berbagai informasi sejarah, terutama dokumen-dokumen autentik, baik yang dimiliki maupun yang diketahuinya, untuk kemudian dapat diketahui dan dipelajari bersama. Itulah saja harapan-harapan dari pemilik akun ini di mana hal itu telah menjadi alasan baginya untuk mempublikasikan apa saja yang telah dan akan dipublikasikan secara khusus dalam grup ini. Dan semua itu berangkat dari sebuah keinginan besar supaya ilmu pengetahuan dapat diraih semua orang secara cuma-cuma sebagaimana air dan udara.

Itulah saja untuk semacam pengantar. Berikut adalah teks surat yang dikirim oleh jamaah haji Aceh kepada Daulah ‘Utsmaniyyah dalam tahun-tahun setelah wafat Duli Hadarat yang mulia Sultan Manshur Syah (kiranya tahun 1289 H/1872 M juga), berisi pengaduan dan protes terhadap tindakan biadab dan semena-mena pihak konsul Belanda kepada mereka. dan seperti biasa pemilik akun tidak memberikan komentar, dan sangat yakin dengan kecermatan para pembaca dalam memahami isinya





[1] معروض جاكرلي دركه
[2] بعد الدعاء المفروض عقب النوافل والفروض متقدمين هذا العرض إلى دولتكم حجاج بيت الله الحرام من أهل آشي واردين إلى هذه الديار الحرمية في ظل السلطنة السنية فتعرض لنا في البحر بعد نزولنا في البابور
[3] قنصل الولنده وقواسنه (قراصنه؟) وأوقفنا من وقت إلى وقت كالأسرى وتعدى علينا وجبرنا وأخذ منا على كل نفر ثلاثة ريال فأولا امتنعنا من التسليم بداعي أننا ليس من رعاياه وليس له علينا طريق
[4] بوجه من الوجوه فقال لنا بأمر من الدولة العلية فحيث أننا من رعية الدولة العالية امتثلنا أمرها وكما هو محقق ومعلوم ومشهور أن أهل آشي ناس مستقلين وحاكمها منهم وهم من رعايا الدولة العلية وتبعيتها
[5] من قديم الزمان وناشرين بنادرها في بلدهم ومستظلة بها من كافة الأعداء ولم يكن للولنده وخلافه لهم طريق على أهل آشي بوجه من الوجوه ولم يمكنوا أحدا من الولنده وخلافه الإقامة ببلدهم ولو على
[6] سبيل التجارة بل أهل آشي باستظلالهم تحت ظل السلطنة السنية وبنفوسها حامين بلدهم من الأعداء وبفضل الله لم يتمكن منهم العدو بشيء من الاشياء ومهمات الدولة العلية التي عليها
[7] طرة الدولة العثمانية باقية إلى الآن عند أهل آشي سائر لهم كالحصن الحصين وقد صار الأعراض من أهل آشي إلى أعتاب الدولة العلية يطلب من يصل إلى آشي من رجال الدولة لأجل أن يستلمها
[8] فأوعدو بذلك لعلمهم أن أهل آشي وأرضهم للدولة العلية فحيث أن دولتكم ممن هو قائم بتشييد أركان الدولة العثمانية ودفع الضرر والتحفظ على رعاياها وممالكها ومن هو تحت ظل سلطنتها السنية
[9] تجاسرنا بعرض إلى دولتكم ليصير لنا من عدالتكم وعالي همتكم النصفة برد ما أخذها منا وبتعديه علينا ومنعه من التعرض لأهل آشي مخافة أن يصلوا أهل آشي في المستقبل ويعلموا أن أخذ الثلاثة
[10] الريال بأمر قنصل الولنده فتسير أمور لا خير فيها والأمر لحضرة من له الأمر أفندم

خواتم : هارون بن عبد الرحمن آشي ؛ حسين بن علاه آشي ؛ محمد بن محمد أمين آشي ؛ لنكوته بن مبودة آشي ؛ مرسا بن سلامة آشي ؛ دكرون بن جناه آشي ؛ علي بن لنكوته آشي ؛ يوسف بن قاضي ..(؟) ؛ سمانون بن لابد آشي ؛ مومنام بن شام آشي (؟)؛ توة بن جريم آشي ؛ أمين بن ميشان آشي ؛ محمد بن حاجات آشي ؛ محمد صالح آشي ؛ طاها بن هرون آشي ؛ داوود بن تندن آشي ؛ سليمان بن حلنا (؟)؛ شيخ محمد طيب آشي (؟)؛ حسين بن عمر الآشي ؛ ×× أحمد ×× م ؛ حمد صالح بن عبد الرؤف الآشي ؛ ×××  ؛ محمد سليمان بن على الآشي ؛ محمد أمين بن محمد سعيد الآشي 1286 ؛ عبد الرؤف بن حسن الآشي 1286 ؛ محمد بن حسين الآشي ؛ محمد بن حسين الآشي ؛ أبو بكر بن محمد الآشي 1289 ؛ عبد السلام بن جمال الدين ؛ سيد حمزة كرتشي ؛ خطيب كسي كرتشي ؛ ××× ؛ ملا عيسى كرتشي ؛ انس الم كرتشي ؛ معلم غنلا كرتشي 1289 ؛ معلم إبراهيم كرتشي ؛ معلم فبة كرتشي 1288 ؛ معلم بتو ابصار كرتشي 1289 ؛ معلم باتوا كرتشي ؛ عيسى خطيب كرتشي ؛ ××× ؛ ××× ؛ ××× ؛ معلم بكر ؛ ××× ؛ ×× مر ابن عوف الآشي (؟) ؛ ×× بن عبد الله الآشي ؛ يوسف بن محمد الآشي ؛ محمد بن سليمان ×× ؛ عبد الله بالحاج ؛ عثمان ابن ×× الآشي ؛ داوود بن الحاج ؛ عبد الله ×× ؛ موسى بن فوته الآشي ؛ محمد طاهر بن شيخ عبد الكريم ؛ حسن ×××

Terjemahan:

Laporan Jakarleri Darkoh (Persia; kurang lebih artinya “Pelayan Istana Tuan”)

Setelah doa yang wajib selesai amal-amal yang wajib dan sunat, kami yang mengajukan laporan ini kepada Tuan adalah jama’ah haji Baitullah Al-Haram dari rakyat Aceh di mana kami telah datang ke negeri-negeri tanah Al-Haram yang berada dalam naungan kesultanan yang bercahaya.

Maka ketika berada di laut dan setelah kami turun ke kapal, Konsul Belanda dan bajak lautnya (?) mehadang kami dan memberhentikan kami berkali-kali seolah-olah kami ini tawanannya. Ia juga bertindak kasar dan mencoba memungut paksa dari kami tiga riyal per-orang. Mula-mula, kami menolak untuk menyerahkannya dengan alasan kami bukanlah rakyat dia, dan dia tidak punya hak apapun terhadap kami. Tapi kemudian dia menjawab bahwa itu adalah perintah dari Daulah ‘Aliyyah. Lantaran kami adalah rakyat Daulah Al-‘Aliyyah, maka kami turuti perintah Daulah.

Sebagaimana pada kenyataannya, dan sudah dimaklumi oleh semua orang bahwa rakyat Aceh adalah orang-orang yang merdeka. Pemerintahnya dari mereka sendiri, dan mereka semua adalah rakyat dan vasal dari Daulah Al-‘Aliyyah sejak zaman yang lampau yang mana rakyat Aceh mengibarkan bendera-berdera Daulah Al-‘Aliyyah di negeri mereka serta bernaung di bawahnya dalam menghadapi musuh-musuh.

Tidak pernah Belanda dan kaki tangannya (kaki tangan itu kiranya adalah pribumi di bawah jajahan Belanda—penj.) punya hak apapun bentuknya terhadap rakyat Aceh, dan rakyat Aceh sama sekali tidak pernah mengizinkan seorang Belanda dan kaki tangannya pun tinggal di negeri mereka sekalipun untuk  berdagang.

Bahkan, rakyat Aceh dengan sebab bernaung di bawah naungan kesultanan yang bercahaya senantiasa menjaga negeri mereka dari seluruh musuhnya, dan dengan karunia Allah, musuh tidak pernah dapat menguasai apapun yang merupakan miliknya.

Sementara itu, tugas-tugas Daulah Al-‘Aliyyah yang di atasnya terdapat tanda tangan Daulah Al-‘Utsmaniyyah masih dalam pegangan rakyat Aceh sampai sekarang dan seolah menjadi benteng yang kokoh bagi mereka. Maka paparan ini datang ke Jenjang Tangga Daulah Utsmaniyyah meminta supaya seorang pejabat Daulah hendaknya sampai ke Aceh untuk menerima tugas-tugas tersebut sehingga dapat menjadi ancaman bagi Belanda sebab mereka tahu bahwa rakyat Aceh dan tanah air mereka adalah bagian dari Daulah Al-‘Aliyyah.

Oleh karena Tuan adalah salah seorang dari mereka yang mengokohkan pilar-pilar Daulah Al-‘Utsmaniyyah serta seorang yang menjaga dan menjauhkan marabahaya dari seluruh rakyat dan semua kerajaan serta seluruh pihak yang bernaung di bawah kesultanan yang bercahaya, maka kami beranikan diri untuk mengajukan laporan ini kepada Tuan agar kami mendapatkan dari keadilan dan ketinggian tekad Tuan suatu keadilan supaya dikembalikan apa yang telah diambilnya secara semena-mena dari kami sekaligus melarangnya mencerobohi rakyat Aceh. Pengeluaran larangan tersebut adalah untuk menjaga agar jangan sampai rakyat Aceh tahu di suatu hari kemudian bahwa pengambilan tiga Riyal itu adalah atas perintah Konsul Belanda, sehingga masalah akan berkembang kepada hal-hal yang tidak baik. Dan persoalan ini akhirnya terpulang kepada hadarat yang kepadanya dipulangkan persoalan. Afandim.

Oleh: Musafir Zaman
(Dikutip dari akun facebook Musafir Zaman di Group Mapesa)