Tokoh Pemersatu Islam di Asia Tenggara

Diterbangkan Badai Kecintaan

(Tulisan ini secara khusus saya persembahkan kepada Adinda saya yang terhormat dan mulia, Mizuar Mahdi Al-Asyi, diiringi ucapan salam sejahtera dan selamat menjelang kehidupan baru bersama Adinda saya yang sangat baik hati, Nurul Huda (Nurul Nurul Hd), dalam beberapa tempo waktu yang tidak lama lagi—semoga Allah ‘Azza wa Jalla menyampaikan segala rencana dan mengabulkan segala pinta. Amin!)
Komplek Makam Paduka Sultan 'Alauddin Manshur Syah, Bapperis, Banda Aceh.
 BEBERAPA tahun lalu, satu dua teman pernah menyesalkan lamanya penelitian yang saya lakukan. Saya mengerti, penyesalan itu sesungguhnya juga bangkit dari rasa belas kasihan mereka terhadap saya. 

Mereka tidak puas dengan artikel-artikel yang saya kirimkan ke surat kabar atau dengan makalah yang saya sampaikan di beberapa seminar, apalagi dengan bincang-bincang lepas di warung-warung kopi atau tempat lainnya. Mereka menuntut saya untuk menurunkan sebuah narasi utuh mengenai sejarah Samudra Pasai atau apa saja yang sudah saya teliti dalam wujud sebuah buku yang dapat dicetak dan diterbitkan!

Setiap kali tuntutan itu disampaikan, saya menjawab, saya belum siap. Saya tidak sepintar yang mereka kira, dan saya mohon maaf sekaligus mengucapkan terima kasih jika selama ini telah berbaik sangka. 

Saya katakan juga, saya tidak dapat memenuhi tuntutan itu sebelum saya selesai melihat seluruh atau sejumlah besar peninggalan sejarah yang kita pusakai, sejak dari zaman Samudra Pasai-nya sampai dengan abad-abad Aceh Darussalam, dan meraup seluruh kawasan mulai pesisir timur, utara, barat, lalu selatan Aceh sampai ke kawasan tengahnya. Mengarungi bentangan waktu dan ruang yang demikian luas, saya sudah memperkirakan bagaimana jadinya nasib saya!

Namun tidak ada yang perlu dikhawatirkan sebab itu adalah pilihan yang menenangkan dibanding apa yang saya lakukan pada waktu saya masih “pintar”, yakni ketika pada awalnya saya mencoba menulis sejarah Aceh—era Samudra Pasai atau Aceh Darussalam—hanya dengan cara menyulam tambal serta memberikan beberapa interpretasi ulang sesuai latar belakang keilmuan saya terhadap data-data yang terdapat dalam berbagai kepustakaan. Draf tulisan hasil masa “pintar” saya ini, akhirnya, saya gumpal-gumpal, lempar ke tong sampah dan saya pijak-pijak sambil mengatakan:

“Kebodohan! Ini adalah sesuatu kebodohan yang nyata! Saya menyatakan bertaubat serta berlindung kepada Allah dari perbuatan “pintar” yang demikian sekalipun lebih mudah dan hasilnya dapat dipanen dalam tempo singkat! Dan sekarang, saya akan memilih jalan yang teramat “bodoh”!”

Adalah sebuah kewajiban bagi saya untuk mengarungi bentangan maha luas itu, yang tujuannya bukan lain ialah untuk menemukan ruh, inti atau rukun—atau apapun namanya—dari sejarah Aceh, ruh yang sama sekali tidak akan ada Aceh dan sejarahnya tanpa dia. Atau, dengan kata lain adalah untuk menjawab pertanyaan paling kompleks dan mendasar dalam persoalan sejarah Aceh: apa sebenarnya semua ini?

Ruh itulah yang akan saya jadikan sebagai titik tolak sekaligus juga pemandu untuk menemukan dan menyingkap peristiwa-peristiwa di zaman lampau Aceh, serta untuk memahami pola rajutan yang terbentuk di antara sekian banyak peristiwa, sehingga di ujung-ujungnya kelak saya dapat mengatakan: Inilah sejarah Aceh. Inilah semua ini!

Jika begitu adanya, maka satu dua teman saya—yang sangat saya maklumi ketinggian kedudukan ilmiah mereka, dan juga kebaikan hati mereka—telah menyarankan supaya saya membuat sekat-sekat atau pembatasan-pembatasan tertentu bagi penelitian saya. Saran ini sepenuhnya tepat, dan demikianlah seharusnya yang saya ikuti dan lakukan. Namun kali ini saya akui saya benar-benar bodoh.

Untuk masalah pertama sebagaimana telah saya utarakan, saya merasa diri benar dan berhak mempertahankan pandangan saya, namun untuk masalah yang kedua ini, yakni mengenai pembuatan batasan-batasan penelitian agar kerja dapat lebih efektif, efisien dan terarah, saya akui kebodohan saya. Inilah barangkali takdir dan nasib yang tidak bisa saya ubah!

Saya sama sekali tidak kuasa membatasi sekalipun itulah yang seharusnya. Saya telah diterbangkan badai kecintaan! Dan, saya tidak pernah berhasil melawan atau menyelamatkan diri dari badai itu. 

Badai kecintaan yang dahsyat dan kejam; menghempaskan saya kesana-kemari, menerjang, menjungkalkan, menghantam, menguliti, membekukan, dan entah apa lagi. Singkatnya, sebuah pemandangan yang demikian kacau dan gila. Tapi tahukah Anda, apa yang menurut saya aneh di sini? Anehnya, saya merasa senang dan sangat bahagia. Huru-hara badai kecintaan itu terasa sebagai sebuah anugerah yang hampir menyamai anugerah kehidupan itu sendiri, bahkan saya tidak mampu membayangkan bagaimana merananya batin saya jika tanpa badai itu. Saya benar-benar menikmatinya sekalipun itu suatu kebodohan, dan saya tidak akan peduli. Bukankah cinta juga penyebab kebutaan, dan membuat seseorang jadi keras kepala?!

Bertahun sudah saya dalam badai kecintaan terhadap Samudra Pasai, dan itu masih berlanjut hingga kini. Tapi ketika saya terjatuh dalam badai kecintaan untuk Aceh Darussalam, maka untuk pertama kali saya berusaha melawan dan menyelamatkan diri. Adinda Mizuar Mahdi dan Sukarna Putra menjadi saksi bagaimana saya berusaha menyekat perhatian dan penelitian hanya untuk abad ke-16 Aceh Darussalam dan sepintas lalu untuk abad sebelumnya, abad ke-15. Sedangkan untuk tokoh sejarah yang menjadi fokus kajian ialah Sultan As-Salatin ‘Alauddin ‘Inayat Syah, tokoh utama dari abad ke-16 Aceh Darussalam. Mizuar dan Putra menyaksikan bagaimana saya mengabaikan peninggalan sejarah yang tidak bercirikan abad ke-16, melewatinya begitu saja sambil mengatakan, “Biarlah jadi urusan generasi masa depan! Kita fokus di abad ke-16 saja.”

Namun tiba-tiba, suatu hari, dan saya yakin itu karena Allah tidak rela dengan rencana saya. Sepertinya, saya memang sudah ditakdirkan untuk terus terjebak dalam badai kecintaan dan tidak pernah kuasa untuk melepaskan diri.

Suatu hari, kami—Sukarna Putra, Mizuar Mahdi, Syahrial Qadri, Dedy Satria dan saya—menemukan satu makam yang dapat saya katakan adalah temuan paling istimewa, paling menonjol di antara seluruh temuan selama musim penjelajahan kami dalam tahun 2014.

Selama berhari-hari, siang dan malam, kami tidak mampu melepaskan perbincangan dan ingatan kami dari tokoh pemilik makam di Pangoe yang baru saja kami temukan. Ia adalah Syaikh Muhammad, dan di antara berbagai gelar serta sifat yang disebutkan pada epitaf nisannya, satu di antaranya yang paling berkesan ialah gelar “Mishbahu hadzal balad min sa’iril aqthar” (lampu penerang negeri ini dari seluruh wilayahnya). Kami terkesima sementara badai kecintaan yang baru tampak mulai membentuk dirinya dan siap menghantam.

Dan benar saja, badai itu tak lama kemudian menerjang dengan seluruh kekuatannya. Saya.. Sebenarnya, tidak ada lagi saya! Badai itu demikian kejam! Ia membuat saya terpental dari batas abad ke-16 dan mencampakkan saya tanpa ampun ke abad ke-17 Aceh Darussalam, sesuatu yang sama sekali tidak pernah saya harapkan.

Sekurang-kurangnya, ada dua perkara yang dengannya badai kecintaan itu meninju saya untuk memilih memperpanjang masa sejarah yang menjadi objek perhatian dan penelitian. Satu di antara dua perkara itu belum dapat saya sampaikan untuk saat ini sebab persoalannya sungguh terlampau besar bagi saya dan merupakan penyebab utama dari terpentalnya saya ke abad ke 17, maafkanlah saya untuk ini, tapi lainnya saya kira sudah cukup mewakili.

Perkara itu ialah karena nisan Syaikh Muhammad ini memuat baris-baris sajak. Misalkan saja baris-baris sajak itu dari kumpulan yang sudah biasa saya lihat dan akrab, mungkin tidak akan badai cinta baru yang sedemikian kejam! Namun kali ini, baris-baris sajak itu adalah gubahan seorang tokoh paling terkemuka dan terkenal di abad ke-16. Ajaibnya lagi, nama penyair terpampang dengan terang pada batu nisan itu: Quthubuddin Al-Mufti. Ini sama sekali tidak lazim. Bait-bait sajak yang dipahatkan pada batu nisan di Aceh lumrahnya tidak menyebutkan nama penggubahnya. Tapi kali ini lain, dan kenyataan ini jelas akan beranting menjadi beberapa persoalan sejarah.

Siapa Quthubuddin Al-Mufti? Ia adalah Quthubuddin An-Nahrawali, dan sebagaimana identitas yang disebutkan pada batu nisan, ia adalah Mufti Makkah sekaligus sejarawan yang dikenal paling dekat dengan Dinasti Utsmaniyyah. Sultan Dinasti Utsmaniyyah dan tokoh-tokoh besarnya hanya memilih Syaikh Quthubuddin untuk membimbing mereka saat melaksanakan haji maupun umrah. Ia juga penulis sejarah Dinasti Utsmaniyyah dengan karyanya yang terkenal—tapi juga memuat beberapa hal kontroversial—Al-Barqul Yamani fil Fathil ‘Utsmaniy. An-Nahrawali wafat pada 990 H/1583 M , yakni bagian penghujung abad ke-16. Sekarang, saya yakin Pembaca sudah dapat melihat bagaimana badai kecintaan itu mulai menghisap saya ke tengah pusarannya. Saya berputar kuat antara Aceh, Makkah dan Istambul Utsmaniyyah. Ada apa sebenarnya ini?

Mencelupkan diri dalam persoalan sejarah “Aceh, Makkah dan Istambul”, yang sesungguhnya sudah tidak dapat dielakkan lagi disebabkan bait syair An-Nahrawali, sama artinya melemparkan diri ke abad ke-17, paling kurang sampai dengan akhir pemerintahan Sultanah Tajul ‘Alam Shafiyatuddin. Sebab, di atas panggung sejarah abad ke-17-lah, pertalian hubungan Aceh, Makkah dan Istambul mulai tampak sangat menonjol meskipun kiranya telah diawali sejak abad ke-16.

Apa daya, saya memang telah berada dalam pusaran badai kecintaan. Batas penelitian oleh karena itu bergeser sampai dengan akhir pemerintahan Sultanah Tajul ‘Alam. Apalagi, kecintaan untuk wanita bijak dan perkasa ini sudah mulai tumbuh sejak kami menemukan namanya terpahat pada batu nisan makam seorang “kejerun” di Gampong Kandang, Pidie. Dan akhirnya, kami pun harus berkeliling kembali ke seluruh penjuru wilayah Aceh Besar dan Banda Aceh untuk mendokumentasikan makam-makam yang diperkirakan dari abad ke-17. Saya ingat betapa seringnya Adinda Mizuar yang sangat penyabar mengingatkan saya, “Ini sudah kita kunjungi sebelumnya, tapi waktu itu yang kita cari nisan abad ke-16!”

Apa boleh buat, saya hanya bisa tersenyum dan sekali-kali tertawa lebar menanggapi ucapannya, walaupun terkadang dalam hati merasa malu juga karena saya merasa seperti orang yang menelan ludah sendiri! Tapi sekali, apa boleh buat, badai kecintaan terlampau perkasa dan ganas untuk dapat ditundukkan! Saya pasrah, tapi di banyak waktu juga dihantui rasa ketidakmampuan dan putus asa. Sementara itu, badai kecintaan hanya mungkin dikalahkan apabila saya telah mematikan segala apa yang saya lihat sebagai jati diri saya. Ia akan dapat dilenyapkan jika tubuh ini hanya memangku jiwa yang tak bermakna.

Dalam kegalauan itu, saya mengharapkan cahaya. Namun, malang, arus kegalauan dan kepanikan itu rupanya justru menghanyutkan saya ke suatu tempat lain di mana rasa ketidakmampuan akan diperdalam. 

Dalam kegalauan itu, saya telah dengan sengaja menguras dan membuang-buang tenaga untuk menyunting beberapa naskah surat dari abad ke-19 yang saya peroleh dari berbagai sumber.

Terus terang, di antara maksud akhir yang terpendam, adalah agar saya benar-benar lelah dan jenuh, yang dengan demikian tambah mudah bagi saya untuk meninggalkan semuanya dan melenyapkan badai kecintaan. 

Namun yang terjadi kemudian malah sebaliknya, sama sekali di luar harapan. Badai kecintaan yang baru justru tumbuh, bahkan kali ini dengan kekuatan penghancur yang lebih kuat dari sebelumnya. Penghancuran total terjadi. Seluruh agenda dan pemetaan kerja yang pernah saya susun agar kontribusi yang diberikan dalam penulisan sejarah Aceh suatu hari dapat dituangkan dalam wadah-wadah yang masing-masing memiliki ukuran dan takaran tertentu, kini berantakan diporak-porandakan badai kecintaan.

Badai kecintaan, sekarang, mengendalikan serta mendiktekan segala apa yang harus saya lakukan dan beri perhatian dalam berbagai hal dan peristiwa di rentang zaman dan ruang yang sangat luas itu. Tidak ada batas. Tidak ada sekat. Dan saya tidak peduli dengan apapun penilaian orang tentang hal ini! Biarlah badai kecintaan menerbangkan saya ke mana saja ia suka meski semakin dalamlah rasa ketidakmampuan dan kesendirian.

Badai kecintaan terakhir dan yang baru saja muncul itu datang dari abad ke-19. Dari seorang tokoh, yang sebagaimana para leluhurnya, ia telah merebut keseluruhan hati saya.

Dialah tokoh yang selama ini dicari dan didambakan untuk babak sejarah Aceh Darussalam yang dekat dengan hari ini. Dia hadir untuk zaman di mana berbagai perkembangan peristiwa baru secara berangsur telah mengubah wajah politik dunia. Dia hadir untuk zaman yang menyaksikan bagaimana negeri-negeri Islam di belahan Asia Tenggara kehilangan kemerdekaannya di tangan imperialisme Barat. Dia adalah satu-satunya tokoh puncak yang benar-benar menyadari bahwa berbagai perkembangan peristiwa baru yang mengecewakan itu pasti berakibat buruk yang berkepanjangan bagi nasib negeri-negeri Islam di Timur. Akibat buruk itu akan melampaui generasi demi generasi, dan akan sangat sukar dipulihkan.

Karena itu, ia melihat semua ini tidak mungkin dilawan tanpa kebersatuan. Maka kemudian ia memilih untuk tetap setia kepada Khalifah. Ia memperbaharui ikrar kesetiaannya, dan itu hanya untuk satu tujuan: supaya negeri-negeri Islam yang sudah dipecahbelahkan oleh imperialisme dapat kembali menyatukan kata dan kekuatan. Khilafah, dalam yakinnya, adalah kunci menuju persatuan yang dicita-citakan.

Tokoh inilah yang telah membangkitkan badai kecintaan yang meremukkan segala penalaran logis yang saya miliki menyangkut pembatasan-pembatasan penelitian dan pengkajian. Bahkan, tidak berlebihan rasanya kalau saya katakan bahwa sesungguhnya diri sayalah yang telah remuk.

Sekarang, saya tidak lagi memiliki agenda-agenda, tidak lagi membatas-batasi apa yang menjadi ruang lingkup gerak penelitian saya. Sekarang, sepanjang garis sejarah Aceh, mulai pangkal sampai ujungnya, seluruhnya sudah menjadi titik perhatian. Apa saja yang ada di hadapan saya, dan saya yakin perlu diungkapkan, akan saya coba ungkapkan dalam batas kemampuan saya dengan apapun cara. Jika suatu hari muncul tanya dari generasi anak-cucu, mengapa Anda terlihat seperti orang kalap, panik dan histeris dalam pengungkapan Anda? Dengan yakin saya akan menjawab, “Badai kecintaan, anakku! Badai kecintaan!”

Itulah satu-satunya alasan, yang sekiranya tidak dapat dimaklumi dan dimaafkan oleh generasi masa depan, pun itulah nasib saya dalam perjalanan hidup ini. Nasib, yang andai kata dipandang rendah, konyol atau apapun semisalnya oleh semua orang, bahkan oleh orang terdekat sekalipun, maka bagi saya itu adalah nasib yang amat disyukuri, anugerah yang mewajibkan saya di setiap waktu untuk memuji Maha Pemberinya. Dia Yang Maha Kuasa telah memberikan saya badai kecintaan!

Nisan Makam Paduka Sri Sultan Manshur Syah bin Jauharul ‘Alam Syah
Setelah menyunting beberapa naskah surat Sultan Manshur Syah dan menyiarkan di halaman grup ini tanpa dilengkapi dengan suatu kajian menyeluruh, kali ini saya akan menyiarkan hasil bacaan inskripsi pada nisan Sultan Manshur Syah juga dengan tanpa disertai suatu kajian. 

Makam Paduka Sultan 'Alauddin Manshur Syah,
Bapperis, Banda Aceh.
Suatu kajian yang lengkap memerlukan waktu yang relatif lebih lama, dan badai kecintaan yang menerbangkan saya tidak membiarkan saya berlama-lama menyimpan seorang diri informasi yang didapat. Ia menghamtam dan mendorong saya untuk menyiarkan sekalipun itu hanya baru berupa bahan baku dari sebuah kajian.

Menyiarkan hasil bacaan inskripsi pada Nisan Paduka Sri Sultan Manshur Syah merupakan suatu kehormatan istimewa bagi saya.

Pertama, 
dikarenakan inskripsi nisan ini, sejauh yang saya tahu, adalah yang pertama sekali dibaca dan disiarkan kepada publik setelah kurang lebih satu setengah abad nisan dan makam itu dibuat.

Kedua, 
proses lahirnya siaran ini semenjak dari pemotretan yang telah sangat baik dilakukan oleh Adinda-adinda saya Mizuar Mahdi dan M. Iqbal, selanjutnya pembacaan sampai dengan penyiarannya, ini semua bukan dalam rangkaian sebuah program yang didanai oleh pihak manapun, tidak diberikan honor oleh siapapun, dan hal itu juga tidak pernah diniatkan sama sekali. Ini murni kerja yang disebabkan oleh badai kecintaan, yang ternyata juga menimpa Adinda-adinda saya, dan ramai rekan-rekan lainnya.

Ketiga, 
menyiarkan inskripsi ini dalam hal keadaan saya hanya dikenal dalam kalangan terbatas memberikan saya suatu kenikmatan yang luar biasa, menyuguhkan saya rasa kemerdekaan yang tak terkira. Hemat saya, ini akan memungkinkan Pembaca memberikan masukan, kritikan dan sebagainya dengan bebas pula tanpa harus mempertimbangkan hal-hal yang tidak perlu dipertimbangkan diluar keilmiahan dan etika.

Itulah kehormatan yang saya kira adalah istimewa bagi saya.

Untuk nisan makam Sultan Manshur Syah dengan berbagai keunikan yang dimilikinya, yang tidak mungkin saya kupas tuntas untuk waktu sekarang ini, saya hanya dapat memberikan beberapa catatan:

Pertama, 
kaligrafi yang digunakan yang tampaknya telah terilhami oleh teknik penganyaman tikar atau semisalnya adalah sesuatu yang unik dan luar biasa.

Kedua, 
nisan sebelah kepala makam memuat ucapan shalawat yang panjang dan saya kira termasuk ucapan shalawat yang terpilih. Beberapa kalimat dalam shalawat tersebut dapat dikatakan berasal dari ucapan-ucapan shalawat Sayyidi Nuruddin Asy-Syuni dalam Mishbahul Zhulam, dan Sayyidi ‘Abdul Qadir Al-Jilani dalam Ash-Shalah Al-Kubra, yang kemudian dinukilkan oleh Syaikh Yusuf bin Isma’il An-Nabhaniy dalam Afdhalush Shalawat ‘ala Sayyidis Sadat. Ucapan shalawat itu saya kira sangat istimewa, dan sekaligus hendak menggambarkan betapa dekatnya pemilik makam dengan sosok teladan agung yang dicintainya, Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam.

Ketiga, 
satu baris kalimat dalam inskripsi pada batu nisan sebelah kaki makam, saya yakin merupakan penanggalan wafat Paduka Sri Sultan Manshur Syah dengan menggunakan Hisab Al-Jummal. Kalimat itu berbunyi:
حبب فتى السنية لك عسبان التي يفرع تاريخها من تلك الهجرة العالية الشريفة المحمدية


“Pemuda yang terlahir dari rahim wanita terhormat yang engkau sunting sangat menyukai pelepah-pelepah kurma yang sejarahnya bercabang dari hijrah Muhammad yang mulia dan tinggi itu.”

حبب فتى السنية لك عسبان

Kalimat ini memiliki huruf dan nilai sebagai berikut:

ح = 8 ، ب = 2 ، ب = 2 ، ف = 80 ، ت = 400 ، ي = 10 ، ا = 1 ، ل = 30 ، س = 60 ، ن =50 ، ي = 10 ، ت = 400 ، ل = 30 ، ك = 20 ، ع = 70 ، س = 60 ، ب = 2 ، ا = 1 ، ن = 50

Dan apabila dijumlahkan akan menghasilkan angka: 1286, dan inilah kiranya tarikh wafat Paduka Sri Sultan Manshur Syah bin Jauharul ‘Alam Syah. Dikonversikan kepada masehi menjadi: 1869.
(8+2+2+80+400+10+1+30+60+50+10+400+30+20+70+60+2+1+50 = 1286)

Keempat, 
beberapa bentuk kata dalam inskripsi benar-benar merupakan tantangan yang luar biasa dan sangat memperlambat proses pembacaan, dan juga masih perlu diperiksa kebenarannya. Lain dari itu, ucapan shalawat pada batu nisan sebelah kepala makam sesungguhnya tidak dapat diterjemahkan dengan mudah secara harfiah. Ucapan shalawat itu tidak hanya bernuansa alam kesufian tapi memang secara utuh keluar dari alam kesufian yang penuh cita rasa religius.



Jadi dengan demikian, bila di sini telah diterjemahkan secara harfiah, maka itu hakikatnya adalah suatu kekurangan dan kelemahan, dan diharapkan Pembaca tidak memahaminya semata-mata secara harfiah.

Demikian catatan yang dapat saya berikan untuk sementara ini, dan inilah bunyi inskripsi pada nisan Paduka Sri Sultan Manshur Syah Sultan Jauharul ‘Alam Syah:
  
أ
 .1اللهم صل على سيدنا محمد كنز الهداية عين العناية إمام الحضرة أمين الأمم 
 .2جبين المملكة باطش الملل والخلل سلطان الحقيقة برهان الطريقة في القيامة

 .3شمس الشريعة شفيع الأمة كاشف يوم القيامة و سراج عاصمه الله خادمه جبريل ورق الجنة من العالمين 

  .4وذا المعراج سفر مقامه سدرة المنتهى وقاب قوسين شمس مقصوده مومودة (؟) أبصى (أقصى؟) المقصودالمطلو بوملوية 

 .5شمس الضحى وبدر الدجى إمام التقى وصفي الأصفياء (سيـ؟) محمد المصطفى عليه صلوة الله

 .6قبلة العارفين وكعبة الطائفين جسورا(؟) له ومتجها (؟) به (؟) البشير والنذير والسراج المنير عليه السلام 

  .7(يا من بقذيف تعاب بشر العز فأمن بعد هذا الركون؟) يا مولانا العظيم جل هو

  .8بلادا ومُجَّه (كذا) بنا أمين يا أرحم الراحمين ويا ذى الجلال والإكرام اللهم لك الحمد
   
ب
 .1هذا القبر مولينا الملك المكرم المعظم المحل المنعم سيدنا سري فدوك سلطان علائ

  .2الدين منصور شاه ظل الله في رحب الدنيا والعالم خلد الله له سلطانه وملكه وعمّ فضله

  .3وشأنه إنك على كل شيء قدير واغفر اللهم له واعف عنه وقه عذاب القبر وهوله يا ربنا يا غفور

  .4وعذاب النار يا ربنا يا رحيم وهب له نعيم مقيم (كذا) [في] جنتك جنة النعيم ودارك دار السلام يا ذا الجلال والإكرام

  .5يا رحيم يا الله هون عليه وأعذ عذاب النار واجعل اللهم برحمتك الجنة مثواه ومسراءه يا أرحم الراحمين

  .6ما في الأرض من نفس ولا في السماء منفوس إلا وله المنون إنما توفون أجوركم

  .7يوم القيامة فمن زحزح عن النار وأدخل الجنة فقد فاز وما الحياة الدنيا إلا متاع الغرور حبب

  .8فتى السنية لك عسبان التي يفرع تاريخها من تلك الهجرة العالية الشريفة المحمدية على (صاحبها أفضل الصلاة والسلام)

Terjemahan:
A. 
  1. Ya Allah anugerahkanlah salawat (kasih sayang) kepada Penghulu kami Muhammad, [yang mana beliau adalah] pembendaharaan petunjuk(-Mu), mata air ‘inayah(-Mu), imam dalam majelis hadrat(-Mu), dan orang kepercayaan(-Mu) untuk seluruh umat,
  2. kening wajah Kerajaan(-Mu), pembasmi kebosanan (?) dan kerusakan, sultan hakikat (orang yang menguasai tentang hakikat-Mu), bukti nyata tarekat (jalan menuju-Mu) di hari kiamat,
  3. matahari syariat, pemberi syafaat bagi umat, penolong pada hari kiamat, dan ia merupakan lentera yang pemeliharanya adalah Allah, pelayannya adalah Jibril. Ia adalah lembaran surga di antara seru sekalian alam.
  4. pemilik mi’raj di mana maqamnya telah menyingkap Sidratul Muntaha, dan telah mendekat ke matahari tumpuan (tujuannya), [yaitu] sebuah akhir tujuan yang panas (?) dan carian yang berliku (?)
  5. [Beliaulah] matahari waktu naik sepenggalahan (dhuha), purnama di waktu malam, imam ketaqwaan, sang pilihan di antara orang-orang terpilih, [Penghulu kami?] Muhammad yang terpilih, ke atas beliau salawatullah (kasih sayang Allah)
  6. [beliaulah] kiblat orang-orang ‘arif, ka’bah orang-orang yang mengelilinginya, pergi kepadanya dan menghadap ke arahnya (?), [beliaulah] pembawa berita gembira dan peringatan, dan suluh yang bercahaya, ke atas beliau salam (kedamaian)
  7. wahai Tuhan yang dengan menimpakan berbagai kepayahan niscaya memberitakan kabar gembira tentang datangnya kemuliaan, maka aman tenteramkanlah setelah pencarian ketenangan ini wahai Pemilik kami Yang Maha Agung—Maha Agunglah Dia—
  8. seluruh negeri dan doronglah ia (majukan ia) bersama kami. Perkenankanlah [doa ini] wahai Yang Maha Pengasih dari seluruh pengasih dan wahai Yang Maha Memiliki keagungan dan kemurahan. Ya Allah bagi-Mu segala puji.

B. 
  1. Inilah kubur Tuan kami raja yang mulia lagi agung, yang mengesahkan dan memberikan anugerah, Penghulu kami Seri Paduka Sultan 'Alai
  2. Ad-din Manshur Syah, Naungan Allah di dunia dan alam yang luas, semoga Allah mengekalkan baginya kesultanan dan kerajaannya, dan meluaskan kebaikan
  3. dan perihalnya, dan sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. Dan ya Allah, ampunilah dia, maafkanlah dirinya dan peliharalah ia dari siksa kubur dan perkara menakutkan di dalamnya, wahai Tuhan kami, wahai Yang Maha Pengampun
  4. dan [peliharalah ia] dari siksa neraka, wahai Tuhan kami, wahai Yang Maha Pengasih, dan anugerahkanlah baginya kenikmatan yang abadi di dalam surga-Mu Jannatun Na’im, dan negeri-Mu Dar As-Salam (negeri kedamaian)
  5. wahai Yang Maha Pengasih, ya Allah, permudahkanlah untuknya [urusan di akhirat] dan lindungilah ia dari siksa neraka, dan jadikanlah ya Allah, dengan rahmat-Mu, surga sebagai tempat kembali dan [tumpuan] perjalanannya.
  6. tiada satu nyawa pun di bumi dan tiada satu pun yang diberikan nyawa di langit kecuali baginya kematian. Dan hanya 
  7. pada hari Kiamat sajalah diberikan dengan sempurna balasanmu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, sungguh, dia memperoleh kemenangan. Kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang memperdaya. Telah menyukai
  8. oleh si pemuda, [yang lahir dari] wanita terhormat yang kaumiliki (kaukawini), pelepah-pelepah kurma yang sejarahnya bercabang (terbit) dari hijrah Muhammad yang tinggi lagi mulia itu, ke atas [pemiliknya salawat dan salam].
Perhatikan huruf hamzah yang memeluk alif.

Pilinan huruf "ha".
Pilinan huruf "ha".
Pilinan huruf "ha".
Pilinan huruf "ha".
Harmonis.
Foto: Mizuar Mahdi Al-Asyi
Oleh: Musafir Zaman
(Dikutip dari akun facebook Musafir Zaman di Group Mapesa)