Arti Diri

Aceh/Dachem, Fernao Vaz Dourado, 1568, 
Arsip dan Perpustakaan Palacio de Liria (Valencia, Spanyol). 
Sumber: Koleksi Museum Negeri Aceh.
SAYA yakin Anda sudah tahu dan telah membacanya berulang kali, tapi saya ingin menyalinnya lagi di sini. Boleh jadi untuk menghibur diri sendiri atau untuk menyegarkan ingatan, tapi yang jelas, ia dapat mengingatkan apa sesungguhnya arti diri yang mulia dan bermartabat.

Ibrahim Alfian dalam bukunya yang monumental, Perang di Jalan Allah (1987), telah mengutip kalimat-kalimat dari mujahid Aceh dan Islam yang agung, Teungku Chik Muhammad Saman di Tiro (wafat 25 Januari 1891). Kalimat-kalimat itu sesungguhnya bernyawa, memiliki ruh yang dapat melalui berbagai rintangan masa, dan menghidupkan malah menyalakan kandil jiwa. Saat-saat terasa diri mulai dapat dilumpuhkan oleh kekecewaan, kegundahan, dan juga oleh berbagai godaan yang lambat laun pasti akan menghapus arti diri, saya harus kembali kepada kalimat-kalimat yang bernyawa itu, menyerapnya lagi, dan mengalirkannya ke seluruh nadi.

Ibrahim Alfian mengutip kalimat-kalimat Teungku Chik di Tiro yang mengimbau para pemimpin adat dan orang-orang Aceh supaya tidak takut akan kehebatan pasukan Belanda (156). Teungku Chik mengatakan:

“…Jangan terpedaya tuan-tuan dengan kuasa kafir ini dan banyak artnya dan simban (mapan, kuat) perkakasnya dan banyak serdadunya binnisbah (dibandingkan) dengan kuasa kami dan arta kami dan perkakas kami dan rakyat muslimin karena tiada kuasa dan tiada yang kaya dan tiada yang banyak tenteranya melainkan Allah Ta’ala yang Maha Besar dan tiada memilik munafaat dan mudharat melainkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tiada yang beri tauladan menang melainkan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang memiliki sekalian alam.”

Sungguh, baris-baris kalimat yang menyatakan, tanpa secuil pun keraguan dan kepura-puraan, tentang arti diri yang utuh, dan demikian utuh!

Arti diri itu juga demikian utuh dan cemerlangnya ketika Teungku Chik mengarahkan kalimat-kalimat yang bernyawa itu kepada musuh sekalipun. Alfian menyebutkan bahwa dalam surat tahun 1885, Teungku Chik di Tiro menyatakan lagi kepada pihak Belanda (158):

Cover buku:
Perang di Jalan Allah oleh Ibrahim Alfian
“…Jika boleh tuan-tuan masuk agama Islam dan menurut Syariat Nabi itulah terlebih baik atau tuan-tuan sejahtera dunia dengan tiada aib keji lari pontang-panting tiap-tiap sawah dan serokan dan hutan dan jalan.. dan yang terlebih jahat lagi itu siksa akhirat, dalam neraka jahannam dengan hukum Tuhan yang amat kuasa maka jika tuan-tuan masuk Islam sama-sama orang Aceh maka kami harap kepada Tuhan seru sekalian alam terpelihara daripada nyawong (nyawa) dan darah dan arta dan megah dan terpelihara daripada aib keji tangkap dibawa kemana-mana atau terbunuh dengan kehinaan..”

 Sungguh, kalimat-kalimat bernyawa yang menyadarkan akan arti diri..!


Oleh: Musafir Zaman
(Dikutip dari akun facebook MusafirZaman di Group Mapesa)