![]() |
Bros emas dari Kebudayaan Harappa (2600-1900 SM) Koleksi Museum National, Delhi |
BAHWA persoalan sejarah
kebudayaan itu memang pelik, kompleks dan sangat menyiksa itu memang nyata.
Apalagi, ketika jejak sejarah yang sedang dilacak itu tiba-tiba berhenti,
putus, lalu kita menjadi benar-benar bingung dan galau ke arah mana mesti
melanjutkan pelacakan. Kita berputar-putar di area yang sama berkali-kali hanya
untuk memastikan bahwa tidak ada yang luput atau terlupa untuk diamati.
Setelah dapat dipastikan
tidak ada sesuatu pun yang terlewatkan, dan sementara itu kita masih belum
dapat menentukan ke arah mana kita harus melanjutkan pelacakan, maka dalam
situasi seperti ini, seseorang sangat dituntut untuk benar-benar mampu
mengendalikan dirinya jika ia tidak ingin berakhir tragis di rumah sakit jiwa.
Saya beritahu Anda satu
hal lagi yang terkadang saya tidak tahu harus menamakannya apa; apakah itu
suatu kesialan nasib ataupun keberuntungan. Dalam pada waktu kita memeriksa
ulang sesuatu yang mungkin luput atau terlewatkan seperti tadi, terkadang kita
justru menjumpai jejak lain yang sama sekali tidak berhubungan dengan jejak
yang sedang dilacak. Jejak yang baru saja ditemukan itupun ternyata signifkan
dan tidak bisa diabaikan, namun ia juga terputus di situ dan berhenti.
Keadaan itu persis sama
halnya dengan saat kita sedang mengamati jejak beberapa kelompok manusia yang
pernah lewat di areal yang sama namun di antara mereka tidak saling berkaitan
satu sama lain, dan semua jejak berhenti di situ. Di satu sisi kita beruntung
karena mendapatkan sesuatu yang baru, namun di sisi lain, ia justru menambah
deretan persoalan yang menanti untuk dipecahkan, bukannya menjawab persoalaan
yang telah ada.
Dengan begitu, temuan
baru terkadang tampak seperti sebuah kesialan. Artinya, bukan yang sedang
dicari didapatkan, tapi malah yang lain lagi yang muncul dan menambah
persoalaan sehingga kita harus menambah tenaga untuk menelusurinya. Kalau sudah
dalam situasi demikian, saya seringnya tutup buku. Habis cerita! Dan semuanya
digadaikan pada waktu.
Satu persoalaan besar
dalam historiografi Aceh adalah mengenai masa lalu Aceh sebelum Islam. Untuk
waktu ini saya hanya baru dapat mengatakan bahwa semua peninggalan sejarah yang
kita saksikan adalah berasal dari zaman Islam, baik zaman Samudra Pasainya
maupun Zaman Aceh Darussalam dari sejak Lamuri-nya. Tidak ada satu pun produk
kebudayaan lokal yang kita warisi dari masa sebelum Islam. Semuanya adalah
berasal dari masa pencerahan Islam, bahkan dari zaman kegemilangannya di
kepulauan ini. Itu yang baru dapat saya katakan, dan yang saya maksud di sini
dan kiranya perlu digarisbawahi adalah produk kebudayaan lokal, bukan impor.
Satu hal yang sama sekali
tidak berbanding sejajar dengan kenyataan tersebut, malah paradoks, ialah
ketika kita justru menemukan kesan pengaruh kebudayaan pra-Islam—dalam hal ini
yang saya maksud ialah kebudayaan Hindu-budish (kebudayaan klasik)—pada
berbagai peninggalan sejarah dari zaman Islam, apakah itu dalam aspek arsitektur
seperti bangunan-bangunan masjid atau benteng yang memiliki gerbang (pintu) dan
jenjang tangga mirip bangunan puri, maupun aspek seni rupa seperti pada bentuk
dan ornamen batu nisan, begitu pula dengan berbagai artefak lainnya yang
diproduksi lewat keahlian dan pengalaman yang dimiliki semenjak sebelum Islam.
Jika ingin diperlebar, maka pola pertanian dan pengairan tampaknya juga
diwarisi dari masa sebelum Islam.
Ganjilnya, di Aceh,
jangankan dalam jumlah yang signifikan, satu potong benda pun yang benar-benar
dapat diyakini dari masa Hindu-Budha tidak pernah dijumpai. Zaman itu seumpama
sebuah catatan masa kelam yang ingin dihapus dan dilenyapkan tanpa sisa.
Semua jejak dengan
demikian berhenti di zaman Islam. Bahkan jangankan untuk melacak jejak sampai
ke masa Hindu-Budha (klasik), jejak yang tersisa untuk masa-masa saat proses
akulturasi dan asimilasi kebudayaan berlangsung pun tidak ditemukan. Kita hanya
menemukan masa puncak kegemilangan kebudayaan Islam, tanpa satu jawaban yang
pasti untuk masa sebelumnya. Abad ke-7 H/ke-13 M sampai awal abad ke-10 H/ke-16
M untuk Samudra Pasai (Syummuthrah) di bawah Daulah Shalihiyyah (Al-Malik
Ash-Shalih dan dinastinya), dan abad ke-9 H/ke-15 M (abad Lamuri) sampai
berakhir masa kesultanan, abad ke-13 H/ke-20, untuk Aceh Bandar Darussalam di
bawah kekuasaan berbagai dinasti.
Apakah masa Hindu-budish
itu memang benar-benar pernah wujud di wilayah ini?
![]() |
Relief dari Kebudayaan Islam Samudra Pasai (1200-1500 M). Foto: CISAH |
Dari sisi arkeologis,
dengan mengamati berbagai kesan yang ditampilkan oleh berbagai peninggalan
sejarah Islam di Aceh, dalam semua eranya, tidak mungkin untuk tidak menerima
selain bahwa masa itu telah benar-benar ada, dan kiranya sudah berakhir tuntas
di pertengahan abad ke-9 H/ke-15 dengan beralihnya seorang penguasa (bangsawan)
bernama Puja kepada Islam yang kemudian bejuluk Sri Khanatuddin—informasi
menyangkut Puja belum pernah disiarkan sebelumnya dan akan disiarkan secara
lebih lengkap di waktu mendatang.
Satu ornamen yang
ditemukan di situs peninggalan kebudayaan Harappa (diperkirakan berasal dari
2600-1900 SM) di lembah Indus, dan kini tersimpan di National Museum, Delhi,
mengingatkan saya kepada beberapa bentuk relief pada batu-batu nisan Samudra
Pasai yang ditemukan sudah sejak beberapa lama.
Gambar ornamen dari
Harappa itu baru-baru ini saja saya melihatnya dari sebuah situs di internet.
Ornamen itu berupa bros emas yang dibentuk seperti figur (sosok) 8. Mendadak
saya teringat kepada beberapa relief di batu nisan yang punya kemiripan besar
dengan ornamen tersebut, atau sekurang-kurangnya, muncul dari satu gagasan yang
sama.
![]() |
Relief dari Kebudayaan Islam Samudra Pasai (1200-1500 M). Foto: CISAH |
Sebelumnya, relief
ini—sebagaimana sekian banyak relief dan dekorasi lainnya pada batu nisan—telah
sengaja saya abaikan dan lupakan untuk sementara waktu karena tidak dapat
dipahami dan sulit melacak asal-usulnya. Namun demi melihat gambar ornamen
peninggalan Harappa ini, saya jadi bertambah yakin bahwa di masa lampau yang
telah mendahului kedatangan Islam telah ada banyak hal yang terhanyut dari anak
benua India, bahkan sesuatu yang berasal dari masa paling kunonya sekalipun,
dari lembah Indus (timur laut Pakistan).
Relief berbentuk figur 8
ini tampaknya telah berhulu di peradaban Harappa yang paling kuno (3300-1600
SM) lalu berenang menjelajah ruang dan waktu yang jaraknya demikian jauh untuk
hadir di zaman Islam pulau Sumatra (zaman Samudra Pasai), dan menjadi bagian
dari ekspresi kebudayaannya.
Dalam konteks ini tentu
sudah tidak perlu dijelaskan lagi tentang bagaimana Islam telah mengambil yang
terbaik dari berbagai kebudayaan dan peradaban umat manusia serta menolak yang
buruk, yang bertentangan dengan nilai-nilainya yang tinggi. Sudah dimaklumi
pula bagaimana Islam menegakkan ajaran-ajarannya yang universal, yang dalam
sekali waktu juga mengukuhkan keragaman yang selaras dengan seruannya. Dan dari
situlah kemudian dipahami bagaimana Islam dapat memiliki kebudayaan dan
peradaban terkaya dalam sejarah umat manusia, dan bagaimana ia mengangkut semua
karya cipta cemerlang yang dihasilkan manusia di sepanjang sejarah dalam
naungan dan pangkuannya.
![]() |
Relief dari Kebudayaan Islam Samudra Pasai (1200-1500 M). Foto: CISAH |
Relief tersebut terangkat
dari kedalaman sejarah yang amat jauh, barangkali, untuk mengungkapkan sebuah
makna simbolis. Untuk mengetahui makna simbolisnya, jelas saja, tindakan yang
lebih diperlukan daripada sekadar main tebak-tebakan, adalah dengan melanjutkan
pelacakan. Kebudayaan Harappa dalam kasus ini menjadi kunci penting bagi kerja
penyingkapan makna simbolis itu.
Dari situ, mungkin, dapat
dikenali pula berbagai produk kebudayaan dan peradaban lainnya yang telah
terbawa hanyut dari lembah Indus ke bagian utara pulau Sumatra sebelum masa
kedatangan Islam. Sehingga dengan demikian, teori Gujarat beserta hujah-hujah
yang dilontarkan Antropolog abad silam, C. Snouck Hurgronye, mengenai
kedatangan Islam, sudah dapat dilupakan. Kemiripan dalam beberapa aspek
kebudayaan antara Gujarat (anak benua India) dan Aceh, yang dijadikan oleh
Hurgronye sebagai hujah, sesungguhnya tidak mampu melestarikan teori itu, dan
semestinya sudah sejak lama dihapus, sebab kemiripan tersebut sama sekali tidak
meniscayakan kehadiran Islam di ujung Sumatera ini dari Gujarat.
Kemiripan itu lahir oleh
sebab adanya produk-produk peradaban yang lebih lampau dari masa kedatangan
Islam di wilayah ini, yang kemudian dirangkul kembali dalam masa Islam sesuai
manhajnya. Bukan kemiripan yang dibawa bulat-bulat dari Gujerat seperti
anggapan Hurgronye, di mana dengan anggapannya tersebut ia menjadikan
masyarakat Islam di wilayah ini sebagai penerima Islam kelas kedua atau kelas
pinggiran yang menerima Islam tidak langsung dari model aslinya di pusat Islam
(Jazirah Arab) tapi dari model Gujerat. Dan ini tentunya bukan saja anggapan
yang sangat keliru tapi juga menyesatkan dan jelas-jelas ingin melemahkan.
Oleh: Musafir Zaman
(Dikutip dari akun facebook
Musafir Zaman di Group Mapesa)