Aceh Bak Mata Donya

Gambar dipetik dari dalam buku H. M. Zainuddin, Tarich Atjeh dan Nusantara.


























Ya, benar. Saya memang meminjam judul sebuah karya monumental yang sudah sangat Anda kenal; “Aceh bak Mata Donya” (Catatan: buku ini telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Saudara Haekal Afifa dengan judul: Aceh di Mata Dunia, 2013). Anda juga telah mengenal baik penulisnya. Maka, saya perlu menjelaskan mengapa saya menggunakan judul ini.

Dalam pandangan saya, sebelum berbagai perhitungan lain tentunya, Penulis “Aceh bak Mata Donya” adalah filsuf politik paling cemerlang yang pernah dilahirkan Aceh sepanjang abad ke-20. Keluasan pandangan dan kedalaman pemikirannya terang saja menjadi sumber kekaguman, namun di atas itu semua sudah barangtentu karena ia adalah “laki-laki Aceh” dengan seluruh makna yang dikandungi frasa ini.

“Aceh bak Mata Donya” yang terbit dari penulis besar itu saya pahami sebagai “Aceh sebelum kelahiran Indonesia”. Lewat buku yang ditulis dengan Bahasa Aceh, ia berhasrat kuat untuk menuangkan kesadaran dunia akan kedudukan “Aceh sebelum kelahiran Indonesia” ke dalam kesadaran masyarakat Aceh di zamannya.

Mengapa?

Setelah berpuluh tahun Aceh berperang dengan Belanda, menguras segala sesuatu yang berharga miliknya, untuk mempertahankan satu-satunya kawasan Islam di Asia Tenggara yang merdeka dari penjajahan, tentu saja, dan sekali lagi, tentu saja, kelumpuhan mulai menjalar ke seluruh tubuhnya. Namun Aceh tidak pernah mati. Berbagai gerak untuk memulihkan diri tetap saja dilakukan oleh putra-putranya yang terbaik bagaimanapun cara, sesulit dan segelap apapun kondisi dan situasi. Keadaan memang telah memaksanya untuk mengambil apa saja yang mungkin didapatkan demi mempertahankan diri dari kefanaan pada paroh pertama abad ke-20. Maka berlakulah apa yang sudah berlaku.

Namun, seiring waktu dan dengan berbagai perkembangan peristiwa yang terjadi kemudian, “Aceh sebelum kelahiran Indonesia” relatif mulai surut dari ingatan rakyatya, apalagi dari generasi remaja dekade 80-an semisal saya. Penulis “Aceh bak Mata Donya” lantas datang untuk mengingatkan apa yang sudah terlihat kabur, menyegarkan apa yang sudah mulai layu, membangkitkan apa yang nyaris mati untuk selamanya. Dengan keras ia memberi peringatan: “Jangan sekali-kali kita keliru dalam menilai diri, dan adalah suatu petaka besar ketika kita terjebak untuk melupakan hakikat diri sendiri; beralih menjadi budak setelah hidup dalam kebebasan dan kemerdekaan dalam kurun waktu yang begitu lama.”

Keliru dalam menilai diri menjadi rintangan yang serius di jalan kebangkitan. Mengira diri sebagai pengikut dan pengekor bagi yang lain dapat mematikan rasa percaya pada diri sendiri, menghilangkan kemauan dan semangat untuk berada di depan, dan celakanya lagi ialah lahirnya suatu sikap kerelaan yang ganjil untuk berada di bawah dikte-dikte politis dan birokratif, yang setelah sekian lama dijalani terbukti tidak berhasil mengangkat derajat bangsa ini.

Bagaimanapun, bagi saya, Penulis “Aceh bak Mata Donya” adalah penggugah kesadaran, pengingat kembali akan kodrat Aceh sebagai pemanggul tanggung jawab dan amanah yang besar untuk kemajuan kawasan ini sebagaimana di masa lampau. Itulah kodratnya. Dan untuk itulah, Aceh memerlukan kebebasan yang luas untuk memulihkan diri, memperbaiki berbagai kerusakan akibat krisis-krisis yang dialaminya selama satu abad di belakang.

Lepas dari belenggu-belenggu baru yang menghalangi gerak langkah Aceh, baik itu belenggu-belenggu ideologis maupun politis, menjadi tuntutan yang diyakini, diteriakkan dan diperjuangkan oleh Penulis “Aceh Bak Mata Donya”. Ia tidak melihat jalan lain kecuali jalan yang telah dipilih dan ditempuhnya. Dan meskipun kini ia telah pergi untuk selamanya, tapi siapakah yang mampu memenjarakan dan mematikan pemikirannya yang terus hidup untuk ratusan tahun?!

Sekarang, musim memang telah berganti. Yang sudah berlaku begitulah berlaku, tidak dapat dikotak-katik lagi; takdir dari Yang Maha Kuasa. Tapi apakah Aceh akan mampu membuang kodratnya? Saya bisa saja melupakan dan menolak kodrat tersebut dan berubah sama sekali. Anda juga bisa begitu. Tapi apakah Aceh akan bisa seperti saya dan Anda di masa depannya yang panjang? Jika Aceh tidak memiliki saya dan Anda, ia akan memiliki putra-putranya yang lain, yang lebih baik, untuk menjalani kodratnya! Mengapa demikian? Karena masa lalu Aceh akan selalu mampu mengingatkan tentang kodrat itu, bahkan menghidupkan dan menyalakannya. Jika seseorang sanggup membakar dan memberanguskan masa lalu itu barulah barangkali semuanya mereda, dan dengan begitu Aceh telah pergi untuk selamanya.

Ya, masa lalu Aceh akan selalu mampu mengingatkan akan kodrat itu. Dan jika seseorang, siapa saja dia, berpikir mampu membakar dan menghapus masa lalu Aceh maka pikirannya mutlak keliru dan ia hanya berangan-angan. Lagi-lagi, mengapa? Ya, sekali lagi mengapa? Saya memastikan kepada Anda bahwa jawabannya ialah: karena masa lalu Aceh telah tertinggal, menetap dan tersimpan dengan baik dalam kesadaran Dunia; Aceh bak Mata Donya! Dengan satu atau lain cara, kesadaran itu akan menemukan pemiliknya, pemilik masa lalu itu. Dunia akan menginjeksikan kembali kesadaran itu ke dalam ruang pikir dan batin pemiliknya, dan takkan ada yang dapat menghentikan itu kecuali Tuhan Yang Maha Kuasa.

Sampai di sini, saya sudah sampai ke permulaan materi yang sesungguhnya hendak dipresentasikan. Yakni, tentang Aceh bak Mata Donya; melihat bagaimana dunia mengingat Aceh lewat satu buku litografi (cetak batu) yang diterbitkan di Singapura pada tahun 1891.

Teks-teks tentang masa lalu Aceh itu telah dirangkai dalam sebuah susunan bertajuk: “Hikayat pada Menyatakan Ceritra Tanah-tanah Melayu serta Pulau Perca dan Sebagainya”. Dokumen ini diperoleh dari website Acehbooks.org yang disediakan Universiteit Leiden. Litografi itu sendiri merupakan karangan dalam Bahasa Jawi yang sengaja diterbitkan untuk menjadi pelajaran tingkat kanak-kanak di Singapura, Pulau Pinang dan Melaka.

Pada sampul depan tertulis:

Halaman Sampul
“Bahwa inilah hikayat pada menyatakan ceritra tanah-tanah Melayu serta Pulau Perca dan sebagainya yang berguna di dalam tempat belajar kanak-kanak Melayu yang di dalam Singapura, Pulau Pinang dan Melaka yang telah dicapkan bagi kanak-kanak di sekolah dengan kehendak Tuan Inspector of Schools, S.S. (Straits Settlements) yakni Nazhir bagi sekalian sekolah-sekolah gubermen (government; pemerintah) yang di Negeri Singapura, Pulau Pinang dan Melaka. Tercetak di percetaan Kerajaan Singapura, 1891.”

Pada halaman terakhir juga dicantumkan nama penyunting buku ini: Sayyid Mahmud bin ‘Abdul Qadir Al-Hindiy.

Sesuatu yang mesti saya akui secara terus terang mulai dari sekarang ialah kenyataan bahwa sejak usia kanak-kanak sampai dengan remaja saya tidak pernah diajari sejarah Aceh seperti yang diajarkan dalam buku ini!

Sebaliknya, saya merasa aneh dan bertanya-tanya ketika dalam beberapa kali mengunjungi Semenanjung Melayu, saya memperoleh sambutan yang hangat serta penghormatan yang menurut saya tidak layak saya terima. Ada apa sebenarnya dengan saya dan keaasalan yang saya bawa: Aceh?

Mereka nampaknya sudah lebih mengenal Aceh daripada saya sendiri. Sebutan “Aceh”, bagi mereka, seperti mengandung makna magis tertentu yang sulit saya jangkau pada waktu itu. Saya dibawa berkeliling Negeri Kedah seharian oleh Bang Anwar yang tinggal di Pulau Pinang hanya karena sahabat saya, Teungku Rahmat, Lc, memperkenalkan saya kepadanya sebagai seorang asal Aceh yang ingin melihat Gunung Jerai dan situs-situs sejarah di Lembah Bujang, Kedah. Ia begitu bersemangat dan tidak habis-habisnya menceritakan tentang sejarah orang-orang Aceh di Pulau Pinang, padahal ia belum pernah sekalipun berkunjung ke Aceh.

Tampaknya, buku pelajaran kanak-kanak dan bacaan-bacaan lain semisal inilah yang telah turut memotivasi munculnya sikap penghormatan tersebut dari generasi ke generasi di Tanah Semenanjung Melayu.

Teks-teks mengenai Aceh dalam buku ini akan saya nukil nantinya, dan saya tidak akan memberikan komentar-komentar sebab yakin Anda telah memahami maksud saya mempresentasikan teks-teks tersebut di sini.
Dalam Fasal Kedua yang diberi judul dengan “Kedatangan Orang Putih”, diceritakan tentang Sultan Iskandar Muda dengan berbagai gerak pembebasan yang dilakukannya, terutama menyangkut pembebasan Melaka dari tangan Portugis.

Teks 1:

Halaman 1/1
(Hatta pada masa itu Negeri Malaka itupun terta’luqlah kepada Pertugis. Ada kira-kira lebih daripada seratus tiga puluh tahun lamanya. Lalu dibuatnya kota yang sangat kuat sebelah laut Bukit Melaka dan kota kecil sebelah hulu di Bukit Cina, dan di Bukit (Saint Jhon) tinggal juga sedikit bekas-bekasnya sampai pada masa ini, dan gerejanya yang besar itu telah dibangunkan di atas bukit yang ada berdiri sampai sekarang pun.




Syahdan, maka kota sudah berapa lama menahan perang daripada Hulanda (Belanda) dan Johor dan Aceh, karena pada tahun 1606, Sri Paduka Iskandar Muda naik kerajaan Negeri Aceh. Maka ia menjadi raja terlebih mashur namanya daripada sekalian raja-raja dalam Tanah Melayu. Dan ia mengikat kerajaannya sampai jadi begitu kuat sehingga mengalahkan Pertugis akhirnya. Maka pada tahun 1613, ia berlengkap mengalahkan Negeri Siak dan Negeri Johor. Pada tahun ini ia telah berkirim surat pada Raja Inggris bernama Raja King James dan ia menggelarkan dirinya sendiri Raja Segala Daerah Pulau Perca. Akhirnya, ia menjadi kuat sampai ia berani melanggar Negeri Melaka. Maka pada tahun 1615,
Halaman 1/2
ia berlayar dengan 500 kapal maka telah dikirakan orang ada pun sipahi yang mengikut bersama-sama dengan dia adalah 60000 orang. Dan ia berjumpa kapal Pertugis pada petang hari, kemudian mulai berperang sampai tengah malam. Karena sebelah menyebelah ada kapal terbakar, maka laut pun menjadi terang cuaca seperti siang hari.

Maka akhirnya 50 kapal Aceh telah tenggelam dan kalahlah Aceh lari di Bengkalis tetapi orang Pertugis tiada begitu berani menghambat orang Aceh. Maka pada tahun 1619 Iskandar Muda sudah menaklukkan Negeri Kedah dan Negeri Perak dan Negeri Deli yang ada lagi kotanya orang Pertugis. Sebab untungnya baik dalam hal ini lalu ia pun berani hendak pergi melawan Negeri Melaka. Maka tahun 1628, ia mengirim 250 kapal dan Laksamana pula menjadi kepala angkatan perang itu pada kuala. Maka Melaka pada masa itu dikepung oleh kapal-kapal Aceh maka hampir-hampir ta’luq kepadanya. Akhirnya Kapitan (Nunubertlu?) tiba-tiba datang dengan 30 buah kapal dari Eropah, mengepung kapal Aceh pula. Maka apabila Laksmana hendak indar terlepas akan dirinya tiadalah dapat, dan menyeranglah ia dengan sangat beraninya sehingga sebuah kapal dan seorang-orang pun tiada tertinggal lagi dan tewaslah ia. Lalu dikirim akan dia ke Negeri Goa (India) tetapi dalam antara jalan itu matilah ia seumpama kematian burung cendrawasih yang tiada pernah boleh hidup di Eropah.

Halaman 1/3
Syahdan, maka demikianlah perinya orang Aceh; dua kali telah alah tetapi Iskandar Muda belum lagi puas hatinya. Maka oleh sebab ia tiada boleh harap kekuatannya sendiri lalu ia pun berhubung ghali dengan 25 buah dan 12 kapal perang orang Hulanda. Maka dikepung oleh Hulanda dan Aceh seperti pada angkatan perang Laksamana dahulu, dan kemudian daripada setahun lamanya baharulah terta’luq orang Pertugis. Demikianlah Iskandar Muda dapat kesukaan hatinya, dan pada tahun ini maka Iskandar Muda pun mangkatlah. Maka adalah Negeri Aceh itu selama ia melawan dengan Pertugis di Melaka ia tinggal lagi dalam kuat. Tetapi kemudian daripada Melaka sudah ta’luq, maka kemuliaan dan kuasa dan kerajaan Aceh pun menjadi kurang seperti kerbau berlaga dengan harimau; kedua-duanya mati juga akhirnya—hal.16-18)

Fasal Ketiga, pada bagian yang menerangkan “Dari Hal Negeri Perak” disebutkan tentang tunduknya Negeri Perak di bawah Sultan Aceh, dan dinyatakan pula tentang ketatanegaraan yang diterapkan di Perak mengikuti ketatanegaraan Aceh.

Teks 2:

Halaman2
(Syahdan, tatkala Raja Manshur Syah naik di atas tahta kerajaan Negeri Aceh ada kira-kiranya pada tahun 1600, maka Raja Perak pun menghatarkan bunga emas, yaitu tanda ia tunduk kepada Sultan Aceh. Maka apabila Raja Perak tiada lagi menghantarkan bunga emas maka negeri itu jadi di bawah kuasa rajanya sendirilah—hal. 28)


 Teks 3:

Halaman3
(Syahdan, maka adalah Negeri Perak itu sebuah negeri yang dalam hitungan di antara negeri-negeri yang tua-tua juga di dalam tanah besar Melayu maka kisahnya telah dengan tiada berpecah-pecah sekurang-kurangnya 300 tahun lamanya. Maka daripada hari Bangsa Pertugis telah datang itu hingga pada penghabisan tahun 1700, negeri itu di bawah perintah Aceh tetapi tidak di bawah perintah lain-lain kerajaan. Maka pada tahun 1821 tatkala di dalam pergaduhan Siam, negeri itu dirampas oleh Kedah—hal. 29)

Teks 4:

Halaman4
(Bermula maka Negeri Perak itu sebab dahulu kalanya telah bercampur dengan Negeri Aceh maka bolehlah kita lihat sampai pada masa ini pun baik adat-adatnya atau darihal memilih raja. Sekalian perkara itu bersamaan menurut adat Raja Aceh juga dan bukannya seperti adat yang biasa berlaku dalam Negeri Selangor dan Trengganu dan sebagainya, karena orang-orang besar dalam negeri itu diatur dengan Orang Empat yaitu Orang Muda dipilih akan menjadi sultan, dan lagi Raja Bendahara akan diangkat jadi Raja Muda serta digelarnya Mangkubumi, maka di bawah Mangkubumi itu jadi Sri Paduka Mentri empat orang mentri di bawahnya, dan di bawahnya Sri Paduka Empat itu jadi Datuk Mentri Delapan. Maka adapun adat-adat yang tersebut di atas itu demikianlah seperti adat Negeri Aceh turun temurun daripada istiadat di Minangkabau—hal. 30)

Dalam Fasal Keempat yang diberi judul: “Dari Hal Pulau Perca”, setelah diuraikan tentang Pulau Perca dan berbagai keadaannya, berikut asal usul nama Sumatra dan tentang perjalanan Marco Polo secara singkat, maka disinggung mengenai kemajuan perdagangan dan kehebatan penguasa Aceh sebagaimana sebelumnya juga telah disinggung tentang lada hitam yang hanya dihasilkan di Aceh.

Teks 5:

Halaman 5/1
(Syahdan, maka perniagaan Pulau Perca itu terlalulah besarnya pada zaman dahulu kala, dan pada masa ini telah menjadi sangatlah kurangnya. Dan dahulu, orang-orang Hindu dan Arab biasa membawa dagangan dari sebelah negeri bawah angin ini. Lagi pun kuasa raja-rajanya pada zaman ini sudah menjadi lemah, 

Halaman 5/2
tetapi pada zaman dahulu Negeri Aceh itulah yang bermula-mula kali orang Pertugis telah dikalahkan oleh orang Aceh seperti telah tersebut di dalam fasal yang kedua itu—hal. 80-81)


Dalam Fasal Keempat juga juga dimuat sebuah bab yang secara khusus menerangan tentang Aceh serta tipikal manusianya, berikut perjuangan (Prang Sabil) yang sedang berlangsung dalam masa-masa buku ini disusun dan diterbitkan.

Teks 6:

Halaman 6/1
(Dari Hal Orang Aceh.

Maka adalah sifat warna kulit orang Aceh itu lebih hitam, dan lebih tinggi badannya daripada orang Melayu karena oleh sebab yang demikian itu telah difikirkan oleh orang-orang pandai sebab orang Aceh itu telah biasa bercampur-campur dengan orang-orang perniagaan dari negeri Keling dan lain-lain negeri sebelah utara. Maka orang Aceh itu daripada dahulu kalanya sampai sekarang ini pun suatu bangsa yang terlalu 
Halaman 6/2
 berani berperang sehingga ia mengalahkan Negeri Pedir dan Negeri Perak seperti yang tersebut dalam fasal yang kedua dan yang ketiga itu. Maka adapun dari hal peperangan antara orang Aceh dan orang Hulanda yang telah dimulai daripada bulan april 1973 itu belumlah lagi boleh menyatakan di sini dengan terangnya karena akan peperangan itu belumlah lagi selesai. Hanyalah kedua pihaknya pada masa ini sedang berperang dengan gembiranya, maka akan bangsa Inggris dan Melayu serta Cina sekaliannya itupun menjadi kesusahanlah akan hal perniagaannya di bandar itu—hal. 86-87)

Demikianlah teks-teks mengenai Aceh dan sejarahnya yang dimuat dalam buku pelajaran kanak-kanak di Singapura, Pulau Pinang dan Melaka yang terbit sebelum seratus tahun lalu. Buku itu, bagaimana pun sederhananya, tetap saja merupakan salah satu rekaman yang akan terus mengingatkan kodrat dan garis sejarah Aceh.

Pertanyaannya, sekarang, kapan kita akan mulai mengajari anak-anak kita, generasi masa depan kita, dengan materi-materi sejarah Aceh semisal yang disuguhkan buku ini atau yang lebih baik dari itu?


Oleh: Musafir Zaman
Dikutip dari akun facebook Musafir Zaman di group Mapesa