Bandar Aceh Darussalam dalam Ukiran Abad Kejayaan

"Bandar Aceh Darussalam dalam Ukiran Abad Kejayaan"
(Sebuah Latar Belakang untuk Film Dokumenter Garapan Sutradara Irfan M Nur)

Sebuah peta dari tahun 1833 menggambarkan jalur-jalur pelayaran di
Bandar Aceh Darussalam. Gambar via: Tuan 
Panglima Maharadja Sjahbandar.

Satu era kegemilangan terkadang dapat menutup atau menghalang-halangi pandangan ke era kegemilangan di belakangnya. Bukan karena era kegemilangan itu lebih hebat dan besar dari sebelumnya, tapi banyak faktor lain yang membuat era kegemilangan tersebut tampak seperti lebih terukir dalam ingatan dibanding era sebelumnya. Kendati era di belakang itu boleh jadi lebih gemilang dibanding era yang menutupinya.

Ingatan masyarakat Aceh hari ini tentang kegemilangan Aceh abad ke-17 Masehi sesungguhnya adalah sesuatu yang sudah sebagaimana layaknya. Bagaimana tidak, bila era itu memang diisi oleh tokoh-tokoh besar yang berita kemasyhuran mereka tidak saja beredar di dalam kawasan Asia Tenggara, tapi juga sampai ke kawasan yang jauh semisal Timur Tengah dan Eropa. Maka itu sudah sewajarnya. Namun, faktor penyebab era ini lebih diingat adalah juga karena informasi-informasi yang relatif lebih banyak tersedia dalam berbagai rupa sumber dibanding informasi-informasi tentang era sebelumnya, sekalipun itu terlepas dari sisi nilainya dalam takaran-takaran metodologi historis. Sumber-sumber informasi tersebut mulai dari naskah-naskah keilmuan yang ditulis dalam masa abad ke-17, laporan-laporan asing, hikayat-hikayat, sampai dengan cerita dari mulut ke mulut, yang semua itu kemudian diperkuat oleh tulisan-tulisan ilmiah kontemporer.

Lain itu, adalah karena masyarakat Aceh pertengahan abad ke-20, khususnya, memerlukan sejarah kegemilangan yang tujuannya lebih kepada hasrat mengembalikan rasa percaya diri masyarakat yang didera rasa kekalahan setelah sebuah perjuang panjang yang demikian heroik dan menakjubkan dunia. Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya barulah usaha mencari sejarah kegemilangan di masa silam itu dimulai. Tidak peduli apakah catatan-catatan dan riwayat-riwayat yang mengandungi sejarah itu bernilai ilmiah atau tidak, asalkan sejauh ia dapat menyusun dan memerikan kisah kegemilangan itu, maka ia adalah sumber yang dapat diterima.

Dalam kondisi demikian, sejarah Aceh abad ke-17 mencuat dan nyaris menutup masa-masa sejarah yang lain; tidak saja masa sejarah di belakangnya tapi juga masa sejarah di depannya. Sultan Iskandar Muda, Sultan Iskandar Tsani dan Sultanah Shafiyatuddin adalah nama-nama tokoh penguasa kuat yang paling banyak beredar dalam penuturan masyarakat.

Permulaan dekade 70-an abad ke-20, sebuah pertarungan ideologis, politis, militeris, baru saja pecah di Aceh. Teungku Hasan di Tiro memimpin pengikutnya untuk memerdekakan Aceh dari Negara Kesatuan Republik Indonesia serta mencapai kedaulatan. Rakyat Aceh diserukan untuk terlibat dalam perjuangan ini dalam apapun bentuk keterlibatan. Dan dalam pada itu, sejarah Aceh abad ke-17 merupakan sumber ilhaman bagi tekad perjuangan.

Sejarah Aceh abad ke-17 dan Sultan Iskandar Muda adalah materi ideologis-historis yang mengisi orasi-orasi yang menekankan serta menegaskan kepentingan hidup sebagai bangsa yang bebas merdeka dari seluruh belenggu neoimperialisme. Tidak ada podium di mana tidak disebutkan nama Sultan Iskandar Muda. Ia adalah roh inspiratif pertama dan utama dari abad ke gemilangan yang ingin ditiupkan ke dalam benak gerakan perjuangan.

Abad ke-17 Aceh Darussalam dengan demikian semakin mengental dalam nadi-nadi ingatan masyarakat Aceh abad ke-20. Abad yang lalu itu memang dapat dikatakan sebagai abad ingatan untuk abad ke-17 Aceh Darussalam. Abad ajakan untuk kembali ke masa kegemilangan Sultan Iskandar Muda.

Aceh abad ke-20 dengan kondisi-kondisinya yang sudah dimaklumi, dan dengan dua arus gerakan yang sama-sama ingin menciptakan eksistensi khusus bagi Aceh sekalipun dengan pola dan tingkat radikalisme yang berbeda telah sama-sama pula menitikberatkan perhatiannya kepada abad ke-17 Aceh Darussalam. Bagi kedua arus ini—yakni, arus sosiokulturalis A. Hasjmy dan arus politik-militeris Hasan di Tiro, yang kedua-duanya merupakan pecahan dari arus besar Islam politik Teungku Daud di Beureueih—sejarah abad ke-17 Aceh Darussalam dipandang sudah cukup memadai untuk dijadikan sebagai asas yang melegitimasikan eksistensi khusus Aceh.


Kompleks makam Baitur Rijal, Banda Aceh.
Sejarah abad sebelumnya, abad ke-16, hakikatnya hanya digunakan sebagai tambahan dan dukungan saja, tidak begitu prinsipiil. Sultan ‘Alauddin yang disebut-sebut sebagai Al-Kahhar dan dibanggakan dalam kenyataannya tidak sekuat posisi Sultan Iskandar Muda dalam ingatan masyarakat Aceh. Dua arus gerakan tadi pun tidak begitu mementingkannya baik dalam orasi-orasi kebudayaan maupun politik.

Semua orang bertanya tentang makam Sultan Iskandar Muda dan berkunjung ke makamnya. Sesingkat apapun kunjungan warga dari luar Banda Aceh, ia akan berusaha menyempatkan diri berkunjung ke Masjid Raya Baiturrahman dan makam Sultan Iskandar Muda. Bagaimana tidak, nama Sultan Iskandar Muda telah bersemayam lama dalam hatinya. Sedangan tentang makam Sultan ‘Alauddin ‘Inayat Syah yang berada di kompleks Baitur Rijal dan terletak tidak seberapa jauh dari Pendopo Gubernur jarang sekali mendapat kunjungan, bahkan jarang sekali pula orang yang menanyakannya!

Abad ke-16 Aceh Darussalam tidak memiliki tempat dalam ruang ingatan masyarakat Aceh sebagaimana abad ke-17 terutama disebabkan informasi mengenai abad ini sangat terbatas secara kuantitas dan juga sangat lemah dari sisi kualitas. Tidak ada naskah atau literatur sejarah yang berasal dari abad ini atau yang dikhususkan untuknya. Hikayat Aceh juga hanya mengisahkan secara singkat bagian sejarah dalam abad ini sebelum kemudian menumpahkan cerita teramat panjang mengenai Perkasa Alam dan lagi-lagi tentang abad ke-17. Begitu pula Bustanus Salatin yang sepintas lalu menuturkan tentang bagian abad ke-16 lalu menenggelam diri dalam abad ke-17 Sultan Iskandar Tsani dan Sultanah Shafiyatuddin. Sumber Barat atau sumber asing lainnya juga tidak menyajikan banyak informasi bernilai tentang abad ini. Secara umum kemudian dapat dikatakan, tidak ada sumber kepustakaan yang mengungkapkan abad ini sebagaimana layaknya. Sehingga, pada gilirannya, abad ini terkesan seperti tidak memiliki sejarah sepenting sejarah abad ke-17.

Apakah kesan demikian itu mengena kebenaran?

Ternyata sama sekali tidak. Arkeologi Islam, satu disiplin ilmu yang berurusan erat dengan sejarah Islam, ternyata tidak dapat mengakui kebenaran kesan itu. Dari sudut pandang arkeologi Islam, keadaan malah justru terbalik. Dibanding abad ke-16, abad ke-17 bukanlah apa-apa. Abad ke-16 malah tampak lebih besar dan gemilang daripada abad sesudahnya. Memang diakui, sumber literatur untuk abad ke-16 belum digenggam di tangan sampai saat ini, namun sumber artefaktualnya meledak berpencar menandakan zaman yang amat kemilau dalam berbagai aspek kehidupan. Sumber-sumber epigrafi juga mengungkapkan banyak hal tentang perkembangan masa yang maju ini. Dilihat dari sisi peninggalan sejarah bendawi maka dapat dikatakan tidak ada yang dapat mengalahkan kehebatan abad ke-16 Aceh Darussalam dalam berbagai sisi kehidupannya. Sama sekali, tidak ada!

Dari sumber-sumber yang baru dan belum dipergunakan inilah, sebuah film dokumenter akan diproduksikan. Sumber-sumber arkeologis dan epigrafis akan dijadikan sebagai dasar bagi satu alur narasi sejarah yang dituang dalam film dokumenter ini, di samping sumber-sumber arkeologis dan epigrafis itu pula yang akan menjadi bintang dan pemeran utamanya.

Film dokumenter ini digagas dan diproduksi untuk dua tujuan utama: pertama, memperkenal garis besar sejarah Aceh dalam abad ke-16 kepada masyarakat luas, dan kedua, memperkenalkan serta menambah wawasan dan pengetahuan masyarakat mengenai berbagai peninggalan sejarah dari abad ke-16 yang gemilang itu. Sementara tujuan paling ideal dari semua ini adalah untuk menjadikan abad ke-16 Aceh Darussalam sebagai cerminan dan sumber inspirasi bagi masyarakat Aceh sebagaimana abad ke-17.

Semoga Allah 'Azza wa Jalla menyampaikan maksud dan tujuan.


Oleh: Musafir Zaman
Dikutip dari akun facebook  Musafir Zaman digroup Mapesa.