Nisan kepala Almarhumah Paduka Sittul 'Alam binti Sultan Ahmad di kompleks pemakaman kesultanan Sumuthrah (Samudra Pasai) periode II, Kuta Krueng, Samudera, Aceh Utara. |
Kerinduan Abadi *)
Duka mendalam
terkadang membawa seseorang untuk menghindari tempat, pekerjaan, suasana atau
apa saja yang dapat mengingatkannya kepada seseorang yang ia sayangi, yang
teramat dia cintai, yang telah pergi meninggalkannya. Bukan karena telah
berkurang iman dan syukurnya. Bukan karena telah pupus sabar dan tabahnya.
Bukan karena tidak ridha dengan ketetapan dan takdir Yang Maha Tinggi. Tapi
semata-mata karena hati yang tidak mau kompromi.
Ketika duka
merebak mengisi seluruh relung hati dan dengan serta merta mensenyapkan
suara-suara logika, maka ia menyebabkan berbagai bentuk gejala fisiologis yang
tidak dapat dihindari dan terkadang berakibat fatal bagi kesehatan, malah,
nyawa orang yang dirundungnya. Sungguh teramat ajaiblah perkara hati. Ada
saat-saatnya ia menjadi “mufti” tunggal yang menentukan dan berwenang atas
apapun putusan.
Bilal bin Rabah
Radhiyallahu ‘Anhu, Muazzin Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, enggan
untuk mengumandangkan azan setelah Al-Habibul Mushthafa wafat, pulang menuju
Ar-Rafiqul A’la. Ia adalah muazzin beliau. Mengumandangkan azan setelah beliau
tiada lagi niscaya menghadirkan kepadanya sejuta kenangan tentang beliau. Dan
alangkah berat kenangan itu untuk ditanggung oleh hati yang merindukan.
Suatu kali,
Sayyidah Fathimah Az-Zahra’ Radhiyallah ‘Anha wa Ardhaha yang sedang
digundahkan oleh kerinduan akan Ayahandanya, Khairul khalqi ajma’in ‘Alaihi
Afdhalush Shalati wa Azkas Salam, ingin mendengarkan azan yang dikumandangkan
oleh Bilal Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ini. Orang-orang lalu
datang kepada Bilal menyampaikan keinginan tersebut. Tidak ada alasan bagi
Bilal untuk menolaknya walau bagaimanapun. Itu adalah permintaan puteri dari
orang yang sangat dikasihi dan dicintainya, Al-Habibul Mushtafa, ‘Alaihi
Afdhalush Shalati was Salam.
Tiba waktu
shalat, Bilal mulai mengumandangkan azan. Sayyidah Fathimah mendengarkan. Pada
saat Bilal mengucapkan “Allahu Akbar..Allahu Akbar”, bercucuranlah air mata
wanita yang berkilau dan cemerlang itu. Pada kalimat azan berikutnya, tangis
dan linangan air mata semakin meluap hebat, dadanya tambah disesaki kerinduan.
Dan ketika “Asyhadu Anna Muhammad…” dilantunkan oleh sang Muazzin, Sayyidah
Fathimah jatuh tidak sadarkan diri. Orang-orang di sekitarnya pada waktu itu
mengira Sayyidah Fathimah telah pergi meninggalkan mereka dan dunia yang fana
ini.
Segera mereka
pergi memberitahukan Bilal dan memintanya untuk menghentikan azan. Bilal
berhenti, dan tergopoh-gopoh menuju ke tempat Sayyidah Fathimah. Di sana,
rupanya, orang-orang sedang berusaha menyadarkan wanita yang mulia itu. Tidak
lama kemudian, ia pun siuman dan sadar kembali. Pada saat itulah Bilal memohon
kepada Sayyidah Fathimah supaya ia diberhentikan dari tugasnya sebagai Muazzin
Rasulullah ‘Alaihi Afdhalush Shalati was Sallam.
Mengingat
berbagai hal yang disukai dan diridhai oleh orang yang amat dicintai dan
dikasihi, sungguh mempertajam duka, membebankan kepada hati sesuatu yang tidak
akan pernah sanggup ia memikulnya, dan pada gilirannya, hati akan menurunkan
fatwa yang tidak dapat disangkal logika dan ditolak oleh apapun antibodi dalam
tubuh.
Duka dan
kerinduan itu pulalah yang telah mengilhami Sayyidah Fathimah Az-Zahra’
Radhiyallahu ‘Anha wa Ardhaha untuk menerbitkan ke alam terang satu ungkapan
yang hakikatnya begitu jauh tersembunyi di kedalaman hati. Sebuah sajak duka
cita kepada Ayahanda kemudian terucap bibir wanita yang mulia itu.
إذا
اشتد شوقي زرت قبرك باكيا
أنوح
وأشكو لا أراك مجاوبي
يا
ساكن القبر علمتنى البكا
وذكرك
أنساني جميع المصائب
فان
تك عني في التراب مغيبا
فما
كنت في القلب الحزين بغائب
Terjemahan:
Ketika rinduku
semakin berat,
aku datang ke
kuburmu sambil menangis
Berbicara dan
mengadu kepadamu
tapi engkau tak
sekalipun menjawab
Wahai penghuni
pusara ini
engkau telah
mengajarkan kepadaku duka
Ingatku akanmu
melupakanku berbagai derita
Sekalipun engkau
telah menghilang dari pandangan di dalam tanah
sana
Namun sungguh di
hati yang berduka ini
engkau takkan
pernah sekali-kali dapat hilang
Sayyidah Fathimah
Radhiyallahu ‘Anha wa Ardhaha kemudian berpulang ke Rahmatullah 95 hari setelah
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam wafat.
Bilal bin Rabah
Radhiyallahu ‘Anhu hidup sampai dengan masa khilafah ‘Umar bin Al-Khaththab
Radhiyallahu ‘Anhuma, dan telah mempersembahkan dirinya sejak masa khilafah Abu
Bakr Radhiyallahu ‘Anhu untuk semata-mata berjihad di Jalan Allah ‘Azza wa
Jalla.
Lantas mengapa
saya menceritakan ini kepada Anda? Atau, sebenarnya, kenapa saya masih hadir di
sini sementara saya telah bertekad untuk berhenti?
Makam
Almarhumah Paduka Sittul 'Alam binti Sultan Ahmad di kompleks pemakaman kesultanan Sumuthrah(Samudra Pasai) periode II, Kuta Krueng, Samudera, Aceh Utara. |
Lagi-lagi karena
saya tidak sanggup menahan diri ketika melihat syair-syair duka cita yang
diucapkan oleh Sayyidah Fathimah itu ternyata terpahat pada makam Paduka Situl
‘Alam binti Sultan Ahmad yang wafat pada 851 Hijriah di Sumuthrah (Samudra
Pasai). Makam tersebut terbuat dari marmer, dan berada di kompleks pemakaman
kesultanan Samudra Pasai periode II, di Kuta Krueng, Samudera, Aceh Utara.
Samudra Pasai
telah mengabadikan bait-bait duka cita ini pada salah satu makam peninggalan
sejarahnya.
Itu adalah
warisan bendawi sekaligus maknawi untuk generasi hari ini dan mendatang, dan
saya tidak mampu untuk menyembunyikannya.
Dan, demikianlah
Samudra Pasai. Ia bagian yang tidak pernah terpisahkan dari sejarah Islam;
sejarah umat yang satu di mana pun tempat dan kapan pun waktu.
Oleh: Musafir
Zaman
Dikutip dari akun
facebook Musafir Zaman di group Mapesa.