Ornamen Kehidupan di Lamlagang

Tarian Jiwa

Padat gerak, susul-menyusul, berirama, penuh daya dan vitalitas, dinamis, energik, lincah, semarak, gempar! Dan semuanya berlangsung dalam diam kecintaan dan hening kerinduan di ketika mengingat.
Jiwa menari mengekspresikan rasa yang memuncak, yang kian waktu semakin membumbung tinggi, lalu meluap kegirangan manakala sampai menyentuh langit-langit keabadian dan kemutlakan.
Maka kemudian, kematian bukanlah pengundang lara yang membingungkan. Kematian justru pembawa kabar suka cita untuk sebuah perjumpaan yang telah lama dinanti-nantikan.
Jiwa yang selama ini hidup hanya untuk dan karena mengingat telah menumbuhkan batang kerinduan yang besulung kuat dan bersulur daun-bunga, merambat naik menuju ketinggian, dan karena itulah kematian dipandang sebagai sebuah jawaban perkenan, ijabah, bagi munajat-munajat mahabbah yang dilbisikkan di keheningan malam dan dalam diam yang tidak menarik perhatian.
Zakhrafah
Demikianlah, kira-kira, refleksi yang mampu dijabarkan pikiran setelah berada di depan nisan kubur seorang wanita yang 'abidah, ahli ibadah, di kompleks makam peninggalan sejarah Aceh Darussalam di Gampong Lamlagang, Kecamatan Banda Raya, Kota Banda Aceh.
Mengamati aneka rupa dekorasi dan kaligrafi pada nisan tersebut, lama-lama terbetik juga pertanyaan: lantas di mana cerita tentang kematian?! Di mana bagian yang menakutkan itu?
Sama sekali tidak ada! Semuanya malah menuturkan tentang kehidupan, bahkan kehidupan yang berada jauh di atas jangkauan pengalaman empiris. Kehidupan, yang lebih jauh lagi dan secara tegas dapat dikatakan, tidak memberikan perhitungan apapun kepada kehidupan empiris bahkan bersikeras menentang dan menyepelekannya.

(هذا [ا]لقبر عبيدة الله خالق البرية (أم تن/تر تو؟
Hampir di setiap sisi kedua nisan kubur milik wanita yang saya baca epitafnya: "Hadzal qabru 'abidatu-Llah Khaliqil Bariyyah, [Ummu Tertua/Tun Tua?] (Inilah kubur 'abidah kepada Allah Maha Pencipta alam, [Ibu Tertua/Tun Tua?)", terdapat inskripsi bait-bait syair yang bermakna:
"Ketahuilah segala sesuatu selain Allah adalah semu
Dan segala kenikmatan niscaya lenyap
Kecuali syurga firdaus,
maka kenikmatannya kekal di sisi Allah."
Bait-bait tersebut berulang kali dipahatkan seakan-akan hendak memastikan bahwa kedalaman makna dan pesannya benar-benar sampai serta melekap pada jiwa setiap orang yang masih berada di atas permukaan bumi.
Muasal bait-bait ini adalah ucapan seorang penyair ulung pada masa Jahiliyyah bernama Lubaid bin Rabi'ah, yang kemudian memeluk Islam dan menjadi salah seorang sahabat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Dialah yang mengatakan dalam satu gubahan puisinya sebelum memeluk Islam: "Ketahuilah segala sesuatu selain Allah adalah semu. Dan segala kenikmatan niscaya lenyap".
Dalam hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Salam membenarkan ucapan penyair: "Ketahuilah segala sesuatu selain Allah adalah semu."


(1) ألا كل شيء ما خلا الله با
(2) طل وكل نعيم لا محالة زائل سوى الجنة
(3) الفردوس كان نعمها لا شك على الله غالب
Namun untuk penggalan "Dan segala kenikmatan niscaya lenyap", maka tidak sepenuhnya benar sebab kenikmatan dalam syurga Allah tidak akan pernah lenyap.
Para sejarawan, antara lain Ibnu Al-Atsir dalam Al-Kamil, mencatat peristiwa bagaimana 'Utsman bin 'Mazh'un Radhiyallahu 'anhu ditinju sebelah matanya sampai kehijauan oleh seorang Jahiliyyah yang kurang akal gara-gara dalam sebuah majlis kaum Quraisy, 'Utsman membenarkan penggalan yang diucapkan Lubaid "Ketahuilah segala sesuatu selain Allah adalah semu" dan mendustakan (menyalahkan) penggalan "Dan segala kenikmatan niscaya akan lenyap".
Sebab itu, dalam versi yang lain, bait-bait itu berbunyi:
"Ketahuilah segala sesuatu selain Allah adalah semu
Dan segala kenikmatan niscaya lenyap
Kecuali syurga firdaus, sungguh kenikmatannya abadi
Dan kematian pasti tiba waktunya ia datang."
Selain itu, satu kalimat lagi yang terpahat pada nisan 'Abidah ini, yang tampaknya menjadi penutup dari berbagai untaian kalimat diawali kalimat At-Tauhid pada nisan bagian kepala, ialah kalimat yang dimulai dengan sumpah:
والله، ألم تعلم أنك في الدنبا ضيف لا مخزن ، من حقق الدنيا لابد
 ...(مدرك؟)
والله، ألم تعلم أنك في الدنيا ضيف لا مخزن ، من حقق الدنيا لابد ...(مدرك؟)
"Demi Allah, tidakkah engkau tahu bahwasanya engkau tamu di dunia ini, bukan penimbun [harta kekayaan]. Barangsiapa yang telah menyelidiki dunia ini dalam-dalam, maka ia pasti.. [tahu kenyataan itu]."--bagian paling akhir dari kalimat tersebut tertinggal oleh pemahat, barangkali oleh sebab ketidakcukupan ruang, dan saya mengusulkan kata yang tertinggal itu adalah "mudrikun" dengan makna sebagaimana telah dituliskan.
Begitulah peringatan dan pesan para pendahulu negeri ini di masa lampau untuk dapat dicermati dan direnungkan oleh generasi penerusnya. Pesan yang sejatinya mengarahkan kita kepada hakikat kehidupan yang membangkitkan dan memerdekakan.

Bitai, 29 Rajab 1437 H.
Berikut ini adalah inskripsi dan foto dekorasi yang terdapat pada kedua batu nisan tersebut:
(أ)
(أ.أ) لا إله إلا الله [..؟] رسول الله
(أ.ب)
(1) لا إله إلا الله محمد رسول الله
(2) ألا كل شيء ما خلا الله باطل وكل نعيم لا محالة زائل
(3) ×××××(؟) عند الله باق
(أ.ج)
(1) ألا كل شيء ما خلا الله باطل
(2) وكل نعيم لا محالة زائل
(أ.د)
(1) ألا كل شيء ما خلا الله باطل
(2) وكل نعيم لا محالة زائل سوى الجنة (كذا) الفردوس
(3) الفردوس كان نعيمها لا شك عال (كذا) الله باق
(أ. هـ)
(1) ألا كل شيء ما خلا الله باطل
(2) وكل نعيم لا محالة زائل
(ب)
(ب. أ) هذا [ا]لقبر عبيدة الله خالق البرية (أم تن/تر تو؟)
(ب. ب)
(1) ألا كل شيء ما خلا الله با
(2) طل وكل نعيم لا محالة [زائل] سوى الجنة الفردوس
(3) الفردوس كان نعيمها لا شك عند الله غالب (؟)
(ب.ج)
(1) ألا كل شيء ما خلا الله
(2) باطل وكل نعيم لا محالة زائل
(ب.د)
(1) ألا كل شيء ما خلا الله با
(2) طل وكل نعيم لا محالة زائل سوى الجنة
(3) الفردوس كان نعمها لا شك على الله غالب
(ب.هـ)
(1) والله ألم تعلم أنك في

(2) الدنيا ضيف لا مخزن من حقق الدنيا لا بد




















Oleh: Musafir Zaman
Dikutip dari akun facebook Musafir Zaman di group Mapesa.

Posting Komentar

0 Komentar