12 Dzulhijjah, Samudra Pasai Berkabung

Komplek pemakaman kesultanan Samudra Pasai periode I, Beuringen, Samudera, Aceh Utara.

Yang Pergi di tengah-tengah Sukacita

12 Dzulhijjah 1437, genap 711 tahun kepulangannya ke Rahmatullah. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala senantiasa merahmatinya dengan rahmat yang luas.

Dia sendiri, hakikatnya, adalah satu bab dari beratus-ratus bab dalam riwayat panjang tanah air Islam di pulau-pulau India (Jaza'ir al-Hind). Tetapi sebagaimana kebanyakan bab lainnya, isi atau kandungan dalam bab ini telah pula dinyatakan punah dan raib sejak sekian lama.

Yang tersisa, hari ini, hanyalah data-data yang dapat dikatakan tidak lebih dari seukuran judul ('unwan) bagi sebuah bab. Namun demikian, data-data yang tidak lebih dari seukuran judul bab itu pun telah pula membeberkan garis-garis besar kandungan yang apabila suatu hari berhasil ditemukan serta dapat disusun kembali, sungguh akan terbit satu bab yang sangat tebal dari riwayat panjang tanah air Islam di pulau-pulau India ini.

Oleh karena data-data seukuran judul bab semisal itulah, sebenarnya, maka berjurai-jurai kegelisahan turun dan diam di alam pikir untuk sekian lama. Di manakah gerangan kandungan lengkap dari "judul bab" ini telah tersembunyi dan terkucil dari sorotan cahaya, merupakan pertayaan yang saban waktu mengalirkan getar-getar perih kegelisahan.

Data-data tersebut diperoleh dari epitaf nisannya yang berada di Gampong Beuringen, Kecamatan Samudera, Kabupaten Aceh Utara. Tanpa data-data tersebut, maka siapa pun, tampaknya, tidak akan pernah tahu tentang adanya sebuah bab atau bagian yang begitu besar nilainya bagi sejarah Islam di Asia Tenggara.
Pada batu nisan yang terbuat dari batu granit itu terpahat kalimat:

1. هذا قبر السعيد الشهيد 
2. المرحوم السلطان ابن 
3. السلطان الملك الظاهر 
4. شمس الدنيا والدين محمد بن الملك 
5. الصالح توفي ليلة الأحد 
6. ثاني عشر من شهر ذي الحجة 
7. سنة السادس والعشرين 
8. وسبعمائة من الهجرة النبوية

Terjemahan:

1. Inilah kubur orang yang berbahagia lagi syahid,
2. orang yang dirahmati (almarhum), sultan putera
3. sultan, Al-Malik Azh-Zhahir,
4. Syamsuddunya waddin (matahari dunia dan agama), Muhammad bin Al-Malik
5. Ash-Shalih. Wafat pada malam Ahad,
6. kedua belas dari bulan Zul Hijjah
7. tahun dua puluh enam
8. dan tujuh ratus dari hijrah Nabawiyyah (726 hijriah)

Nisan sultan Muhammad bin Sultan Malik Ash-shalih
Beuringen, Samudera, Aceh Utara.

Ia adalah Almarhum Sultan Al-Malik Azh-Zhahir Syamsuddunya wad din Muhammad bin Al-Malik Ash-Shalih.

Ya, dialah yang telah pergi 711 tahun silam manakala rakyatnya sedang bersukacita dalam suasana hari raya haji tahun 726 hijriah (1326 masehi). Ia menghembus nafas terakhirnya setelah meninggalkan fondasi kuat untuk sebuah negara yang dibangun bersama ayahandanya, Almarhum Sultan Al-Malik Ash-Shalih.

Gelar Al-Malik Azh-Zhahir (raja yang kuat), seperti yang disandangnya, telah pernah pula digunakan oleh Sultan Ruknuddin Baibras di Mesir. Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah telah menuturkan bagaimana Sultan tersebut menggantikan gelarnya dari "Al-Qahir", yang dianggap membawa pertanda buruk, menjadi Azh-Zhahir.

Sultan Muhammad bin Al-Malik Ash-Shalih, sejauh yang diketahui untuk waktu ini, adalah penguasa Islam di kepulauan India yang pertama sekali menggunakan gelar tersebut. Gelar ini kemudian menjadi popular dan terus digunakan pada mata uang sampai dengan abad ke-10 hijriah (ke-16) Aceh Darussalam.

Makam Sultan Muhammad Al-Malik Azh-Zhahir berdampingan dengan ayahnya Sultan Malik Ash-Shaih
Beuringen, Samudera, Aceh Utara.

Sementara gelar Syamsuddin atau Syamsuddunya waddin, menurut Al-Qalqasyandi dalam Shubh Al-A'sya adalah gelar yang lazim digunakan untuk tiap orang yang bernama Muhammad.
Data-data semisal ini secara tegas membuktikan adanya hubungan-hubungan yang kuat di antara berbagai pusat kekuatan politik Islam di dunia dalam masa itu. Kecuali itu, data-data tersebut juga menunjukkan bahwa sejarah Islam di Sumatra dan kepulauan India merupakan bagian yang tidak pernah dapat dipisahkan dari sejarah Islam yang memiliki perwatakan yang khas.

Sekitar sepuluh tahun lalu, suatu hal yang sesungguhnya telah benar-benar menghentakkan dan menggugah kesadaran untuk mencari hakikat perjalanan Islam di bagian dunia, yang oleh para ahli georgrafi Muslim Arab-Persia di abad-abad lampau disebut dengan pulau-pulau India (Jaza'ir Al-Hind), serta menolak untuk menerima apapun yang saya ketahui dari penuturan banyak orang--sekalipun dari mereka yang bergelar ilmuwan--sebelum dilakukan pemeriksaan yang teliti, adalah kalimat yang terpahat pada batu nisan kepala (sebelah utara) makam Sultan Al-Malik Azh-Zhahir Muhammad bin Al-Malik Ash-Shalih.

Kalimat itu merupakan dua ayat Al-Qur'an terpahat dengan terang, utuh, dan mustahil jika tidak terbaca oleh para ahli. Namun, pada kenyataannya, tidak ada seorang pun yang memberitahukan, mengetengahkan, atau malah memberikan pencahayaan yang kuat kepada ayat Al-Qur'an yang terpahat batu nisan tersebut. Timbul tanda tanya besar dalam benak saya, kenapa? Kenapa ayat ini tidak dikemukakan dalam berbagai perbincangan mengenai Samudra Pasai, padahal ia merupakan suatu penyampaian kuat untuk sebuah penjelasan yang rasional dari kehadiran kekuatan politik Islam di daratan bawah angin ini. Mengapa dari arah yang bertentangan, ramai orang justru selalu tertarik dan memiliki kecenderungan misterius untuk membesar-besarkan hal-hal yang bersifat irrasional dan mistis atau memberikan porsi yang besar terhadap dunia niaga ketika membicarakan tentang kekuatan politik Islam ini?

Nisan kaki Sultan Muhammad Al-Malik Azh-Zhahir
Beuringen, Samudera, Aceh Utara.

Ayat yang terpahat pada nisan kubur Almarhum Sultan Al-Malik Azh-Zhahir Muhammad--yang kemudian diketahui ternyata terpahat pula pada seluruh batu nisan marmer untuk tokoh-tokoh penting yang wafat dalam paruh pertama abad ke-9 hijriah (ke-15 masehi)--begitu meyakinkan saya bahwa watak perjalanan Islam di kepulauan ini tidaklah pernah berbeda dengan watak perjalanan Islam di mana pun tempat di dunia ini.

Ayat Al-Qur'an yang terpahat pada nisan tersebut adalah ayat 21-22 dari Surah At-Taubah (Bara'ah) yang berbunyi:

يُبَشِّرُهُمْ رَبُّهُم بِرَحْمَةٍ مِّنْهُ وَرِضْوَانٍ وَجَنَّاتٍ لَّهُمْ فِيهَا نَعِيمٌ مُّقِيمٌ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَداً إِنَّ اللّهَ عِندَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ

"Tuhan Menggembirakan mereka dengan memberikan rahmat, keridhaan dan syurga, mereka memperoleh kesenangan yang kekal di dalamnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Sungguh, di sisi Allah terdapat pahala yang besar."

Pada batu nisan, pahatan kedua ayat itu telah dimulai dengan Basmallah dan disudahi dengan shalawat kepada Rasulullah Shalla-Llahu 'alaihi wa Sallam. Lengkapnya sebagai berikut:

1. بسم الله الرحمن الرحيم
2. يبشرهم ربهم 
3. برحمة منه ورضوان 
4. وجنات لهم فيها 
5. نعيم مقيم خالدين 
6. فيها أبدا إن الله 
7. عنده أجر عظيم
8. وصلى الله على محمد وآله

Kedua ayat ini adalah kelanjutan dari ayat 20 sebelumnya yang berbunyi:


الَّذِينَ آمَنُواْ وَهَاجَرُواْ وَجَاهَدُواْ فِي سَبِيلِ اللّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ أَعْظَمُ دَرَجَةً عِندَ اللّهِ وَأُوْلَئِكَ هُمُ الْفَائِزُونَ

"Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah, dengan harta dan jiwa mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah. Mereka itulah orang-orang yang memperoleh kemenangan."

Nisan kepala Sultan Muhammad Al-Malik Azh-Zhahir
Beuringen, Samudera, Aceh Utara.

Itulah, kiranya, wajah asli dari para pembangun kekuatan politik Islam yang berpusat di wilayah pesisir utara Aceh hari ini. Mereka adalah orang-orang yang beriman, berhijrah dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa mereka. Mereka adalah orang-orang yang tinggi derajatnya di sisi Allah, dan merekalah orang-orang yang memperoleh kemenangan.

Salah satu di antara mereka, dan yang terutama, adalah Almarhum Sultan Al-Malik Azh-Zhahir Muhammad bin Al-Malik Ash-Shalih, yang wafat pada hari di mana kaum Muslimin tengah dalam suasana sukacita hari raya 'Idul Adha tahun 726 hijriah.

Untuk mengenang Almarhum peletak fondasi kekuatan Islam di Sumatra bahkan di seluruh kepulauan India ini, serta untuk mendiamkan rintihan-rintihan akibat berbagai kondisi yang menggundahkan, maka saya mempersembahkan beberapa bait sajak yang digubah oleh pribadi penanggung kegundahan yang terlebih besar, Muhammad Iqbal--Rahimahullah. Bait-bait ini terdapat dalam Syikva, javab-i-syikva yang ditulis oleh Iqbal dan telah diterjemahkan dalam bahasa Arab, Syakwa wa Jawab Asy-Syakwa atau Hadits Ar-Ruh, dan saya kemudian mencoba "melalaikan" diri dengan menerjemahkannya demikian:

Syikva (Keluhan)

keluhanku atau bisikan kalbuku dalam kegelapan yang gulita ini

dan bintang-bintang malamku menjengukku atau memendam dengki

telah kulalui masa hidupku yang lampau

seolah zaman telah memutuskan jalan kemarin dari esokku

dan burung-burung berkicau di atas dahan-dahannya

menangisi padang rumput subur dengan rintihan yang tiada berhenti

sungguh lama sudah kegundahanku dan telah panjang pula kidungnya

dan air mataku tak ubahnya rintik hujan di ranting berembun

sampai kapan aku harus diam seolah-olah diriku ini bunga bisu

yang tidak pernah dianugerahkan kecakapan untuk bernyanyi

gitarku telah dipenuhi rintihan-rintihan batin

sungguh yang tertahan itu harus ditumpahkan

Bulbul isi hatiku telah naik ke bibirku

untuk menerangkan pikiran dan ungkapanku

aku, sungguh tidak pernah melampaui rasa kebercukupun dan rela

akan tetapi ini adalah sebuah kisah dari ragam kesedihan

kuadukan sedangkan mulutku tersumbat tanah

namun tetap kuadukan kemalangan agama bagi pemeluknya

mengadu kepada-Mu, ya Allah, hati yang tidak hidup

kecuali untuk memuji keagungan-Mu di alam semesta

sungguh alam ini sebelum kehadiran kami bagai taman-taman

dan bunga-bunga yang tidak tercium baunya

dan bunga dalam kelopak yang tidak dikenali harumnya

tanpa angin sepoi sungguh bunga tidak diharapkan

bahkan hari-hari sebelum kehadiran kami

seumpama malam bagi penganiaya dan orang yang dianiaya

manakala Muhammad datang, padang rumput itu pun menjadi indah

pohon-pohon kering di dalam taman pun menghijau kembali

Firdaus menebarkan kandungan keharuman dan terlihat dunia segar dan lembut kembali

siapakah yang telah menyebut nama Dzat-Mu sebelum kami

siapakah yang telah memanggil Yang Maha Satu lagi Maha Perkasa

mereka menyembah berhala-berhala terbuat dari batu

mensucikan batu-batu dan pohon-pohon

menyembah planet-planet dan bintang-bintang karena kebodohan

tidak pernah mereka capai dari petunjuknya apapun cahaya

adakah penyeru yang meriakkan tauhid sebelum kami

dan menunjuki bangsa-bangsa dan seluruh mata kepada-Mu

kami mempersembahkan dada kami untuk pedang-pedang

tak pernah gentar sekalipun menghadapi lalim dan tiran

di Yunani ada filsafat, di Romawi ada sekolah dan di Sasania ada raja

tiada guna bagi mereka semua kekuatan dan kekayaan harta

atau ilmu pengetahuan dan kearifan

di seluruh negeri ada Samiri yang menipu

cukuplah bagi Yahudi beban syaitan

kebijaksanaan pertama telah menjadi keberhalaan

di Cina, di India dan di Turan

Maka kamilah yang dengan wahyu-Mu menerangkan jalan petunjuk dan tanda-tanda iman

Oleh: Musafir Zaman.
Dikutip dari akun facebook di group Mapesa.

Posting Komentar

0 Komentar