Yang dinantikan setelah pemberitahuan
atau tanda isyarat semacam ini adalah lahirnya suatu kerja yang sungguh-sungguh
untuk mencari jawaban ilmiah tentang bagaimana usaha, peran dan partisipasi
para pendahulu dalam pengembangan berbagai ilmu pengetahuan, mulai dari tahap
menuntut dan belajar (tahshil) sampai ke tahap mengajarkan (tadris),
meriwayatkan (tahdits), menyelidiki dan meneliti (tahqiq/bahts), menyusun dan
menuliskan (ta'lif/kitabah), serta menerjemahkan (tarjamah). Hasil kerja yang
sungguh-sungguh itu, tentu, akan menjadi sumbangan ilmu pengetahuan yang
teramat berguna untuk menggantikan "sampah-sampah" berlabel sejarah
yang telah sekian lama mengotori ruang akal generasi hari ini serta menghambat
gerak pikirnya.
Zabid adalah satu kota terkenal di
Yaman, dibangun pada masa Khalifah Al-Ma'mun, dan merupakan tempat asal
sejumlah ulama. Pembangunannya dilakukan oleh Muhammad bin Ziyad pada 204
hijriah (819 masehi) setelah Al-Ma'mun mengangkatnya sebagai Amir (gubernur) di
Yaman. Demikian, antara lain, disebutkan Yaqut Al-Hamawi (wafat 626 H/1228 M)
dalam Mu'jamnya.
Kota Zabid berada di daerah pertanian
yang subur di barat dataran tinggi Yaman, dan berjarak lebih kurang 20 km ke
sebelah timur dari tepi Laut Merah. Jauh dari Shan'a yang terletak di sebelah
barat lautnya sekitar 200 km, dan dari Aden yang berada di sebelah barat
dayanya kurang lebih 300 km.
Kota ini dikelilingi benteng tebal
yang terus diperbaharui dari waktu ke waktu, dan sampai hari ini, masih
terlihat sisa benteng yang dibangun pada masa Dinasti Al-Aiyyubiah di abad ke-6
hijriah. Benteng tersebut memiliki empat gerbang yang masih kokoh sampai
sekarang. Lain itu, Masjid Al-Asya'ir (mengacu kepada Abu Musa
Al-Asy'ariy--Radhiya-Llahu 'anhu) yang dibangun pada tahun ke-8 hijriah juga
merupakan bangunan peninggalan sejarah yang kemudian telah dialihfungsikan
menjadi perguruan tinggi di Yaman. Begitu pula masjid yang dibangun pada masa
Muhammad bin Ziyad merupakan masjid besar yang masih dapat disaksikan sampai
dengan waktu ini.
Selain terkenal sebagai salah satu kota bersejarah di Yaman dan kampung halaman dari Qabilah Al-Asy'ar, Zabid juga terkenal sebagai pusat ilmu pengetahuan yang terkemuka. Al-Fairuzabadiy, ahli bahasa paling terkenal, pengarang Al-Qamus, telah wafat di Zabid pada 817 hijriah. Ibnu Al-Muqriy Asy-Syafi'iy, penyusun karya fenomenal "'Unwan Asy-Syaraf Al-Wafi fi 'Ilmi Al-Fiqh wa At-Tarikh wa An-Nahw wa Al-'Arudh wa Al-Qawafiy", yang hidup antara 754-837 hijriah, menjadi faqih terkemuka setelah belajar di Zabid pada tuan gurunya, Al-Iman Jamaluddin Ar-Rimiy (wafat 792 hijriah). Ibnu Ad-Daiba' Az-Zabidiy, sejarawan kesohor yang wafat pada 944 hijriah, juga berasal dari Zabid. Kemudian, As-Sayyid Murtadha Az-Zabidiy, penyusun Mukhtashar Al-Bukhari, Tajul 'Arus dan karya-karya penting lainnya, yang wafat di Mesir pada 1205 hijriah, adalah seorang ulama masyhur yang mempopulerkan dirinya berasal dari Zabid, kendati sesungguhnya ia berasal dari India.
Selain terkenal sebagai salah satu kota bersejarah di Yaman dan kampung halaman dari Qabilah Al-Asy'ar, Zabid juga terkenal sebagai pusat ilmu pengetahuan yang terkemuka. Al-Fairuzabadiy, ahli bahasa paling terkenal, pengarang Al-Qamus, telah wafat di Zabid pada 817 hijriah. Ibnu Al-Muqriy Asy-Syafi'iy, penyusun karya fenomenal "'Unwan Asy-Syaraf Al-Wafi fi 'Ilmi Al-Fiqh wa At-Tarikh wa An-Nahw wa Al-'Arudh wa Al-Qawafiy", yang hidup antara 754-837 hijriah, menjadi faqih terkemuka setelah belajar di Zabid pada tuan gurunya, Al-Iman Jamaluddin Ar-Rimiy (wafat 792 hijriah). Ibnu Ad-Daiba' Az-Zabidiy, sejarawan kesohor yang wafat pada 944 hijriah, juga berasal dari Zabid. Kemudian, As-Sayyid Murtadha Az-Zabidiy, penyusun Mukhtashar Al-Bukhari, Tajul 'Arus dan karya-karya penting lainnya, yang wafat di Mesir pada 1205 hijriah, adalah seorang ulama masyhur yang mempopulerkan dirinya berasal dari Zabid, kendati sesungguhnya ia berasal dari India.
Sebagai kota bersejarah dan pusat ilmu
pengetahuan, Zabid menjadi tujuan dari sejumlah besar ulama dan penuntut ilmu
dari berbagai kawasan, tidak terkecuali dari kawasan kepulauan India (Jaza'ir
Al-Hind) yang menuturkan Bahasa Jawi.
Sebelum dilanjutkan, perlu juga
kiranya diberikan sedikit catatan tentang Bahasa Jawi dan penuturnya, supaya tambah
tegas maksud "Jawi" yang dibicarakan di sini.
Bahasa Jawi adalah bahasa yang
dibangsakan kepada bahasa Pasai atau Syummuthrah (Ibnu Baththutah: Sumuthrah;
tradisi lisan: Samudra Pasai) sebagaimana dinyatakan, antara lain, oleh
Nurudddin Ar-Raniriy dan 'Abdur Rauf Al-Fanshuriy dalam karya-karya mereka.
Para penutur Bahasa Jawi, di mana pun
negerinya di kepulauan ini, telah lama sekali dikenal di dunia luar sebagai
orang Jawi (Al-Jawiy/Al-Jawiyyun). Lain dengan istilah "orang Melayu"
dengan "Bahasa Melayu"-nya, apalagi "orang Indonesia"
dengan "Bahasa Indonesia"-nya, yang baru muncul dan populer dalam
masa-masa pembaratan (westernisasi), di samping kemunculannya juga tidak
terlepas dari agenda-agenda imperialisme Barat. Ini serupa pula halnya dengan istilah
"Nusantara" yang diangkat kembali oleh kaum imperialis [beserta
pengikutnya] dari warisan kebudayaan yang sesungguhnya sangat bersifat lokal,
terpencil, dan telah lama punah. Secara umum, istilah-istilah yang muncul dalam
masa pembaratan ini bertujuan akhir untuk mengenyahkan berbagai rintangan
disebabkan Islam di jalan imperialisme.
Sebelum pembaratan, dunia luar hanya
mengenal orang-orang Jawi dan Bahasa Jawi, yang mana keduanya, atau sebut saja:
masyarakat dan kebudayaannya, terpaut erat dengan Islam, 'aqidah dan
syari'atnya.
Kembali ke topik pembicaraan..
Jejak kehadiran para ulama dan
penuntut ilmu di Zabid yang berasal dari kawasan penutur Bahasa Jawi itu telah
terekam, antara lain, dalam sebuah karya dalam Ilmu Isnad ('Ilmul Isnad)
disusun seorang ulama Zabid abad ke-12 hijriah bertajuk: "Nuzhah Riyadh
Al-Ijazah Al-Mustathabah bi Dzikri Manaqib Al-Masyayikh Ahl Ar-Riwayah wal
Ishabah" (tamasya dalam taman-taman Ijazah yang menyenangkan untuk
mengisahkan riwayat-riwayat hidup para mahaguru; pakar dalam periwayatan dan
pelurusan riwayat).
Pengarang karya tersebut ialah Abu
Az-Zain 'Abdul Khaliq bin 'Ali bin Az-Zain bin Muhammad bin Az-Zain
Al-Mizjajiy. Dalam otobiografi yang ditulis pada bagian akhir karyanya ini,
pengarang menyebutkan hari dan tempat kelahirannya pada Selasa, 17 Syawwal
1141, di sebuah kampung benama At-Tuhaita, Zabid. Ramai penghuni kampung
tersebut, seperti yang dituturkan Pengarang, adalah orang-orang yang shalih,
tokoh-tokoh terkemuka, dan para penghafal Al-Qur'an.
Keluarga Mizjajiy yang menghuni daerah
Mizjajah di dekat Zabid itu juga merupakan sebuah keluarga yang terkenal dengan
para ulamanya. Sejumlah besar di antara mereka adalah tokoh-tokoh ulama
terkemuka dan karismatik.
Di awal perjalanan hidupnya, 'Abdul Khaliq selalu berada di bawah bimbingan ayahnya yang juga seorang ulama. Kepada ayahnya, 'Ali bin Az-Zain Al-Mizjajiy, dia pertama sekali berguru, membaca dan meriwayatkan banyak sekali bacaan, dan dari ayahnya pula ia mengambil thariqat An-Naqsyabandiyah selain kemudian dari kedua gurunya, 'Abdul Khaliq bin Abu Bakr Al-Mizjajiy dan As-Sayyid 'Abdullah bin Ahmad Da'il. Ia juga lama berguru kepada seorang ulama ahli qira'at pada zamannya, Syaikhul Qurra' Isma'il bin Muhammad Baziy. Dan setelah menjadi seorang ulama yang menguasai banyak bidang ilmu pengetahuan, ia mulai mengajar dan berhasil melahirkan sejumlah murid yang cemerlang.
Di awal perjalanan hidupnya, 'Abdul Khaliq selalu berada di bawah bimbingan ayahnya yang juga seorang ulama. Kepada ayahnya, 'Ali bin Az-Zain Al-Mizjajiy, dia pertama sekali berguru, membaca dan meriwayatkan banyak sekali bacaan, dan dari ayahnya pula ia mengambil thariqat An-Naqsyabandiyah selain kemudian dari kedua gurunya, 'Abdul Khaliq bin Abu Bakr Al-Mizjajiy dan As-Sayyid 'Abdullah bin Ahmad Da'il. Ia juga lama berguru kepada seorang ulama ahli qira'at pada zamannya, Syaikhul Qurra' Isma'il bin Muhammad Baziy. Dan setelah menjadi seorang ulama yang menguasai banyak bidang ilmu pengetahuan, ia mulai mengajar dan berhasil melahirkan sejumlah murid yang cemerlang.
Selain menulis Nuzhah Riyadhil Ijazah,
Abu Az-Zain juga menulis karya-karya yang secara umum diperuntukkan untuk
pendidikan dan pengajaran. Tetapi, Nuzhah Riyadhil Ijazah dalam bidang Ilmu
Isnad merupakan karya tulisnya yang paling terkenal dan fundamental, dan
menjadi salah satu karya yang dibanggakan Yaman dalam bidang Ilmu Isnad. Karya
ini diselesaikanya pada 1199, penghujung abad ke-12 hijriah, dua tahun sebelum
wafatnya pada 1201 hijriah.
Pada tahun 1418 hijriah (1997 masehi),
Nuzhah Riyadhil Ijazah yang disunting Mushthafa 'Abdul Karim Al-Khathib dan
'Abdullah Al-Habsyi Al-Yamani diterbitkan Dar Al-Fikr, Beirut, sebagai cetakan
pertamanya.
Dalam Nuzhah Riyadhil Ijazah ini, Abu
Az-Zain Al-Mizjajiy menyebutkan beberapa nama tokoh yang memakai nisbah
"Al-Jawiy" di akhir nama mereka. Sekalipun ia hanya menyebutkan
nama-nama itu tanpa meluaskan keterangan mengenai mereka, tapi dari
catatan-catatan pendek yang diberikannnya--kecuali untuk satu tokoh yang ia
sebutkan dengan keterangan lebih panjang dari lainnya--sudah cukup untuk
menjadi pertanda dari sebuah kehadiran yang menonjol bagi para ulama Jawi di
Zabid. Kehadiran tersebut, kiranya, pantas untuk ditelusuri lebih lanjut dan
mendalam.
Nama-nama ulama Jawi yang disebutkan
dalam Nuzhah Riyadhil Ijazah ialah:
1. 'Abdur Ra'uf Al-Jawiy
Pada halaman 144 Nuzhah Riyadhil
Ijazah (Cet. Dar Al-Fikr, Beirut, 1418 H) disebutkan nama 'Abdur Ra'uf
Al-Jawiy. Abu Az-Zain Abdul Khaliq Al-Mizjajiy menyinggung tentang tokoh ini
dalam pembicaraannya mengenai Syaikh 'Abdullah bin Muhammad Baqi, seorang ahli
qira'at dan ulama di Zabid yang wafat pada 14 Rajab 1107 hijriah. Syaikh
'Abdullah adalah putra sulung dari ulama besar dan wali yang terkenal, Syaikh
Muhammad Baqi bin Az-Zain Al-Mizjajiy (1005-1074 hijriah), murid Syaikh
Tajuddin Al-'Utsmaniy An-Naqsyabandiy.
Penyebutan nama Syaikh 'Abdur Ra'uf
Al-Jawiy di sini terkait sebuah salinan mengenai tarikh kelahiran Syaikh
'Abdullah bin Muhammad Baqi Al-Mizjajiy. Dalam salinan itu diterangkan bahwa
telah lahir seorang putra yang berbahagia, diberi kemudahan, dan terpetunjuk,
Insya'a-Llah Ta'ala, 'Afifuddin Abu Muhammad 'Abdullah ibn Sayyidi Syaikh Muhammad
Baqi Al-Mizjajiy An-Naqsyabandiy ibn Az-Zain Al-Mizjajiy, pada tanggal hari
Ahad setelah berlalu 20 hari dari bulan Jumadil Akhir tahun seribu tiga puluh
lima (1035) dari hijrah Nabi Shalla-Llahu 'alahi wa Sallam.
Setelah memuat salinan ini secara lengkap,
Abu Az-Zain Al-Mizjajiy menulis:
وأظن أن كاتب الولادة عبد الرؤوف الجاوي وكان من أجل تلامذة الشيخ محمد باقي وكبار الأولياء رحمه الله تعالى
"Dan saya menduga, penyalin
catatan kelahiran ini ialah 'Abdur Ra'uf Al-Jawiy. Ia adalah salah seorang
murid paling utama dari Syaikh Muhammad Baqi, dan salah satu aulia yang besar.
Semoga Allah Ta'ala merahmatinya."
Dugaan pengarang Nuzhah Riyadhil Ijazah
tentu didasari alasan-alasan yang dapat diperhitungkan sekalipun ia tidak
mengungkapkannya di sini. Sebab, hanya di tempat ini saja ia menyebutkan nama
'Abdur Rauf Al-Jawiy yang dinyatakannya sebagai murid Muhammad Baqi yang
terkemuka dan seorang sufi yang besar. Bahkan, pada bagian di mana ia menulis
tentang biografi Syaikh Muhammad Baqi serta mengurutkan sejumlah nama muridnya,
ia tidak lagi menyebutkan tentang 'Abdur Ra'uf Al-Jawi. Penyebutan tentang
'Abdur Rauf Al-Jawiy hanya manakala menyangkut salinan tarikh kelahiran
'Abdullah, putra sulung Syaikh Muhammad Baqi yang pada waktu itu masih berumur
30 tahun. Berarti, ia punya alasan-alasan yang dapat diperhitungkan untuk
dugaannya tersebut.
Lantas, siapakah 'Abdur Ra'uf Al-Jawiy
yang telah menyalin tarikh kelahiran 'Abdullah bin Muhammad Baqi di tahun 1035
hijriah (1626 masehi) ini? Apakah ia adalah Syaikh Aminuddin 'Abdur Ra'uf bin
'Ali Al-Fanshuriy Al-Jawiy?
Sejauh ini, belum terdengar ada 'Abdur
Ra'uf lain dalam rentang waktu mulai permulaan abad ke-11 hijriah sampai ke
awal abad ke-12 hijriah, yang layak dideskripsikan sebagai "murid Syaikh
Muhammad Baqi bin Az-Zain Al-Mizjajiy yang terkemuka dan salah seorang aulia
yang besar", apalagi menyangkut dengan Zabid dan Syaikh Muhammad Baqi, selain
Al-Watsiq bil Malikil Jaliy Syaikh Aminuddin 'Abdur Ra'uf bin 'Ali Al-Fanshuriy
Al-Jawiy, pengarang Mir'ah Ath-Thullab yang terkenal.
Catatan yang barangkali dapat
memastikan bahwa tokoh ulama dan sufi yang dimaksud dengan 'Abdur Ra'uf Al-Jawi
ini adalah Syaikh Aminuddin 'Abdur Ra'uf Al-Fanshuriy ialah pernyataan Syaikh
'Abdur Ra'uf sendiri dalam 'Umdatul Muhtajin (manuskrip):
"...Dan adapun segala sufi yang
mashur wilayahnya (kewaliannya) yang bertemu dengan faqir ini (yakni: Syaikh
'Abdur Ra'uf) dalam antara masa itu (yakni: dalam masa 19 tahun di negeri Arab)
yang lain daripada yang masuk kepada segala ulama yang tersebut itu, yaitu......kesembilan,
Syaikh Muhammad Al-Baqi namanya."
Sekalipun persoalan salinan tarikh
kelahiran Syaikh 'Abdullah bin Muhammad Baqi dapat menimbulkan beberapa
persoalan lain yang perlu diselidiki dan diperjelas nantinya, namun itu sama
sekali tidak menggugurkan kenyataan bahwa orang-orang Jawi, baik ulama maupun
penuntut ilmunya, mempunyai kehadiran yang menonjol di kota ilmu pengetahuan
dan ulama itu.
2/3/4. Syaikh Yusuf Tajuddin; Al-Faqih
'Abdul 'Aziz Al-Jawiy; 'Abdullah Al-Jawi
Ketiga ulama ini disebutkan oleh Abu
Az-Zain 'Abdul Khaliq Al-Mizjajiy dalam biografi Syaikh Muhamamad Baqi pada
halaman 205 (Cet. Dar Al-Fikr, Beirut, 1418 H, ). Ia menyatakan bahwa mereka
adalah di antara murid-murid yang diijazahkan oleh Syaikh Muhammad Baqi bin
Az-Zain Al-Mizjajiy.
ومنهم العلماء الفضلاء الأدباء الكملاء المكملون الشيخ يوسف تاج الدين والفقيه عبد العزيز الجاوي وعبد الله الجاوي لازموا الشيخ مدة حتى صاروا من أهل التكميل
"Di antara mereka [yang
dijazahkan oleh Syaikh Muhammad Baqi] adalah para ulama yang utama, ahli adab
yang terlebih sempurna lagi menyempurnakan: Syaikh Yusuf Tajuddin, Al-Faqih
(ahli fiqh) 'Abdul 'Aziz Al-Jawiy, dan 'Abdullah Al-Jawiy. Mereka semua
mengikuti (mulazamah) Syaikh [Muhammad Baqi] untuk beberapa waktu hingga
kemudian menjadi orang-orang yang menyempurnakan."
Khusus untuk Syaikh Yusuf Tajuddin,
Abu Az-Zain menambahkan keterangannya sebagai berikut:
والشيخ يوسف له مصنفات في التوحيد وسر القبلة تدل على عظيم قدره
"Dan Syaikh Yusuf telah menyusun
sejumlah karangan mengenai tauhid dan rahasia kiblat, yang semua ini
menunjukkan derajatnya yang besar."
Keterangan tambahan ini, dan cara
penyebutan namanya "Syaikh Yusuf Tajuddin", dapat meyakinkan bahwa
ulama yang dimaksud itu adalah Syaikh Yusuf At-Taj Al-Jawi, atau yang lebih
dikenal umum dengan sebutan Syaikh Yusuf Al-Maqassariy.
Selain ketiga ulama besar ini, Abu
Az-Zain juga telah mengutip keterangan Al-'Allamah Mushtafa bin Fathulllah
Al-Hamawiy dalam Fawa'id Al-Irtihal bahwa tidak terkira banyaknya jumlah
orang-orang dari Jawah (yakni: negeri-negeri penutur Bahasa Jawi), India dan
Damaskus yang berguru kepada Syaikh Muhammad Baqi, serta mengambil thariqat
An-Naqsyabandiyyah dari khalifah Syaikh Tajuddin Al-'Utsmaniy ini.
Ungkapan Mushthafa bin Fathullah
Al-Hamawiy yang dikutip Abu Az-Zain, juga mengesankan tingkat jumlah kehadiran
orang-orang Jawi yang boleh jadi mengatasi jumlah orang-orang dari India dan
Damaskus.
5. Syaikh Al-'Allamah Jalaluddin
Al-Jawiy
Pengarang Nuzhah Riyadhil Ijazah
menyebutkan nama ulama ini dalam riwayat hidup (biografi) Syaikh Muhammad bin
Az-Zain bin Muhammad Baqi Al-Mizjajiy, salah seorang di antara paman pengarang
sendiri, putra ketiga dari Syaikh Az-Zain yang wafat pada 1138 hijriah.
Abu Az-Zain menuturkan bahwa setelah
Syaikh Muhammad berpindah ke Zabid bersama seluruh keluarganya--sekitar tahun
1153 hijriah (?)--ia lantas menjadi sangat menonjol. Para qadhi dan ulama Zabid
berkumpul di tempatnya setiap hari dan berlangsunglah berbagai pembahasan,
diskusi, berikut berbagai pemecahan masalah. Waktu-waktunya penuh terisi dengan
pembacaan hadits baik itu dalam pertemuan khusus maupun umum. Dan, ia membangun
sebuah masjid besar di dekat rumahnya, yang pembiyaannya dibantu oleh sultan
Falimba (Palembang?), atau boleh jadi oleh menterinya, dan duduk sebagai
pengajar dalam masjid itu Asy-Syaikh Al-'Allamah Jalaluddin Al-Jawiy.
Teks pada halaman 193 Nuzhah Riyadhil
Ijazah (Cet. Dar Al-Fikr, Beirut, 1418 H):
..و بنى مسجدا عظيما بقرب بيته أعانه على عمارته سلطان فلمبا أو وزيره وجلس للدرس فيه الشيخ العلامة جلال الدين الجاوي
".. dan ia membangun sebuah
masjid besar di dekat rumahnya, yang biaya pembangunannya dibantu oleh Sultan
Falimba (Palembang?) atau menterinya. Duduk untuk mengajar dalam masjid itu
Asy-Syaikh Al-'Allamah Jalaluddin Al-Jawiy."
Syaikh Muhammad bin Az-Zain
Al-Mizjajiy, kelihatannya, memang punya kedekatan khusus dengan orang-orang
Jawi. Pengarang Nuzhah Riyadhil Ijazah menyebutkan bahwa putra sulung Syaikh
Muhammad, Az-Zain, serta adiknya, 'Alauddin bin Muhammad, sudah berhijrah ke
Jawah dan tinggal di sana. Mereka berdua seperti diungkapkan pengarang Nuzhah
Riyadhil Ijazah, telah memperoleh kedudukan yang mulia di negeri orang Jawi
dikarenakan kebaikan dan keutamaan mereka (hal: 194).
Apakah Asy-Syaikh Al-'Allamah
Jalaluddin Al-Jawiy yang disebutkan di sini ada sangkut pautnya dengan seorang
ulama terkemuka di Aceh Darussalam bernama Faqih Jalaluddin, yang dalam tahun
1152 hijrah telah menulis karyanya "Manzharul Ajla ila Rutbatil A'la untuk
memenuhi titah Sultan 'Alauddin Juhan Syah Berdaulat Zhillullah fil 'Alam? Soal
ini, tentu, masih perlu penyelidikan lanjutan.
6. Syaikh Mahmud bin Sarniy Al-Jawiy
Syaikh Mahmud adalah tokoh yang
disebutkan oleh pengarang Nuzhah Riyadhil Ijazah dalam otobiografinya.
Abu Az-Zain menulis pada halaman 295
(Cet. Dar Al-Fikr, Beirut, 1418 H):
وأما شيخنا محمود بن سرني الجاوي فإنه كان عارفا كبيرا كثير الاستغراق والسكر والهيبة في الله تعالى لا ينام الليل وصل إلى الوالد رحمه الله تعالى ولازمه وكنت في غرور العلم لا ألتفت إليه وكان يحبني كثيرا كمحبة والدي فذات يوم وصلت إليه فألقى على مسائل في علم الكلام تحيرت في جوابها فطلبت منه أن يحلها فحلها بما لا يقدر أحد الآن على ذلك فعرفت قدره وفضله وأن وراء ذلك ما هو أهم فلازمته وخدمته فلقنني الذكر على طريق السادة الشطارية قدس الله أرواحهم كما أخذها عن شيخه محمد الطبري عن شيخه عبد الوهاب بن عبد العني الهندي عن الإمام إبراهيم بن حسن الكردي عن شيخه أحمد القشاشي ...... وكان نزول شيخنا المذكور إلى الوالد رحمه الله تعالى سنة ألف ومائة وستة وستين ما رأيت في رجال الله مثله في الاستغراق وكثرة المعارف والحمد لله
“Tuan guru kami, Mahmud bin Sarni
Al-Jawiy, adalah ‘arif yag besar, sangat sering mengalami ‘istighraq’, ‘sakr’
dan ‘haibah’ di jalan Allah, dan tidak tidur di malam hari. Ia datang menjumpai
ayah saya—semoga Allah merahmatinya—dan berguru kepadanya (mulazamah). Waktu
itu, saya masih congkak dengan ilmu [yang saya miliki]. Saya sama sekali tidak
memberikan perhatian kepadanya sedangkan ia sangat menyayangi saya, sama
seperti sayang ayah saya sendiri kepada saya. Suatu hari, saya pergi
menghadapnya. Ketika itu ia melontarkan kepada saya pertanyaan-pertanyaan rumit
dalam masalah Ilmu Kalam, dan saya sama sekali tidak mampu menjawabnya. Saya,
lantas, memintanya untuk menjelaskan, dan ia kemudian memberikan penjelasan
yang untuk waktu sekarang tidak akan ada orang yang mampu memberikan penjelasan
seperti itu. Sejak itu, saya jadi sadar akan kedudukan dan keutamaannya, dan di
belakang itu semua ada pula hal yang terlebih penting. Karena itu kemudian saya
berguru kepadanya dan melayaninya. Ia mengajarkan saya zikir atas jalan
(thariqat) tuan-tuan Syaththariyyah-semoga Allah menyucikan arwah
mereka-sebagaimana yang diterima dari gurunya Muhammad Ath-Thabariy, dari
gurunya ‘Abdul Wahhab bin ‘Abdul Ghaniy Al-Hindiy dari Imam Ibrahim bin Hasan
Al-Kurdiy, dari gurunya, Ahmad Al-Qusyasyi...... Kedatangan guru kami ini ke
tempat ayah saya—semoga Allah merahmatinya—pada tahun seribu seratus enam puluh
enam (1166 hijriah). Saya tidak pernah menjumpai orang yang sebanding dia dalam
istighraq dan pengetahuannya yang luas.”
Dari keterangan tersebut diketahui
bahwa Syaikh Mahmud bin Sarni Al-Jawiy mulai berguru kepada Syaikh ‘Ali bin
Az-Zain bin Muhammad Baqi Al-Mizjajiy (1109-1174 hijriah) pada saat pengarang
Nuzhah Riyadhil Ijazah masih berusia 25 tahun, dan ayahnya, Syaikh ‘Ali
Al-Mizjajiy, sudah berusia 57 tahun. Dan, dari kalimat pegarang Nuzhah Riyadhil
Ijazah: “Waktu itu, saya masih congkak dengan ilmu [yang saya miliki]. Saya
sama sekali tidak memberikan perhatian kepadanya sedangkan ia sangat menyayangi
saya, sama seperti sayang ayah saya sendiri kepada saya...” tertangkap kesan
bahwa usia Syaikh Mahmud pada waktu itu tidaklah terlalu jauh lebih muda dari
ayahnya, Syaikh ‘Ali Al-Mizjajiy.
Lain itu, sanad thariqat Syaththariyah
yang diterima pengarang Nuzhah Riyadhil Ijazah dari Syaikh Mahmud juga
menandakan bahwa ulama Jawi ini sudah pernah berada di Al-Haramain, sebab ia
mengambil thariqat ini kepada Muhammad Ath-Thabariy, dan antara dia dan Syaikh
Ahmad Al-Qusyasyiy, guru Syaikh ‘Abdur Ra’uf bin ‘Ali Al-Fanshuriy Al-Jawiy,
hanya selang tiga orang.
Kabar mengenai ulama Jawi yang satu
ini—sebagaimana beberapa tokoh lainnya—belum banyak diketahui dan masih
memerlukan penyelidikan yang lebih luas. Namun begitu, keterangan-keterangan
singkat yang ditulis Abu Az-Zain ‘Abdul Khaliq Al-Mizjajiy dalam Nuzhah
Riyadhil Ijazah, sedikitnya, dapat menyingkap kedudukan orang-orang Jawi di
Tanah Arab, terutama mereka yang berasal dari Aceh Darussalam, dalam berbagai
kegiatan ilmu pengetahuan, baik sebagai pelajar maupun pengajar, sekaligus juga
sebagai pengarang dan penerjemah.
Syaikh ‘Abdul Khaliq bin ‘Ali bin
Az-Zain bin Muhammad Al-Mizjajiy dalam Nuzhah Riyadhil Ijazah juga tidak
mungkin menyebutkan sejumlah besar murid ayahnya, Syaikh ‘Ali Al-Mizjajiy. Ia,
misalnya, tidak menyebutkan tentang Syaikh ‘Abdur Rahim bin ‘Abdullah Al-Asyiy
Al-Jawiy (Teungku Chik Awe Geutah) yang wafat dan dimakamkan di Peusangan,
Kabupaten Bireuen. Ia juga salah seorang ulama Aceh Darussalam yang berguru dan
mengambil beberapa ijazah dari Syaikh ‘Ali Al-Mizjajiy di At-Tuhaita, dekat
Zabid. Dan tentang ini, nantinya, akan dikemukakan di kesempatan yang lain.
Dikutip dari Aceh Darussalam Academy.
Dikutip dari Aceh Darussalam Academy.
1 Komentar
Asal usul kata Jawi dari bahasa Arab yaitu nama tempat di Yaman "Oo Yun AL-Djawah".yg merujuk untuk wilayah yang subur di Zazirah Arab, sehingga tempat-tempat yg subur itu dinamai dalam tulisan Arab "Al-Djawah" penulisan dengan huruf Latin sebagai "Jawi".
orang-orang berbahasa Jawi tidak hanya di Kepulauan sebelah Timur India malah juga di India dan Damaskus jadi daerah-daerah tersebut merupakan wilayah yang subur ( Al-Djawah).
Oleh karena nya istilah AL-Djawah ini bukan untuk nama suku tetapi sebagai Penisbatan nama tempat khusus utk wilayah-wilayah yg subur.