Tim Mapesa seusai Meuseuraya di situs Syaikhul 'Askar Jamaluddin, Gampong Pande, Banda Aceh. |
Sekalipun itu jauh di sudut-sudut temaram. Sekalipun itu suara-suara, atau malah bisik-bisik, yang lamat-lamat terdengar dari kegelapan di balik tirai. Tapi, sesekali, itu semua juga perlu diberi perhatian, walaupun sekadarnya.
Ada beberapa tanggapan negatif untuk apa yang dilakukan
Masyarakat Peduli Sejarah Aceh (Mapesa) sekalipun ramai pula yang memberikan
dukungan dan mengapreasiasi upaya lembaga swadaya masyarakat ini dalam rangka
menyelidiki dan menyelamatkan berbagai peninggalan sejarah Aceh.
Mengenai dukungan dan apreasiasi yang dituai Mapesa, itu
disadari sebagai sesuatu yang datang bukan dari satu alasan, tapi dari beragam
alasan. Sebagian orang mengaitkan kerja Mapesa dengan hal-hal bersifat
supernatural; menyangkut hal-hal yang sulit untuk dicerna dan diperkatakan.
Sebagian orang mengaitkan kerja Mapesa dengan hal-hal berkenaan dengan
pengagungan tokoh-tokoh bangsawan (aristokrat) Aceh tempo dulu; tentang darah
biru, keturunan raja-raja, mahkota-mahkota dan semacamnya. Sebagian yang lain,
kerja Mapesa dilekatkan dengan benda cagar budaya Batu Nisan, sehingga Mapesa
terkesan sebagai sekelompok orang yang hanya mengurusi batu-batu nisan kuno.
Oleh sebab berbagai hal yang dikaitkan dengan kerja
Mapesa--dan mungkin di sana masih banyak lagi pengaitan semacam itu-- muncul
tanggapan-tanggapan negatif, terdengar selentingan-selentingan yang mencibir
dan mencemoohkan. Bahkan, sampai ada yang mempertanyakan, apakah orang-orang
Mapesa sudah selesai mengerjakan amalan-amalan sunat yang lain sehingga
sekarang mereka pergi untuk mengangkat batu-batu kubur? Sebuah pertanyaan yang
dengan terang menyingkap apa yang sesungguhnya tersembunyi di dalam hati!
Semisal itu, dan yang lebih dari itu tentu banyak.
Apa sesungguhnya yang ditujui oleh Mapesa?
Saya tidak mewawancarai dua tokoh sentral dalam Mapesa, Ketua
dan Sekretarisnya, Adinda Mizuar Mahdi Al-Asyi dan Ayi AL Yusri, untuk
mendapatkan jawaban dari pertanyaan ini. Tetapi, saya telah mengikuti jejak
langkah-langkah dari kedua tokoh muda ini sejak mereka belum menjabat sebagai
ketua dan sekretaris. Dari apa yang saya amati, kiranya, saya telah dapat
memahami ke mana arah yang sesungguhnya diinginkan oleh Mapesa, bahkan dari
mana Mapesa berangkat.
Izinkan saya menerangkan itu di sini, dan Adinda Mizuar atau
Yusri sepenuhnya berhak mengoreksi dan meluruskan keterangan ini jika keliru
atau salah.
Saya yakin, salah satu pangkalan logika paling awal atau
"basement" pemikiran yang paling mendasar, di mana dari sana Mapesa
beranjak dan bergerak intens dan kontinu dalam periode kepengurusan ini, pada
hakikatnya, adalah karena sebuah pertanyaan subtansial: Mengapa Aceh, hari ini,
begini; menjadi terbelakang dan pengekor; rela menjadi bagian buntut dari suatu
badan yang sesungguhnya berkepala linglung dan bingung?
Artinya, Mapesa berangkat dari sebuah kesadaran terhadap
sejumlah besar ketidakpatutan atau ketimpangan dalam realita kehidupan Aceh
hari ini, serta kemestian untuk melakukan berbagai perubahan.
Itu sebuah kesadaran yang tentunya tidak dapat dimaklumi oleh
orang-orang yang memandang dan meyakini bahwa kesuksesan itu adalah
"keselamatan hidup" masing-masing orang secara individual. Nasib masa
depan bangsa, ummah dan bahkan Agama, tentu sama sekali tidak punya ruang dalam
pandangan mereka. Sehingga, mereka tidak perlu membuat sejarah sebagaimana para
pendahulu. Sejarah bagi mereka hanyalah sesuatu yang konyol, dan mereka lebih
memilih untuk hidup dalam ruang yang telah dipolakan oleh selain mereka. Tidak
peduli apapun bentuk pola itu! Rumusan dari pandangan ini ialah "yang
penting kita bisa hidup, makan, bersenang-senang, terpandang, dan sudah!
Bahagia di dunia dan akhirat!"
(Bahagia di Akhirat?! Apakah ayat Al-Qur'an berikut ini sudah
dimansukhkan atau kita perlu orang kafir untuk mengingatkan bahwa ada ayat ini
dalam Al-Qur'an?!!
أَمْ حَسِبْتُمْ أَن تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ
وَلَمَّا يَأْتِكُم مَّثَلُ الَّذِينَ خَلَوْا مِن قَبْلِكُم ۖ مَّسَّتْهُمُ الْبَأْسَاءُ
وَالضَّرَّاءُ وَزُلْزِلُوا حَتَّىٰ يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ
مَتَىٰ نَصْرُ اللَّهِ ۗ أَلَا إِنَّ نَصْرَ اللَّهِ قَرِيبٌ
"Ataukah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga,
padahal belum datang kepadamu (cobaan) seperti (yang dialami) orang-orang
terdahulu sebelum kamu. Mereka ditimpa kemelaratan, penderitaan dan diguncang
(dengan berbagai cobaan), sehingga Rasul dan orang-orang yang beriman
bersamanya berkata, “Kapankah datang pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya
pertolongan Allah itu dekat." Al-Baqarah: 214)
Dari basement pemikiran seperti tersebut, saya kira kemudian
dapat dipahami bahwa rancang bangun kesadaran (al-wa'yu) yang direncanakan dan
mulai dipersiapkan oleh Mapesa dengan "proyek" kecil-kecilannya
selama ini adalah sebuah rancang bangun kesadaran untuk masa depan yang
mudah-mudahan dapat mengangkat bangsa dan ummah dari kerendahan ke ketinggian,
serta meninggikan Agama Allah yang memang tinggi.
Ya, barangkali, bagi sebagian orang akan sulit memahami
bagaimana kerja mengangkat batu nisan yang sudah dilakukan Mapesa sejak
beberapa tahun lalu dapat berhubungan dengan cita-cita ideal seperti itu.
Apakah ini mengada-ada dan sengaja dikait-kaitkan untuk menutupi yang lain?
Proses pengangkatan nisan Syaikhul 'Asykar Jamaluddin setelah ditemukan dalam lumpur. Gampong Pande, Banda Aceh. |
Untuk dapat memahami keterkaitan antara kerja yang dilakukan
Mapesa hari ini dengan cita-citanya di masa depan diperlukan kecakapan dan
jangkau pandang yang sedikit lebih jauh. Menguraikan keterkaitan tersebut
sesungguhnya butuh ruang dan waktu yang lebih lebar. Tapi, di sini, saya akan
memperlihatkan simpul-simpul dari keterkaitan itu seraya berharap semoga dapat
dicerna dengan baik dan dicermati secara mendalam.
Nasib bangsa, ummah dan Agama di masa depan akan sangat
ditentukan oleh apa yang kita pikir, yakini dan lakukan hari ini, dan bukan
oleh apa yang hanya kita angan-angankan. Persoalan dimulai dari masalah
bagaimana kita berpikir dan apa yang kita yakini. Ini menyangkut alam pikir
yang kita miliki serta keadaan batin yang tercipta oleh alam pikir tersebut.
Ketika alam pikir terisi oleh hujjah-hujjah yang kuat, maka keadaan batin
menjadi tenang (muthma'in) dan muncul suatu keyakinan yang kuat. Sebaliknya,
alam pikir yang tidak terisi dengan hujjah-hujjah yang kuat akan melahirkan
berbagai bentuk keraguan, goyah dan bimbang, dan tidak ada apapun keyakinan di
sana.
Dari itu, alam pikir yang kita miliki perlu kepada perhatian
yang tinggi. Kasarnya, otak kita terisi dengan apa, itu merupakan suatu hal
yang mesti diketahui dengan pasti dan diperbaiki. Suatu pemeriksaan terhadap
isi otak perlu dilakukan untuk melihat apa yang kurang dan apa yang tidak perlu
dan cuma suatu kesia-siaan; apa yang selama ini telah diabaikan dan apa yang
perlu ditambahkan; apa yang telah disusupkan dan apa yang perlu dirombak dan
diganti dengan yang lurus dan terlebih baik. Semua ini agar kita memiliki alam
pikir yang mampu menentukan gerak dan langkah yang tepat dalam rangka membangun
masa depan yang lebih baik.
Singkat kata, kritik terhadap akal yang kita miliki merupakan
suatu sikap rendah hati yang akan membukakan banyak peluang bagi terbentuknya
alam pikir yang seharusnya dimiliki oleh orang-orang yang menginginkan
kehidupan yang lebih baik di masa depan. Satu "kiat" yang saya
sarankan dalam hal ini guna Pembaca dapat memaklumi dengan baik sudut pandang
ini: berupayalah untuk berpikir dengan kemerdekaan yang dituntun oleh Iman, dan
cobalah untuk mengabaikan apapun pernyataan dari generasi yang disusui dan
dibesarkan oleh rezim orde baru; mereka adalah masa lampau di seberang yang
lain!
Untuk memperbaharui alam pikir, bahkan untuk membangun alam
pikir yang baru, maka sejarah, yakni, mengetahui, memahami dan menyadari
riwayat perjalanan bangsa dan ummah adalah satu perkara atau materi paling
pokok yang mesti memperoleh ruang utama dalam alam pikir. Alam pikir yang tidak
terisi materi ini adalah alam pikir yang mengambang di awang-awang dan akan
menyeruduk ke mana suka; bahkan terkadang pemiliknya adalah makhluk yang
sesungguhnya tidak teridentifikasi dan ganjil di punggung dunia ini!
Dari sudut pandang ini, maka kepentingan sejarah sama sekali
tidak seperti dipersepsikan oleh orang-orang yang mengaitkan kerja Mapesa
dengan hal-hal sebagaimana telah diungkapkan tadi. Kepentingan sejarah, di
sini, adalah karena menyangkut pembentukan alam pikir yang mampu merekayasa
masa depan bagi bangsa, Ummah dan Agama. Boleh saja seseorang tidak yakin
dengan pernyataan, yang katanya, teoritis ini, dan lebih cenderung mengaitkan
energi yang dimiliki Mapesa dalam melakukan kerja-kerjanya sebagai sesuatu yang
diperoleh dari hal yang "agak supranaturalis" atau semacamnya.
Silakan orang itu menganggapnya demikian, tapi sesungguhnya itu jauh sekali
meleset dari kenyataan!
Untuk sebuah harapan di masa depan, itu bukanlah sesuatu yang
teoritis, tapi itu adalah visi sekaligus sumber dorongan dan energi. Karena
satu hal yang perlu disadari bahwa dalam keadaan seterpuruk apapun, masih
banyak mata yang akan menitikkan tetes-tetes keharuan saat mengingat Aceh dan
perjalanan sejarahnya yang panjang lagi mengesankan--bahkan, tidak hanya
mengesankan bagi generasi Aceh yang kemudian, tapi juga bagi bangsa-bangsa lain
di dunia. Masih banyak pula orang yang bertanya: masih mungkinkah Aceh
mengulang sejarahnya di masa depan? Jadi, Mapesa dan cita-citanya untuk masa
depan bangsa, Ummah dan Agama, sesungguhnya bukanlah sesuatu yang bersifat
teoritis, tapi justru inti perkara dari semua yang dilakukannya.
Untuk itu, maka sejarah mesti merupakan kenyataan-kenyataan
di masa lampau yang dapat dipertanggungjawabkan keshahihannya dan mengandung
sebanyak-banyaknya pelajaran yang mencerahkan. Sebuah garis pemisah yang tegas
mesti ditarik antara sejarah dan cerita-cerita hiburan atau dongeng-dongeng
pengantar tidur, sebagaimana hujjah-hujjah mesti dipisahkan dari khayal-khayal.
Kenyataan-kenyataan di masa lampau yang dapat
dipertanggungjawabkan keshahihannya hanya akan dapat disingkap lewat
sumber-sumber yang autentik dan bukti-bukti fisik yang terjamin keasliannya. Di
sinilah letaknya mengapa Mapesa terlihat akrab dengan batu-batu nisan
peninggalan sejarah. Mapesa pada kenyataannya sedang melacak jejak-jejak yang
ditinggalkan masa silam, menyingkap dan merunut bukti-bukti untuk dijadikan
hujjah-hujjah, dan membaca berita-berita yang disampaikan oleh orang-orang yang
sudah terlebih dahulu memiliki kesadaran terhadap masa depan serta telah
menyediakan diri mereka untuk menjadi sumber pelajaran dan pengalaman bagi
generasi-generasi yang datang di kemudian.
Semua itu dilakukan adalah untuk dapat melahirkan narasi
sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan sekaligus mampu membangun alam pikir
yang terikat kuat dengan Pemilik Risalah, Al-Mushthafa, Shalla-Llahu 'alaihi wa
Sallam, serta menyadari tanggung jawabnya terhadap masa depan bangsa, Ummah dan
Agama. Inilah yang dituju oleh Mapesa, dan oleh karena itu pula ia mengajak
masyarakat yang peduli untuk membaca lembaran-lembaran sejarah dari
sumber-sumbernya yang autentik.
Gambar:
Ini adalah salah satu batu nisan peninggalan sejarah di
kawasan situs Lamuri, di Lamreh, Kecamatan Mesjid Raya, Kabupaten Aceh Besar.
Pembaca diundang untuk memberikan analisa tentang batu nisan ini, serta
menyimpulkan tentang siapakah kita sebenarnya dan apa yang semestinya kita
lakukan.
Bitai, 16 Rajab 1438
Oleh: Musafir Zaman
Dikutip dari group facebook Mapesa.
Dikutip dari group facebook Mapesa.
0 Komentar