Terbit di Mesir pada 1920
Siaran ini ditujukan hanya untuk
sekadar mengingatkan kembali bahwa sejarah Aceh adalah bagian dari sejarah
Ummah, bagian dari sejarah Dunia; bagian dari sesuatu yang besar. Kurun da'wah
dan penyiaran Islam di Asia Tenggara yang dipelopori oleh para pemimpin politik
di Aceh adalah sejarah Dunia. Kurun perjuangan demi membela negeri-negeri Islam
di Asia Tenggara adalah sejarah Dunia. Kurun kejayaan di dunia perniagaan
maritim dan perekonomian adalah sejarah Dunia. Perang Aceh-Belanda adalah di
antara perang terpanjang di Dunia. Perlawanan yang tak kenal henti terhadap
imperialisme-sekalipun saat Belanda telah menduduki Dalam dan telah membangun
berbagai sarana dan prasarana di daerah-daerah yang didudukinya-juga adalah di
antara perlawanan tergagah di Dunia. Ia adalah bagian dari sejarah Dunia,
bagian dari sesuatu yang besar.
Kenyataan Aceh sebagaimana hari
ini bukanlah patokan untuk mengukur kenyataan Aceh di masa silam. Memandang
sejarah Aceh sebagai bagian yang runut kepada kenyataan hari ini adalah tidak bijak;
akan mengerdilkan bahkan menzhalimi sejarah. Keadaannya sungguh sudah jauh
berbeda. Aceh dalam kenyataan sejarahnya di masa silam mesti dipahami sebagai
sesuatu yang terpisah dari kenyataan hari ini. Tapi, jika seseorang sering
dikunjungi mimpi tentang Aceh yang kembali memiliki kekuatan dan peranannya
sebagaimana kenyataannya di zaman silam, maka ia perlu menemukan sejarah itu
lalu menjiwainya.
Menjiwai sejarah Aceh niscaya
memperlihat seseorang visi-visi yang tidak terlihat dalam kenyataan hidup sebagaimana
hari ini. Visi-visi itu niscaya memikulkan sekian beban dan tanggung jawab.
Saat seseorang bergerak untuk memikul beban dan tanggung jawab itu, maka saat
itu pula ia kembali menjadi orang Aceh dengan makna sebenarnya, dan roda
sejarah Aceh pun kembali bergerak melanjutkan perjalanan yang sudah lama
terhenti.
Karena sejarah Aceh adalah
bagian dari sejarah Dunia, maka ia ditemukan walaupun terkadang sekelumit, di
lembaran-lembaran yang beredar di berbagai bagian Dunia yang jauh dari Aceh,
semisal di Majalah Al-Muqtathaf yang terbit pada 1920 di Kairo.
_________________________________________________________________
Demi meluruskan pernyataan
Amirah Qadriyah Husain (puteri Kamil Husain, penguasa Mesir 1914-1917, di bawah
Inggris) mengenai Syajaratud Dur, Rizqullah Manqariyus Shadafī, seorang
cendikiawan Koptik dan pengarang Tarikh Duwal Al-Islam, menulis di Majalah
Al-Muqtathaf (bulanan terbit di Beirut dan Kairo, 1876-1952) sebuah artikel
bertajuk "Al-Malikat fi Al-Islam (Para Ratu dalam sejarah Islam).
Dalam artikel yang terbit pada
edisi Agustus dan September Al-Muqtathaf tahun 1920, Manqariyus menulis tentang
17 pemimpin wanita dalam sejarah Islam yang ia ketahui. Pada edisi September,
penulis mengawali uraiannya dari urutan nomor 8 sampai dengan nomor 11 di bawah
sub judul: "Empat Ratu Aceh" (Malikat Atcin Al-Arba').

Uraian Manqariyus yang mengacu
kepada sumber-sumber: Encyclopedia of Islam I:508; Encyclopedia Britannica
(Acheen); dan Universal Geography by Elisee Reclus Vol. 14: 109, telah mencoba
mengungkapkan secara serba singkat tentang Sumatra di mana Aceh sebagai salah
satu kerajaan terpentingnya, kemudian tentang pendiri kerajaan Aceh dan para
penerusnya, sampai pada masa Sultanah Shafiyyatuddin yang bergelar Tajul 'Alam
dan ratu-ratu setelahnya.
Dari sumber bacaannya,
Manqariyus menyebutkan bahwa pada masa Shafiyyatuddin, pengaruh Aceh meluas
sampai lebih dari setengah Sumatra. Ia juga mengatakan, pada masa pemerintahan
para ratu, Aceh berada dalam masa keemasan. Keadaan Aceh baru berubah dan
mengalami pasang surut setelah pemerintahan mereka, sampai pada akhirnya
Belanda "menelan" Aceh seperti menelan duri setelah melalui
peperangan yang hebat.
Manqariyus menulis semua itu
pada tahun 1920 di Majalah Al-Muqtathaf yang terbit di Kairo, Mesir.
Oleh:
Musafir Zaman.
Dikutip
dari group facebook Mapesa.![]() |
Kesenian yang menawan pada nisan Kejruen Kandang di Kabupaten Pidie. |
0 Komentar