![]() |
Sebuah Meunasah di Daya. Sumber: Mededeelingen van het Bureau voor de Bestuureszaken der Buitenbezittingen; De Buitenbezittingen, Atjeh en Onderhoorrigheden, bewerkt doorhet Encyclopaedisch Bureau, 1916. (Komunikasi dari Kantor Urusan Administratif di Luar; Di luar; Aceh dan Taklukannya, Edit: Biro Ensiklopedi). Repro: Musafir Zaman. |
Diterbitkan
oleh J. J. de Vink
Sampai
penghujung Januari (1917), Penulis laporan ini bersama stafnya masih tinggal di
Bireuen. Baru pada 9 Februari, ia berangkat ke Sigli, dan untuk selanjutnya
pada 11 Februari, ia menuju Kuta Raja dengan niat untuk melakukan kegiatan di
sepanjang pantai barat Aceh.
Tiba di
Kuta Raja, setelah terlebih dahulu merapikan kantor dan tempat kerja, ia
kemudian melakukan penyelidikan ke afdeling Lhok Nga (afdeling : daerah/wilayah
administratif setingkat kabupaten). Itu berlangsung sampai 18 Maret. Pada bulan
Puasa, saat tenaga kerja tidak tersedia, maka batu nisan yang memenuhi syarat
untuk diambil salinannya akan ditangani oleh personil mereka sendiri.
Setelah
dua hari berjalan berbaris dari Kuta Raja, maka pada 20 Maret, Penulis laporan
ini telah tiba di Lam No, di bekas wilayah kerajaan Daya, tempat di mana
penelitian akan segera dilakukan, dan Penulis telah memperoleh dukungan dan
kerja sama dari Ulee Balang Lam No, Teuku Doerahman, yang memimpin penyelidikan
pendahuluan di hari-hari pertama.
Dari Ulee
Balang ini, Penulis mendengar sebuah legenda tua mengenai Daya, yang ditulis
oleh Teuku D[oerahman] dalam bahasa Aceh dan disalin ulang di sini dalam bahasa
Belanda:
Di
permulaan kisah, ketika Kerajaan Daya belum terbentuk, ada dua saudara yang
berkuasa. Satu berkuasa di Kluang, dan satu lagi berkuasa di Lam No. Raja
Kluang bergelar Raja Pah Lawan Syah, dan raja Lam No bernama Datu Pagu.
Merekalah penghuni pertama di Daya.
Pada masa
itulah datang Poteu Meurhoem yang terkenal dari Pidie ke sungai Daya dan sampai
di negeri Gapa. Dia tinggal di sana untuk beberapa lama.
Ia
kemudian melanjutkan perjalanan dengan menaiki rakit sampai ke Gampong Lam
Durian, dan di sana ia berhenti lagi. Di sana, galah yang dipakai untuk
mendorong rakitnya tertancap di tanah. Maka sampai dengan hari itu, rumpun
bambu masih tumbuh di tempat galah itu tertancap, dan karena itulah sebabnya
rumpun bambu di situ disebut dengan Tring Galah (bambu yang dipakai untuk
mendorong haluan perahu/rakit).
Apabila
bambu Tring Galah itu digunakan untuk membuat rumah atau kandang sapi, maka
diyakini - setidaknya, demikian yang diyakini - rumah atau kandang itu akan
terbakar; hanya untuk membangun masjid dan meunasah, bambu itu boleh digunakan.
Setelah
beberapa hari Poteu Meureuhoem tinggal di tempat itu, Datu' Pagu datang
menghadapnya dengan sukarela dan meminta untuk diterima dalam Islam. Tapi Datu'
Pagu meminta agar hal ini dirahasiakan sebab ia takut terhadap saudaranya Raja
Pah Lawan Syah yang tidak pernah mengenal rasa takut.
Kemudian,
Poteu Meureuhoem bersama-sama Datu' Pagu menghilir ke arah Kuala Daya.
Ketika
sudah sampai di Lam No, Datu' Pagu meninggalkan rakit dan kembali ke rumahnya.
Orang-orang
yang bersama Poteu Meureuhoem lantas bertanya kepada orang-orang di situ, apa
yang mesti kami lakukan dengan kerajaan itu? Apakah kami harus memeranginya?
Tapi Poteu Meureuhoem lantas mengatakan, "Itu tidak diperlukan. Kita
sekarang sudah tahu itu ada. Akibat jawaban ini, maka kerajaan ini diberi nama
Lam Na (no = na = ada). Untuk lebih mempermudah pengucapannya, nama itu telah
dialihkan menjadi Lam No.
Kemudian,
Poteu Meureuhoem menghilir menyusuri sungai gampong Meukan, di mana rakitnya
kemudian terjebak di tengah sungai. Rakit ini kemudian menjadi gampong, yang
lantas dinamakan dengan gampong Nusa. Nama ini berasal dari kenyaan bahwa rakit
itu berbalik (nusa = berbalik). Di Aceh Besar, arti nusa ini tidak diketahui,
dan orang-orang mengatakan "gisa" atau "kisa" untuk
berbalik.
Poteu
Meureuhoem kemudian menuruskan perjalanannya lewat darat menuju ke Gle Jong. Di
sana, ia membangun sebuah kubu pertahanan (kuta), yang disebut dengan Lam Kuta
sampai dengan hari ini.
Sekarang,
Pah Lawan Syah datang ke garis depan di mana Poteu Meureuhoem berada dalam Lam
Kuta.
Pah Lawan
Syah mencoba mencegah Poteu Meureuhoem, tapi ia menderita kekalahan dan
melarikan diri ke gunung Aneuk Panaih (biji nangka), dan kemudian meninggal di
sana. Sebelum meninggal terlebih dahulu ia mengucap syahadat. Jadi, ia
meninggal dunia sebagai seorang Muslim di kaki gunung yang sampai sekarang
menyandang nama Gle Syurga (gunung/bukit syurga). Poteu Meureuhoem tinggal di
Kuala Daya. Seorang kerabat Pah Lawan Syah menjadi raja di Kluang dan Datu'
Pagu raja di Lam No.
Nenek
moyang dari Ulee Balang Kuala Daya sekarang adalah seorang pedamping Poteu
Meureuhoem.
Suatu
hari, pedamping Poteu Meureuhoem ini bertemu dengan dua orang nelayan di
pantai. Kedua nelayan itu sedang bertengkar tentang ikan yang mereka tangkap.
Keduanya memperebutkan bagian kepala ikan. Kawan Poteu Meureuhoem ini kemudian
berbicara dengan kedua nelayan, menanyakan kepada mereka apakah dia boleh
menyelesaikan masalah tersebut. Keduanya menjawab setuju. Pedamping Poteu
Meureuhoem lantas mengambil ikan itu, dan membelahnya [memanjang] di tengah,
lalu memberikan kepada keduanya setengah seorang. Kejadian ini diceritakan
kepada Poteu Meureuhoem, yang lantas berkata kepada kawannya itu: Aku
mengangkatmu serta keturunanmu sebagai Hakim Setia Lela.
Demikianlah
kisah kedua orang tua itu dan keturunan mereka. Kelanjutannya adalah
sebagaimana terlihat; di Kluang memerintah keturunan Pah Lawan Syah dan di Lam
No memerintah keturunan Datu Pagu.
Semua
kompleks kubur yang Penulis temukan, didapati di dataran berpepohonan lebat.
Batu-batu nisan itu sering ditemukan dalam keadaan terbenam setengahnya.
Totalnya ada 920 pasang batu nisan ditemukan di Daya, yang hampir semuanya
dihiasi atau dipenuhi ayat-ayat Al-Qu'ran. Semua batu nisan itu, baik yang
memiliki epitaf ataupun tanpa nama dan tahun, telah disalin (rubbing) dan
difoto semuanya. Semua kompleks kuburan, betapapun kecilnya, telah ditempatkan
di atas gundukan, sehingga kompleks kuburan dapat ditemukan segera setelah
lahan dibersihkan. Seluruh wilayah diteliti, namun secara berlebihan, gampong
dan gunung yang disebutkan dalam legenda tadi dikenai penyelidikan yang sangat
akurat.
Di gampong
Lam No, semua batu nisan digali dan banyak yang lepas dari akar pohon. Hanya
dua kuburan yang patut diambil salinannya. Pada salah satunya terdapat nama.
Sebuah foto telah diambil dari kuburan ini.
Ketika
pekerjaan sudah selesai dilakukan di areal ini, Penulis pindah ke gampong Loee,
di mana banyak kompleks makam juga yang ditemukan di sana. Empat batu kubur
telah dibawa ke kompleks kuburan Teungku Bak Sapik untuk diambil salinannya. Di
atas batu yang paling lapuk, penulis berpikir untuk membaca kata: sultan.
Berikut ini adalah dua batu nisan yang dipotret (8 shot). Seberang Gampong
Loee, di pinggir laut, ada tiga kubur ditemukan di atas bukit. Pada sebuah batu
nisan terdapat kata "sultan", nama dan tahunnya muncul. Foto dan
salinan juga telah dibuat untuk batu nisan ini.
![]() |
Batu Nisan di komplek makam Tuan Pakeh. Gampong Pante Keutapang, Lamno, Aceh Jaya. |
![]() |
Batu Nisan di komplek makam Tuan Pakeh. Gampong Pante Keutapang, Lamno, Aceh Jaya. |
Beberapa
batu nisan ditemukan di Gampong Nusa, salah satunya berisi epitaf tanpa
tanggal. Semua batu nisan di sini sudah dibuat salinannya.
Di Kuta
Poteu Meureuhoem Daya, yang berbatasan dengan satu sisi di Kuala Daya, Penulis
telah menemukan empat kuburan. Hanya pada satu batu nisannya saja yang terukir
inskripsi sampai dengan ke kaki batu. Dari batu ini hanya diambil salinannya
saja. Kemudian, situs tersebut terbuka ke pantai antara Cot Gle Jong dan Gle
Syurga (mulut Kuala Daya). Di sini banyak kompleks kuburan yang diperkirakan di
luar bayangan. Termasuk di antaranya Pah Lawan Syah. Di kompleks tersebut, dua
wanita bersaudara telah dikuburkan berdampingan. Batu nisan yang tegak telah
pecah di bagian kepala dan kaki, tapi untungnya masih terpelihara dengan baik,
sehingga epitaf dan tahun-tahun sebagiannya masih dapat terbaca. Menurut cerita
penduduk, batu nisan Pah Lawan Syah pasti telah dilapisi emas dan batu permata,
dan kanduri masih dilaksanakan di sini sampai dengan hari ini. Kubur Datu' Pagu
ditunjukkan kepada saya pada jarak seperempat jam dari Pah Lawan Syah. Di
kuburan itu, yang terletak antara gampong dan rawa-rawa, ada dua batu kali yang
bulat dan besar.
Di Cot Gle
Jong terbaring kubur Poteu Meureuhoem dan putrinya, yang sudah dua tahun yang
lalu ditemukan manakala Raden Dr. Hoesein Djajadiningrat berada ke Daya;
ditemukan, difoto dan dibuat salinannya. Pada waktu itu ZEZGel (?) beruntung
dapat memiliki sebuah surat tua yang bisu dengan stempel Sultanah Tajul 'Alam
di atasnya. Meski penulis laporan ini telah melakukan banyak upaya untuk
melacak sarakata, namun ia tidak diperkenan untuk berhasil.
![]() |
Nisan Sultan 'Alauddin Ri'ayat Syah atau lazim disebut Poteumerhom. Gampong Gle Njong kecamatan Jaya kabupaten Aceh Jaya. |
Pada 23
April pekerjaan sudah selesai di Daya dan semua kembali ke Kuta Raja untuk
mengerjakan temuan-temuan itu di kantor. Untuk lima salinan inskripsi kuburan
telah dibuat foto cetaknya, dan salinan itu telah dikirim ke Kepala Biro
Kepurbakalaan dalam bentuk duplikat. Setelah menyelesaikan tugas tersebut,
penulis laporan ini bekerja di Leupoeng sampai Sedu. Hanya satu kubur di antara
kubur-kubur yang ditemukan yang mesti dibuat salinan batu nisannya, sementara
secara keseluruhan, penulis telah menemukan 15 batu nisan berornamen di tempat
itu.
Pada 24
Mai, penulis berangkat ke Calang dan menyelidiki wilayah tersebut sampai dengan
Krueng Teumom (Teunom), tetapi tanpa hasil. Pada 7 Juni, ia kembali ke Kuta
Raja. Badai hujan yang deras menyebabkan penelitian dihentikan untuk sementara
waktu. Setelah bulan puasa, jika cuaca sudah membaik, penulis berharap, dari
Calang dapat menyelidiki wilayah Daya sampai Kuala Unga untuk kemudian
menyelesaikan pekerjaan di sepanjang pantai barat.
Selama
penyelidikan di bekas Kerajaan Daya, penulis telah melakukan perjalanan di
sepanjang Krueng Gapa bersama pemandu Aceh yang hanya bisa menunjukkan satu
tempat di mana delapan pasang batu nisan berukir Kalimah Syahadat.
Kompleks
ini ditemukan di kaki pegunungan yang tinggi di mana Krueng Gapa melewati
tebing yang curam. Menurut keterangan pemandu, aliran sungai tersebut telah
berubah, dan batu nisan lalin telah jatuh ke sungai dan hilang.
Kuta Raja,
24 Juni 1917.
Sumber:
Oudheidkundig Verslag 1917, P. 65-70.
Link
Download:
https://ia800601.us.archive.org/5/items/in.gov.ignca.37040/37040.pdf
Berikut
ini adalah sejumlah lokasi situs pemakaman di pantai barat Aceh yang telah
tercatat dalam daftar foto dan salinan yang dilaporkan oleh J. J. de Vink pada
tahun 1917.
1. Tuan
Pakeh, Gampong Lam No, Meunasah Tuha, Mukim Lam No (Nomor: 1472 - 1476, Daftar
Foto XI/XII, Atjeh).
2. Teungku
Ba Sapih, Gampong Meunasah Rayeuk Loee, Mukim Lam Beuso (Nomor: 1477 - 1480,
Daftar Foto XI/XII, Atjeh).
3. Teungku
Gle Meurah, Gampong Meunasah Rayeuk Loee, Mukim Lam Beuso (Nomor: 1481 - 1484,
Daftar Foto XI/XII, Atjeh).
4. Teungku
Pahlawan Syah, Gampong Ueateue, Meunasah Meungkoeroek, Mukim Kuala Daya (Nomor:
1485 - 1488, Daftar Foto XI/XII, Atjeh).
5. Teungku
Meurah, Gampong Nusa, Meunasah Nusa Ikoe, Mukim Kuala Daya (Nomor: 2496 - 2503,
Daftar Salinan XII, Atjeh).
6. Gampong
Gle Jong, Meunasah Jong, Mukim Lam Keumawe (Nomor: 2504 - 2511, Daftar Salinan
XII, Atjeh).
7. Teungku
Ujoeng Puloet, Gampong Meunasah Layeun, Mukim Leupung (Nomor: 2520 - 2527,
Daftar Salinan XIII, Atjeh).
8. Teungku
Lhok Nga, Gampong Meunasah Tanjoeng, Mukim Koee (Nomor: 2528 - 2536, Daftar
Salinan XIII, Atjeh).
9. Teungku
Sareh, Gampong Lam Lhom, Meunasah Baroe, Mukim Lam Lhom, (Nomor: 2537 - 2540,
Daftar Salinan XIII, Atjeh).
10.
Teungku di Blang, Gampong Meunasah Karing, Mukim Lam Lhom (Nomor: 2541 - 2548,
Daftar Salinan XIII, Atjeh).
11.
Teungku Sareh, Gampong Lam Lhom, Meunasah Baroe, Mukim Lam Lhom (Nomor: 2549 -
2561, Daftar Salinan XIII, Atjeh).
12.
Teungku Putro Plangke, Gampong Meunasah Lam Lhong, Mukim Lhong (Nomor: 2562 -
2564, Daftar Salinan XIII, Atjeh).
13.
Anonim, Gampong Meunasah Lam Juhang, Mukim Lhong (Nomor: 2565, Daftar Salinan
XIII, Atjeh).
14.
Anonim, Gampong Meunasah dan Mukim Gle Bruk (Nomor: 2566 & 2567, Daftar
Salinan XIII, Atjeh).
15.
Anonim, Gampong Blang Bangi, Meunasah Blang Keumawe, Mukim Kuala Daya (Nomor:
2568 & 2569, Daftar Salinan XIII, Atjeh).
16.
Teungku Krinci, Gampong dan Meunasah Kuala, Mukim Lam Beuso (Nomor: 2570 &
2570, Daftar Salinan XIII, Atjeh).
17. Po di
Kandang, Gampong Meunasah dan Mukim Kuala Unga (Nomor: 2572 - 2579, Daftar
Salinan XIII, Atjeh).
Catatan:
Terjemahan
yang dikerjakan secara terpaksa ini ditujukan hanya untuk memberikan gambaran
umum dari isi tulisan asli dalam Bahasa Belanda. Perbaikan, penyempurnaan
bahkan penerjemahan ulang masih diharapkan.
0 Komentar