Alfiyyatu Ibni Malik


Apa yang harus kulakukan dengan Nahwu dan Sharaf?! Aku tanyakan pertanyaan itu pada diriku!

Kemudian terpikirlah olehku bahwa Nahwu dan Sharaf mestilah tidak keluar dari "Alfiyyatu Ibni Malik". Jika aku berhasil menghafalnya, pastilah dengan seizin Allah Ta'ala aku dapat menjamin kelulusanku.

Waktu-waktuku kemudian larut dalam menghafal "Alfiyyah Ibni Malik" sampai aku dapat menghafalnya dengan sangat baik.

Datang waktu ujian, kemudian, aku masuk ke kelas dan menerima soal-soal ujian. Ternyata, aku dapat menjawab soal-soal dengan sangat mudah. Aku mengingat bait-bait Alfiyyah yang berkenaan dengan masalah yang ditanyakan dalam soal, dan memberikan penjelasan yang sedikit lebih rinci.

Dan akhirnya.. aku lulus.

Dengan begitu, aku sudah dapat memenuhi harapan ayahku dan menyenangkan perasaannya terhadapku. Segala puji bagi Allah!

Sumber: Syaikh 'Abdul Halim Mahmud, Syaikhul Azhar (Wafat 15 Dzulqa'dah 1397/17 Oktober 1978), dalam "Alhamduli-Llah, Hadzihi Hayatiy" (Segala Puji bagi Allah, Inilah Hidupku), sebuah autobiografi.

الحمد لله هذه حياتي لفضيلة الإمام الأكبر الشيخ عبد الحليم محمود شيخ الأزهر الشريف الأسبق

Download: http://www.narjes-library.com/2012/03/blog-post_922.html

Salinan tangan (manuskrip) urjuzah atau nazham "Alfiyyatu Ibni Malik" adalah di antara salinan yang ditemukan dalam jumlah menonjol di Aceh. Hal ini dengan terang menunjukkan perhatian besar para guru dan penuntut ilmu-ilmu Islam di Aceh terhadap Bahasa Arab dan kaidah-kaidahnya.

Tidak saja sampai di situ, salinan-salinan itu pun rata-rata ditulis dengan khath Arab yang sangat baik dan indah, hal mana dengan mudah dapat dimengerti bahwa lewat penulisan yang baik dan berseni, yang tentunya memerlukan usaha yang lebih keras dan waktu yang lebih lama, para penyalinnya seolah ingin melekatkan bait-bait itu dalam kepala mereka, mencetaknya dalam ingatan mereka.

Ke-Arab-an Aceh di masa lampau adalah anugerah; mendekatkan dan menghubungkannya dengan Wahyu Ilahiy, keteladanan Nabi dan para pengikutnya, serta warisan para ulama Islam di sepanjang masa. Saat Aceh menyia-nyiakan anugerah tersebut dan melepaskannya, maka ia tak ubahnya batang mati akar; takkan ke julang ia meninggi, dan pastilah ke bawah ia roboh! Pedihlah kiranya andai kata kita generasi yang diingkari oleh para pendahulu, bagai anak tak diakui orang tuanya!

Kuta Malaka, 4 Jumadil Awal 1440.



Oleh: Musafir Zaman

Posting Komentar

0 Komentar