Bersama Keindahan

Al-Imam Abu Hamid Al-Ghazaliy (405-505 H/1058-1111 M) dalam Ihya' Ulumiddin (1426 H, h.1661):
"Setiap keindahan disukai oleh orang yang dapat menangkap keindahan. Dan itu adalah oleh karena keindahan itu sendiri, [bukan karena lainnya]. Sebab, di dalam menangkap keindahan itu sendiri terdapat kenikmatan... Anda jangan menyangka bahwa menyukai bentuk-bentuk yang indah itu hanya dapat dibayangkan dalam rangka memenuhi suatu keinginan. Memenuhi keinginan itu kenikmatan yang lain, di mana bentuk-bentuk yang indah terkadang disukai memang untuk maksud tersebut. Menangkap keindahan itu sendiri adalah juga suatu kenikmatan, dan karenanya, hal ini juga sesuatu yang disukai dengan sendirinya. Bagaimana hal tersebut dapat dipungkiri sedangkan tanaman yang hijau dan air yang mengalir disukai bukan karena untuk dimakan dan diminum atau untuk diambil, tapi hanya karena untuk dipandang... Sampai-sampai, seseorang akan hilang kegundahan dan kesusahannya hanya dengan memandang itu semua dengan tanpa maksud untuk mengambil apapun setelah memandangnya."

Apabila menangkap keindahan adalah suatu kenikmatan--dan tanda-tanda kebesaran Allah di pelbagai cakrawala dan pada diri manusia merupakan objek keindahan yang agung, dan Dia telah Memperindah segala sesuatu yang Dia Ciptakan (As-Sajadah:7)--maka keikutsertaan dan keterlibatan manusia--sebagai makhluk yang diberkahi budi--dalam penciptaan keindahan adalah suatu hal yang tidak terelakkan. Manusia secara pasti tertuntun untuk terlibat dalam penciptaan keindahan.

Setiap Mu'min yang menghidupi kalimat-kalimat Al-Qur'an secara pasti mengetahui dan menyadari bagaimana ia telah dibimbing untuk memperhatikan segala keindahan yang disajikan di alam raya dan pada diri manusia, sekaligus mencitarasainya. Begitu pula dengan menghidupi syari'at Islam, ia juga dapat merasakan secara nyata bagaimana ia dibimbing kepada segala bentuk dan makna keindahan.

Semua bimbingan itu ditujukan untuk menumbuhkan penghayatan terhadap kemahabesaran Allah Subhanahu wa Ta'ala dan takut kepada-Nya. Dalam waktu yang sama, itu juga telah mendorong minat penciptaan keindahan dalam berbagai lapangan kehidupan, bahkan terkadang dalam iklim yang tidak mendukung untuk itu.

Di jalan Islam, penciptaan keindahan memiliki makna yang luas.
Penyusun Lisanul 'Arab mengutip Ibnu Al-Atsir: "Al-jamal" (keindahan) terdapat pada bentuk (shuwar) dan makna (ma'aniy), antara lain sebagaimana dalam hadits: 'Sesungguhnya Allah Maha Indah, dan Menyukai keindahan.' Yakni, Maha Baik Perbuatan-Nya lagi Maha Sempurna Sifat-Nya." (Hadits dalam kutipan ini shahih diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya, Ahmad dalam Musnadnya, dan Al-Hakim dalam Al-Mustadrak)

Imam Al-Ghazaliy mengatakan (1426 H, h.1662):
"Maka ketahuilah, bahwa kebaikan dan keindahan terdapat pada hal-hal selain yang bersifat fisik, sebagaimana ungkapan: ini adalah perangai yang baik, ilmu yang baik, kelakuan yang baik, budi pekerti yang indah..."

Perbuatan baik, dengan demikian, adalah juga suatu penciptaan keindahan. Memindahkan duri dari jalan, karenanya, merupakan suatu penciptaan keindahan. Sabar adalah penciptaan keindahan. Memaafkan adalah penciptaan keindahan. Tauhid dan memerdekakan diri dari menyembah selain Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah penciptaan keindahan, bahkan merupakan keindahan tertinggi, sedangkan kebalikannya, yakni kufur, adalah "rijs" (suatu yang buruk, busuk, kotor dan najis).

فَمَن يُرِدِ اللَّهُ أَن يَهْدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ ۖ وَمَن يُرِدْ أَن يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاءِ ۚ كَذَٰلِكَ يَجْعَلُ اللَّهُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ
"Barangsiapa Dikehendaki Allah akan mendapat hidayah (petunjuk), Dia akan Membukakan dadanya untuk (menerima) Islam. Dan barangsiapa Dikehendaki-Nya menjadi sesat, Dia Jadikan dadanya sempit dan sesak, seakan-akan dia (sedang) mendaki ke langit. Demikianlah Allah Menimpakan 'rijs' (kebusukan; keburukan; siksa; laknat di dunia dan azab di akhirat) kepada orang-orang yang tidak beriman." (Al-An'am: 125)

Adalah di antara 'Jawami'ul Kalim' yang disampaikan Rasulullah Shalla-Llahu 'alaihi wa Sallam ketika beliau menerangkan pengertian "Al-Ihsan" (melakukan dan memberikan kebaikan) sebagai suatu sikap menyembah Allah seolah-olah melihat-Nya, dan andai kata tidak melihat-Nya, maka yakinlah bahwa Ia Maha Melihat.

Perbuatan baik dan penciptaan keindahan, di jalan Islam, dengan demikian, merupakan sikap pengabdian ('ibadah) kepada Allah yang disertai keikhlasan serta keyakinan bahwa Allah Maha Mengetahui atas segala apa yang dilakukan. Dari itu, keindahan selalu akan menyertai kehidupan yang Islami. Dan, dalam konteks sejarah, berbagai jejak penciptaan keindahan, baik lahiriah maupun maknawi, adalah sesuatu yang sama sekali tidak sulit ditemukan di setiap lingkungan di mana masyarakat Muslim hidup, sekalipun itu dalam kondisi lingkungan hidup yang berat.

Jejak-jejak penciptaan keindahan itu bahkan dapat ditemukan di sebuah gampong (kampung) yang hari ini terpencil di wilayah pesisir Kecamatan Seulimum, Aceh Besar: Gampong Beuruenut, Mukim Lampanah.

Beureunut, dewasa ini, adalah permukiman yang tidak begitu ramai di titik pertemuan sungai Beureunut dan laut Selat Malaka. Sungainya yang mengalir dan berhulu di Mukim Lamteuba, sebuah daerah di kaki Gunung Seulawah Agam, tetap saja tidak mampu meredakan gelombang suhu panas dan udara yang kering di musim kemarau. Lain itu, sebagai bagian dari lanskap karst, Beureunut tentu saja tampak seperti tempat di mana cekungan-cekungan dan bukit-bukit saling bermesraan, dan nyaris hanya menerima mereka yang memiliki tubuh atletis dan berstamina tinggi sebagai penghuninya.

Namun, di balik wajah keras iklim dan topografi Beureunut sebagaimana yang tampak sampai dengan hari ini, Ujung Batee Puteh yang diikuti oleh keluk di sisi timurnya telah menjadi rahasia keelokannya di zaman maritim yang silam. Dengan Ujung Batee Puteh dan teluk yang menawarkan perlindungan dan kenyamanan bagi kapal-kapal, Beureunut tampaknya telah memikat para pelaut dan melambaikan tangannya agar mereka merapat. Bahkan, barangkali, bukan setakat itu saja, sebab Beureunut lewat aliran sungainya juga menyediakan akses ke daerah pedalaman di mana sumber-sumber daya alam tersedia. Hal ini tentu menjadi daya tawar yang lebih tinggi, terutama ketika Lamuri sebagai sebuah negara maritim di utara Sumatra sedang membangun kejayaannya di abad ke-9 Hijriah (ke-15 Masehi).

Di kawasan dengan keadaan alam dan kepentingan seperti itulah hidup sebuah masyarakat yang mengambil Islam sebagai rujukan entitasnya di zaman yang telah lampau. Masyarakat tersebut berada wilayah politik Lamuri abad ke-9 Hijriah (ke-15 Masehi) yang juga bersendikan Islam. Maka tidak syak lagi, di mana Islam tumbuh, di situlah pula ditemukan bersamanya jejak-jejak penciptaan keindahan.

Jejak-jejak penciptaan keindahan yang ditemukan di Beureunut terdapat pada alamat-alamat kematian. Jejak-jejak itu, dengan demikian, kembali mencoba menegaskan bahwa kematian bukanlah sesuatu yang menakutkan, tapi justru merupakan jalan pulang; sesungguhnya kita milik Allah, dan kepada-Nya kita sesungguhnya pulang. Hal yang sesungguhnya menakutkan adalah keburukan yang dilakukan di masa hidup! Semoga rahmat dan ampunan Allah senantiasa tercurahkan.

Inilah di antara jejak-jejak penciptaan keindahan yang ditemukan di Beureunut, Mukim Lampanah, Selimun, Aceh Besar. Gambar-gambarnya telah direkam dalam peninjauan yang dilakukan pada 5 Zulhijjah 1433 (21 Oktober 2012):
1. Sisa batu nisan dengan inskripsi yang masih dapat terbaca membunyikan ayat 156 dari surah Al-Baqarah, dan kata: 'Asyhadu' (aku bersaksi).
إنا لله وإنا إليه راجعون أشهد
(Sesungguhnya kami milik Allah, dan kepada-Nya sesungguhnya kami kembali. Aku bersaksi...)


***

2. Sisa batu nisan dengan inskripsi yang masih tampak, berbunyi:
مائة خمس
ون من هجرة
صلى الله عليه وسلم
(ratus lima
w-n dari hijrah
Shalawat Allah dan salam-Nya ke atas beliau)

***

3. Sisa batu nisan dengan inskripsi yang masih tampak membunyikan bagian ayat 29-31 dari surah Az-Zumar:
ميتون ثم إنكم يوم القيامة عند ربكم تختصمون
Ayat 29-30 surah Az-Zumar selengkapnya berbunyi:
إنك ميت وإنهم ميتون ثم إنكم يوم القيامة عند ربكم تختصمون
(Sesungguhnya engkau [Muhammad] akan mati dan mereka akan mati [pula]. Kemudian sesungguhnya kamu pada hari Kiamat akan berbantah-bantahan di hadapan Tuhan-mu.)


***

4. Sisa batu nisan (lihat 2 & 3)


5. Sisa batu nisan dengan inskripsi yang masih tampak, antara lain berbunyi:
الزمان
يوم
(...zaman...?
...hari...?
?)



6-12. Ragam dekorasi.








13. Inskripsi:
لا إله إلا الله الحي الحليم (؟)
لا إله إلا الله العلي ...(؟)



14-17. Ragam dekorasi.





18. Inskripsi:
لا إله إلا الله الحي الحليم (؟)
لا إله إلا الله العلي ...(؟)



19. Inskripsi dengan gaya kaligrafi yang tampaknya terilhami oleh suatu fenomena dalam lingkungan hidup di wilayah Lamuri. Bagi saya, itu tampak seperti bentuk-bentuk yang tampak di permukaan air saat cahaya bulan purnama jatuh. Di antara yang dapat dipastikan bunyinya ialah:
محمد رسول الله
يا ألله


20. Dekorasi dan inskripsi yang belum dapat dipastikan bunyinya.


21-22. Batu nisan Lamuri (lihat 20).



23-24. Inskripsi membunyikan ayat Al-Kursiy (Al-Baqarah: 255)



26. Batu nisan dengan dekorasi khas Lamuri.


Punge Blang Cut, 4 Sya'ban 1440.
Oleh: Musafir Zaman

Dikutip dari Group Facebook Mapesa

Posting Komentar

0 Komentar