Polaris
(Dan laut yang t'lah kita tinggalkan
sendiri tanpa layar lancang
Dan bentang permukaan birunya
yang tidak lagi menghiasi impian
Dan bintang-bintang di langit malam
yang tidak lagi jadi penerang
Dan waktu yang t'lah lepas
dari genggaman
Dan kita yang jatuh terpental
dari panggung zaman)
Kesilaman dalam
perspektif ilmiah sedang tidak diminati. Konon, arus utama di Aceh sedang fokus
pada kekinian dan masa depan, namun tampaknya hal itu akan dilakukan dengan
pola perilaku pengidap amnesia psikogenik, yakni dengan tanpa apapun rekaman
tentang masa lampaunya.
Dengan
kekosongan pikiran sebagaimana pengidap amnesia psikogenik, arus utama berniat
melangkah menyusul orang lain yang dikiranya sudah lebih jauh maju di depan!
Namun terang saja, ia tidak memiliki modul yang disusunnya sendiri atas dasar
pengetahuan dan pengalamannya. Ia hanya meniru dan mengekor orang lain tanpa
kesadaran yang mendalam terhadap arah yang dituju, dan juga tanpa pengetahuan
akan pola langkah terbaik yang diambil demi mencapai tujuan. Seluruh hal yang
dimauinya hanyalah meniru dan mengekor apa saja yang dapat mengesankan dirinya
seolah-olah seseorang yang sedang melangkah maju.
Lucu-pilunya
lagi, ketika baru beberapa langkah ia mengangkatkan kakinya, ia terpaksa
berhenti lama hanya oleh karena satu duri kecil yang menusuk kaki. Otaknya
tidak menyediakan penjelasan untuk itu sebab telah kosong dari apapun
pengalaman. Ia bertanya-tanya, apa ini dan kenapa menyebabkan sakit? Pada waktu
kemudian ia akan melangkah dengan sangat lamban hanya karena takut tertusuk
duri kecil! Mampukah kemudian ia menyusul?!
Kesilaman dalam
perspektif ilmiah (sejarah) merupakan khazanah sekaligus sumber pengetahuan dan
pengalaman yang diperlukan dalam penyusunan modul rekayasa kekinian dan masa depan.
Tapi di Aceh, sumber ini ditelantarkan percuma. Walhasil, Aceh yang telah
sangat lama menempuh perjalanan melewati berbagai aral melintang di jalan
pembangunan peradaban Islam di kawasan Asia Tenggara, dan yang di masa
lampaunya merupakan sebuah gagasan (konsep), kini menjadi semata-mata ruang
geografis hunian level provinsi, atau secara lebih picik lagi, dianggap sebagai
sebuah suku.
Permukiman
Pelaut
Sejauh
pemeriksaan yang dilakukan selama ini terhadap dokumen-dokumen serta berbagai
tulisan (laporan) yang pernah dipublikasi menyangkut batu nisan Aceh, sejak
permulaan abad ke-20 (zaman kolonial Belanda) sampai dekade pertama abad ke-21,
dapat dipastikan bahwa berbagai lokasi situs dari zaman Sumatra (abad ke-13 s/d
ke-16) yang hari ini berada dalam wilayah administrasi Kota Lhokseumawe
ternyata sama sekali telah luput dari perhatian. Lokasi-lokasi situs yang dapat
dikelompokkan, sedikitnya, ke dalam lima kawasan situs penting di sekitar Teluk
Samawi--toponimi awal dari apa yang kemudian lebih dikenal dengan Lhok
Seumawe--baru terungkap dalam kegiatan penyelidikan yang dilakukan CISAH di
tahun-tahun pertama dekade kedua abad ke-21 ini. Kawasan-kawasan situs tersebut
secara umum berada di bagian barat teluk, dan jika diurut selaras orientasi
selatan-utara, terdiri dari: Meuraksa (mukim), Kandang (mukim), Alue
Lim-Jileukat-Blang Weu (gampong-gampong dalam mukim Mangat Makmu), Cunda
(mukim), Lhokseumawe (mukim).
Dari
penyelidikannya, CISAH mengklaim telah menemukan kawasan-kawasan situs yang
merupakan bekas hunian masyarakat pelaut dari zaman Sumatra. CISAH mendalilkan
klaimnya atas dasar penemuan kubur tokoh-tokoh berpredikat "mu'allim"
(navigator), yang merupakan kedudukan tertinggi dalam kerja kelautan, di
beberapa lokasi situs tersebut. Klaim itu juga dirasionalkan oleh keletakan
geografis kawasan-kawasan situs yang secara langsung terhubung dengan
posisi-posisi dermaga, yang secara ideal dan rata-rata berada di bagian barat
teluk. Pendokumentasian telah dilakukan secara saksama dalam waktu itu, dan sebuah
draft kajian bertajuk "Inskripsi Teluk Samawi" telah siap menuju
tahap final. Tapi, bagaimanapun kemauan keras dan upaya yang dilakukan agar
kajian dan laporan dokumentasi itu dapat terlahir dalam suatu wujud kontribusi
ilmu pengetahuan, tetap saja pada akhirnya kita dihadapkan pada kenyataan bahwa
sebenarnya kita sedang berada dalam musim yang salah. Kesilaman dalam
perspektif ilmiah (sejarah) sedang tidak diminati!
Seiring waktu
dan tahun-tahun berlalu, yang terjadi hanyalah penyusutan, baik itu di tataran
lapangan maupun database.
Di tataran
lapangan, beberapa kawasan situs susut atau nyaris 'tewas' akibat proyek
pembangunan pemerintah baik itu dengan maupun tanpa qanun tata ruang, sebab
qanun tata ruang juga tampaknya dirancang dengan draft akademik yang tidak
begitu jeli melihat aspek sosial-budaya dan sejarah--malah boleh jadi juga
dengan rancangan peraturan siap saji/copy-paste dari perda daerah lain--dan
tidak mengacu pada penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan.
Proyek
pembangunan kemudian dimaklumi sebagai 'kesempatan emas birokratis' yang akan
selalu dapat mengalahkan nilai kesilaman dalam apapun wujudnya. 'Kesempatan
emas birokratis' ini hakikatnya juga semacam penyakit yang tidak jarang
ditularkan kepada tokoh-tokoh masyarakat [non-birokrat] di mana lokasi-lokasi
situs berada. Terbujuk dan tergiur oleh serpihan dari 'kesempatan emas
birokratis', sehingga kalimat paling santun yang pernah didengar dari seorang
tokoh masyarakat terkait proyek pembangunan versus pelestarian lokasi dan
kawasan situs sejarah: "Sudahlah! Tidak ada lagi sejarah-sejarah! Itu
sudah berlalu!"
Penyusutan
akibat faktor semisal itu terjadi di banyak tempat. Diitambah dengan penyusutan
akibat faktor pengabaian yang sudah merupakan kenyataan umum, maka situs-situs
peninggalan sejarah yang merupakan warisan yang kaya dengan berbagai makna dan
pengetahuan itu ke depannya diprediksi akan semakin menciut, berbanding sejajar
dengan surutnya kontribusi Aceh secara total dalam gerak perubahan dan
perbaikan.
Aceh kini dan
masa depan, sebagai konsekuensi dari itu semua, kemudian, menjadi ujung yang
paling berseberangan dari Aceh silam, bukan dalam dimensi waktu, tapi dalam
dimensi entitas (wujud) dan kualitasnya. Sehingga, perjalanan sejarah yang
panjang yang telah ditempuh Aceh dalam mendesain dan membangun peradaban Islam
di kawasan Asia Tenggara tampak pada akhirnya telah berujung ke titik
nol--sebuah imbalan yang benar-benar tidak layak dari 'Aceh kini' kepada 'Aceh
silam'; susu dibalas tuba!
Sementara di
tataran database, penyusutan terjadi akibat kurangnya sarana pendukung yang
memungkinkan perawatan database secara lebih baik dan lebih aman. Sebagian
besar informasi mengenai kawasan-kawasan situs di Lhokseumawe akhirnya lenyap,
dan bersamanya ikut raib pula draft kajian 'Iskripsi Teluk Samawi'.
Hasbuna-Llah wa ni'mal Wakil.
Maka di disni,
mungkin, perlu juga diungkapkan betapa beruntungnya mereka yang bekerja dalam
bidang ini di negara-negara maju, di mana kemutlakan kepentingan pengetahuan
sejarah telah diputuskan dan diyakini sejak waktu yang sudah lama sekali!
Datang dari
Teluk Arab (Teluk Persia)
Dalam kondisi
penyusutan yang memprihatinkan sebagaimana telah diutarakan, beberapa hal istimewa
(aneh) yang ditemukan di kawasan-kawasan situs dalam wilayah Kota Lhokseumawe
masih melekat kuat dalam ingatan, dan masih merupakan tanda tanya. Antara lain,
tentang nama dan asal usul tokoh-tokoh 'mu'allim' (navigator), kebahasaan
beberapa inskripsi, simbol-simbol serta beberapa model dekorasi yang terdapat
pada berbagai batu nisan.
Di antara
hal-hal istimewa (aneh) itu juga termasuk satu kata yang sempat dijumpai pada
beberapa batu nisan di lokasi yang dikenal dengan Cot Geulumpang. Sebagaimana lainnya,
makna kata tersebut juga telah menjadi sebuah rahasia yang tidak terpecahkan
selama bertahun-tahun sekalipun sangat sederhana dan pendek; cuma terdiri dari
tiga huruf Arab: ya', alif, ha', yang secara pasti dapat dilafal dengan:
"Yah". Kata itu terpahat pada bagian puncak batu nisan.
Belakangan ini,
karya-karya Ibnu Majid (821-906 H) dan Sulaiman Al-Mahriy (W. 961 H/1554 M)
dalam bidang kelautan dan pelayaran menjadi satu di antara sejumlah objek yang
mendapat curahan perhatian saya. Ini sebenarnya masih dalam rangka sebuah
proyek pengetahuan yang telah mengambil nomor antrean sejak lama bertema:
Sumatra dalam Catatan Arab (Abad ke-3 s/d ke-10 Hijriah). Sebagaimana berbagai
proyek pengetahuan lainnya yang realisasinya terganjal oleh banyak keterbatasan,
'Sumatra dalam Catatan Arab' juga masih harus menunggu sampai waktu yang belum
dapat ditentukan kendati kepustakaan yang diperlukan untuk penggarapannya,
dapat dikatakan, telah lebih dari cukup.
Membaca Ibnu
Majid dan Sulaiman Al-Mahriy, saya dihadapkan kepada sebuah kesulitan yang
secara serius mesti dilewati. Keduanya adalah ahli kelautan dan pelayaran yang
dengan sendirinya memiliki kemampuan yang sangat besar dalam 'Ilmu Al-Falak
(astronomi). Saya sendiri sama sekali tidak memiliki kompetensi dalam ilmu yang
pelik itu, namun kesulitan mesti dilampaui walau bagaimanapun dan semampu
mungkin.
Dalam
karya-karya mereka, kata "Al-Jah" akan secara terus-menerus dijumpai.
Secara etimologis, kata itu, dalam bahasa Arab, berarti kedudukan yang tinggi
atau kemegahan. Namun demikian, beberapa kamus tidak dapat membantu saya
menemukan maksud yang diinginkan dari kata "Al-Jah" dalam karya-karya
tersebut sampai kemudian Ibnu Majid dalam Al-Fawa'id fi Ushul Al-Bahri wa
Al-Qawa'id (kaidah-kaidah dan faedah-faedah menyangkut dasar-dasar ilmu
kelautan) menjelaskannya seperti ini:
الجدي وهو الجاه
برفع الجيم ونصب الدال
المهملة وتشديد اليا والجدي
بنصب الجيم وسكون الدال
هو البرج الذي منزلتين
وثلث وهو جزء من
اثنى عشر جزأ من
جميع دورة السماء والجاه
اسم فارسي معرب ويسمى
عند أهل الديار المصرية
السميا لأن لهم اصطلاح
غير ركاب البحر الكبير
وللعرب تشبيها في
الجاه الأول في الجاه
والجاه وهو اسم الحض
عند السلطان وأيضا في
بعض اللغات اسم المكان
يقال يا فلان الشيء
الفلاني تجاهك فعلى هذا
سمي بذلك لأنه يعرف
القطب وهو سلطان جميع
النجوم المشهورات إلى القطب الذي
جميع مدارات النجوم حوله
...
وهو كثير الفائدة
لأنه بطيء السير فأقاموه
مقام القطب ...وبه يعرف عرض
البلدان لأنه أبدي الظهور
في الأقاليم الشمالية والقطب ليس هو
نجم بل هو مكان
حايل من المشرق والمغرب
يعرف بالاسطرلاب والمغناطس
Saya
terjemahkan dengan menyertakan istilah-istilah yang populer dalam astronomi:
"Al-Juday
(Polaris; Alpha Ursae Minoris; Bintang Utara; Bintang Kutub Utara), yakni
Al-Jah, dibaca dengan rafa' (dhammah) jim, nashab (fath) dal, dan tasydid ya'.
Sedangkan
Al-Jad-y (Capricornus; kaprikornus), dibaca dengan nashab (fath) jim dan sukun
dal, adalah al-burj (konstelasi bintang; rasi bintang) yang 2.3 derajat
(International Astronomical Union (IAU): 414 derajat persegi), dan ia merupakan
satu dari 12 bagian keseluruhan peredaran langit (yakni, satu dari 12 rasi
bintang yang berada di sepanjang lingkaran ekliptika; zodiak).
Al-Jah adalah
nama yang diarabisasi dari Persia. Orang-orang Mesir menyebutnya dengan Simmiya
sebab mereka memiliki istilah yang tidak sama dengan istilah yang digunakan
oleh para pelaut samudera...
Dan orang-orang
Arab memiliki perumpamaan tentang Al-Jah (Polaris). Pertama, diumpamakan dengan
al-jah, yakni satu kata yang digunakan untuk menyemangatkan penguasa/raja.
Kedua, juga diumpamakan dengan al-jah, yang sebagian orang Arab menggunakannya
dengan makna ism al-makan (nama tempat/arah; di hadapan), misalnya, 'Hai Polan,
benda itu di hadapanmu!' Atas dasar inilah, bintang tersebut dinamai dengan
Al-Jah sebab dengan bintang ini dapat diketahui arah kutub [utara], dan ia juga
merupakan raja dari seluruh bintang yang terkenal di kutub utara, di mana semua
bintang beredar di sekitarnya...
Al-Juday atau
Al-Jah (Polaris) mempunyai banyak faedah karena ia adalah bintang yang bergerak
lamban, maka karena itu, para pelaut menempatkannya sebagai bintang kutub
[utara]... dengan bintang itu pula dapat diketahui lintang berbagai negeri,
sebab tampak abadi di berbagai wilayah utara. Sementara kutub bukanlah bintang
tapi daerah yang luas antara timur dan barat, yang dapat diketahui dengan
menggunakan astrolab dan magnet."
Dalam pencarian
untuk menemukan penjelasan yang lebih luas, saya lantas menemukan keterangan
bahwa "Al-Juday", oleh para pelaut dari Teluk Arab, telah disebut
dengan "al-jah" atau "al-yah" dalam dialek mereka.
Menemukan
keterangan seperti itu, ingatan saya seketika memunculkan gambar yang telah
direkam sejak beberapa tahun yang lalu. Satu kata aneh yang dijumpai pada
batu-batu nisan di Gampong Jeulikat, Kecamatan Blang Mangat, Kota Lhokseumawe,
dan yang selama ini belum diketahui maksudnya berbunyi: "Yah". Tapi
untuk memastikan kebenaran bahwa kata Al-Jah juga diucap dengan Al-Yah di
kawasan Teluk Arab, saya memerlukan sandaran yang lebih kuat.
Pencarian
dilanjutkan sampai kemudian, dengan taufiq Allah Ta'ala, saya menemukan satu
publikasi yang diterbitkan oleh Pemerintah Dubai, Uni Emirat Arab, pada
Desember 2009. Publikasi itu bertajuk Rijal Al-Ghaush wa Al-Lu'lu' (Mutiara dan
Para Penyelam) yang disusun oleh Jum'ah Khalifah Ahmad bin Tsalits Al-Himyariy,
seorang penulis di bidang penyelaman mutiara, warisan bahari dan lingkungan
hidup dari Dubai. Sebelumnya, pada 2008, Bin Tsalits juga telah menyusun Mu'jam
Al-Mushthalahat Al-Bahriyyah fi Daulah Al-Imarat Al-'Arabiyyah Al-Muttahidah
(Kamus Terminologi Kemaritiman di Negara Unit Emirat Arab), dan pada 2011, ia
menyusun Rihlah Al-Ghaush wa Al-Lu'lu' (Mutiara dan Pertualangan Penyelaman).
Dalam Rijal
Al-Ghaush wa Al-Lu'lu', saat menerangkan tentang kompas, Bin Tsalits antara
lain menulis seperti ini:
"Kompas (ad-dayirah) dibagi ke garis-garis dalam bentuk lingkaran yang di atasnya dicantumkan nama-nama bintang . Jarum kompas selalu menunjuk ke arah utara, yang dengan begitu para pelayar dapat mengetahui posisi dan arah mereka. Dengan mengikuti kompas mereka menuju ke arah tujuan setelah terlebih dahulu mereka mengetahui bintang mana yang akan mengantarkan mereka ke tempat tujuan. Bintang-bintang utama yang terdapat pada kompas ialah Al-Jah atau Al-Yah (Polaris; Bintang Utara), Al-Qutb (selatan), Mathla' Al-'Aqrab (tempat terbit Scorpius; tenggara), Maghib Al-'Uyuq (tempat terbenam Capella; barat laut), Mathla' (tempat terbit; timur), Maghib (tempat terbenam; barat), Mathla' Al-'Uyuq (tempat terbit Capella; timur laut), Maghib Al-'Aqrab (tempat terbenam Scorpius; barat daya). Dua bintang utama ialah Al-Yah (utara) dan Al-Qutb (selatan), dan berikut setelahnya ialah Mathla' (timur) dan Maghib (barat)."
"Kompas (ad-dayirah) dibagi ke garis-garis dalam bentuk lingkaran yang di atasnya dicantumkan nama-nama bintang . Jarum kompas selalu menunjuk ke arah utara, yang dengan begitu para pelayar dapat mengetahui posisi dan arah mereka. Dengan mengikuti kompas mereka menuju ke arah tujuan setelah terlebih dahulu mereka mengetahui bintang mana yang akan mengantarkan mereka ke tempat tujuan. Bintang-bintang utama yang terdapat pada kompas ialah Al-Jah atau Al-Yah (Polaris; Bintang Utara), Al-Qutb (selatan), Mathla' Al-'Aqrab (tempat terbit Scorpius; tenggara), Maghib Al-'Uyuq (tempat terbenam Capella; barat laut), Mathla' (tempat terbit; timur), Maghib (tempat terbenam; barat), Mathla' Al-'Uyuq (tempat terbit Capella; timur laut), Maghib Al-'Aqrab (tempat terbenam Scorpius; barat daya). Dua bintang utama ialah Al-Yah (utara) dan Al-Qutb (selatan), dan berikut setelahnya ialah Mathla' (timur) dan Maghib (barat)."
Bin Tsalits
juga menerangkan pengertian "Yah" dan "Yahi" yang digunakan
oleh para pelaut di kawasan Teluk Arab dalam Mu'jam Al-Mushthalahat
Al-Bahriyyah:
Yah: arah utara
geografis.
Yahi: arah
angin lokal yang bertiup dari dari arah bintang Yah (polaris; bintang utara).
Keterangan-keterangan
tersebut, dengan demikian, telah memastikan bahwa Polaris atau Bintang Kutub
Utara, oleh para pelaut di kawasan Teluk Arab, disebut dengan Al-Jah, dan juga
disebut dengan Al-Yah. Kata "Yah" yang tampaknya lebih umum mereka
gunakan juga berarti arah utara.
Dari sini,
penemuan inskripsi berbunyi "Yah" pada beberapa batu nisan dari zaman
Sumatra (abad ke-13 s/d ke-16) secara terang menunjukkan jejak kehadiran para
pelaut dari kawasan Teluk Arab dan pengaruh mereka di Bandar Sumatra (Syumuthrah).
Memperhatikan
bentuk batu nisan yang tergolong ke tipe bentuk paling awal, serta kaligrafinya
yang sangat sederhana, maka sangat mungkin batu nisan tersebut beserta
inskripsinya muncul di era paling awal dari sejarah Bandar Sumatra.
Kata
"Yah" pada bagian puncak batu nisan itu sendiri dapat berarti:
1. Penanda
untuk batu nisan kepala dari kubur orang yang dimakamkan (arah utara).
2. Pelambangan
untuk orang yang dimakamkan bahwa ia seperti "Yah" (Polaris; Bintang
Utara) yang selalu menjadi penunjuk arah dan penerang, atau seorang pelaut dan
navigator yang diakui kemampuannya, dan boleh jadi memang berasal dari Teluk
Arab.
Jejak ini
dengan demikian telah ikut mempertegas kepentingan Teluk Samawi dan daerah di
sekitarnya (Kota Lhokseumawe, hari ini) sebagai salah satu wilayah utama yang
mempusakai sejarah maritim di Asia Tenggara.
Aceh dan
Kemaritiman
Suatu hal yang
sudah patut untuk disadari secara lebih mendalam--yakni kesadaran yang tidak
hanya sebatas melahirkan pernyataan, tapi juga sikap dan aksi konkret--bahwa
kemaritiman dan sejarahnya merupakan "kata kunci" paling penting
dalam memahami bagaimana arus kemordenan yang berpangkal pada Islam dapat
sampai merata hampir ke seluruh daratan di Asia Tenggara. Pengetahuan tentang
itu semua juga, pada hakikatnya, merupakan "harta karun" yang akan
memberikan banyak manfaat bagi kehidupan di masa sekarang dan ke depan, baik
secara moril maupun materil, langsung maupun tidak langsung.
Aceh secara
umum, apabila dilihat dari perjalanan sejarahnya yang panjang di dunia maritim
serta pusaka kemaritimannya, sesungguhnya layak menjadi pemuncak dan kampiun di
lapangan paling berpengaruh ini. Tapi apa hendak dikata, yang disaksikan di
tataran kenyataan justru sebaliknya, malah lebih buruk lagi adalah perobohan
monumen-monumen yang mengabadikan keunggulan di lapangan tersebut. Di titik
ini, Aceh tampak seperti sedang berusaha keras untuk menghapus kesilamannya,
dan merubah dirinya untuk menjadi sesuatu yang sulit bahkan barangkali mustahil
untuk diidentifikasi!
Keterangan
Gambar:
1-2. Batu nisan
dengan inskripsi berbunyi:
ياه
"Yah",
yakni arah utara; Polaris.
Lokasi situs
Cot Geulumpang, Gampong Jeulikat, Kecamatan Blang Mangat, Kota Lhokseumawe
(2015).
ياه
"Yah",
yakni arah utara; Polaris.
Dan pada bagian
muka:
نصر من الله
"Pertolongan
(kemenangan) dari Allah..." (penggalan ayat 13 surah Ash-Shaff).
Lokasi situs Cot Geulumpang, Gampong Jeulikat, Kecamatan Blang Mangat, Kota Lhokseumawe (2015).
Lokasi situs Cot Geulumpang, Gampong Jeulikat, Kecamatan Blang Mangat, Kota Lhokseumawe (2015).
4. Gambar rasi
bintang Ad-Dubb Al-Ashgar (Beruang Kecil; Ursa Minor) dan Al-Juday (Polaris;
Bintang Utara) dalam karya 'Abdur Rahman Shufi (291-376 H/903-986 M), Shuwar
Al-Kawakib Ats-Tsabitah.
5. Ilustrasi lingkaran bintang-bintang pada kompas oleh Bin Tsalits dalam Rijal Al-Ghaush wa Al-Lu'lu', 2009. Tampak kata "Yah" digunakan untuk Bintang Kutub Utara.
Bacaan:
1. Al-Mahriy
(Sulaiman bin Ahmad bin Sulaiman, W. 961 H/1554 M), Al-'Umdah Al-Mahriyyah fi
Dhabthi Al-'Ulum Al-Bahriyyah, (Manuskrip; Repro: Gabriel Ferrand).
2. Ash-Shufiy
('Abdur Rahman bin 'Umar; Abu Al-Husain, 291-376 H/903-986 M), Shuwar
Al-Kawakib Ats-Tsabitah (Manuskrip).
3. Bin Tsalits
Al-Himyariy (Jum'ah Khalifah Ahmad), Mu'jam Al-Mushthalahat Al-Bahriyyah fi
Daulah Al-Imarat Al-'Arabiyyah Al-Muttahidah, UEA: Hai'ah Al-Ma'rifah wa
At-Tanmiyyah Al-Basyariyyah, 2008.
4. Bin Tsalits
Al-Himyariy (Jum'ah Khalifah Ahmad), Rijal Al-Ghaush wa Al-Lu'lu', UEA: Hai'ah
Al-Ma'rifah wa At-Tanmiyyah Al-Basyariyyah, 2009.
5. Ibnu Majid
(Ahmad bin Majid bin Muhammad, 821-906 H), Al-Fawa'id fi Ushul Al-Bahri wa
Al-Qawa'di (Manuskrip).
6.
"Al-Juday" (ar.wikipedia.org/wiki/الجدي_(نجم).
7.
"Polaris" (en.wikipedia.org/wiki/Polaris).
8. "IAU
designated constellations by area"
(en.wikipedia.org/wiki/IAU_designated_constellations_by_area).
Oleh: Musafir Zaman
Dikutip dari Group facebook Mapesa.
Oleh: Musafir Zaman
Dikutip dari Group facebook Mapesa.
0 Komentar