Aceh dan Kemaritiman

Polaris

(Dan laut yang t'lah kita tinggalkan
sendiri tanpa layar lancang
Dan bentang permukaan birunya
yang tidak lagi menghiasi impian
Dan bintang-bintang di langit malam
yang tidak lagi jadi penerang

Dan waktu yang t'lah lepas
dari genggaman

Dan kita yang jatuh terpental

dari panggung zaman)

Kesilaman dalam perspektif ilmiah sedang tidak diminati. Konon, arus utama di Aceh sedang fokus pada kekinian dan masa depan, namun tampaknya hal itu akan dilakukan dengan pola perilaku pengidap amnesia psikogenik, yakni dengan tanpa apapun rekaman tentang masa lampaunya.

Dengan kekosongan pikiran sebagaimana pengidap amnesia psikogenik, arus utama berniat melangkah menyusul orang lain yang dikiranya sudah lebih jauh maju di depan! Namun terang saja, ia tidak memiliki modul yang disusunnya sendiri atas dasar pengetahuan dan pengalamannya. Ia hanya meniru dan mengekor orang lain tanpa kesadaran yang mendalam terhadap arah yang dituju, dan juga tanpa pengetahuan akan pola langkah terbaik yang diambil demi mencapai tujuan. Seluruh hal yang dimauinya hanyalah meniru dan mengekor apa saja yang dapat mengesankan dirinya seolah-olah seseorang yang sedang melangkah maju.

Lucu-pilunya lagi, ketika baru beberapa langkah ia mengangkatkan kakinya, ia terpaksa berhenti lama hanya oleh karena satu duri kecil yang menusuk kaki. Otaknya tidak menyediakan penjelasan untuk itu sebab telah kosong dari apapun pengalaman. Ia bertanya-tanya, apa ini dan kenapa menyebabkan sakit? Pada waktu kemudian ia akan melangkah dengan sangat lamban hanya karena takut tertusuk duri kecil! Mampukah kemudian ia menyusul?!

Kesilaman dalam perspektif ilmiah (sejarah) merupakan khazanah sekaligus sumber pengetahuan dan pengalaman yang diperlukan dalam penyusunan modul rekayasa kekinian dan masa depan. Tapi di Aceh, sumber ini ditelantarkan percuma. Walhasil, Aceh yang telah sangat lama menempuh perjalanan melewati berbagai aral melintang di jalan pembangunan peradaban Islam di kawasan Asia Tenggara, dan yang di masa lampaunya merupakan sebuah gagasan (konsep), kini menjadi semata-mata ruang geografis hunian level provinsi, atau secara lebih picik lagi, dianggap sebagai sebuah suku.

Permukiman Pelaut
Sejauh pemeriksaan yang dilakukan selama ini terhadap dokumen-dokumen serta berbagai tulisan (laporan) yang pernah dipublikasi menyangkut batu nisan Aceh, sejak permulaan abad ke-20 (zaman kolonial Belanda) sampai dekade pertama abad ke-21, dapat dipastikan bahwa berbagai lokasi situs dari zaman Sumatra (abad ke-13 s/d ke-16) yang hari ini berada dalam wilayah administrasi Kota Lhokseumawe ternyata sama sekali telah luput dari perhatian. Lokasi-lokasi situs yang dapat dikelompokkan, sedikitnya, ke dalam lima kawasan situs penting di sekitar Teluk Samawi--toponimi awal dari apa yang kemudian lebih dikenal dengan Lhok Seumawe--baru terungkap dalam kegiatan penyelidikan yang dilakukan CISAH di tahun-tahun pertama dekade kedua abad ke-21 ini. Kawasan-kawasan situs tersebut secara umum berada di bagian barat teluk, dan jika diurut selaras orientasi selatan-utara, terdiri dari: Meuraksa (mukim), Kandang (mukim), Alue Lim-Jileukat-Blang Weu (gampong-gampong dalam mukim Mangat Makmu), Cunda (mukim), Lhokseumawe (mukim).

Dari penyelidikannya, CISAH mengklaim telah menemukan kawasan-kawasan situs yang merupakan bekas hunian masyarakat pelaut dari zaman Sumatra. CISAH mendalilkan klaimnya atas dasar penemuan kubur tokoh-tokoh berpredikat "mu'allim" (navigator), yang merupakan kedudukan tertinggi dalam kerja kelautan, di beberapa lokasi situs tersebut. Klaim itu juga dirasionalkan oleh keletakan geografis kawasan-kawasan situs yang secara langsung terhubung dengan posisi-posisi dermaga, yang secara ideal dan rata-rata berada di bagian barat teluk. Pendokumentasian telah dilakukan secara saksama dalam waktu itu, dan sebuah draft kajian bertajuk "Inskripsi Teluk Samawi" telah siap menuju tahap final. Tapi, bagaimanapun kemauan keras dan upaya yang dilakukan agar kajian dan laporan dokumentasi itu dapat terlahir dalam suatu wujud kontribusi ilmu pengetahuan, tetap saja pada akhirnya kita dihadapkan pada kenyataan bahwa sebenarnya kita sedang berada dalam musim yang salah. Kesilaman dalam perspektif ilmiah (sejarah) sedang tidak diminati!

Seiring waktu dan tahun-tahun berlalu, yang terjadi hanyalah penyusutan, baik itu di tataran lapangan maupun database.

Di tataran lapangan, beberapa kawasan situs susut atau nyaris 'tewas' akibat proyek pembangunan pemerintah baik itu dengan maupun tanpa qanun tata ruang, sebab qanun tata ruang juga tampaknya dirancang dengan draft akademik yang tidak begitu jeli melihat aspek sosial-budaya dan sejarah--malah boleh jadi juga dengan rancangan peraturan siap saji/copy-paste dari perda daerah lain--dan tidak mengacu pada penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan.

Proyek pembangunan kemudian dimaklumi sebagai 'kesempatan emas birokratis' yang akan selalu dapat mengalahkan nilai kesilaman dalam apapun wujudnya. 'Kesempatan emas birokratis' ini hakikatnya juga semacam penyakit yang tidak jarang ditularkan kepada tokoh-tokoh masyarakat [non-birokrat] di mana lokasi-lokasi situs berada. Terbujuk dan tergiur oleh serpihan dari 'kesempatan emas birokratis', sehingga kalimat paling santun yang pernah didengar dari seorang tokoh masyarakat terkait proyek pembangunan versus pelestarian lokasi dan kawasan situs sejarah: "Sudahlah! Tidak ada lagi sejarah-sejarah! Itu sudah berlalu!"

Penyusutan akibat faktor semisal itu terjadi di banyak tempat. Diitambah dengan penyusutan akibat faktor pengabaian yang sudah merupakan kenyataan umum, maka situs-situs peninggalan sejarah yang merupakan warisan yang kaya dengan berbagai makna dan pengetahuan itu ke depannya diprediksi akan semakin menciut, berbanding sejajar dengan surutnya kontribusi Aceh secara total dalam gerak perubahan dan perbaikan.

Aceh kini dan masa depan, sebagai konsekuensi dari itu semua, kemudian, menjadi ujung yang paling berseberangan dari Aceh silam, bukan dalam dimensi waktu, tapi dalam dimensi entitas (wujud) dan kualitasnya. Sehingga, perjalanan sejarah yang panjang yang telah ditempuh Aceh dalam mendesain dan membangun peradaban Islam di kawasan Asia Tenggara tampak pada akhirnya telah berujung ke titik nol--sebuah imbalan yang benar-benar tidak layak dari 'Aceh kini' kepada 'Aceh silam'; susu dibalas tuba!

Sementara di tataran database, penyusutan terjadi akibat kurangnya sarana pendukung yang memungkinkan perawatan database secara lebih baik dan lebih aman. Sebagian besar informasi mengenai kawasan-kawasan situs di Lhokseumawe akhirnya lenyap, dan bersamanya ikut raib pula draft kajian 'Iskripsi Teluk Samawi'. Hasbuna-Llah wa ni'mal Wakil.

Maka di disni, mungkin, perlu juga diungkapkan betapa beruntungnya mereka yang bekerja dalam bidang ini di negara-negara maju, di mana kemutlakan kepentingan pengetahuan sejarah telah diputuskan dan diyakini sejak waktu yang sudah lama sekali!

Datang dari Teluk Arab (Teluk Persia)
Dalam kondisi penyusutan yang memprihatinkan sebagaimana telah diutarakan, beberapa hal istimewa (aneh) yang ditemukan di kawasan-kawasan situs dalam wilayah Kota Lhokseumawe masih melekat kuat dalam ingatan, dan masih merupakan tanda tanya. Antara lain, tentang nama dan asal usul tokoh-tokoh 'mu'allim' (navigator), kebahasaan beberapa inskripsi, simbol-simbol serta beberapa model dekorasi yang terdapat pada berbagai batu nisan.

Di antara hal-hal istimewa (aneh) itu juga termasuk satu kata yang sempat dijumpai pada beberapa batu nisan di lokasi yang dikenal dengan Cot Geulumpang. Sebagaimana lainnya, makna kata tersebut juga telah menjadi sebuah rahasia yang tidak terpecahkan selama bertahun-tahun sekalipun sangat sederhana dan pendek; cuma terdiri dari tiga huruf Arab: ya', alif, ha', yang secara pasti dapat dilafal dengan: "Yah". Kata itu terpahat pada bagian puncak batu nisan.
Belakangan ini, karya-karya Ibnu Majid (821-906 H) dan Sulaiman Al-Mahriy (W. 961 H/1554 M) dalam bidang kelautan dan pelayaran menjadi satu di antara sejumlah objek yang mendapat curahan perhatian saya. Ini sebenarnya masih dalam rangka sebuah proyek pengetahuan yang telah mengambil nomor antrean sejak lama bertema: Sumatra dalam Catatan Arab (Abad ke-3 s/d ke-10 Hijriah). Sebagaimana berbagai proyek pengetahuan lainnya yang realisasinya terganjal oleh banyak keterbatasan, 'Sumatra dalam Catatan Arab' juga masih harus menunggu sampai waktu yang belum dapat ditentukan kendati kepustakaan yang diperlukan untuk penggarapannya, dapat dikatakan, telah lebih dari cukup.

Membaca Ibnu Majid dan Sulaiman Al-Mahriy, saya dihadapkan kepada sebuah kesulitan yang secara serius mesti dilewati. Keduanya adalah ahli kelautan dan pelayaran yang dengan sendirinya memiliki kemampuan yang sangat besar dalam 'Ilmu Al-Falak (astronomi). Saya sendiri sama sekali tidak memiliki kompetensi dalam ilmu yang pelik itu, namun kesulitan mesti dilampaui walau bagaimanapun dan semampu mungkin.

Dalam karya-karya mereka, kata "Al-Jah" akan secara terus-menerus dijumpai. Secara etimologis, kata itu, dalam bahasa Arab, berarti kedudukan yang tinggi atau kemegahan. Namun demikian, beberapa kamus tidak dapat membantu saya menemukan maksud yang diinginkan dari kata "Al-Jah" dalam karya-karya tersebut sampai kemudian Ibnu Majid dalam Al-Fawa'id fi Ushul Al-Bahri wa Al-Qawa'id (kaidah-kaidah dan faedah-faedah menyangkut dasar-dasar ilmu kelautan) menjelaskannya seperti ini:

الجدي وهو الجاه برفع الجيم ونصب الدال المهملة وتشديد اليا والجدي بنصب الجيم وسكون الدال هو البرج الذي منزلتين وثلث وهو جزء من اثنى عشر جزأ من جميع دورة السماء والجاه اسم فارسي معرب ويسمى عند أهل الديار المصرية السميا لأن لهم اصطلاح غير ركاب البحر الكبير

وللعرب تشبيها في الجاه الأول في الجاه والجاه وهو اسم الحض عند السلطان وأيضا في بعض اللغات اسم المكان يقال يا فلان الشيء الفلاني تجاهك فعلى هذا سمي بذلك لأنه يعرف القطب وهو سلطان جميع النجوم المشهورات إلى القطب الذي جميع مدارات النجوم حوله ...

وهو كثير الفائدة لأنه بطيء السير فأقاموه مقام القطب ...وبه يعرف عرض البلدان لأنه أبدي الظهور في الأقاليم الشمالية والقطب ليس هو نجم بل هو مكان حايل من المشرق والمغرب يعرف بالاسطرلاب والمغناطس

Saya terjemahkan dengan menyertakan istilah-istilah yang populer dalam astronomi:
"Al-Juday (Polaris; Alpha Ursae Minoris; Bintang Utara; Bintang Kutub Utara), yakni Al-Jah, dibaca dengan rafa' (dhammah) jim, nashab (fath) dal, dan tasydid ya'.

Sedangkan Al-Jad-y (Capricornus; kaprikornus), dibaca dengan nashab (fath) jim dan sukun dal, adalah al-burj (konstelasi bintang; rasi bintang) yang 2.3 derajat (International Astronomical Union (IAU): 414 derajat persegi), dan ia merupakan satu dari 12 bagian keseluruhan peredaran langit (yakni, satu dari 12 rasi bintang yang berada di sepanjang lingkaran ekliptika; zodiak).

Al-Jah adalah nama yang diarabisasi dari Persia. Orang-orang Mesir menyebutnya dengan Simmiya sebab mereka memiliki istilah yang tidak sama dengan istilah yang digunakan oleh para pelaut samudera...

Dan orang-orang Arab memiliki perumpamaan tentang Al-Jah (Polaris). Pertama, diumpamakan dengan al-jah, yakni satu kata yang digunakan untuk menyemangatkan penguasa/raja. Kedua, juga diumpamakan dengan al-jah, yang sebagian orang Arab menggunakannya dengan makna ism al-makan (nama tempat/arah; di hadapan), misalnya, 'Hai Polan, benda itu di hadapanmu!' Atas dasar inilah, bintang tersebut dinamai dengan Al-Jah sebab dengan bintang ini dapat diketahui arah kutub [utara], dan ia juga merupakan raja dari seluruh bintang yang terkenal di kutub utara, di mana semua bintang beredar di sekitarnya...

Al-Juday atau Al-Jah (Polaris) mempunyai banyak faedah karena ia adalah bintang yang bergerak lamban, maka karena itu, para pelaut menempatkannya sebagai bintang kutub [utara]... dengan bintang itu pula dapat diketahui lintang berbagai negeri, sebab tampak abadi di berbagai wilayah utara. Sementara kutub bukanlah bintang tapi daerah yang luas antara timur dan barat, yang dapat diketahui dengan menggunakan astrolab dan magnet."

Dalam pencarian untuk menemukan penjelasan yang lebih luas, saya lantas menemukan keterangan bahwa "Al-Juday", oleh para pelaut dari Teluk Arab, telah disebut dengan "al-jah" atau "al-yah" dalam dialek mereka.

Menemukan keterangan seperti itu, ingatan saya seketika memunculkan gambar yang telah direkam sejak beberapa tahun yang lalu. Satu kata aneh yang dijumpai pada batu-batu nisan di Gampong Jeulikat, Kecamatan Blang Mangat, Kota Lhokseumawe, dan yang selama ini belum diketahui maksudnya berbunyi: "Yah". Tapi untuk memastikan kebenaran bahwa kata Al-Jah juga diucap dengan Al-Yah di kawasan Teluk Arab, saya memerlukan sandaran yang lebih kuat.

Pencarian dilanjutkan sampai kemudian, dengan taufiq Allah Ta'ala, saya menemukan satu publikasi yang diterbitkan oleh Pemerintah Dubai, Uni Emirat Arab, pada Desember 2009. Publikasi itu bertajuk Rijal Al-Ghaush wa Al-Lu'lu' (Mutiara dan Para Penyelam) yang disusun oleh Jum'ah Khalifah Ahmad bin Tsalits Al-Himyariy, seorang penulis di bidang penyelaman mutiara, warisan bahari dan lingkungan hidup dari Dubai. Sebelumnya, pada 2008, Bin Tsalits juga telah menyusun Mu'jam Al-Mushthalahat Al-Bahriyyah fi Daulah Al-Imarat Al-'Arabiyyah Al-Muttahidah (Kamus Terminologi Kemaritiman di Negara Unit Emirat Arab), dan pada 2011, ia menyusun Rihlah Al-Ghaush wa Al-Lu'lu' (Mutiara dan Pertualangan Penyelaman).
Dalam Rijal Al-Ghaush wa Al-Lu'lu', saat menerangkan tentang kompas, Bin Tsalits antara lain menulis seperti ini:
"Kompas (ad-dayirah) dibagi ke garis-garis dalam bentuk lingkaran yang di atasnya dicantumkan nama-nama bintang . Jarum kompas selalu menunjuk ke arah utara, yang dengan begitu para pelayar dapat mengetahui posisi dan arah mereka. Dengan mengikuti kompas mereka menuju ke arah tujuan setelah terlebih dahulu mereka mengetahui bintang mana yang akan mengantarkan mereka ke tempat tujuan. Bintang-bintang utama yang terdapat pada kompas ialah Al-Jah atau Al-Yah (Polaris; Bintang Utara), Al-Qutb (selatan), Mathla' Al-'Aqrab (tempat terbit Scorpius; tenggara), Maghib Al-'Uyuq (tempat terbenam Capella; barat laut), Mathla' (tempat terbit; timur), Maghib (tempat terbenam; barat), Mathla' Al-'Uyuq (tempat terbit Capella; timur laut), Maghib Al-'Aqrab (tempat terbenam Scorpius; barat daya). Dua bintang utama ialah Al-Yah (utara) dan Al-Qutb (selatan), dan berikut setelahnya ialah Mathla' (timur) dan Maghib (barat)."

Bin Tsalits juga menerangkan pengertian "Yah" dan "Yahi" yang digunakan oleh para pelaut di kawasan Teluk Arab dalam Mu'jam Al-Mushthalahat Al-Bahriyyah:
Yah: arah utara geografis.
Yahi: arah angin lokal yang bertiup dari dari arah bintang Yah (polaris; bintang utara).

Keterangan-keterangan tersebut, dengan demikian, telah memastikan bahwa Polaris atau Bintang Kutub Utara, oleh para pelaut di kawasan Teluk Arab, disebut dengan Al-Jah, dan juga disebut dengan Al-Yah. Kata "Yah" yang tampaknya lebih umum mereka gunakan juga berarti arah utara.
Dari sini, penemuan inskripsi berbunyi "Yah" pada beberapa batu nisan dari zaman Sumatra (abad ke-13 s/d ke-16) secara terang menunjukkan jejak kehadiran para pelaut dari kawasan Teluk Arab dan pengaruh mereka di Bandar Sumatra (Syumuthrah).

Memperhatikan bentuk batu nisan yang tergolong ke tipe bentuk paling awal, serta kaligrafinya yang sangat sederhana, maka sangat mungkin batu nisan tersebut beserta inskripsinya muncul di era paling awal dari sejarah Bandar Sumatra.

Kata "Yah" pada bagian puncak batu nisan itu sendiri dapat berarti:
1. Penanda untuk batu nisan kepala dari kubur orang yang dimakamkan (arah utara).
2. Pelambangan untuk orang yang dimakamkan bahwa ia seperti "Yah" (Polaris; Bintang Utara) yang selalu menjadi penunjuk arah dan penerang, atau seorang pelaut dan navigator yang diakui kemampuannya, dan boleh jadi memang berasal dari Teluk Arab.

Jejak ini dengan demikian telah ikut mempertegas kepentingan Teluk Samawi dan daerah di sekitarnya (Kota Lhokseumawe, hari ini) sebagai salah satu wilayah utama yang mempusakai sejarah maritim di Asia Tenggara.

Aceh dan Kemaritiman
Suatu hal yang sudah patut untuk disadari secara lebih mendalam--yakni kesadaran yang tidak hanya sebatas melahirkan pernyataan, tapi juga sikap dan aksi konkret--bahwa kemaritiman dan sejarahnya merupakan "kata kunci" paling penting dalam memahami bagaimana arus kemordenan yang berpangkal pada Islam dapat sampai merata hampir ke seluruh daratan di Asia Tenggara. Pengetahuan tentang itu semua juga, pada hakikatnya, merupakan "harta karun" yang akan memberikan banyak manfaat bagi kehidupan di masa sekarang dan ke depan, baik secara moril maupun materil, langsung maupun tidak langsung.

Aceh secara umum, apabila dilihat dari perjalanan sejarahnya yang panjang di dunia maritim serta pusaka kemaritimannya, sesungguhnya layak menjadi pemuncak dan kampiun di lapangan paling berpengaruh ini. Tapi apa hendak dikata, yang disaksikan di tataran kenyataan justru sebaliknya, malah lebih buruk lagi adalah perobohan monumen-monumen yang mengabadikan keunggulan di lapangan tersebut. Di titik ini, Aceh tampak seperti sedang berusaha keras untuk menghapus kesilamannya, dan merubah dirinya untuk menjadi sesuatu yang sulit bahkan barangkali mustahil untuk diidentifikasi!

Keterangan Gambar:
1-2. Batu nisan dengan inskripsi berbunyi:
ياه
"Yah", yakni arah utara; Polaris.
Lokasi situs Cot Geulumpang, Gampong Jeulikat, Kecamatan Blang Mangat, Kota Lhokseumawe (2015).
Gambar: 1 - 2.

3. Batu nisan dengan inskripsi pada bagian puncak berbunyi:
ياه
"Yah", yakni arah utara; Polaris.
Dan pada bagian muka:
نصر من الله
"Pertolongan (kemenangan) dari Allah..." (penggalan ayat 13 surah Ash-Shaff).

Lokasi situs Cot Geulumpang, Gampong Jeulikat, Kecamatan Blang Mangat, Kota Lhokseumawe (2015).
Gambar: 3
4. Gambar rasi bintang Ad-Dubb Al-Ashgar (Beruang Kecil; Ursa Minor) dan Al-Juday (Polaris; Bintang Utara) dalam karya 'Abdur Rahman Shufi (291-376 H/903-986 M), Shuwar Al-Kawakib Ats-Tsabitah.

Gambar: 4

5. Ilustrasi lingkaran bintang-bintang pada kompas oleh Bin Tsalits dalam Rijal Al-Ghaush wa Al-Lu'lu', 2009. Tampak kata "Yah" digunakan untuk Bintang Kutub Utara.

Gambar: 5

Bacaan:
1. Al-Mahriy (Sulaiman bin Ahmad bin Sulaiman, W. 961 H/1554 M), Al-'Umdah Al-Mahriyyah fi Dhabthi Al-'Ulum Al-Bahriyyah, (Manuskrip; Repro: Gabriel Ferrand).
2. Ash-Shufiy ('Abdur Rahman bin 'Umar; Abu Al-Husain, 291-376 H/903-986 M), Shuwar Al-Kawakib Ats-Tsabitah (Manuskrip).
3. Bin Tsalits Al-Himyariy (Jum'ah Khalifah Ahmad), Mu'jam Al-Mushthalahat Al-Bahriyyah fi Daulah Al-Imarat Al-'Arabiyyah Al-Muttahidah, UEA: Hai'ah Al-Ma'rifah wa At-Tanmiyyah Al-Basyariyyah, 2008.
4. Bin Tsalits Al-Himyariy (Jum'ah Khalifah Ahmad), Rijal Al-Ghaush wa Al-Lu'lu', UEA: Hai'ah Al-Ma'rifah wa At-Tanmiyyah Al-Basyariyyah, 2009.
5. Ibnu Majid (Ahmad bin Majid bin Muhammad, 821-906 H), Al-Fawa'id fi Ushul Al-Bahri wa Al-Qawa'di (Manuskrip).
6. "Al-Juday" (ar.wikipedia.org/wiki/الجدي_(نجم).
7. "Polaris" (en.wikipedia.org/wiki/Polaris).
8. "IAU designated constellations by area" (en.wikipedia.org/wiki/IAU_designated_constellations_by_area).

Oleh: Musafir Zaman
Dikutip dari Group facebook Mapesa.

Posting Komentar

0 Komentar