Ilmu Pengetahuan Butuh Pengorbanan



Oleh Taqiyuddin Muhammad, 
Mewakili MAPESA (Masyarakat Peduli Sejarah Aceh), di Focus group discussion (FGD) Pengembangan Prodi SKI, UIN Ar-Raniry. Tanggal 19 September 2018, di Ruang Rapat Dekan Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Ar-Raniry.

Saya masih menganggap pendidikan yang kita selenggarakan ini adalah penyelenggaraan bisnis pendidikan, dan itu adalah salah satu faktor kemunduran ilmu pengetahuan dalam dunia pendidikan kita. Sebenarnya kita sedang buka kedai juga, artinya mengikut kamauan pasar. Kita dipanikkan oleh kehidupan yang ingin kita kejar, jadi akhirnya bukan ilmu pengetahuan yang terlaksana tetapi bisnis pendidikan.

Sementara menyelenggarakan pendidikan dengan menyelenggarakan bisnis pendidikan itu jauh berbeda. Kalau berbicara ilmu pengetahuan, maka seperti kata Khatib Al Baghdadi dalam Kitab al-Jami’ li akhlaq al-Rawi wa adab al-Sami’, beliau mengutip kata Al-Qadhi Abu Yusuf "ilmu sesuatu yang dia tidak akan memberikan bahagian darinya kecuali kamu telah memberikan seluruh kamu", seluruh kita berikan kepada ilmu pengetahuan, dia baru memberikan kepada kita setengahnya, kata Abu Yusuf sahabat dari Abu Hanifah.

Adalagi kalimat yang lebih ekstrim lagi yang dikatakan oleh faqih samarqandi Abu Nashr bin Muhammad "Tidak akan memperoleh ilmu ini, kecuali orang yang menutup tokonya, dan menelantarkan kebun-kebunya, dan meninggalkan saudara-saudaranya, dan dia saat mati kelaurganya yang terdekat dia tidak sempat untuk pergi berkunjung". Sebuah totalitas yang dibutuhkan, ilmu pengetahuan samadengan memerlukan pengorbanan, dedikasi, kemudian tumbal sebenarnya, ada yang harus dikorbankan dari hidup ini. Apa yang kita nikmati hari ini adalah hasil dari ilmu pengetahuan dari sekian orang yang sudah mati, sengsara dan menderita. Mereka seperti, Imam Asy-Syafii, Abu Hanifah, dan banyak lagi.

Imam Al-Bukhari, beliau dibawa oleh ibunya dari Bukhara ke Makkah kemudian ditinggalkan di Makkah saat belaiu masih remaja. Beliau kemudian pulang menjadi imam fil hadits kemudian menjadi jadi amirulmukmin fil hadits, itu adalah perjalanan besar, perjuangan besar dan belaiu telah meletakkan hidupnya, impian, dan sebagainya kesamping. Beliau mempersembahkan hidupnya untuk ilmu hadits. Sekarang kita punya Sahih Bukhari, itu adalah pengorbanan.

Itu kalau kita berbicara ilmu pengetahuan, berbicara bagaimana memberikan dan mengajarkan ilmu pengetahuan. Jadi bukan tentang wirausaha, kalau diperhatikan, kita cendrung untuk mengganti nama jurusan saja "Jurusan Wirausaha dalam bidang pariwisata sejarah", karena yang dibincangkan adalah bagaimana mahasiswa kita berpenghasilan, karena pasar sekarang menginginkan sesuatu yang singkat, mudah, kemudian menghasilkan. Tetapi kalau kita berbicara dalam konteks ilmu pengetahuan, maka adalah sesuatu yang berat dan jarang orang yang mau, kita hanya menginginkan yang ringan-ringan saja.

Kalau generasi kita dahulu, saat Aceh disebut dalam kemujuan besar, itu adalah karena memang mereka telah memberikan seluruh mereka untuk ilmu pengetahuan. Nuruddin Ar-Raniry telah menyumbangkan hidupnya.

Syaikh Abdurrauf, 19 tahun di Makkah yang gersang dalam rihlah ilmiahnya dalam perjalanan ilmu pengetahuannya mengetok setiap pintu setiap guru-guru meminta supaya diajarkan, meminta diriwayatkan hadits dan sebagainya, kemudian baru menghasilkan kitab Miratut Thullab, kemudian Kitab Tafsir Tarjuman Mustafid, sebagai karya-karya monumental. Generasi Aceh hari ini terangkat oleh karena nama-nama itu (Syaikh Abdurrauf dan Nuruddin Ar-Raniry).

Simak kelanjutan audionya, pemaparan lepas tanpa teks. Mohon dimaklumi

Posting Komentar

0 Komentar