Mencari Faqih di Negeri Daya, dan Allah Ta'ala telah Memudahkan


Batu Nisan Faqih Muthahir
Foto: J. J. de Vink tahun 1917


Allah Ta'ala telah Memudahkan! 
Itulah saja kalimat yang terus bergema di dalam batin sejak siang Ahad lalu, 24 Jumadil Akhir 1439 (11 Maret 2018), sampai dengan setiap kali pengalaman Tim Mapesa pada hari itu melintasi ingatan.
Hanya karena Allah SubhanaHu wa Ta'ala dengan taufiq dan 'inayah-Nya telah Memudahkan, maka harapan yang dibawa oleh Tim Mapesa dalam perjalanan ke Negeri Daya pada hari tersebut telah tersampaikan; kegundahan yang ikut menyertai tanpa diundang juga telah sirna di kemudian; kesempitan yang datang sebagai ujian pun telah tergantikan oleh kelapangan di kesudahan.

Pada hari itu, seiring matahari yang menanjak jenjang-jenjang waktu siang, Tim Mapesa bergerak dari Banda Aceh menuju Aceh Jaya dengan membawa sebuah harapan besar. Demi harapan tersebut, tekad dan semangat telah diisi "full" oleh masing-masing anggota Tim. Tidak hanya itu, mental untuk menanggung kekecewaan akibat tidak tercapainya apa yang diharapkan pun sudah disiapkan untuk berjaga-jaga. Segala sesuatu yang berat-berat telah dibayangkan. Namun ternyata kemudian, Allah 'Azza wa Jalla telah memudahkan. Di luar dugaan, harapan yang diidam-idamkan itu justru segera dapat diraih di permulaan waktu Tim sampai di Negeri Daya. Ini tentu sebuah karunia yang akan diceritakan dengan sedikit panjang lebar nantinya. "Dan adapun mengenai nikmat Tuhanmu, maka ceritakanlah!" (Adh-Dhuha: 11)

Jika harapan besar tadi memang adalah sesuatu yang diajak ikut serta dan dibawa bersama, maka lainlah halnya dengan "kegundahan" yang memaksakan dirinya untuk ikut. Bila saya harus berkata jujur, sebenarnya, ia hampir selalu memaksa dirinya untuk ikut dan tidak pernah memberikan kami pilihan!

Lemahnya kemampuan finansial, atau belanja, yang dimiliki Mapesa membuat kehadiran "sang kegundahan" ini merupakan sesuatu yang amat sukar ditolak. Ketua Tim yang juga Ketua Mapesa selalu harus berupaya merekayasa siasat yang jitu untuk menundukkannya. Untuk itulah pula, sekitar pukul 10.00 hari itu, sebungkus mie instant rebus dan segelas minuman baik kopi, teh maupun lainnya, telah diisi ke perut setiap personil Tim di sebuah warung pinggir jalan di lintasan Gunung Gurute, dekat Lamno. Ada juga personil yang memilih untuk hanya mengisi perutnya dengan segelas air mineral karena lambungnya tidak nyaman dengan apapun makanan selama dalam perjalanan.

Acara pengisian perut itu berjudul sarapan pagi, tapi pada hakikatnya ditujukan untuk menjadi penunda makan siang sampai dengan waktu sore atau malam setelah pekerjaan selesai. Sebenarnya, hal semisal itu juga sudah biasa. Setiap personil Tim selalu siap untuk pergeseran jadwal makan; tidak ada sebercak kegelisahan pun yang terlihat di wajah mereka. Malah sebaliknya, tantangan semacam ini dianggap umpama madu tambahan di atas sekeping pengalaman dan kenangan.
Kendati begitu, sang kegundahan tetap saja duduk manis di samping saya, menyeringai dengan wajah jeleknya seperti ingin membanggakan sebuah kemenangan. Ia masih memperlakukan saya tak ubahnya tawanan sampai suatu ketika kemudian, dan dengan tidak diduga-duga, ia mesti takluk, mundur dan enyah.


Tim Mapesa saat sarapan pagi di sebuah warung kopi yang berada di puncak gunung Geurute, Aceh Jaya.

Allah SubhanaHu wa Ta'ala telah menurunkan kemudahan, menggantikan kegundahan dengan ketentraman, kerisauan dengan kedamaian, dan memperlihatkan Kebesaran-Nya.

"Dan adapun mengenai nikmat Tuhanmu, maka ceritakanlah!"

Saya tentu harus menceritakan sekarang juga tentang kenikmatan yang Allah limpahkan ini.
Baru saja kami sampai di lokasi tujuan, di Gampong Meunasah Teungoh, Kecamatan Indra Jaya, Kabupaten Aceh Jaya, beberapa warga gampong dipimpin oleh mantan Geuchik Meunasah Teungoh, Bapak Faisal, menyambut kami dengan ramah dan penuh kehangatan. Di tengah pembicaraan-pembicaraan yang berlangsung antara anggota Tim dan warga, saya sempat mendengar ucapan seorang warga bahwa kedatangan kami memang sudah dinantikan. Ini merupakan sebuah stimulan yang sangat berharga. Keasingan kami di tempat itu mulai meluntur, ditukar dengan keakraban.

Suasana kondusif untuk bekerja dengan demikian telah tercipta.

Sampai ke tingkat itu saja, kami sebenarnya sudah harus sangat bersyukur. Sebab, sungguh sesuatu yang sangat tidak menyenangkan andai kata mis-komunikasi terjadi. Apalagi, jika maksud baik justru dicurigai sebagai sesuatu yang bertujuan tidak baik.

Namun kemudian ternyata tidak hanya sampai di tingkat itu saja; sesuatu yang sama sekali di luar dugaan terjadi! Kami tidak pernah memperkirakan akan disambut sedemikian hangatnya. Tiba-tiba saja kami merasa seperti para perantau yang telah lama tidak pulang kampung. Sempat muncul pertanyaan dalam benak saya ketika itu, seberapa lama memangnya kami sudah tidak pulang ke kampung ini? Seberapa besar sudah kerinduan yang kami sebabkan sehingga beramai-ramai keluarga kami di sini datang untuk menyambut kami dengan suguhan minuman dan makanan seperti pada hari raya?

Allah Yang Maha Besar sesungguhnya telah menurunkan kemudahan! "Dan adapun mengenai nikmat Tuhanmu, maka ceritakanlah!"

Apakah hal-hal luar biasa dan di luar perkiraan sudah selesai sampai di situ? Rupanya, tidak. Kami masih harus menghadapi nikmat dan kemudahan yang lain. Ternyata, tidak hanya untuk menghadapi berbagai ujian, seseorang dituntut untuk siap mental; untuk menghadapi waktu-waktu di mana nikmat Allah turun susul menyusul dan melimpah ruah pun sebenarnya seseorang harus benar-benar siap mental.


Gampong Meunasah Teungoh, Lamno, Aceh Jaya

Setelah beberapa waktu kami bekerja mengumpulkan satu persatu batu-batu nisan yang telah dilemparkan ke sana kemari oleh gelombang tsunami 2004, tiba-tiba seorang tokoh muda yang sangat baik hati dari Gampong Meunasah Teungoh, datang mendekati kami.

"Kita berapa orang semuanya?" tanyanya halus.

Mula-mula saya merasa agak heran dengan maksud pertanyaannya, tapi tokoh muda yang telah menemani kami sejak dalam kunjungan pertama kali ke lokasi ini, menjelaskan dengan senyum yang tak pernah lekang dari wajahnya, "Kami semua yang di sini akan menyiapkan makan siang untuk saudara-saudara kami semua."

Sesungguhnya, sebuah keterharuan yang dahsyat sedang menggelegak di dasar batin manakala saya dengan tidak berpura-pura mencoba mengalihkan mereka dari maksud tersebut lantaran khawatir akan bertambah banyak lagi budi baik yang mesti diingat dan dikenang. Tapi upaya mengalihkan seperti itu memang biasanya gagal dan takkan berarti di depan kemurahan hati orang Aceh.

"Sungguh sangat mulia!" ucapan yang tiba-tiba keluar dari mulut saya, hampir tanpa saya sadari.

Allah Ta'ala memudahkan. "Dan adapun mengenai nikmat Tuhanmu, maka ceritakanlah!"

Alhasil, jadwal makan siang yang tadinya direncanakan digeser ke sore hari atau malam, dan semua personil Tim telah bersiap untuk itu dengan mengencangkan tali pinggang, ternyata tiba-tiba keadaan secara drastis berubah, dan makan siang telah tersedia justru sebelum tengah hari tiba.

Allah Ta'ala memudahkan. "Dan adapun mengenai nikmat Tuhanmu, maka ceritakanlah!"

Sampai tengah hari, berbagai hal yang terjadi sungguh di luar prediksi. Untuk harapan yang diidam-idamkan dalam perjalanan itu, yang diprediksi akan memakan waktu lama serta harus melewati proses yang sulit, ternyata telah didapatkan segera setelah Tim sampai di sana. Kegundahan yang mencoba mengambil tempat permanen di dalam pikiran tidak lama kemudian pun harus menyingkir pergi dan menyerahkan tempatnya diduduki oleh ketentraman dan kedamaian.

Allah Ta'ala memudahkan. "Dan adapun mengenai nikmat Tuhanmu, maka ceritakanlah!"
Lewat tengah hari hingga jelang petang, sinar matahari terasa sangat menyengat. Daun-daun hijau yang tadinya terlihat segar, kini, tampak terkulai lemah. Sementara bagi Tim Mapesa, itu tidak lebih dari sengatan matahari yang bersinar di negeri yang dicintai; kehangatannya dapat menembus ke biji hati serta menumbuhkan lebih banyak benih-benih cinta - di masa lampau, sengatan matahari seperti itu telah ikut melahirkan sangat banyak laki-laki tangguh yang tidak pernah ragu-ragu!

Itulah sinar matahari di bumi mana Islam telah membangun sebuah menara tinggi demi mencahayai mereka yang terpetunjuk untuk membebaskan diri mereka dari penyembahan kepada makhluk kepada semata-mata menyembah Rabbul 'Izzati wa Jalal. Tidak ada keluh kesah yang disebabkan oleh sengatan matahari seperti itu. Namun demikian, Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang telah Memudahkan, Menurunkan rahmat-Nya dan Menutup hari itu dengan curahan hujan yang menyejukkan. Sebuah kesejukan di bumi mana Islam telah membangun sebuah menara tinggi demi mencahayai jalan hidup hamba-hamba Allah yang telah memasrahkan diri kepada-Nya!

Allah Ta'ala Memudahkan. "Dan adapun mengenai nikmat Tuhanmu, maka ceritakanlah!"
Itulah semua yang kemudian semakin menguatkan keyakinan dan kesungguhan untuk menyatakan dengan penuh kerendahan diri:

اللهم لك الحمد وإليك المشتكى وأنت المستعان ولا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم لا إله إلا الله وحده لا شريك له العلي العظيم لا إله إلا الله وحده لا شريك له الحليم الكريم

"Ya Allah, hanya bagi-Mu segala pujian; hanya kepada-Mu segala pengaduan diajukan, dan hanya kepada-Mu segala pertolongan diharapkan; dan tiada upaya dan kekuatan melainkan dengan [pertolongan] Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung. Tiada tuhan selain Allah, hanya Dia, tiada sekutu bagi-Nya, Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung. Tiada tuhan selain Allah, hanya Dia, tiada sekutu bagi-Nya, Yang Maha Penyantun lagi Maha Pemurah."
(Kalimat ini terdapat di bagian akhir Al-Asybah wa An-Nazha'ir, j. 2, karya Tajuddin As-Subkiy [wafat 771], Rahimahu-Llah)

وصلى الله على سيدنا محمد وآله وصحبه وسلم تسليما كثيرا

"Dan shalawat dan salam dari Allah semoga terlimpah kepada penghulu kita Muhammad beserta keluarga dan shahabat beliau." 
 
Sekarang, apabila saya mencukupkan kisah perjalanan Mapesa pada Ahad lalu setakat yang telah diceritakan, maka itu sebenarnya juga sudah lebih dari memadai. Apalagi saya yakin, dewasa ini, tidak banyak orang yang sudi membuang waktu untuk membacanya. Akan tetapi, apa hendak dikata, tulisan ini telah dimaksudkan untuk sedapat mungkin menjadi rekaman perjalanan Mapesa di pantai barat Aceh, khususnya Negeri Daya. Dianggap tidak berguna untuk waktu sekarang, itu sesungguhnya bukanlah masalah. Harapan semoga dapat berguna di masa depan, itulah yang menjadi cita-cita dari penulisannya. 

Pada Ahad lalu, sebenarnya, ada beberapa tujuan yang telah didaftarkan ke dalam agenda perjalanan Tim Mapesa yang kedua kalinya ke Negeri Daya dalam Jumadil Akhir ini, namun tujuan yang paling utama adalah untuk menelusuri jejak seorang faqih yang pernah hidup di Negeri Daya pada masa bersinarnya.

Menemukan batu nisan yang memuat catatan tentang sang faqih itulah harapan terbesar yang dibawa Tim Mapesa dalam perjalanannya ke Negeri Daya pada hari itu. 

Faqih, secara singkat, adalah gelar bagi seorang yang ahli dalam hukum-hukum Islam, apakah ia seorang mujtahid maupun muqallid. As-Sayyid Muhammmad 'Amimul Ihsan dalam At-Ta'rifat Al-Fiqhiyyah (h. 167): Faqih adalah orang yang mengajarkan fiqh walaupun bukan mujtahid. 
Faqih adalah gelar ulama, yang menurut Al-Qalqasyandiy dalam Shubhul A'sya (j. 6, h. 22), sangat diagungkan oleh penduduk Maghrib (Marokko). 

Al-Khathib Al-Baghdadiy dalam Al-Faqih wal Mutaffaqih, dalam bab Pengunggulan Ahli Fiqh di atas Ahli 'Ibadah (h. 14), menukilkan hadits dari Abu Darda' Radhiya-LLahu 'anhu:

فضل العالم على العابد كفضل القمر ليلة البدر على سائر الكواكب وإن العلماء ورثة الأنبياء إن الأنبياء لم يورثوا دينارا ولا درهما ولكنهم ورثوا العلم فمن أخذ به أخذ بحظ وافر
  
"Keutamaaan seorang 'alim (ulama atau faqih) di atas seorang 'abid (ahli ibadah) adalah seumpama keutamaan bulan di malam purnama di atas seluruh bintang-bintang. Dan sesungguhnya ulama adalah pewaris para Nabi. Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar atau dirham, akan tetapi mereka mewariskan ilmu. Maka barangsiapa yang mengambilnya (ilmu yang diwariskan itu), maka ia telah mengambil suatu bagian yang sempurna." 

Sebagai sebuah pusat kebudayaan Islam ternama di Asia Tenggara, sejarah Aceh sudah sepantasnya terisi dengan catatan-catatan mengenai faqih atau ulama semisal ini, dan bukan terisi dengan tokoh-tokoh legenda yang lebih menampilkan kedangkalan pengetahuan. Kecuali itu, tokoh yang memiliki keutamaan sebagaimana tersebut dalam hadits di atas tentu lebih utama untuk ditampilkan dalam narasi sejarah sekaligus untuk diteladani dan dikenang.

Oleh karena pertimbangan-pertimbangan tersebut, pencarian catatan mengenai seorang Faqih di Negeri Daya sudah merupakan sebuah kewajiban dalam rangka pelurusan serta penulisan ulang sejarah Aceh.

Bagaimana informasi mengenai Faqih ini diperoleh pertama sekali oleh Mapesa?

Artikel Ludvik Kalus & Claude Guillot yang bertajuk "La principauté de Daya, mi-XVe-mi-XVIe siècle [Épigraphie islamique d’Aceh 6]" yang terbit dalam Archipel 85, tahun 2013, di Paris, baru dapat kami baca dalam tahun ini (Februari 2018) di situs ww.persee.fr
Sumber: Artikel Ludvik Kalus & Claude Guillot yang bertajuk
"La principauté de Daya, mi-XVe-mi-XVIe siècle [Épigraphie islamique d’Aceh 6]"

Ketua Mapesa, Adinda MizuarMahdi, telah memeriksa seluruh batu nisan Aceh yang diterbitkan dalam berbagai artikel kedua peneliti Prancis tersebut. Dalam pemeriksaan yang dilakukannya, dijumpai antara lain satu batu nisan yang inskripsinya telah dibaca oleh Ludvik Kalus & Claude Guillot, dan nama Faqih dinyatakan muncul di batu nisan. Ketua Mapesa lantas melakukan akuratisasi dengan mencermati satu-satunya gambar yang diterbitkan untuk batu nisan tersebut. Bacaan Ludvik Kalus & Claude Guillot ternyata benar, dan mereka telah memproduksi ulang gambar koleksi J. J. de Vink di tahun 1917. Namun sayang sekali, hanya gambar satu sisi batu nisan yang ditampilkan dalam artikel sehingga kita tidak dapat memperhatikan sisi-sisinya yang lain. 

Menghadapi kenyataan bahwa Kalus & Guillot tidak berhasil membaca secara lengkap inkripsi pada batu nisan, maka keputusan terbaik yang diambil kemudian adalah berupaya semampu mungkin untuk menemukan batu nisan. 

Kalus & Guillot mengaku bahwa dalam penelitian mereka di tahun 2006, mereka tidak berhasil menemukan batu nisan tersebut di lokasi yang ditunjuk oleh masyarakat sebagai makam Teungku Ba Sapih, atau yang benarnya menurut penuturan masyarakat Gampong Meunasah Teungoh pada Ahad lalu, adalah Teungku Bak Sapeik, yakni pohon sapeik (rupa pohon tersebut belum dapat saya ketahui). 

Pada Ahad sebelumnya, 17 Jumadil Akhir 1439 (4 Maret 2018), Tim Mapesa untuk pertama sekalinya telah sampai di lokasi kompleks makam Teungku Bak Sapeik yang terletak di perbatasan antara Gampong Meunasah Rayeik dan Gampong Meunasah Teungoh, Kecamatan Indra Jaya. Dari informasi yang diperoleh sebelumnya, dan juga dengan mengacu kepada informasi J. J. de Vink (1917), kompleks makam tersebut berada dalam wilayah Gampong Meunasah Rayek Lue, Mukim Lam Beuso. Tetapi Ahad kemarin, 24 Jumadil Akhir 1439 (11 Maret 2018), masyarakat Gampong Teungoh mengonfirmasikan bahwa kompleks makam Teungku Bak Sapeik adalah "tanoh umum" yang masuk ke dalam wilayah Gampong Meunasah Teungoh.

Kondisi batu-batu nisan di kompleks makam Faqih Muthahir sebelum penataan.

Dalam kunjungan yang pertama ke kompleks makam, Tim Mapesa telah mengamati bagaimana batu-batu nisan di situ telah terlempar ke berbagai arah akibat gelombang tsunami 2004, dan hanya tersisa satu batu nisan yang masih utuh di tempat yang menurut kesaksian masyarakat Gampong Teungoh adalah tempat asli dari batu-batu nisan tersebut. 

Tempat itu berupa gundukan tanah yang tidak begitu tinggi dari lahan sekitarnya, dan keletakan batu-batu nisan makam sebelum 2004, menurut keterangan masyarakat, lebih cenderung berada di bagian barat gundukan. Gelombang tsunami yang menghantam Gampong Teungoh dan sekitarnya dari dua arah, yakni dari arah Kuala Daya dan Kuala Lambeuso, selain telah menyebabkan musibah jiwa dan harta yang tidak terkira, juga telah memorak-porandakan kompleks makam. Satu batu nisan malah ditemukan terlempar sejauh kira-kira 10 meter dari gundukan. "Sebelum stunami, dulunya, ada pohon besar di situ," terang seorang warga sambil menunjuk bagian paling barat gundukan. 

Dalam kunjungan Tim Mapesa yang pertama sekali pada 17 Jumadil Akhir 1439 (4 Maret 2018), batu nisan yang menyurat nama Faqih juga tidak ditemukan di lokasi. Ini tentunya sebuah kenyataan yang mengembuskan kerisauan sekaligus harapan besar untuk bisa menemukannya.


Bersambung : As-Syaikh bi-Faqih Muthahir, Ulama dan Ahli Fiqh di Negeri Daya yang Mengislamkan Banyak Orang
  


Oleh Musafir Zaman. 
Dikutip dari group Mapesa.






Nisan kepala Faqih Muthahir terseret gelombang tsunami beberapa puluh meter dari posisi awal

Nisan kepala Faqih Muthahir terseret gelombang tsunami beberapa puluh meter dari posisi awal


Proses penataan situs kompleks makam Faqih Muthahir berlangsung dibawah guyuran hujan.

Posting Komentar

0 Komentar