Di manakah Fansur? (1-4)

Pemandangan Barus dari situs Kompleks Makam
Papan Tinggi, Barus, Sumatera Utara (Foto: Misykah.com)

DALAM KAJIAN-KAJIAN tentang Hamzah Fansuri sebagaimana dilakukan Syed Naguib Al-Attas dan L. F. Brakel, Fansur disamakan dengan Barus. “Barus is identical with Fansur,” tulis Al-Attas dalam kajiannya tentang kehidupan Hamzah Fansuri.[1]

Sementara dalil mengena yang dipakai Brakel mengenai hal ini ialah laporan Tomé Pires dalam The Suma Oriental of Tomé Pires. Dalam laporan yang ditulis di permulaan abad ke-16 itu, Tomé Pires mengatakan, “Sampailah kita kepada pembicaraan tentang kerajaan yang kaya, Baros, yang juga disebut dengan Panchur atau Pansur…… Itu semua satu kerajaan, bukan dua. Sebelahnya berbatasan dengan Tiku, dan sebelahnya lagi dengan tanah Kerajaan Singkel.”[2]

Alasan lain mengapa para sarjana menyamakan Barus dengan Fansur, menurut Jane Drakart, adalah karena kedua nama ini, Barus dan Fansur, terus-menurus diasosiasikan dengan kamper dalam berbagai sumber sejarah. Dalam sumber-sumber Cina terawal kamper ini disebut dengan perfum P’o-lu, sedangkan dalam sumber-sumber Arab diungkapkan, kamper yang berkualitas tinggi itu ialah kamper yang dikenal dengan kamper Fansuri. Drakart menegaskan, hubungan yang sangat khusus antara nama Barus dan Fansur dengan resin kamper berkualitas tinggi ini merupakan faktor penting yang menyebabkan para sarjana berusaha meyakinkan bahwa tempat yang sama telah dimaksudkan dalam setiap pembicaraan mengenai kamper.[3]

Brakel juga mengatakan, Barus dan Fansur yang dimaksud tidak lain adalah Barus yang sekarang terletak di pantai barat bagian utara Sumatera, dan dulu pernah menjadi pusat perdagangan kosmopolitan bagi para pedagang Muslim yang datang dari barat.[4] Untuk ini, kiranya, memang ada bukti-bukti yang menunjukkan pelabuhan Barus pernah dikunjungi oleh para pedagang Arab dan India setidaknya sejak abad ke-9.[5]

Brakel jelas-jelas menentang pendapat O. W. Wolters yang mencoba meletakkan Barus di bagian paling ujung utara Sumatera. Menurut Wolters, tempat yang dikenal oleh orang-orang Cina sebagai P’o-lu dan disebutkan oleh orang- orang Arab dengan Balus sebenarnya merujuk ke bagian yang lebih luas di utara Sumatera. Pelabuhan utamanya bisa jadi di tempat yang sekarang adalah Aceh.[6]

Wolters mendasari pandangannya itu atas sumber-sumber Cina yang menyebutkan P’o-lu-shih. Pengelana dari abad ke-7, I-Tsing, mendaftarkan P’o-lu-shih yang terletak di barat Sribhoga (Sriwijaya) ke dalam negeri-negeri pemeluk Budha.[7] P’o-lu-shih I-Tsing ini juga dikoneksikan dengan P’o-lu yang disebut Chia Tan di sekitar 800 M di mana P’o-lu dideskripsikan sebagai pelabuhan terakhir dekat Selat Melaka sebelum kapal yang membawa mereka berlayar membelah samudera India.[8] Berkenaan dengan P’o-lu, sumber Cina lainnya, Hsin T’ang shu, yang disusun pada abad ke-11, mendeskripsikan Sriwijaya sebagai negeri dengan dua kerajaan yang masing-masing mempunyai pemerintahan sendiri. Kerajaan di bagian barat disebut dengan Lang-p’o-lu-ssu. Kerajaan ini merupakan penghasil emas, air raksa dan kamper.[9]

Selanjutnya, Wolters mengatakan, memasuki abad ke-7, resin Indonesia yang di antaranya adalah kamper dan benzoin telah menggantikan produk serupa dari Persia, yang dikenal dengan Po-ssu dan sudah menjadi bagian perdagangan reguler yang berlangsung antara Cina dan barat Asia. Menurut Wolters, letak geografis Melayu/Indonesia, kehandalan dan pengalaman masyarakatnya sebagai perantara di jalur perdagangan, serta ketersediaan produk yang sesuai, ditambah beberapa faktor lain, telah memungkinkan produk resin Indonesia menggantikan produk Persia.[10]

Untuk itu, tersedianya pantai yang digemari (pavorit), yang memiliki pelabuhan yang baik serta akses ke produk hutan,di rute utama pelayaran, merupakan hal paling menentukan dalam dunia perdagangan Asia Barat-Cina. Dalam kerangka ini, Wolters menilai pantai barat di bagian utara Sumatera yang terpencil dan terbelakang itu bukanlah pantai yang digemari. Ia menolak asumsi Barus dalam abad ke-5 sampai ke-9 adalah Barus sekarang, dan berkesimpulan bahwa Barus dalam masa tersebut adalah kawasan luas di utara Sumatera yang memiliki pelabuhan di pantai yang paling digemari. Barus, menurutnya, hanya baru bisa diasosiasikan dengan Barus yang sekarang di pantai barat dayaSumatera disebabkan adanya sumber dari Tome Pires di abad ke-16.[11]

Kendati mengaku tertarik dengan hipotesis Wolters, Braker tetap saja tidak menerimanya. “Saya tetap saja tidak yakin, terutama disebabkan tradisi yang sudah begitu lama berlangsung meletakkan Barus di pantai barat,” tulis Braker seraya melanjutkan, “Dan percakapan saya dengan Prof. Wolters pada Januari 1976 di Cornell gagal menjernihkan persoalan ini.”[2]

Isu ini jadi tambah rumit, menurut Drakard, karena menyangkut nomenklatur ganda Barus. Sumber-sumber Arab merujuk bagian barat di utara Sumatera ini sebagai Fansur. Tidak pernah diperdebatkan ketika “Fansur” dipakai dalam kepustakaan tertua untuk merujuk ke bagian ini dari pantai utara Sumatera.[13] (Taqiyuddin Muhammad)



Catatan Kaki:

[1] Syed Naguib Al-Attas, “New Light on the Life of Hamzah Fansuri”, JMBRAS, Vol. 40, Part. 1, 1967, h. 42.

[2] Lihat, L. F. Brakel, “Hamza Pansuri”, JMBRAS, Vol. 52, Part. 1, 1979, h. 90-91.

[3] Lihat, Jane Drakard, “An Indian Ocean Port: Sources for The Earlier History of Barus”, Archipel, Vol. 37, 1989, h. 55.

[4] Brakel, h. 89.

[5] Drakard, h. 55.

[6] Ibid, h. 54.

[7] Ibid, h. 57.

[8] Ibid, h. 56-57.

[9] Ibid, h. 57.

[10] Ibid.

[11] Ibid.

[12] Braker, h. 89-90.

[13] Drakard, h. 54.


Sumber: CISAH

Posting Komentar

0 Komentar