Seroja untuk Keturunan Nabi saw di Jambo Aye

   Bagian inskripsi pada nisan jirat Teungku Banta
   Saidiy di Gampong Batee Badan, Tanah Jambo
   Aye, Aceh Utara (Foto: CISAH)

 Kompleks makam Teungku Banta Saidiy di
 Buket Batee Badan, Aceh Utara (Foto:
CISAH)

Salah satu ornamen pada makam Teungku
Banta Saidiy, Buket Batee Badan, Jambo Aye.
(Foto:
CISAH)

BUKET Batee Badan sebuah gampong di pedalaman Kecamatan Tanah Jambo Aye, Aceh Utara, sekitar 7 km ke arah selatan Panton Labu yang merupakan ibukota kecamatan. Dari Panton Labu, ketika sampai di pertigaan Gampong Samakurok, seseorang dapat memilih rute timur atau rute barat.

Dengan menempuh rute timur, ia akan sampai ke Buket Padang, lalu memasuki Buket Batee Badan dari arah timurnya. Namun rute ini jarang dijadikan pilihan lantaran berkelok-kelok dan jarak tempuhnya yang lebih jauh dari rute satunya lagi.

Orang-orang lebih memilih untuk belok kanan ketika sampai di pertigaan Samakurok. Kurang satu jam bersepeda motor melewati daerah berdataran rendah, dan setelah menyebrangi sebuah alur kecil, tibalah di Gampong Ulee Gle. Memasuki gampong ini, permukaan bumi terlihat mulai berbeda. Daerah laluan yang sedari tadi tidak lepas dari hamparan persawahan dan rawa- rawa tiba-tiba berganti perbukitan. Seperti namanya Ulee Gle yang berarti hulu bukit, gampong ini merupakan permulaan dataran tinggi di pedalaman Kecamatan Tanah Jambo Aye. Dengan mengambil haluan ke arah timur dari pertigaan Ulee Gle, pengendara sepeda motor akan sampai ke Gampong Buket Batee Badan dalam hitungan beberapa menit saja.

Buket Batee Badan tampak dikepung persawahan dan rawa-rawa dari sebelah utaranya. Sementaradi selatan, perbukitan yang juga acap kali diselangi lembah berawa-rawa susul-menyusul. Dan di tengah-tengah gampong, membelah dari timur ke barat sebuah alur yang berhulu di sebuah rawa- rawa di sebelah tenggaranya. Alur ini kemudian semakin merambah ke barat laut sampai wilayah Kecamatan Baktiya di barat Tanah Jambo Aye. Kemungkinan aliran air ini pernah digunakan sebagai jalur akses di masa lampau juga didukung dalil-dalil geografis dan topografis. Maka jika tanpa memperhitungkan jalur-jalur transportasi yang dibuka pada masa-masa mutakhir, mutlak kawasan ini merupakan suatu tempat yang terpencil lantaran jalur akses yang semata-mata bertumpu pada aliran air tersebut.

Jalan-jalan dalam gampong juga terlihat lengang. Pohon-pohon yang rimbun memberikan kesejukan dan keasrian. Suasananya terasa nyaman. Gampong ini tampaknya memang tidak pernah menjadi pemukiman yang ramai sepanjang sejarahnya. Kesan keterpecilannya pun masih saja mencuat sampai dengan hari ini meski zaman telah berubah.

Di puncak datar sebuah bukit, sebidang tanah perkuburan berada di sisi kiri jalan. Pagarnya terlihat sudah rusak di sana-sini. Sebuah bangunan kecil berdiri di tengah-tengah, dan di depannya terdapat beberapa batu nisanpipih yang dikenali sebagai batu-batu nisan tinggalan zaman Samudra Pasai (abad ke-13—ke-16). Suasana senyap di bawah rerimbunan pohon-pohon yang lumayan tinggi. Setelah memasuki bangunan kecil yang berpintu terali besi, terlihatlah dua struktur makam berikut batu-batu nisan yang sudah tercabut dari tempat aslinya, bertumpuk-tumpuk tidak beraturan. Kompleks makam ini dikenal warga setempat dengan Jirat Teungku Batee Badan (Teungku yang makamnya berstruktur batu), dan karenanya pula bukit ini disebut warga dengan Buket Batee Badan dan akhirnya dijadikan nama gampong.

Dua struktur makam yang berdampingan dalam bangunan tersebut sama-sama menarik perhatian. Siapakah gerangan orang yang telah dikuburkan di sini? Orang-orang di situ juga menyebutnya dengan Jirat Banta Saidiy, sebuah sebutan yang mensinyalir adanya tokoh keturunan Nabi saw. yang dimakamkan di situ. Saidiy adalah gelaran yang lumrah digunakan untuk menyebut Ahlul Bait Rasulullah saw., dan banta merupakan sebutan untuk seorang yang dikasihi. Di antara dua makam berstruktur batu itu, orang-orang menunjuk kubur sebelah timur sebagai jirat Banta Saidiy. Mereka meyakini Banta Saidiy seorang tokoh yang memiliki keutamaan di masa hidupnya. Menurut cerita yang beredar, Banta Saidiy ini seorang ulama yang datang dari Arab. Ia datang berdua dengan saudaranya, dan kubur saudaranya itu berada di Buket Padang.

Dari sisi arkeologis, kubur yang ditunjuk sebagai makam Banta Saidiy memang memiliki keistimewaan. Dari bentuk makam, ornamen dan kaligrafi Arab-nya, nyata sekali tokoh yang dimakamkan adalah seorang yang sangat dihormati. Sayangnya, kedua nisan makam yang terbuat dari bahan sandstone (batu pasir) ini tidak utuh lagi; bagian-bagian tertentu ada yang patah dan hilang, sebagian inskripsinya juga sudah aus. Pada nisan sebelah kepala makam (utara), dijumpai kalimat “..hadza qabru as-sayyid (al-ghaziy?) asy-syarif..” (..inilah kubur sayyid (ghaziy?) syarif..) dalam baris inskripsi. Kalimat ini tidak diketemukan sambungannya karena ada bagian yang telah patah dan hilang. Kendati demikian, penyebutan Banta Saidiy oleh masyarakat setempat dapat dianggap mengena sebab as-sayyid asy-syarif atau asy-syarif adalah gelaran yang lazim untuk Ahlul Bait Nabi saw.

Makam ini berbeda dengan rata-rata makam tinggalan sejarah di kawasan bekas Kerajaan Samudra Pasai. Bagian puncak nisan didekor dengan relief yang tampaknya merupakan stilisasi daun kelopak seroja (lotus; Nelumbo nucifera Gaertn) serta bunganya. Dalam kebudayaan yang berkembang sebelum Islam, seroja adalah herba perairan yang melambangkan kesucian dan kebebasan dari ikatan keduniawian. Dekorasi semacam ini sedikit banyak dapat digunakan sebagai petunjuk dalam mengidentifikasi sosok tokoh yang dimakamkan.

Selain dekorasi pada dua nisan, struktur kubur yang berbentuk empat persegi panjang ini juga telah dirancang dengan menggunakan balok-balok batu yang disusun tiga tingkat sehingga agak mirip bak air atau kulah. Pada tingkatan yang di tengah, sekelilingnya terdapat ornamen yang seolah menggambarkan pola riak air, lalu di keempat seginya tampak motif menyerupai muka hewan amfibi yang menghadap ke depan. Agaknya, seniman telah mengilhami sebentuk telaga atau sumber air yang ditumbuhi seroja dalam desain makam ini. Dengan caranya tersendiri yang penuh simbolis, penyeni rupa seperti ingin mengungkapkan tentang pribadi seorang yang dalam hidupnya telah memilih jalan kesufian dan menjauhi keduniaan, dan ia ibarat telaga penghilang dahaga orang-orang yang haus akan ilmu pengetahuan serta rindu penerang hati.

Baris-baris inskripsi yang terdapat pada kedua nisan makam juga semakin memperjelas sosok yang dimakamkan. Kendati beberapa bagian nisan telah patah dan hilang, namun dari inskripsi yang tersisa masih dapat diketahui secara pasti bahwa kalimat-kalimat Arab yang ditulis dengan khath naskhi itu adalah bagian dari sebuah ratib, diikuti setelahnya satu doa yang dikenal dalam dunia sufistik sebagai doa Saidina ‘Ukasyah.

Kalimat-kalimat ratib yang terdapat pada nisan ini ternyata sama dengan ratib Al-Habib ‘Umar bin ‘Abdurrahman Al-Bar (1099-1158 hijriah), salah seorang sufi dalam thariqat Ahlul Bait atau Al-‘Alawiyyah. Ratib tersebut berbunyi:

لاإله إلاالله الموجود في كل زمان، لاإله الا الله المعبود في كل مكان، لاإله الا الله المذكور بكل لسان، لاإله الاالله المعروف بالاحسان، لاإله الاالله كل یوم وھو في شأن، لاإله الا الله الأمان الأمان من زوال الایمان ومن فتنة الشیطان یاقدیم الإحسان كم لك علینا من إحسان، إحسانك القدیم یا حنان یامنان

(Tiada Tuhan selain Allah, Ia Yang Ada dalam setiap masa; tiada Tuhan selain Allah, Ia Yang disembah di segala tempat; Tiada Tuhan selain Allah, Ia Yang disebut dengan pelbagai bahasa; tiada Tuhan selain Allah, Ia Yang dikenal dengan segala kebajikan; tiada Tuhan selain Allah, Ia Yang senantiasa mengatur segala urusan; tiada Tuhan selain Allah, [anugerahilah] keamanan, [anugerahilah] keamanan dari kehilangan iman dan dari tipu daya syaitan, wahai Yang Maha Dahulu kebajikan-Nya. Betapa banyak kebajikan yang telah Engkau limpahkan kepada kami, kebajikan-Mu Yang Maha Dahulu, wahai Yang Maha Pengasih, wahai Yang Maha Pemurah)

Al-Habib ‘Umar bin ‘Abdurrahman Al-Bar adalah seorang cucu keturunan Al-Faqih Al-Muqaddam Muhammad bin ‘Ali yang garis keturunannya sampai kepada Rasulullah saw. Al-Habib ‘Umar dilahirkan pada 15 Jumadil Awal 1099 hijriah di Al-Qarin Ad-Dau’iyyah, Hadramaut—sekarang, salah satu provinsi di Republik Yaman. Ia berguru kepada seorang ulama terkemuka, As-Sayyid ‘Abdullah bin ‘Ulwiy Al-Haddad (pemilik Ratib Al-Haddad), sampai kemudian menjadi seorang ulama dan da’i besar dari kalangan Ahlul Bait. Ia juga mempunyai murid-murid yang banyak antara lain putra-putranya sendiri: Hasan, ‘Abdurrahman dan Thaha, saudaranya Ahmad bin ‘Abdurrahman, kemudian Al-‘Allamah ‘Ali bin Husain Al-‘Aththas, As-Sayyid ‘Umar bin Zain bin Sumaith, As- Sayyid Muhammad bin ‘Abdul Bariy Al-Ahdal di Zabid, As-Sayyid ‘Abdullah Al-Mirghaniy, qadhi Mekkah, Syaikh Sa’id Safar, ahli hadits di Madinah, Al-‘Allamah Ismail bin Abdullah An-Naqsyabandiy dan lainnya.

Apakah orang yang berpusara di pedalaman Tanah Jambo Aye ini salah seorang dari murid, atau bahkan putra, dari Al-Habib’Umar bin ‘Abdurrahman Al-Bar?

Hal itu sama sekali tidak tertutup kemungkinan. Apalagi dengan mempertimbangkan tipe makam yang diyakini tidak berasal dari kawasan Samudra Pasai. Batu-batu untuk konstruksi makam ini tampaknya telah didatangkan dari luar Samudra Pasai—barangkali, dari lembah Aceh, Pidie (Pedir) atau lainnya—pada era yang lebih belakangan dari zaman Samudra Pasai; masa Kerajaan Aceh Darussalam. Batu-batu tersebut diangkut lewat jalur air yang menyampaikan ke tempat di mana seorang tokoh ulama dan sufi dari Ahlul Bait telah mengambil tempat tinggalnya di pedalaman Tanah Jambo Aye.

Meski berada di tempat terpencil, ilmu pengetahuan dan perannya dalam memantapkan ajaran Islam telah semerbak mewangi. Lalu, “seroja” pun dihadiahkan untuk pusaranya supaya jasa-jasanya dapat terus dikenang, dan ia didoakan.

Namun, sayang, kini zaman telah berubah! (Tim misykah.com)


Dikutip dari www.misykah.com, website resmi Cisah, tayang pada 18 Januari 2014.

Posting Komentar

0 Komentar