Cap Sultan Muhammad
Oleh Taqiyudddin Muhammad
Cap yang diyakini milik Sultan Al-Malik Azh-Zhahir Muhammad bin Al-Malik Ash-Shalih (wafat 726 H) ditemukan di kawasan situs Kuta Krueng, Kecamatan Samudera, Kabupaten Aceh Utara. (Foto: CISAH) |
Cap dalam Sejarah Islam
Ibnu Khaldun menyebutkan bahwa pembubuhan cap atau khatam pada surat dan mata uang sudah dikenal raja-raja sebelum Islam begitu pula sesudahnya.[1] Al- Bukhari meriwayatkan dari Anas [r.a.]: “Ketika Rasulullah [saw.] hendak menulis surat ke Romawi, maka dikatakan kepada beliau, ‘Mereka tidak akan membaca surat Anda apabila tidak dicap.’ Maka Rasulullah [saw.] [membuat] cap dari perak, dan mengukir [kalimat]: Muhammad Rasulullah.[2]” Selanjutnya, Ar-Turmudziy meriwayatkan bahwa cap Rasulullah [saw.] tertulis Muhammad satu baris, Rasul satu baris, dan Allah satu baris. Al-Muhallab menuturkan bahwa Rasulullah [saw.] tidak pernah meninggalkan capnya dalam setiap surat yang dikirim beliau ke berbagai negeri, surat-surat jawaban kepada para wali negerinya (gubernur), dan surat-surat kepada para panglima pasukannya (sariyyah).[3]
As-Suyuthiy menyebutkan: orang Quraisy dan Hijaz pertama yang mencap suratnya adalah Rasulullah [saw.].[4]
Riwayat Al-Bukhari yang dikutip Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya menyebutkan bahwa cap [dalam bentuk cincin] ini masih dipakai Abu Bakr, Umar dan Utsman, tapi kemudian terjatuh dari tangan Utsman dan masuk sumur Aryis yang airnya sedikit tapi dasarnya tidak terjangkau. Gara-gara itu Utsman sempat pitam dan berfirasat buruk, lalu ia membuat satu cap lain yang serupa dengannya.[5]
Cap Rasulullah [saw.] bertulis Muhammad Rasulullah dalam tiga baris, sementara cap-cap selain cap beliau adalah sesuai pilihan masing-masing. Cap Abu Bakr [r.a.] bertulis: Ni’ma Al-Qadir Allah (sebaik-baik yang berkuasa adalah Allah); cap ‘Umar [r.a.] bertulis: Kafa bi Al-Mauti Wa’izhan, ya ‘Umar (cukuplah kematian menjadi peringatan bagimu, hai Umar); cap ‘Utsman bin ‘Affan [r.a.] bertulis: Amana ‘Utsman bi Allah Al-‘Azhim (Utsman percaya kepada Allah Yang Maha Agung); dan cap ‘Ali bin Abi Thalib [a.s.] bertulis: Allah Al-Malik, ‘Ali ‘Abduhu (Allah Penguasa, ‘Ali hamba-Nya).[6]
Ibnu Khaldun menerangkan: cap merupakan benda yang digunakan untuk penanda keabsahan dan keberlakuan sebuah surat. Tapi terkadang cap juga dapat berupa tulisan (khath) yang ditulis pada awal atau akhir surat, yakni beberapa kata tersusun, bisa jadi ucapan tahmid atau tasbih, atau juga nama sultan, amir atau penyalin surat. Kalimat tersebut menjadi tanda keabsahan surat dan keberlakuannya, dan dikenal dengan sebutan ‘alamah. Disebut juga dengan khatam atau cap lantaran menunaikan fungsi yang sama.[7]
Deskripsi Cap Sultan Muhammad
Cap Sultan Muhammad ditemukan Erwin, warga Kuta Krueng (Kuta Karang), Samudera, Aceh Utara, pada Desember 2008. Lokasi penemuan: di salah satu pematang tambak ikan, berjarak sekitar 500 meter dari bibir pantai, dan sebelah barat komplek makam Shadr Al-Akabir ‘Abdullah bin Muhammad, kira-kira 50 meter. Saat ditemukan, cap berada di lapisan permukaan tanah yang sudah berulang kali teraduk. Kondisi ini tidak membantu kami memperoleh infomasi lain menyangkut cap.
Bagian berinskripsi pada cap ini berbentuk persegi dengan ukuran 2 X 1 cm. Cap memiliki gagang, tapi sudah patah bagian ujungnya; tersisa bagian pangkal dengan bolongan bundar, tampaknya, untuk tali kalungan. Beratnya tak sampai 1 mg, dan menurut dugaan kami terbuat dari bahan sejenis tanduk hewan, berwarna hitam agak kehijauan.
Inskripsi Cap
مملكة .1
محمد .2
Terjemah:
1. Kerajaan
2. Muhammad.
Analisis Inskripsi
Kalimat tersebut ditulis dengan khath Kufiy. Khath ini memang lazim digunakan sejak abad ke-1 H sampai ke-5 H untuk menulis atau menyalin sesuatu yang punya nilai penting dan besar seperti mushhaf Al-Qur’an dan juga monumen-monumen tertentu untuk peringatan dan kenangan. Peran tersebut mulai digantikan oleh khath Naskhiy pada akhir-akhir abad ke-5 H/ 11 M dan sebelum berakhir abad ke-6 H/12 M, khath Kufiy sudah jarang dipakai untuk penulisan mushhaf atau pemahatan kalimat pada batu-batu dan logam.[8] Tapi ini tidak berarti sejarah khath Kufiy telah berakhir, malah sebaliknya, pada masa-masa berikutnya mengalami pegembangan seni yang baru, dan berbeda dengan Kufiy sederhana (kufiy basith) yang popular di kurun-kurun pertama hijriyah. Salah satu pengembangan baru dari khath Kufiy adalah apa yang diistilahkan dengan kufi mudhaffar (berajut- bersambung). Khath ini menampakkan huruf-huruf yang saling terajut (terikat) satu sama lainnya, bahkan terkadang pada satu huruf atau juga pada dua kata berdampingan. Rajutan ini kadang kala sampai pada tingkat yang begitu kompleks, dan tergolong dalam salah satu seni hias khath.[9]
Dengan mencermati model khath pada inskripsi cap ini kami cenderung menyakini bahwa khath yang dipakai ialah khath Kufiy mudhaffar yang merupakan pengembangan khath Kufiy setelah abad ke-6 H/12 M.
Satu keunikan lainnya pada inskripsi ini: kedua suku katanya, Mamlakah dan Muhammad ditulis dalam posisi berhadap-hadapan (taqabul), sehingga sisi kanan-kiri cap merupakan huruf awal kedua kata tersebut. Dengan begitu, masing-masing kata hanya baru dapat dibaca apabila diletakkan pada sisi kanan. Keunikan seperti ini, di samping model khath yang digunakan, barangkali dimaksud untuk menambah ciri khusus dari cap tersebut.
Kesimpulan
Model kaligrafi yang digunakan serta teknik penulisan inskripsi pada cap ini menunjukkan perbedaan yang jelas dengan model kaligrafi serta teknik yang dipakai pada cetak mata uang dirham yang ber-khath Naskhiy dan kalimatnya ditulis dua atau tiga baris berturut-turut. Apabila dirham paling awal yang ditemukan bertarikh abad ke- 9 H/15 M, maka kami menyakini bahwa model kaligrafi dan teknik penulisan sebagaimana pada cap tersebut berasal dari abad sebelum ke-9 H/15 M. Hal ini kemudian secara relatif menunjukkan cap itu adalah milik Sultan Al-Malik Azh-Zhahir Muhammad bin Al-Malik Ash-Shalih (W. 726 H/1326 M) sebab tidak pernah dijumpai sultan Samudra Pasai bernama Muhammad sebelum abad ke-9 H/15 M selain sultan putera Al-Malik Ash-Shalih, malah sultan bernama Muhammad di Samudra Pasai baru dijumpai lagi pada penghujung abad ke-9 H/15 M. Keyakinan ini, agaknya, baru dapat dipertimbangkan kembali jika nantinya ditemukan fakta bahwa Sultan Al-Malik Azh- Zhahir (II) bin Raja Khan juga bernama Muhammad.
Dari itu, apabila Sultan Al-Malik Azh-Zhahir Muhammad telah memerintah Samudra Pasai sepeninggal ayahnya, Al-Malik Ash-Shalih, pada 696 H/1297, maka cap ini diperkirakan telah berumur lebih dari 683 tahun dan, barangkali, sampai dengan waktu ini merupakan cap Islam tertua yang pernah ditemukan di Nusantara selain cap Lobu Tua, yang menurut kami juga masih perlu penelitian yang lebih memadai.
Dikutip dari www.misykah.com, website resmi Cisah, tayang pada 5 November 2013.
___________________________________________
[1] Ibnu Khaldun, Al-Muqaddimah, h. 287.
[2] Muhammad ‘Abdul Hayy Al-Kattaniy, At-Taratib Al-Idariyyah, (Beirut: Bait Dar Al-Arqam bin Abi Al-Arqam, 1996), j. 1, h. 170.
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Ibnu Khaldun, h. 287.
[6] Abu Al-Husain Hilal bin Al-Muhsin Ash-Shabi’, Rusum Dar Al-Khilafah, (Beirut: Dar Ar-Ra’id Al-‘Arabiy, 1986), h. 126-127.
[7] Ibnu Khaldun, 288.
[8] Ibrahim Jum’ah, 62-63.
[9] Yahya Wahib Al-Jabburiy, 121.
0 Komentar