Keturunan Khalifah 'Abbasiyyah Al-Musytanshir Bi-Llah Di Sumatra



Di Asia Tenggara, pada abad ke-13 telah muncul kekuatan politik Islam yang kuat di pantai utara Pulau Sumatera, yang saat ini disebut sebagai Kesultanan Sumatra-Pasai. Nama tersebut merujuk pada Madinah Syumuthrah, sebuah kota pelabuhan besar seperti yang dicatat dalam laporan perjalanan seorang penjelajah muslim asal Maghrib (Maroko), Ibnu Bathuththah yang berjudul Tuḥfatun Nuẓẓār fī Gharāʾibil Amṣār wa ʿAjāʾibil Asfār. Karena pengaruh kuat kota Sumatra, lambat laun secara keseluruhan penamaan pulau besar (Pulau Sumatera) tempat kota ini berada dirujuk atas namanya.

Kota pelabuhan ini mendapat kehormatan besar atas kehadiran seorang tokoh keturunan langsung dari Khalifah 'Abbasiyyah. Kehadirannya di kota ini telah membuktikan kemasyhuran Kota Sumatra pada masa itu, dan juga ikut menggambarkan betapa pentingnya kota ini sebagai salah satu pusat peradaban Islam di dunia. Beliau adalah 'Abdullah bin Amir Muhammad Al-'Abbasiy, silsilahnya bersambung kepada Manshur Abu Ja'far yang bergelar Al-Musytanshir Bi-Llah, seorang Khalifah dari Bani 'Abbasiyyah yang memerintah di Baghdad pada kuartal kedua abad ke-7 Hijriah.
Sejauh ini beliau merupakan satu-satunya tokoh keturunan langsung dari 'Abbas bin 'Abdul Muthalib, paman dan sekaligus sahabat Rasulullah Shalla-Llahu 'alaihi wa Sallam yang berhijrah ke Kota Sumatra sampai akhir hayatnya. 'Abdullah bin Muhammad Al-'Abbasiy wafat di Kota Sumatra pada tahun 816 Hijriah (1413 Masehi), ia hidup pada masa Sulthan Zainal 'Abidin bin Sulthan Ahmad, ayahanda dari Al-Malikah Al-Mu'azhzhamah Nahrasyiyah. Pada periode ini (paruh awal abad ke-9 Hijriah), Kesultanan Sumatra mencapai puncak keemasannya.
Beliau merupakan tokoh yang sangat dihormati yang dijuluki dengan Shadrul Akabir, yang bermakna Pemuka Para Pembesar, seperti yang termaktub dalam epitaf pada monumen makamnya. Julukan tersebut juga disematkan pada putranya, Yusuf bin 'Abdullah, keduanya dikuburkan dalam satu kompleks pemakaman.
Di kompleks makam yang secara tradisi disebut sebagai makam Teungku Sidi ini berjajar 1 buah cenotaph dan 4 pasang nisan. Yang pertama, cenotaph berbahan marmer yang diproduksi dan didatangkan dari Bandar Khambhat (Cambay), Gujarat, yang dicirikan sebagai tipologi Cambay, itu merupakan monumen peringatan tokoh utama di kompleks ini, Shadrul Akabir 'Abdullah Al-'Abbasiy. Empat pasang nisan lainnya, posisinya dua pasang mengapit di kanan-kiri monumen utama. Tiga dari empat nisan tersebut merupakan nisan andesit yang dibuat secara lokal yang dicirikan sebagai tipologi Sumatra-Pasai, yang satu di antaranya memuat epitaf Shadrul Akabir Yusuf bin 'Abdullah Al-'Abbasiy. Dua nisan andesit lainnya polos tanpa hiasan dan inskripsi, yang salah satunya kemungkinan adalah penanda tempat jasad Shadrul Akabir 'Abdullah dikubur. Nisan yang ke empat berbahan marmer tipologi Cambay adalah nisan seorang putri dari Raja Yang Dipertuan Agung, berdasarkan epitaf nisannya yang menyebutkan nama almarhumah Sitti Rahiman binti Al-Malik Al-Mu'azhzham. Posisi nisannya yang berdampingan dengan monumen utama kemungkinan beliau adalah istri dari Shadrul Akabir 'Abdullah Al-'Abbasiy, dan diduga kompleks ini merupakan kompleks makam keluarga.
Mengutip hasil bacaan epigraf asal Aceh, Teungku Taqiyuddin Muhammad, Lc, yang dipublikasi oleh Mapesa di buku Melintasi Jejak Perjalanan Sejarah Aceh, berikut ini adalah salinan dan terjemahan epitaf pada monumen makam Shadrul Akabir 'Abdullah:
هذا القبر لصدر الأكابر عبد الله بن أمير محمد بن عبد القادر بن يوسف بن عبد العزيز بن المنصور أبي جعفر العباسي المستنصر بالله أمير المؤمنين الخليفة العباسي سقى الله ثراه توفي ليلة الجمعة الثالث والعشرين من شهر رجب سنة ستة عشر وثمانمائة
"Inilah kubur bagi Pemuka Para Pembesar 'Abdu-Llah bin Amir Muhammad bin 'Abdul Qadir bin Yusuf bin 'Abdul 'Aziz bin Al-Manshur Abi Ja'far Al-'Abbasiy Al-Mustanshir bi-Llah Amirul Mu'minin, Khalifah 'Abbasiyyah, semoga Allah Menyiramkan rahmat ke atas pusaranya. Wafat pada malam Jum'at 23 bulan Rajab tahun 816 (Hijriah). "
Di sebelah utara kompleks ini merupakan area tambak Ikan/Udang masyarakat setempat, dan dari arah pantai, kompleks ini merupakan satu-satunya bangunan semen yang ada. Jika ditarik garis lurus imajiner, ke arah utara kompleks ini berjarak 550 meter dari bibir pantai Selat Malaka, jarak terdekat dari Sungai Pasai di sebelah tenggaranya 720 meter, dari Kompleks Makam Sulthan Al-Malik Ash-Shalih di sebelah barat daya berjarak 1,1 Kilometer, dan di arah timurnya terdapat Kompleks Makam Kesultanan Sumatra-Pasai Periode Ke-II (Makam Ratu Nahrasyiyah) berjarak 600 meter.
Lokasi kompleks ini berjarak 18 Kilometer dari pusat Kota Lhokseumawe, dan dapat ditempuh sekitar 30 menit dengan kendaraan bermotor via Jalan Medan-Banda Aceh. Berada di koordinat 5.13987, 97.21026, di Gampong Kuta Krueng, Kecamatan Samudera, Kabupaten Aceh Utara, Aceh.
Referensi:
- Daulah Shalihiyyah di Sumatera – ke arah penyusunan kerangka baru historiografi Samudra Pasai, Taqiyuddin Muhammad, 2011.
- Suntingan dan Analisis Singkat Naskah Asli Ibnu Batutah (723 H-779 H/1304 M-1377 M), mapesaaceh.com
- Dari Baghdad ke Samudra Pasai, mapesaaceh.com
- Melintasi Jejak Perjalanan Sejarah Aceh, MAPESA, 2018.
___________
Bandar Teluk Samawi, Sabtu 28 Mei 2022/ 27 Syawal, 1443
Oleh: Arya Purbaya, Kontibutor Aceh Darussalam Academy
Foto direkam pada Jum’at 27 Mei 2022 oleh Irfan M Nur dan D-Zier (Anzir) Publikasi pertama di fanpage Aceh Darussalam Academy





























Posting Komentar

0 Komentar