๐Š๐š๐ฃ๐ข๐š๐ง ๐’๐ข๐ง๐ ๐ค๐š๐ญ ๐Š๐จ๐ข๐ง ๐“๐ž๐ฅ๐ฎ๐ค ๐’๐š๐ฆ๐š๐ฐ๐ข

 ๐Ž๐ฅ๐ž๐ก: Arya Purbaya, Irfan M Nur, Tgk Malikulssaleh Al-Alubi

Pada paruh kedua abad ke-18, Aceh masih menjadi negara yang cukup kuat, yang berperan sebagai salah satu pemain kunci jalur perdagangan dunia di Selat Malaka dan Pantai Barat Sumatera. Armada Laut Aceh masih sangat dihormati oleh semua koloni dagang, termasuk kolonial Eropa. Sultan sebagai pemegang kedaulatan tertinggi telah mengeluarkan peraturan yang tegas mengenai perdagangan, baik ekspor maupun impor, untuk hampir semua jenis perdagangan. Kebijakan sultan tersebut dimaksudkan untuk memperkuat perekonomian negara. Namun, beberapa pemimpin lokal, khususnya pemimpin dari Tiga Sagi Aceh (Sagi XXII, Sagi XXV, dan Sagi XXVI) keberatan dengan peraturan ketat sultan tersebut. Kebijakan ekonomi negara itu memicu pemberontakan yang pelopori oleh Tuanku Panglima Po Lim Muda Perkasa Sagi XXII melawan sultan. Pada masa pemerintahan Sultan 'Alauddin Muhammad Syah (๐˜ฎ๐˜ฆ๐˜ฎ๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ช๐˜ฏ๐˜ตa๐˜ฉ 1781–1795), pasukan pendukung pemimpin dari Tiga Sagi Aceh mengepung Langgar Kuta Dalam selama tiga bulan sebagai bentuk perlawanan terhadap kebijakan sultan. Selain Tiga Sagi Aceh, Tuanku Bentara Kemangan Raja Setia Indera Negeri Pedir Tengah juga bersatu melawan sultan. Namun, kekuasaan sultan masih terlalu kuat untuk dilawan, terutama di wilayah laut, di mana muatan peraturan itu diberlakukan. Oleh karena itu perlawanan lebih banyak dilakukan di darat. Ketegangan dan perlawanan seperti itu berlanjut hingga pergantian sultan. Pada tahun 1795, putra Sultan Muhammad Syah, Pangiran Husain naik tahta dengan gelar ๐˜—๐˜ข๐˜ฅ๐˜ถ๐˜ฌ๐˜ข ๐˜š๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ช ๐˜š๐˜ถ๐˜ญ๐˜ต๐˜ฉ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜‘๐˜ข๐˜ถ๐˜ฉ๐˜ข๐˜ณ๐˜ถ๐˜ญ '๐˜ˆ๐˜ญ๐˜ข๐˜ฎ ๐˜š๐˜บ๐˜ข๐˜ฉ ๐˜‘๐˜ข๐˜ถ๐˜ฉ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜‰๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ฅ๐˜ข๐˜ถ๐˜ญ๐˜ข๐˜ต. Pada masa kepemimpinannya, negara masih memberlakukan peraturan lama yang dibuat oleh sultan sebelumnya. Hal ini membuat pemimpin Tiga Sagi Aceh dan pemimpin Pedir melanjutkan perlawanannya terhadap sultan baru tersebut. Sekitar kuartal akhir abad ke-18, seorang saudagar kaya asal Pulau Pinang, Sayyid Husain Al-'Aidid berkunjung ke Aceh untuk membangun jaringan perdagangannya. Ia dikenal sebagai bangsawan yang lahir di Aceh dan pindah di Kuala Selangor ketika masih kecil. Kakeknya disebut-sebut sebagai menantu dari ๐˜š๐˜ถ๐˜ญ๐˜ต๐˜ฉ๐˜ข๐˜ฏ๐˜ข๐˜ฉ ๐˜ก๐˜ข๐˜ช๐˜ฏ๐˜ข๐˜ต๐˜ถ๐˜ฅ๐˜ฅ๐˜ช๐˜ฏ ๐˜’๐˜ข๐˜ฎ๐˜ข๐˜ญ๐˜ข๐˜ต ๐˜š๐˜บ๐˜ข๐˜ฉ. Selain jaringan perdagangannya yang bertambah kuat, Sayyid Husain juga memiliki pengikut dan sekutu. Sebagai seorang saudagar ia juga merasa kurang nyaman dengan kebijakan negara mengenai perdagangan, terutama masalah bea cukai. Awal abad ke-19 karena kondisi Bandar Aceh yang tidak kondusif, Sulthan Jauharul 'Alam Syah mengalihkan kekuasaannya ke Teluk Samawi yang pada saat itu merupakan salah satu pelabuhan paling sibuk di Pulau Sumatera. Selain masih menerapkan peraturan lama, sultan juga menambahkan peraturan baru, terutama untuk beberapa barang khusus yang mesti masuk melalui pelabuhan Teluk Samawi. Sultan mengarahkan agennya di Pulau Pinang untuk menerbitkannya secara umum peraturan ini, yang mulai berlaku pada tanggal 13 Zdulqaidah 1225 Hijrah (15 Januari 1811). Untuk mendukung kebijakan fiskal dan moneter negara, sultan menerbitkan uang logam (koin) atas namanya dan bandar barunya, demi kemajuan bandar tersebut. Koin yang dicetak oleh Jauharul 'Alam terbuat dari timah. Dalam tabel periodik, timah adalah suatu unsur kimia yang memiliki lambang Sn (stannum), dengan nomor atom 50, dibedakan dengan Timah Hitam (timbal) yang memiliki lambang Pb (plumbum) dengan nomor atom 82. Timah adalah logam yang tidak mudah teroksidasi di udara, yang membuatnya tahan karat. Karena kelebihannya itu, timah telah lama digunakan sebagai uang logam selain emas, perak dan perunggu. Di wilayah utara Sumatera sendiri, koin timah telah digunakan sejak zaman Daulah Shalihiyyah (Sumatra-Pasai) setidaknya pada abad ke-15. Koin Teluk Samawi ini rata-rata berdiameter 24 milimeter, dengan ketebalan 2 milimeter, dengan berat rata-rata 3 gram. Koin memiliki dua sisi, yang masing-masing sisi memuat tulisan 'Arab. Sisi pertama bertulis: ุฌูˆู‡ุฑ ุงู„ุนุงู„ู… ุดุงู‡ "๐˜‘๐˜ข๐˜ถ๐˜ฉ๐˜ข๐˜ณ ๐˜ˆ๐˜ญ-'๐˜ˆ๐˜ญ๐˜ข๐˜ฎ ๐˜š๐˜บ๐˜ข๐˜ฉ" Sisi lainnya bertulis: ุชู„ูˆู‚ ุณู…ุงูˆูŠ 1226 "๐˜›๐˜ฆ๐˜ญ๐˜ถ๐˜ฌ ๐˜š๐˜ข๐˜ฎ๐˜ข๐˜ธ๐˜ช 1226" Tulisan angka tahun pada koin Sulthan Jauharul 'Alam Syah ini merupakan angka tahun yang pertama ditulis menggunakan angka Arab Barat disebuah koin sepanjang sejarah Aceh. Angka Arab Barat merupakan angka Arab yang digunakan oleh orang Arab di Maghrib (Libya, Tunisia, Maroko, dan Al-Jazair) dan Al-Andalusia, yang kemudian digunakan oleh orang Eropa bersama dengan angka Latin hingga saat ini. Di Kepulauan Melayu sendiri, angka Arab Barat diperkenalkan oleh orang-orang Eropa, yang sebelumnya masyarakat kepulauan menggunakan angka Arab Timur seperti yang digunakan di Semenanjung Arab, Persia, dan Asia Selatan. Angka Arab Barat sendiri merupakan perkembangan dari angka Arab Timur, yang asalnya diambil dari angka India. Secara umum untuk koin timah di Aceh disebut dengan "keuh". Istilah yang sama digunakan untuk "cash" dalam bahasa Inggris, yang berasal dari "caixa" bahasa Potugis, itu diambil dari bahasa Tamil untuk "kasu" sebagai satuan moneter yang digunakan di India bagian Selatan, yang akhirnya berasal dari bahasa Sanskerta "karsa" untuk menyebut satuan berat perak dan Emas di India pada masa klasik. Koin Teluk Samawi muncul pertama kali dalam karya kajian mata uang Prof. Hendrik Chistiaan Milliรซs dengan judul "Recherches Sur Les Monnaies Des Indigรจnes De L'archipel Indien et La Pรจninsule Malaie" (Penelitian Uang Koin Penduduk Asli Kepulauan di Semenanjung Melayu), La Haye, Nijhoff, 1871. Pada tahun 1866 Tuan H. C. Millies, profesor bahasa dan sastra oriental di Utrecht mengadakan korespondensi dengan Tuan Millard (sekretaris di Institut Kerajaan untuk Filologi dan Etnografi Hindia Belanda), tentang penerbitan sebuah karya terkait koin-koin Hindia Belanda. Karya yang dijanjikan berkontribusi bagi kemajuan ilmu pengetahuan ini akhirnya dapat diterbitkan pada 1871, setelah kematian Milliรซs pada 26 Nopember 1868. Koin Teluk Samawi dirinci pada halaman 105. “Teluk Samawi” diterjemahkan ke bahasa Prancis sebagai "port ou baie cรฉleste". Samawi sama dengan Cรฉleste, tentu itu dimaknai dari Bahasa Arab. Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Cรฉleste memiliki sinonim: angkasa, surgawi, ilahi, sempurna, menakjubkan. Cetakan koin Teluk Samawi hingga kini belum ada laporan pernah dijumpai. Namun, jika mengacu pada cara pembuatan koin pada umumnya, kemungkinan cara pembuatan koin ini sama dengan pembuatan koin timah lainnya. Umumnya cetakan berbahan pasir, tanah liat, kayu, atau batu. Satu cetakan biasanya dapat memuat beberapa koin. Bahan cetakan tersebut sebelumnya telah diukir karakter negatif untuk dua sisi koin, lalu logam dituang melalui lubang yang dibuat di bagian tepi. Berdasarkan gambar-gambar koin Teluk Samawi yang kami peroleh dari berbagai kolektor dan museum, karakter dan posisi huruf satu sama lain memiliki perbedaan. Ini menandakan master cetakan diukir tidak seragam, dan hal ini sangat umum terjadi pada koin-koin logam di belahan dunia sejak dahulu. Koin Teluk Samawi ini termasuk koin yang sangat jarang dijumpai dibandingkan koin keuh lainnya dari wilayah Aceh, walaupun periodenya cukup dekat dari masa sekarang. Ada indikasi bahwa koin ini dicetak sangat terbatas yang diedarkan di wilayah kekuasaan sultan guna mendukung peraturan yang dibuat sebelum koin diterbitkan. Berselang beberapa tahun dari koin diterbitkan, pada tahun 1815 pemimpin dari Tiga Sagi Aceh bersepakat untuk tidak mengakui Jauharul 'Alam sebagai sultan, dan secara bersamaan mengangkat Sayyid Husain Al-Aidid sebagai penguasa Aceh, yang juga mendapat dukungan penuh dari Teuku Raja Faqih di Pedir. Karena merasa sudah sangat tua, Sayyid Husain kemudian menunjuk putranya, Sayyid 'Abdullah untuk menduduki takhta Aceh dengan gelar ๐˜š๐˜ถ๐˜ญ๐˜ต๐˜ฉ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜š๐˜ข๐˜ช๐˜ง๐˜ถ๐˜ญ '๐˜ˆ๐˜ญ๐˜ข๐˜ฎ ๐˜š๐˜บ๐˜ข๐˜ฉ. Sedangkan Jauharul 'Alam Syah yang berkedudukan di Teluk Samawi tetap menganggap dirinya sebagai sultan yang sah. Hal ini membuat Aceh pada saat itu memiliki pemimpin ganda, yang masing-masing memiliki pendukung kuat. Sultan Saiful 'Alam didukung oleh pemimpin dari Tiga Sagi Aceh dan Teuku Raja Faqih dari wilayah Pedir. Sedangkan Jauharul 'Alam menguasai dua pertiga dari pantai Aceh, dan pendukung utamanya adalah penguasa Teluk Samawi yang mengontrol pantai Utara-Timur Aceh. Semasa pemerintahan Saiful 'Alam di Bandar Aceh, kebijakannya juga dinilai tidak menguntungkan Pedir, oleh karenanya Teuku Raja Faqih atau yang lebih dikenal dengan Pakeh Pedir menunjukkan sikap ketidaksenangannya dengan sultan baru tersebut. Karena itu, Pakeh Pedir juga mencoba membuka kembali hubungan dengan Jauharul 'Alam yang masih terbilang kerabatnya. Puncak dari hubungan keduanya, ditandai dengan kunjungan Sultan Jauharul 'Alam Syah ke Pedir pada akhir tahun 1817, yang sejak saat itu mengalihkan kekuasaannya dari Teluk Samawi ke Pedir. Periode ini dikenal luas dengan "Zaman Dua Raja", yang satu berkuasa di negeri Aceh, dan satu lagi di negeri Pedir. Zaman Dua Raja sangat mempengaruhi iklim politik dan perdagangan di Selat Malaka maupun Pantai Barat Sumatera, baik penguasa lokal maupun penguasa kolonial Eropa. Di Pedir, Sultan Jauharul 'Alam Syah menjadi lebih terbuka dengan pihak Belanda. Itu membuat Thomas Stamford Raffles sangat khawatir akan terganggunya perdagangan Inggris, terutama rute perdagangan ke Cina. Untuk itu Raffles akan mencoba mendekati Jauharul 'Alam dan berencana untuk mendukungnya sebagai sultan agar dapat menjauhkan pengaruh Belanda dari kawasan pantai timur Sumatera. Inggris yang sejak awal menunjukkan sikap netral dan enggan ikut campur urusan dalam negeri Aceh, kini para pembesarnya berpecah dalam mendukung sultan yang sah. Raffles yang saat itu baru menjabat sebagai Letnan Gubernur Bengkulu bersitegang dengan Gubernur pulau pinang, Colonel John Alexander Bannerman. Raffles juga ditentang oleh Captain John Monckton Coombs untuk masalah politik Aceh. Berita tentang Aceh telah disampaikan kepada Hastings (Lord Moira), Gubernur Jenderal India di Kalkuta. Raffles pergi ke Kalkuta untuk memberitau Gubernur-Jenderal tentang resiko hubungan dekat Belanda dengan Jauharul 'Alam bagi rute perdagangan Inggris ke Cina dan Jepang. Raffles menilai, sudah saatnya Inggris ikut masuk dalam ruang politik Aceh untuk melakukan mediasi. Coombs yang juga sedang berada di Kalkuta, menunjukkan pendapat yang berbeda tentang masalah Aceh, ia khawatir posisi Saiful 'Alam akan dianulir, karena dapat merugikan Pulau Pinang. Perbedaan pandangan keduanya membuat masalah Aceh ini akan dibawa Gubernur-Jenderal ke London untuk mendapat solusi. Pemerintah Inggris di London menugaskan sebuah komisi untuk menyelidiki tentang sultan Aceh yang sah, dan terutama yang dapat menjauhkan pengaruh Belanda di Aceh, dan yang menguntungkan kepentingan Inggris. Raffles diberi wewenang lebih besar untuk komisi tersebut karena ia pejabat senior. Ketika komisi tiba di Teluk Aceh, rombongan tidak berjumpa Sultan Saiful 'Alam, karena ia sudah menyingkir ke Teluk Samawi yang pada saat itu Jauharul 'Alam sudah berpindah ke Pedir. Sewaktu komisi tiba di kuala Sungai Aceh, masyarakat dari pendukung Saiful 'Alam dan Panglima Tiga Sagi dalam siaga penuh untuk siap menyerang. Coombs yang ikut dalam rombongan itu agak kecewa, dan karenanya menyerahkan keputusan kepada Raffles. Atas upaya Komisi yang bekerja dan mengadakan pembicaraan ke berbagai pihak di Aceh, Pedir, Teluk Samawi, dan Pulau Pinang, pada tanggal 22 April 1819 pemimpin dari Tiga Sagi Aceh menyepakati sebuah perjanjian internasional yang disebut sebagai "Traktat Aceh", yang salah satunya memuat tentang pemakzulan Sultan Sayyid 'Abdullah Saiful 'Alam, dan mengembalikan posisi sultan Aceh yang sah kepada Sultan Jauharul 'Alam Syah. Kajian singkat tentang koin Teluk Samawi, yang menyentuh sejarah sebelum dan sesudah diterbitkannya koin, menjadi gambaran penting untuk kita mengambil sebuah makna dan nilai (itangible), bahwa mata uang bukan sekedar sebagai alat tukar dalam membantu sebuah negara memajukan ekonomi, tapi sebagai legitimasi akan kedaulatan seorang pemimpin negara. Legitimasi seorang sultan yang diharapakan menjadi “Permata Dunia”, Jauharul 'Alam Syah sultan digelar. Referensi: - Anderson, John, Acheen, and the ports on the north and east coasts of Sumatra with incidental notices of the trade in the Eastern Seas and the aggressions of the Dutch, 1840. - Milliรซs, H.C, Recherches Sur Les Monnaies Des Indigรจnes De L'archipel Indien et La Pรจninsule Malaie, 1871 - Van Langen, K.F.H., De inrichting van het Atjehsche staatsbestuur onder het sultanaat, 1888. - Damsté, H.T. Atjèh-historie, 1916 - Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad (I), 1981 - Abdur-Rahman Mohammed Amin, Terjemahan Surat Tuanku Panglima Po Lim Muda Perkasa Negeri XXII dan Tuanku Bentara Kemangan Raja Setia Indera Negeri Pedir Tengah XXX. - Durratu an-Nadhirah tanbiha li-durratul fakhirah Karya Syaikh Sirajuddin ibn Jalaluddin. Koleksi digital Pedir Museum. Gambar: Koin Teluk Samawi koleksi dari Adam Al-Khair Jakarta Selatan. Dalam tiga tahun terakhir ini Mapesa Aceh bersama PEDIR Museum sedang mengkaji dan akan menerbitkan buku kajian numismatik Aceh dalam waktu dekat. Kajian disusun oleh Masykur Syafruddin (Luengputu Manuskrip Aceh) dan Taqiyuddin Muhammad. Kajian ini pertama kali diterbitkan di fanpage Teluk Samawi, pada Sabtu, 13 Rajab 1444/4 Februari 2023.

Posting Komentar

0 Komentar