Buku Tinggalan Sejarah Samudra Pasai di Lhokseumawe

Potret Seharga 35.000 Rupiah

Pernah melejit sebagai kota petrodollar di Aceh tidak berarti Lhokseumawe tanpa masa silam yang lebih bersinar dan mengagumkan. Sebaliknya, memiliki fasilitas semisal pelabuhan khusus Liquefied Natural Gas (LNG) hanya semakin menegaskan perannya di masa silam negeri ini.
Mulai dari lembaran belakang yang tidak begitu jauh dari hari ini, Lhokseumawe masih menyaksikan arus pelayaran yang sibuk. Pelayaran domestik dari berbagai kuala dan teluk di pesisir utara dan timur Aceh menuju Lhokseumawe untuk meniagakan berbagai komoditas. Dari Teluk Samawi—sebutan lama Lhokseumawe yang belum sampai seabad dilupakan—kapal-kapal di rute pelayaran antarbangsa mengangkut ragam jenis barang niaga.
Pengalaman di dunia perniagaan maritim masih terekam sampai hari ini dalam memori banyak warga Lhokseumawe.
Saya pernah tinggal di Lhokseumawe, hidup dan bersaudara dengan generasi cucu dari seorang tokoh kerani terkenal di pelabuhan Lhokseumawe (kerani: juru tulis pelabuhan atau pelayaran). Berada di antara mereka, Cek Guh, Bang Mudin, Bang Man, dan di tengah-tengah keluarga mereka, saya mendengar berbagai kisah dan kenangan terkait kemaritiman Lhokseumawe.
Dari seorang sahabat dan kakanda saya, Bang Abu, saya menyimak cerita keluarga sebelah ibunya yang berasal dari India dan kemudian hidup di lingkungan keluarga Maharaja Mangkubumi Teluk Samawi. Ia juga telah memandu saya dalam memetakan masa lampau Lhokseumawe, melakukan peninjauan ke banyak tempat, menyingkap banyak hal yang sebelumnya ditelan senyap.
Saya seperti di depan Sinbad dari Lhokseumawe saat Almarhum Bang Uma—semoga Allah melapangkan kuburnya—menuturkan kenangannya semasa ia masih sebagai pelaut dan juru masak di sebuah kapal asing. Dalam kecerdasannya yang luar biasa, ia menyimpan sangat banyak pengetahuan tentang lingkungan hidup di Lhokseumawe, hal mana membuat saya pada suatu hari pernah berpikir untuk menyusun kamus kelautan yang berbasiskan pengetahuannya. Kepribadiannya yang bijak bestari dan uraiannya yang menarik terkait ekologi sosial membuat warung kopi yang dikelolanya menjadi pangkalan menyenangkan bagi saya, sekaligus ‘kepustakaan’ di mana saya mencari penjelasan dan rujukan.
Saya juga diberkahi keakraban dengan sosok yang lewatnya saya bisa melihat lebih dalam ke masa lampau Lhokseumawe sebagai kota pelabuhan gemerlap dengan hitam-putih warna kehidupannya. Almarhum Teungku Musa (Bang Musa) tidak banyak bercerita, tapi dari apa yang diceritakan orang-orang tentangnya membuat saya semakin menyadari bahwa nilai penting sejarah adalah pada pelajarannya, bukan pada cerita dibumbui kehebatan yang terkadang sangat berlebihan. Almarhum, semoga Allah meluaskan kuburnya, memberikan saya fondasi realita bagi gambaran masa lampau Lhokseumawe yang akan dibangun. Sehingga, ‘kerinduan’ terhadap masa lalu tanah air, yang lumrah dimiliki oleh setiap orang berbangsa dan bertanah air, tidak menghanyutkan kita untuk hanya melukiskan gambaran yang muluk-muluk. Hal-hal terpenting yang perlu ditemukan dari sejarah, kiranya, adalah pelajaran, pengalaman, dan semangat.


Bentang alam Lhokseumawe dan kisah-kisah lama yang bagi saya kemudian bangkit dan hidup di sana, menyemangatkan saya untuk merunut lembaran-lembaran yang lebih ke belakang. Setelah melalui lembaran-lembaran yang sebagian besarnya belum teraksarakan, saya tanpa sedikit pun ragu untuk mengatakan bahwa Lhokseumawe bukan hanya soal bumi, air, tanah dan bangunan, tapi lebih jauh dari itu, Lhokseumawe, atau dulunya: Teluk Samawi, adalah soal kecemerlangan tempat (“the genius of the place”) yang menjadi kunci pembuka bagi sejarah Islam di Asia Tenggara. Ia adalah pangkalan laut bagi negeri “Sama Thara”; negeri yang meninggi dan terkenal di berbagai laut dan darat dalam merangkai persaudaraan. Dari teluk ini, armada-armada melayari berbagai lautan, mencari dan menyusuri berbagai daratan, dan sebagai suatu hasil pasti dari semua gerak dan kesibukan di Teluk Samawi, kumandang azan telah menyatukan cerai-berai daratan kepulauan.
Booklet “Tinggalan Sejarah Islam Samudra-Pasai” [di Kota Lhokseumawe] memotret bagian kecil dari kisah panjang. Hasilnya adalah sebuah potret yang hanya akan berukuran besar dalam benak yang hidup. Harganya, barangkali, lebih murah dari frame foto di dinding rumah!
Bandar Aceh Darussalam, 23 Dzulqa'dah 1443

Posting Komentar

0 Komentar