Penemuan Epitaf Sultan Agung Banten

 (𝙎𝙪𝙡𝙩𝙝𝙖𝙣 𝘼𝙗𝙪𝙡 𝙈𝙖𝙛𝙖𝙠𝙝𝙞𝙧 𝙈𝙖𝙝𝙢𝙪𝙙 '𝘼𝙗𝙙𝙪𝙡 𝙌𝙖𝙙𝙞𝙧)

Gambar 1. Foto nisan Sulthan Mahmud, sekitar tahun 1930. Judul gambar "KITLV A681 - Grafsteen op een begraafplaats te Pangkalan bij Poerwakarta". Sumber: KITLV.


Epigrafi merupakan salah satu sumber utama dalam penulisan historiografi. MAPESA "MASYARAKAT PEDULI SEJARAH ACEH" selama belasan tahun telah terlibat aktif dalam pencarian, pelestarian, dan pengkajian prasasti Islam di Asia Tenggara. Dari seluruh jenis epigrafi Islam, sumber yang paling melimpah adalah batu nisan. Penelusuran dilakukan baik secara langsung dengan melakukan ekspedisi khusus ke daerah-daerah potensial maupun penelusuran dokumen dengan melacak foto-foto lama yang tersedia secara online. Salah satunya menelusuri website 𝘒𝘰𝘯𝘪𝘯𝘬𝘭𝘪𝘫𝘬 𝘐𝘯𝘴𝘵𝘪𝘵𝘶𝘶𝘵 𝘷𝘰𝘰𝘳 𝘛𝘢𝘢𝘭-, 𝘓𝘢𝘯𝘥-𝘦𝘯 𝘝𝘰𝘭𝘬𝘦𝘯𝘬𝘶𝘯𝘥𝘦 (KITLV) yang menyediakan banyak gambar untuk wilayah Indonesia.
Awal tahun 2022, Ketua Dewan MAPESA, Mizuar Mahdi membuka kembali arsip yang telah diunduh dari situs KITLV, dan menemukan foto nisan tipologi Aceh di pulau Jawa yang diduga terdapat prasasti yang memuat nama dan silsilah sultan. Saat itu, Ketua MAPESA mencoba menanyakan tentang keberadaan nisan tersebut kepada Bapak Sariat Arifia, seorang yang konsen meneliti sosok Fatahillah serta hubungan kerajaan Pasai dan Aceh dengan otoritas Islam di Pantai Utara Jawa. Namun, pencarian tentang nisan tersebut harus ditangguhkan untuk sementara waktu sambil menunggu informasi tambahan.
Setahun berlalu, awal tahun 2023 diskusi tentang nisan berepitaf itu kembali berlanjut. Dalam laman KITLV, nisan tersebut hanya ditayangkan dua foto, yang pertama gambar salah satu sisi bagian muka yang dicurigai memiliki epitaf, dan foto kedua adalah salah satu sisi bagian samping nisan. Setelah ditelusuri kembali pada laman KITLV, nampaknya nisan ini tidak dijumpai pasangannya. Keterangan gambar nisan tertulis '𝘎𝘳𝘢𝘧𝘴𝘵𝘦𝘦𝘯 𝘰𝘱 𝘦𝘦𝘯 𝘣𝘦𝘨𝘳𝘢𝘢𝘧𝘱𝘭𝘢𝘢𝘵𝘴 𝘵𝘦 𝘗𝘢𝘯𝘨𝘬𝘢𝘭𝘢𝘯 𝘣𝘪𝘫 𝘗𝘰𝘦𝘳𝘸𝘢𝘬𝘢𝘳𝘵𝘢' yang jika diterjemahkan menjadi '𝘉𝘢𝘵𝘶 𝘯𝘪𝘴𝘢𝘯 𝘥𝘪 𝘱𝘦𝘮𝘢𝘬𝘢𝘮𝘢𝘯 𝘥𝘪 𝘗𝘢𝘯𝘨𝘬𝘢𝘭𝘢𝘯 𝘥𝘦𝘬𝘢𝘵 𝘗𝘶𝘳𝘸𝘢𝘬𝘢𝘳𝘵𝘢'. Walaupun keterangannya agak membingungkan, tapi lokasi keberadaannya dapat di kenali. Pangkalan yang dimaksud adalah Pakalangan, yaitu Kompleks Makam Panembahan Pakalangan Gede di Banten, yang dikenal sebagai Kompleks Makam Sultan Maulana Yusuf, sultan ke-2 Banten.
Pada tanggal 18 Februari 2023, Bapak Sariat bersama timnya berangkat dari Jakarta ke Kompleks Makam Pakalangan Gede di Banten untuk memastikan keberadaan nisan tersebut. Secara umum pemakaman ini sama seperti kompleks-kompleks makam kesultanan Banten lainnya yang didominasi dengan nisan tipologi Aceh Darussalam dari berbagai periode. Catatan MAPESA, di luar Sumatera, wilayah Banten merupakan yang paling banyak dijumpai nisan tipe Aceh Darussalam (abad ke-16–19) dari seluruh wilayah di Indonesia. Setelah berkeliling beberapa saat dengan membandingkan gambar dari KITLV, Pak Sariat berhasil mengenali nisan yang dicari. Nisan dijumpai berdiri dalam keadaan tunggal tanpa pasangan, seperti dugaan sebelumnya. Posisi nisan berada di bagian samping dari bangunan utama. Keadaan nisan agak memprihatinkan karena telah dicat putih beberapa bagian sisinya, dan pada bagian inskripsi ditemukan lapisan berbahan seperti semen.
Tanggal 2 Mei 2023, Ketua MAPESA kembali membuka diskusi tentang nisan-nisan tipe Aceh di Banten. Pak Sariat Arifia mengirim foto nisan yang pernah didokumentasikan sebelumnya. Karena keadaan nisan seperti yang dijelaskan di atas, pembacaan menjadi agak sulit dilakukan. Untuk sementara pembacaan terbaik yang dapat dilakukan hanya melalui poto dari KITLV. Dengan seksama Mizuar Mahdi berhasil membaca pada panel teks pertama bagian kepala, dan pada panel teks kedua di bagian tengah nisan, tertulis:
١. لااله الا الله
سلطان محمود بن سلطان
٢. محمد بن سلطان..?
"1. 𝘓𝘢 𝘪𝘭𝘢𝘩𝘢𝘪𝘭𝘭𝘢𝘩 𝘔𝘶𝘩𝘢𝘮𝘮𝘢𝘥 𝘳𝘢𝘴𝘶𝘭𝘶𝘭𝘭𝘢𝘩, 𝘚𝘶𝘭𝘵𝘩𝘢𝘯 𝘔𝘢𝘩𝘮𝘶𝘥 𝘣𝘪𝘯 𝘚𝘶𝘭𝘵𝘩𝘢𝘯
2. 𝘔𝘶𝘩𝘢𝘮𝘮𝘢𝘥 𝘣𝘪𝘯 𝘚𝘶𝘭𝘵𝘩𝘢𝘯..?"
Untuk dapat melengkapi bacaan yang tertinggal Bapak Sariat yang berdomisili di Jakarta menginisiasi untuk membersihkan nisan tersebut dari cat dan lapisan-lapisan yang mengganggu tulisan. Pada tanggal 7 Mei 2022, Pak Sariat Arifia ditemani koleganya asal Belanda, Mr. Ammar Randy van Zichem berangkat dari Jakarta ke Kompleks Makam Pakalangan Gede di Banten. Setibanya di sana, bersama pengurus makam, warga, dan komunitas budaya setempat membersihkan dengan hati-hati. Akhirnya nisan dapat dibersihkan dari cat dan lapisan sejenis semen yang menutupi tulisan, walaupun tidak dapat dipulihkan sepenuhnya.
Berselang sekitar dua bulan, tepatnya tanggal 7 Juli 2023, Pak Sariat didampingi Ustadz Munawir, tim dari MAPESA yang juga seorang kaligrafer, dan bersama para pegiat sejarah Fatahillah dari Cikande berangkat dari Jakarta menuju Banten untuk meninjau ulang nisan tersebut. Sesampainya di kompleks makam, tim dari Jakarta disambut hangat oleh komunitas budaya dari Klinik Pusaka Banten, Yayasan Lawang Agung dan terutama dari Dzuriyat Panembahan Maulana Yusuf. Tim kemudian melakukan pengapuran sementara menggunakan kapur tulis pada bagian inskripsi untuk membantu pembacaan. Ustadz Munawir kembali melengkapi bacaan Mizuar Mahdi sebelumnya, dengan menemukan nama 'Yusuf' (يوسف) dan gelar 'sulthan' (سلطان) keempat pada panel teks kedua dan ketiga di bagian tengah nisan. Bacaan sementara menjadi:
١. لااله الا الله
سلطان محمود بن سلطان
٢. محمد بن سلطان يوسف
٣. بن سلطان..?
"1. 𝘓𝘢 𝘪𝘭𝘢𝘩𝘢𝘪𝘭𝘭𝘢𝘩 𝘔𝘶𝘩𝘢𝘮𝘮𝘢𝘥 𝘳𝘢𝘴𝘶𝘭𝘶𝘭𝘭𝘢𝘩, 𝘚𝘶𝘭𝘵𝘩𝘢𝘯 𝘔𝘢𝘩𝘮𝘶𝘥 𝘣𝘪𝘯 𝘚𝘶𝘭𝘵𝘩𝘢𝘯
2. 𝘔𝘶𝘩𝘢𝘮𝘮𝘢𝘥 𝘣𝘪𝘯 𝘚𝘶𝘭𝘵𝘩𝘢𝘯 𝘠𝘶𝘴𝘶𝘧
3. 𝘣𝘪𝘯 𝘚𝘶𝘭𝘵𝘩𝘢𝘯..?"
Hasil bacaan itu kembali didiskusikan kepada tim Mapesa di Aceh. Tim kembali memeriksa foto asli nisan yang telah dibersihkan dan dikapuri, serta membandingkan dengan foto nisan dari KITLV. Esoknya tanggal 8 Juli 2023, Mizuar Mahdi kembali menemukan bacaan pada panel teks keempat bagian tengah, yang bertulis ?غفر الله (ghafarallahu?), dan keesokannya, tanggal 9 Juli 2023, Arya Purbaya salah satu tim Mapesa telah mengidentifikasikan huruf-perhuruf pada panel teks ketiga bagian tengah nisan yang belum terbaca. Walaupun ada huruf dalam keadaan sangat aus, huruf-huruf yang tersisa dapat dikenali dan disusun sebagai حسن الدين "Hasanuddin", yang tentunya kembali melengkapi bacaan sebelumnya, menjadi:
١. لااله الا الله
سلطان محمود بن سلطان
٢. محمد بن سلطان يوسف
٣. بن سلطان حسن الدين
٤. ..غفر الله..?
"1. 𝘓𝘢 𝘪𝘭𝘢𝘩𝘢𝘪𝘭𝘭𝘢𝘩 𝘔𝘶𝘩𝘢𝘮𝘮𝘢𝘥 𝘳𝘢𝘴𝘶𝘭𝘶𝘭𝘭𝘢𝘩, 𝘚𝘶𝘭𝘵𝘩𝘢𝘯 𝘔𝘢𝘩𝘮𝘶𝘥 𝘣𝘪𝘯 𝘚𝘶𝘭𝘵𝘩𝘢𝘯
2. 𝘔𝘶𝘩𝘢𝘮𝘮𝘢𝘥 𝘣𝘪𝘯 𝘚𝘶𝘭𝘵𝘩𝘢𝘯 𝘠𝘶𝘴𝘶𝘧
3. 𝘣𝘪𝘯 𝘚𝘶𝘭𝘵𝘩𝘢𝘯 𝘏𝘢𝘴𝘢𝘯𝘶𝘥𝘥𝘪𝘯
4. ..𝘨𝘩𝘢𝘧𝘢𝘳𝘢𝘭𝘭𝘢𝘩𝘶..?"
Terjemahan:
"1. 𝘛𝘪𝘢𝘥𝘢 𝘵𝘶𝘩𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘭𝘢𝘪𝘯 𝘈𝘭𝘭𝘢𝘩, 𝘔𝘶𝘩𝘢𝘮𝘮𝘢𝘥 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘶𝘵𝘶𝘴𝘢𝘯 𝘈𝘭𝘭𝘢𝘩, 𝘚𝘶𝘭𝘵𝘢𝘯 𝘔𝘢𝘩𝘮𝘶𝘥 𝘱𝘶𝘵𝘳𝘢 𝘚𝘶𝘭𝘵𝘢𝘯
2. 𝘔𝘶𝘩𝘢𝘮𝘮𝘢𝘥 𝘱𝘶𝘵𝘳𝘢 𝘚𝘶𝘭𝘵𝘢𝘯 𝘠𝘶𝘴𝘶𝘧
3. 𝘱𝘶𝘵𝘳𝘢 𝘚𝘶𝘭𝘵𝘢𝘯 𝘏𝘢𝘴𝘢𝘯𝘶𝘥𝘥𝘪𝘯
4. ..𝘴𝘦𝘮𝘰𝘨𝘢 𝘈𝘭𝘭𝘢𝘩 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘮𝘱𝘶𝘯𝘪𝘯𝘺𝘢..?"
Sampai saat ini, pembacaan epitaf nisan oleh tim MAPESA ini merupakan pembacaan yang pertama kali yang pernah dilakukan dan dipublikasi pada objek nisan ini sepanjang sejarah. Hasil bacaan di atas bersifat tentatif dan sangat terbuka untuk didiskusikan atau dikoreksi ulang oleh semua pihak yang konsen dalam kajian epigrafi, terutama oleh Pemerintah. Ini merupakan sumbangsih mandiri dari gabungan komunitas masyarakat yang peduli terhadap sejarah Islam, untuk ikut aktif membantu Pemerintah dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
Berdasarkan prasasti-prasasti Islam yang pernah diteliti, batu nisan milik Sulthan Mahmud bin Sulthan Muhammad ini merupakan satu-satunya nisan di Jawa yang memuat nama dan silsiah sultan yang mecakup empat nama sultan sekaligus. Juga menjadi satunya-satunya nisan tipologi Aceh Darussalam yang sementara memuat epitaf dari seluruh nisan Aceh yang pernah dijumpai di Jawa. Berdasarkan tipenya juga, nisan ini merupakan nisan yang memuat gelar sultan paling awal di seluruh Pulau Jawa.
Istilah sultan awalnya merupakan kata benda abstrak dalam bahasa Arab yang secara umum bermakna 'kekuatan' atau 'otoritas'. Kemudian pada gilirannya digunakan untuk seseorang yang memiliki otoritas. Pada perjalanannya gelar tersebut memiliki beberapa makna sejarah. Dalam sejarah Islam, gelar sultan digunakan pertama sekali untuk para pembesar negara masa Khalifah 'Abbasiyyah, terutama ketika Khalid bin Marbak disematkan gelar sultan oleh Khalifah Harun Ar-Rasyid,170–192 H (786–809 M). Gelar ini kemudian digunakan oleh penguasa-penguasa di wilayah Persia dan Asia Selatan yang punya pengaruh besar terhadap khalifah, semisal Bani Buwaih, 334–447 H (945-1055 M) dan Dinasti Ghaznawi, 366–580 H (977–1186 M). Selanjutnya gelar ini merujuk untuk seorang gubernur yang berkuasa di sebuah provinsi dalam kekhalifahan, dan kemudian digunakan sebagai gelar penguasa tertentu yang mengklaim kedaulatan hampir penuh (yang tidak bergantung pada penguasa yang lebih tinggi), tanpa mengklaim sebagai khalifah secara keseluruhan. Pada akhirnya gelar sultan digunakan di hampir seluruh dunia Islam. Di Asia Tenggara sendiri gelar sultan pertama kali digunakan oleh Sulthan Al-Malik Ash-Shalih (wafat 696 H/1297 M) penguasa dari Daulah Shalihiyyah yang berkedudukan di Madinah Syummutrah, sekarang Aceh Utara. Gelar dan angka tahun wafatnya tersebut dirujuk berdasarkan epitaf pada nisannya.
Untuk mengetahui siapa sosok Sulthan Mahmud bin Sulthan muhammad bin Sulthan Yusuf bin Sulthan Hasanuddin ini, kita mencoba untuk membandingkan dengan dokumen yang berasal dari abad ke-17, salah satunya yaitu, sebuah cap milik Sulthan Abul Fath 'Abdul Fattah yang masyhur dikenal sebagai Sultan Ageng Tirtayasa Banten. Cap ini pertama kali muncul pada suratnya tahun 1664 ke raja inggris, Raja Charles II yang dibubuhkan di bagian atas sebelah kanan teks. Surat berisi tentang permintaan membeli meriam dan senapan dari Inggris. Sebagai hadiahnya, sultan mengirim kotak kecil terbuat dari emas merah yang terdapat empat butir intan di dalamnya. Saat ini surat yang ditulis menggunakan aksara dan bahasa Arab tersebut tersimpan di Public Record Office, London dengan nomor arsip PRO Ext 8/2, f.126r. Kesan cap berbentuk lingkaran menggunakan jelaga dan bertulis Arab terbaca "𝘈𝘭-𝘞𝘢𝘵𝘴𝘪𝘲𝘶 𝘣𝘪𝘭𝘭𝘢𝘩 𝘈𝘴-𝘚𝘶𝘭𝘵𝘩𝘢𝘯 𝘈𝘣𝘶𝘭 𝘍𝘢𝘵𝘩 𝘪𝘣𝘯 𝘈𝘴-𝘚𝘶𝘭𝘵𝘩𝘢𝘯 𝘈𝘣𝘶𝘭-𝘔𝘢'𝘢𝘭𝘪 𝘪𝘣𝘯 𝘈𝘴-𝘚𝘶𝘭𝘵𝘩𝘢𝘯 𝘈𝘣𝘪 𝘈𝘭-𝘔𝘢𝘧𝘢𝘬𝘩𝘪𝘳 𝘪𝘣𝘯 𝘔𝘶𝘩𝘢𝘮𝘮𝘢𝘥 𝘪𝘣𝘯 𝘠𝘶𝘴𝘶𝘧 𝘪𝘣𝘯 𝘏𝘢𝘴𝘢𝘯𝘶𝘥𝘥𝘪𝘯". Berdasarkan data pembanding ini, diduga kuat bahwa Sulthan Mahmud yang namanya terpahat pada batu nisan Aceh ini merupakan Sulthan Abul Mafakhir ayah dari Sulthan Abul Ma'ali dan sekaligus kakek dari Sulthan Abul Fath. Penting untuk dicatat bahwa pada cap ini juga, nama Muhammad, Yusuf, dan Hasanuddin tidak disertai gelar sultan. Itu berarti sumber tertulis paling awal yang menyebut gelar sultan untuk Muhammad, Yusuf, dan Hasanuddin adalah nisan Sulthan mahmud yang epitafnya baru ditemukan ini.
Penanggalan nisan Sulthan Mahmud sendiri menggunakan metode komparatif pada tipologi nisan. Dalam penelitian kualitatif dan kuantitatif, tipologi sangat umum digunakan. Nisan Sulthan Mahmud berdasarkan tipologi, masuk dalam nisan tipe Aceh Darussalam dengan penanggalan relatif berasal dari sekitar paruh akhir abad ke-10 dan pertengahan abad ke-11 Hijriah. Penanggalan itu berkesesuaian dengan masa hidup beliau.
Dokumen pembanding yang lain adalah manuskrip Sejarah Banten (LOr 3789) koleksi Universiteits-Bibliotheek Leiden. Naskah ditulis dengan aksara Arab-Jawa (pegon) menggunakan bahasa Jawa-Banten. Pada Pupuh ke-22 diceritakan bahwa Maulana Hasanuddin wafat pada usia 100 tahun dan digantikan oleh putranya Maulana Yusuf. Selepas Maulana Yusuf wafat dalam usianya 80 tahun, ia digantikan oleh putranya Maulana Muhammad. Pada Pupuh ke-25 dan Pupuh ke-26 disebutkan ketika Maulana Muhammad wafat dalam usia 25 tahun, permaisurinya baru saja melahirkan. Putranya yang masih bayi tersebut diberi nama Pangeran 'Abdullah Qadir dan dinobatkan sebagai raja Banten di depan jenazah ayahnya dengan gelar Pangeran Ratu. Karena ia masih anak-anak pemerintahannya diurus oleh Mangkubumi dengan perwalian ibundanya, Nyai Gedhe Wanogiri (Ratu Ayu Wanagiri). Pada pupuh ke-39, Pangeran 'Abdullah Qadir menerima gelar dari Syarif Makkah menjadi Sulthan Abul Mafakhir Mahmud 'Abdul Qadir bersamaan dengan gelar untuk putranya, Pangeran Pekik yang mendapat gelar Sulthan Abul Ma'ali Ahmad. Beliau menerima gelar tersebut sekitar tahun 1636–1638 pada masa Khalifah 'Utsmaniyyah, Sulthan Murad IV bin Sulthan Ahmad I. Gelar itu ia terima setelah mengirim utusan ke Makkah. Gelar dan silsilah yang termuat dalam naskah Sejarah Banten tersebut sejalan dengan cap yang memuat silsilah milik Sulthan Abul Fath, juga sangat sesuai dengan temuan epitaf nisan yang sedang dibahas. Karena itu, secara meyakinkan bahwa Sulthan Mahmud pemilik nisan tipologi Aceh ini identik dengan raja Banten ke-4, yaitu Sulthan Abul Mafakhir Mahmud 'Abdul Qadir.
Sejarah Banten pada Pupuh ke-37 juga menyebut bahwa dua utusan Banten (Demang Tisnajaya dan Mas Wangsaraja) ke Makkah selain membawa hadiah pala, cengkeh dan kasturi, juga membawa tiga buah kitab untuk dikonsultasikan kepada otoritas di Makkah. Setibanya di Banten, para utusan yang membawa hadiah bendera Nabi Ibrahim, sitarah penutup makam Nabi Muhammad, kiswah penutup Ka'bah, dan kitab jawaban dari Syarif Makkah disambut sangat meriah oleh pihak istana dan rakyat Banten. Senapan, meriam, dan gamelan dibunyikan dalam perayaan tersebut. Upacara penyematan gelar sultan dan pembacaan surat dari Makkah itu berlangsung sangat hikmat, yang dibacakan dengan gaya seperti khutbah Jum'at oleh Faqih kerajaan Banten, seperti yang diceritakan dalam Pupuh ke-39 sampai 42. Peristiwa yang diceritakan dalam Sejarah Banten ini dikuatkan dengan dokumen A 105 yang tersimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI). Naskah itu berisi tentang jawaban dari Mufti Mekah, Syaikh Ibnu 'Allan tentang soal-soal dari Sultan Abul Mafakhir. Syaikh Ibnu 'Allan lahir di Mekah pada tahun 996 Hijriah dengan nama Muhammad bin 'Ali bin Muhammad bin 'Allan bin Ibrahim bin Muhammad bin 'Allan Al-Bakri Ash-Shiddiqi Asy-Syafi’i Al-Makki. Ibnu 'Allan merupakan seorang hafiz, ahli hadits, mufassir, dan ahli thasawwuf yang menjabat sebagai Mufti Syafi'i di Makkah pada masa Daulah 'Aliyyah 'Utsmaniyyah. Ia wafat di Makkah Al-Mukarammah pada tahun 1057 Hijriah dalam usia 61 tahun.
Berkaitan dengan hal di atas, Sekretaris Dewan MAPESA, Masykur Syafruddin yang sekaligus menjabat sebagai Direktur PEDIR Museum menginformasikan bahwa Syaikh Ibnu 'Allan merupakan guru bagi banyak ulama yang berasal dari Kepulauan Melayu. Beberapa di antaranya yang terkenal yaitu Syaikh Muhammad Nurruddin Ar-Raniry (ulama besar Aceh pada masa Sulthan 'Alauddin Mughayat Syah/ Iskandar Tsani), Haji Abu Bakar Mangkasar, dan Sulthan Abul Mafakhir Banten. Ketiganya diketahui merupakan murid langsung dan tidak langsung Syaikh Ibnu 'Allan. Syaikh Nuruddin Ar-Raniry belajar dan mengambil sanad kepada Ibn 'Allan di Makkah, bahkan Syaikh Ibn 'Allan mengirim sebuah fatwa ke Ar-Raniry yang berjudul 𝘈𝘯-𝘕𝘶𝘳 𝘢𝘭-𝘍𝘢𝘴𝘺𝘪 𝘪𝘭𝘢 𝘑𝘢𝘻𝘪𝘳𝘢𝘩 𝘈𝘭-𝘈𝘴𝘺𝘪. Haji Abu Bakar Mangkasar naik haji dan bermukim di Makkah serta belajar langsung dengan Syaikh 'Ibn Allan, beliau juga membawa banyak persoalan dari Negeri-negeri Melayu (Jawi). Seluruh persoalan tersebut mendapat jawaban dari Ibn 'Allan. Sultan Abul Mafakhir Banten beberapa kali menyurati dan memesan kitab pada Mufti Mekah, di antaranya kitab koleksi PNRI berjudul 𝘈𝘭-𝘔𝘢𝘸𝘢𝘩𝘪𝘣 𝘈𝘳-𝘙𝘢𝘣𝘣𝘢𝘯𝘪𝘺𝘢𝘩 '𝘢𝘯 𝘢𝘴'𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘢𝘭-𝘑𝘢𝘸𝘪𝘺𝘢𝘩, juga 𝘙𝘢𝘧’𝘶𝘭 𝘏𝘪𝘫𝘢𝘣 ‘𝘈𝘯 ‘𝘈𝘳𝘢’𝘪𝘴 𝘒𝘩𝘢𝘮𝘴𝘢𝘵𝘪𝘭 𝘈𝘣𝘸𝘢𝘣. Kitab 𝘈𝘭-𝘔𝘢𝘸𝘢𝘩𝘪𝘣 menjawab persoalan tentang keadilan dan kekuasaan seorang raja dalam menerapkan hukum, dan di dalamnya juga disinggung mengenai ilmu thasawuuf. Sedangkan 𝘙𝘢𝘧’𝘶𝘭 𝘏𝘪𝘫𝘢𝘣 bernuansa penuh ilmu thasawwuf yang kajiannya menyentuh tentang 𝘳𝘶𝘩𝘶𝘭 𝘲𝘶𝘥𝘶𝘴 dan keyakinan terdalam (𝘢𝘭-𝘸𝘢𝘩𝘮). Dalam naskah 𝘈𝘭-𝘔𝘢𝘸𝘢𝘩𝘪𝘣 yang disebut di atas, Sulthan Abul Mafakhir disebut tanpa gelar sultan, tertulis Abi Al-Mafakhir 'Abdul Qadir Al-Jawiy.
Masykur menambahkan, Sulthan Abul Mafakhir Banten juga menyurati Syaikh Nuruddin Ar-Raniry, tapi suratnya sampai kini belum dijumpai. Kenyataan itu didasari oleh adanya salah satu naskah yang berjudul 𝘛𝘢𝘶𝘥𝘩𝘪' 𝘓𝘪𝘭-𝘔𝘢'𝘢𝘯, sebuah kitab yang berisi tentang jawaban dari Syaikh Nuruddin Ar-Raniry untuk persoalan sultan Banten. Naskah tersebut saat ini tersimpan dalam koleksi pribadi Teungku Muhammad Iqbal di Banda Aceh. Dalam naskah itu gelar/nama sultan Banten ditulis As-Sulthan Abul Mafakhir 'Abdul Qadir, ini merupakan varian teks yang kesekian kalinya dari nama atau gelar beliau yang pernah ditemukan. Berdasarkan keterangan dan dokumen tersebut, Pangeran Ratu yang bergelar Sulthan Abul Mafakhir Mahmud 'Abdul Qadir ini merupakan sosok sultan yang telah berjasa besar mengembangkan dan memajukan diskursus ilmu pengetahuan Islam di Banten khususnya, dan secara luas di Kepulauan Melayu (𝘈𝘭-𝘉𝘪𝘭𝘢𝘥 𝘢𝘭-𝘑𝘢𝘸𝘪𝘺𝘢𝘩).
Gelar Pangeran Ratu selain termuat dalam manuskrip Sejarah Banten, gelar tersebut juga dijumpai pada cap yang dibubuhkan dalam surat Banten kedua yang pernah diteliti dan dipublikasi. Surat tahun 1629 yang bertulis aksara Jawi (Arab-Melayu) berbahasa Melayu dengan logat Banten tersebut ditujukan kepada raja Inggris, Raja Charles I. Isi surat mengabarkan bahwa pasukan Mataram sedang mengepung pasukan Belanda di Jayakarta, saat itu gedung Inggris dirubuhkan oleh pihak Belanda, semua orang Inggris sudah mengungsi ke Banten, dan untuk bersiap-siap Banten meminta raja Inggris mengirim bedil dan mesiu ke Banten. Sebagai balasannya raja Banten mengirim hadiah kain khasa dan rambuti masing-masing dua kayu. Kesan cap dibubuhkan pada bagian atas sebelah kanan dari teks surat. Saat ini surat tersimpan di Public Record Office, London, dengan nomor arsip PRO SP/102/4/50. Cap memuat tulisan 9 baris menggunakan aksara Jawa berbahasa Jawa-Banten, bertulis; "𝘕𝘨𝘢𝘭𝘢𝘮𝘢𝘵 𝘗𝘢𝘯𝘨𝘦𝘳𝘢𝘯 𝘙𝘢𝘵𝘶 𝘪𝘯𝘨𝘬𝘢𝘯𝘨 𝘱𝘢𝘯𝘥𝘢𝘳𝘢 𝘯𝘨𝘢𝘥𝘪 𝘚𝘶𝘳𝘰𝘴𝘰𝘸𝘢𝘯 𝘬𝘢𝘯𝘨 𝘱𝘶𝘵𝘳𝘢 𝘗𝘢𝘯𝘨𝘦𝘳𝘢𝘯 𝘚𝘦𝘥𝘢𝘯𝘨𝘳𝘢𝘯𝘢 𝘬𝘢𝘯𝘨 𝘱𝘶𝘵𝘶 𝘗𝘢𝘯𝘨𝘦𝘳𝘢𝘯 𝘗𝘢𝘴𝘢𝘳𝘦𝘺𝘢𝘯 𝘬𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘶𝘺𝘶𝘵 𝘗𝘢𝘯𝘨𝘦𝘳𝘢𝘯 𝘪𝘯𝘨 𝘚𝘢𝘣𝘢𝘬𝘪𝘯𝘨𝘬𝘪𝘯𝘨 𝘪𝘯𝘨 𝘚𝘶𝘳𝘰𝘴𝘰𝘸𝘢𝘯" (Tanda/stempel Pangeran Ratu yang berkuasa di Surosowan putra Pangeran Sedangrana, cucu Pangeran Pasarean dan cicit Pangeran Sabakingking di Surosowan). Cap ini juga menjadi teks paling awal yang menyebut silsilah resmi penguasa Banten dalam gelar lokal. Berdasarkan tanggalnya, surat ini dikirim pada masa Pangeran Ratu sudah sepenuhnya duduk memerintah negara Banten, yang sebelumnya pemerintahan Banten dijalankan oleh Mangkubumi dan perwaliannya.
Selain pada cap dan naskah Sejarah Banten, gelar Pangeran Ratu juga muncul dalam salah satu koin Banten awal. Koin tersebut terbuat dari tembaga berbentuk lingkaran dengan lubang persegi enam (heksagonal) di bagian tengahnya, ciri tersebut merupakan pengaruh koin kasha Cina. Bagian sisinya memuat aksara Arab-Melayu (Jawi) atau pegon, berbahasa Jawa-Banten bertulis "𝘗𝘢𝘯𝘨𝘦𝘳𝘢𝘯 𝘙𝘢𝘵𝘶 𝘪𝘯𝘨 𝘉𝘢𝘯𝘵𝘦𝘯". Selain digunakan di Banten, pada masanya koin ini digunakan juga di Lampung, hal itu didasari atas banyaknya ditemukan koin Banten di wilayah Lampung. Beberapa di antaranya merupakan peninggalan keluarga yang sampai sekarang masih diwariskan bersama pusaka lainnya secara turun menurun, khususnya di wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) Tulang Bawang, Lampung.
Penemuan nisan Sulthan Mahmud di Kompleks Makam Maulana Yusuf ini agak mengejutkan berbagai pihak di Banten, termasuk juga di Aceh. Karena selama ini masyhur diketahui bahwa pusara Sulthan Abul Mafakhir Mahmud 'Abdul Qadir ini berada di Kompleks Masjid dan Makam Kesultanan Banten di Kenari, yang jaraknya sekitar 2 kilometer di sebelah selatan-barat daya Kompleks Makam Maulana Yusuf. Naskah Sejarah Banten ikut mencatat kontribusi Sulthan Abul Mafakhir dalam pembangunan infrastruktur, seperti membangun lumbung besar dan Istana Kanari. Sayangnya tidak ada keterangan bahwa sultan dimakamkan di Kanari. Tokoh yang disebut ketika wafat dimakamkan di Kanari (Kenari) adalah ibunda beliau, Nyai Gedhe Wanogiri, istri dari Maulana Muhammad, keterangan itu tercatat pada Pupuh ke-22. Untuk itu kemungkinan apapun selalu terbuka, dan temuan nisan ini membuka jalan bagi kemungkinan baru.
Secara singkat diketahui bahwa Sulthan Abul Mafakhir 'Abdul Qadir lahir pada tahun 1596 dengan nama Pangeran 'Abdul Qadir. Pada tahun itu pula, sewaktu masih bayi (usia sekitar 5 bulan) ia dinobatkan sebagai raja Banten di hadapan jenazah ayahnya, Maulana Muhammad, dengan gelar Pangeran Ratu dan perwalian diserahkan pada ibundanya, sedangkan pemerintahan dijalankan oleh Mangkubumi. Ia memerintah sepenuhnya pada tahun 1624 ketika berusia 29 tahun. Menggunakan gelar resmi sebagai sultan pemberian Syarif Makkah pada tahun 1638. Turun takhta pada tahun 1647 dan digantikan oleh putranya, Pangeran Anom yang bergelar Sulthan Abul Ma'ali Ahmad. Tahun 1650 putranya wafat, kekuasaan kembali ia ambil alih. Pada tahun yang sama terjadi peristiwa Pagarege, yaitu penyerangan Cirebon terhadap Banten atas desakan Mataram agar Banten mau tunduk. Sulthan Abul Mafakhir tidak mau tunduk kepada Mataram dan hanya mengakui Sultan Makkah (Khalifah 'Utsmani). Penyerbuan Cirebon ke Banten gagal dan mengalami kekalahan yang telak. Setahun setelahnya, pada tahun 1651 Sulthan Abul Mafakhir wafat dalam usia 55 tahun, dan oleh rakyat Banten dianugerahi gelar anumerta sebagai Sultan Agung Banten.
Masifnya tinggalan batu nisan Aceh di wilayah kekuasan Banten, mulai dari tipe abad ke-10 Hijriah (abad ke-16 M) sampai abad ke-13 Hijriah (abad ke-19), merupakan bukti arkeolgis yang tak terbantahkan tentang hubungan erat antara Kesultanan Aceh dan Kesultanan Banten. Dokumen-dokumen korespondensi juga telah ikut menjadi bukti bahwa otoritas-otoritas Islam di Kepulauan Melayu, satu dengan yang lainnya saling terhubung erat, dan otoritas Makkah di bawah perlindungan dan pelayanan Khalifah menjadi pusat dari seluruh jenis hubungan dalam dunia Islam.
𝘗𝘢𝘯𝘨𝘦𝘳𝘢𝘯 '𝘈𝘣𝘥𝘶𝘭 𝘘𝘢𝘥𝘪𝘳 atau 𝘗𝘢𝘯𝘨𝘦𝘳𝘢𝘯 '𝘈𝘣𝘥𝘶𝘭𝘭𝘢𝘩 𝘘𝘢𝘥𝘪𝘳 atau 𝘗𝘢𝘯𝘨𝘦𝘳𝘢𝘯 𝘙𝘢𝘵𝘶 atau 𝘗𝘢𝘯𝘨𝘦𝘳𝘢𝘯 𝘙𝘢𝘵𝘶 𝘪𝘯𝘨 𝘉𝘢𝘯𝘵𝘦𝘯 atau 𝘈𝘣𝘪 𝘈𝘭-𝘔𝘢𝘧𝘢𝘬𝘩𝘪𝘳 '𝘈𝘣𝘥𝘶𝘭 𝘘𝘢𝘥𝘪𝘳 𝘈𝘭-𝘑𝘢𝘸𝘪𝘺 atau 𝘚𝘶𝘭𝘵𝘩𝘢𝘯 𝘈𝘣𝘪 𝘈𝘭-𝘔𝘢𝘧𝘢𝘬𝘩𝘪𝘳 atau 𝘚𝘶𝘭𝘵𝘩𝘢𝘯 𝘈𝘣𝘶𝘭 𝘔𝘢𝘧𝘢𝘬𝘩𝘪𝘳 '𝘈𝘣𝘥𝘶𝘭 𝘘𝘢𝘥𝘪𝘳 atau 𝘚𝘶𝘭𝘵𝘩𝘢𝘯 𝘔𝘢𝘩𝘮𝘶𝘥 atau 𝘚𝘶𝘭𝘵𝘩𝘢𝘯 𝘈𝘣𝘶𝘭 𝘔𝘢𝘧𝘢𝘬𝘩𝘪𝘳 𝘔𝘢𝘩𝘮𝘶𝘥 '𝘈𝘣𝘥𝘶𝘭 𝘘𝘢𝘥𝘪𝘳, teks-teks menyangkut nama tokoh ini telah muncul di berbagai dokumen, baik dalam surat, kitab, koin, dan terakhir di batu nisan. Tentunya tokoh ini merupakan pribadi yang sangat istimewa, sosok seorang sultan yang menghidupkan cahaya Islam dengan ilmu pengetahuan, yang telah menghiasi ruang dan waktu sejarah Islam di Banten dengan tinta emas dan tatahan mutu manikam. Oleh karenanya, kami mendukung Pemerintah dan menyambut baik dukungan pejabat Kenadziran Kesultanan Banten untuk memberikan perhatian khusus terhadap batu nisan seorang sultan yang epitafnya baru ditemukan ini, karena dia adalah Sultan Agung.
𝙍𝙚𝙛𝙚𝙧𝙚𝙣𝙨𝙞:
- Djajadiningrat, Hoesein, 1983. 𝘛𝘪𝘯𝘫𝘢𝘶𝘢𝘯 𝘒𝘳𝘪𝘵𝘪𝘴 𝘵𝘦𝘯𝘵𝘢𝘯𝘨 𝘚𝘢𝘫𝘢𝘳𝘢𝘩 𝘉𝘢𝘯𝘵𝘦𝘯. Jakarta: Djambatan.
- de Graaf, H.J, 1987. 𝘋𝘪𝘴𝘪𝘯𝘵𝘦𝘨𝘳𝘢𝘴𝘪 𝘔𝘢𝘵𝘢𝘳𝘢𝘮 𝘥𝘪 𝘣𝘢𝘸𝘢𝘩 𝘔𝘢𝘯𝘨𝘬𝘶𝘳𝘢𝘵 𝘐. Jakarta: Pustaka Grafitipers.
-Gallop, Annabel Teh & Bernard Arps, 1991. 𝘎𝘰𝘭𝘥𝘦𝘯 𝘓𝘦𝘵𝘵𝘦𝘳𝘴 𝘞𝘳𝘪𝘵𝘪𝘯𝘨 𝘛𝘳𝘢𝘥𝘪𝘵𝘪𝘰𝘯𝘴 𝘰𝘧 𝘐𝘯𝘥𝘰𝘯𝘦𝘴𝘪𝘢 𝘢𝘵𝘢𝘶 𝘚𝘶𝘳𝘢𝘵 𝘌𝘮𝘢𝘴 𝘉𝘶𝘥𝘢𝘺𝘢 𝘛𝘶𝘭𝘪𝘴 𝘐𝘯𝘥𝘰𝘯𝘦𝘴𝘪𝘢. London: The British Library/ Jakarta: Lontar.
- Gallop, Annabel Teh, 2019. 𝘔𝘢𝘭𝘢𝘺 𝘚𝘦𝘢𝘭𝘴 𝘧𝘳𝘰𝘮 𝘵𝘩𝘦 𝘐𝘴𝘭𝘢𝘮𝘪𝘤 𝘞𝘰𝘳𝘭𝘥 𝘰𝘧 𝘚𝘰𝘶𝘵𝘩𝘦𝘢𝘴𝘵 𝘈𝘴𝘪𝘢. Jakarta: Yayasan Lontar.
- Guillot, Claude, 2009. 𝘉𝘢𝘯𝘵𝘦𝘯: 𝘚𝘦𝘫𝘢𝘳𝘢𝘩 𝘥𝘢𝘯 𝘗𝘦𝘳𝘢𝘥𝘢𝘣𝘢𝘯 𝘈𝘣𝘢𝘥 𝘟 - 𝘟𝘝𝘐𝘐. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
- Hitti, Philip K, 2005, History of The Arabs. Jakarta: Serambi.
- Muhammad, Taqiyuddin, 2015. 𝘋𝘢𝘶𝘭𝘢𝘩 𝘚𝘩𝘢𝘭𝘪𝘩𝘪𝘺𝘺𝘢𝘩 𝘥𝘪 𝘚𝘶𝘮𝘢𝘵𝘦𝘳𝘢: 𝘒𝘦 𝘈𝘳𝘢𝘩 𝘗𝘦𝘯𝘺𝘶𝘴𝘶𝘯𝘢𝘯 𝘒𝘦𝘳𝘢𝘯𝘨𝘬𝘢 𝘉𝘢𝘳𝘶 𝘏𝘪𝘴𝘵𝘰𝘳𝘪𝘰𝘨𝘳𝘢𝘧𝘪 𝘚𝘢𝘮𝘶𝘥𝘳𝘢 𝘗𝘢𝘴𝘢𝘪. Aceh: CISAH.
- Pudjiastuti, Titik, 2007. 𝘗𝘦𝘳𝘢𝘯𝘨, 𝘋𝘢𝘨𝘢𝘯𝘨, 𝘗𝘦𝘳𝘴𝘢𝘩𝘢𝘣𝘢𝘵𝘢𝘯: 𝘚𝘶𝘳𝘢𝘵-𝘚𝘶𝘳𝘢𝘵 𝘚𝘶𝘭𝘵𝘢𝘯 𝘉𝘢𝘯𝘵𝘦𝘯.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
- Pudjiastuti, Titik, 2010. 𝘚𝘦𝘫𝘢𝘳𝘢𝘩 𝘉𝘢𝘯𝘵𝘦𝘯 𝘴𝘶𝘯𝘵𝘪𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘵𝘦𝘬𝘴 𝘥𝘢𝘯 𝘵𝘦𝘳𝘫𝘦𝘮𝘢𝘩𝘢𝘯 𝘒𝘉𝘎 183. Jakarta: Perpustakaan Nasional RI.
- Pudjiastuti, Titik, 2015. 𝘔𝘦𝘯𝘺𝘶𝘴𝘶𝘳𝘪 𝘑𝘦𝘫𝘢𝘬 𝘒𝘦𝘴𝘶𝘭𝘵𝘢𝘯𝘢𝘯 𝘉𝘢𝘯𝘵𝘦𝘯. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
- Untoro, Heriyanti Ongkodharma, 2008. 𝘒𝘢𝘱𝘪𝘵𝘢𝘭𝘪𝘴𝘮𝘦 𝘗𝘳𝘪𝘣𝘶𝘮𝘪 𝘈𝘸𝘢𝘭 𝘒𝘦𝘴𝘶𝘭𝘵𝘢𝘯𝘢𝘯 𝘉𝘢𝘯𝘵𝘦𝘯 1522-1684. Depok: Komunitas Bambu.
Video pembacaan epitaf oleh Ustadz Munawir: https://fb.watch/lT1ybeIWem/?mibextid=Nif5oz
---------------------------------------------------------------
𝑻𝒆𝒓𝒔𝒖𝒓𝒂𝒕 𝒅𝒂𝒓𝒊 𝑵𝒆𝒈𝒆𝒓𝒊 𝑷𝒂𝒔𝒂𝒊, 𝒑𝒂𝒅𝒂 𝒉𝒂𝒓𝒊 𝑹𝒂𝒃𝒖, 𝒉𝒂𝒓𝒊 𝒑𝒆𝒓𝒕𝒂𝒎𝒂 (1) 𝒃𝒖𝒍𝒂𝒏 𝑴𝒖𝒉𝒂𝒓𝒓𝒂𝒎 (1) 𝒕𝒂𝒉𝒖𝒏 𝑺𝒆𝒓𝒊𝒃𝒖 𝑬𝒎𝒑𝒂𝒕 𝑹𝒂𝒕𝒖𝒔 𝑬𝒎𝒑𝒂𝒕 𝑷𝒖𝒍𝒖𝒉 𝑳𝒊𝒎𝒂 (1445) 𝒅𝒂𝒓𝒊 𝒃𝒆𝒓𝒍𝒂𝒍𝒖𝒏𝒚𝒂 𝑯𝒊𝒋𝒓𝒂𝒉 𝑵𝒂𝒃𝒊 𝑴𝒖𝒔𝒕𝒉𝒂𝒇𝒂.
𝕾𝖊𝖑𝖆𝖒𝖆𝖙 𝕿𝖆𝖍𝖚𝖓 𝕭𝖆𝖗𝖚 𝕴𝖘𝖑𝖆𝖒

Gambar 2. Kesan cap milik Pangeran Ratu (Sulthan Abul Mafakhir Mahmud 'Abdul Qadir) dalam surat tahun 1629, bertulis: bertulis; "𝘕𝘨𝘢𝘭𝘢𝘮𝘢𝘵 𝘗𝘢𝘯𝘨𝘦𝘳𝘢𝘯 𝘙𝘢𝘵𝘶 𝘪𝘯𝘨𝘬𝘢𝘯𝘨 𝘱𝘢𝘯𝘥𝘢𝘳𝘢 𝘯𝘨𝘢𝘥𝘪 𝘚𝘶𝘳𝘰𝘴𝘰𝘸𝘢𝘯 𝘬𝘢𝘯𝘨 𝘱𝘶𝘵𝘳𝘢 𝘗𝘢𝘯𝘨𝘦𝘳𝘢𝘯 𝘚𝘦𝘥𝘢𝘯𝘨𝘳𝘢𝘯𝘢 𝘬𝘢𝘯𝘨 𝘱𝘶𝘵𝘶 𝘗𝘢𝘯𝘨𝘦𝘳𝘢𝘯 𝘗𝘢𝘴𝘢𝘳𝘦𝘺𝘢𝘯 𝘬𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘶𝘺𝘶𝘵 𝘗𝘢𝘯𝘨𝘦𝘳𝘢𝘯 𝘪𝘯𝘨 𝘚𝘢𝘣𝘢𝘬𝘪𝘯𝘨𝘬𝘪𝘯𝘨 𝘪𝘯𝘨 𝘚𝘶𝘳𝘰𝘴𝘰𝘸𝘢𝘯" (Tanda/stempel Pangeran Ratu yang berkuasa di Surosowan putranya Pangeran Sedangrana, cucunya Pangeran Pasarean dan cicitnya Pangeran Sabakingking di Surosowan). Sumber: Buku 𝘔𝘢𝘭𝘢𝘺 𝘚𝘦𝘢𝘭𝘴 𝘧𝘳𝘰𝘮 𝘵𝘩𝘦 𝘐𝘴𝘭𝘢𝘮𝘪𝘤 𝘞𝘰𝘳𝘭𝘥 𝘰𝘧 𝘚𝘰𝘶𝘵𝘩𝘦𝘢𝘴𝘵 𝘈𝘴𝘪𝘢, Annabel Gallop.

Gambar 3. Kesan cap milik Sulthan Abul Fath 'Abdul Fattah (Sultan Ageng Tirtayasa), tertulis: 𝘈𝘭-𝘞𝘢𝘵𝘴𝘪𝘲𝘶 𝘣𝘪𝘭𝘭𝘢𝘩 𝘈𝘴-𝘚𝘶𝘭𝘵𝘩𝘢𝘯 𝘈𝘣𝘶𝘭 𝘍𝘢𝘵𝘩 𝘪𝘣𝘯 𝘈𝘴-𝘚𝘶𝘭𝘵𝘩𝘢𝘯 𝘈𝘣𝘶𝘭-𝘔𝘢'𝘢𝘭𝘪 𝘪𝘣𝘯 𝘈𝘴-𝘚𝘶𝘭𝘵𝘩𝘢𝘯 𝘈𝘣𝘪 𝘈𝘭-𝘔𝘢𝘧𝘢𝘬𝘩𝘪𝘳 𝘪𝘣𝘯 𝘔𝘶𝘩𝘢𝘮𝘮𝘢𝘥 𝘪𝘣𝘯 𝘠𝘶𝘴𝘶𝘧 𝘪𝘣𝘯 𝘏𝘢𝘴𝘢𝘯𝘶𝘥𝘥𝘪𝘯".
Sumber: Buku 𝘔𝘢𝘭𝘢𝘺 𝘚𝘦𝘢𝘭𝘴 𝘧𝘳𝘰𝘮 𝘵𝘩𝘦 𝘐𝘴𝘭𝘢𝘮𝘪𝘤 𝘞𝘰𝘳𝘭𝘥 𝘰𝘧 𝘚𝘰𝘶𝘵𝘩𝘦𝘢𝘴𝘵 𝘈𝘴𝘪𝘢, Annabel Gallop.

Gambar 4. Koin kasha Banten. Bagian sisinya memuat aksara Arab-Melayu (Jawi) atau pegon, berbahasa Jawa-Banten bertulis "𝘗𝘢𝘯𝘨𝘦𝘳𝘢𝘯 𝘙𝘢𝘵𝘶 𝘪𝘯𝘨 𝘉𝘢𝘯𝘵𝘦𝘯". Sumber: Museum Kebudayaan Dunia, Belanda.

Gambar 6. Bagian atas nisan yang memuat epitaf, bertulis: menjadi:
١. لااله الا الله
سلطان محمود بن سلطان
"𝘓𝘢 𝘪𝘭𝘢𝘩𝘢𝘪𝘭𝘭𝘢𝘩 𝘔𝘶𝘩𝘢𝘮𝘮𝘢𝘥 𝘳𝘢𝘴𝘶𝘭𝘶𝘭𝘭𝘢𝘩, 𝘚𝘶𝘭𝘵𝘩𝘢𝘯 𝘔𝘢𝘩𝘮𝘶𝘥 𝘣𝘪𝘯 𝘚𝘶𝘭𝘵𝘩𝘢𝘯.."
Terjemahan:
"𝘛𝘪𝘢𝘥𝘢 𝘵𝘶𝘩𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘭𝘢𝘪𝘯 𝘈𝘭𝘭𝘢𝘩, 𝘔𝘶𝘩𝘢𝘮𝘮𝘢𝘥 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘶𝘵𝘶𝘴𝘢𝘯 𝘈𝘭𝘭𝘢𝘩, 𝘚𝘶𝘭𝘵𝘢𝘯 𝘔𝘢𝘩𝘮𝘶𝘥 𝘱𝘶𝘵𝘳𝘢 𝘚𝘶𝘭𝘵𝘢𝘯.."
Nisan Sulthan Mahmud setelah dipulihkan dari cat dan lapisan yang mengganggu inskripsi. Foto diambil tanggal 7 Mei 2023, oleh Bapak Sariat Arifia. 

Gambar 7. Panel nisan 2, 3, dan 4 pada bagian tengan nisan yang memuat epitaf, bertulis:
٢. محمد بن سلطان يوسف
٣. بن سلطان حسن الدين
٤. غفر الله..?
2. 𝘔𝘶𝘩𝘢𝘮𝘮𝘢𝘥 𝘣𝘪𝘯 𝘚𝘶𝘭𝘵𝘩𝘢𝘯 𝘠𝘶𝘴𝘶𝘧
3. 𝘣𝘪𝘯 𝘚𝘶𝘭𝘵𝘩𝘢𝘯 𝘏𝘢𝘴𝘢𝘯𝘶𝘥𝘥𝘪𝘯
4. ..𝘨𝘩𝘢𝘧𝘢𝘳𝘢𝘭𝘭𝘢𝘩𝘶..?"
Terjemahan:
2. 𝘔𝘶𝘩𝘢𝘮𝘮𝘢𝘥 𝘱𝘶𝘵𝘳𝘢 𝘚𝘶𝘭𝘵𝘢𝘯 𝘠𝘶𝘴𝘶𝘧
3. 𝘱𝘶𝘵𝘳𝘢 𝘚𝘶𝘭𝘵𝘢𝘯 𝘏𝘢𝘴𝘢𝘯𝘶𝘥𝘥𝘪𝘯
4. ..𝘴𝘦𝘮𝘰𝘨𝘢 𝘈𝘭𝘭𝘢𝘩 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘮𝘱𝘶𝘯𝘪𝘯𝘺𝘢..?"
Nisan Sulthan Mahmud setelah dipulihkan dari cat dan lapisan yang mengganggu inskripsi. Foto diambil tanggal 7 Mei 2023, oleh Bapak Sariat Arifia. 

Gambar 8. Nisan Sulthan Mahmud ketika masih terdapat cat dan lapisan yang mengganggu inskripsi. Foto diambil tanggal 18 Februari 2023, oleh Bapak Sariat Arifia.

Gambar 8. Nisan Sulthan Mahmud setelah dipulihkan dari cat dan lapisan yang mengganggu inskripsi. Foto diambil tanggal 7 Mei 2023, oleh Bapak Sariat Arifia.
Epitaf bertulis:
١. لااله الا الله
سلطان محمود بن سلطان

٢. محمد بن سلطان يوسف
٣. بن سلطان حسن الدين
٤. غفر الله..?
"1. 𝘓𝘢 𝘪𝘭𝘢𝘩𝘢𝘪𝘭𝘭𝘢𝘩 𝘔𝘶𝘩𝘢𝘮𝘮𝘢𝘥 𝘳𝘢𝘴𝘶𝘭𝘶𝘭𝘭𝘢𝘩, 𝘚𝘶𝘭𝘵𝘩𝘢𝘯 𝘔𝘢𝘩𝘮𝘶𝘥 𝘣𝘪𝘯 𝘚𝘶𝘭𝘵𝘩𝘢𝘯
2. 𝘔𝘶𝘩𝘢𝘮𝘮𝘢𝘥 𝘣𝘪𝘯 𝘚𝘶𝘭𝘵𝘩𝘢𝘯 𝘠𝘶𝘴𝘶𝘧
3. 𝘣𝘪𝘯 𝘚𝘶𝘭𝘵𝘩𝘢𝘯 𝘏𝘢𝘴𝘢𝘯𝘶𝘥𝘥𝘪𝘯
4. ..𝘨𝘩𝘢𝘧𝘢𝘳𝘢𝘭𝘭𝘢𝘩𝘶..?"
Terjemahan:
"1. 𝘛𝘪𝘢𝘥𝘢 𝘵𝘶𝘩𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘭𝘢𝘪𝘯 𝘈𝘭𝘭𝘢𝘩, 𝘔𝘶𝘩𝘢𝘮𝘮𝘢𝘥 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘶𝘵𝘶𝘴𝘢𝘯 𝘈𝘭𝘭𝘢𝘩, 𝘚𝘶𝘭𝘵𝘢𝘯 𝘔𝘢𝘩𝘮𝘶𝘥 𝘱𝘶𝘵𝘳𝘢 𝘚𝘶𝘭𝘵𝘢𝘯
2. 𝘔𝘶𝘩𝘢𝘮𝘮𝘢𝘥 𝘱𝘶𝘵𝘳𝘢 𝘚𝘶𝘭𝘵𝘢𝘯 𝘠𝘶𝘴𝘶𝘧
3. 𝘱𝘶𝘵𝘳𝘢 𝘚𝘶𝘭𝘵𝘢𝘯 𝘏𝘢𝘴𝘢𝘯𝘶𝘥𝘥𝘪𝘯
4. ..𝘴𝘦𝘮𝘰𝘨𝘢 𝘈𝘭𝘭𝘢𝘩 𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘮𝘱𝘶𝘯𝘪𝘯𝘺𝘢..[?]"

Gambar 9. Kitab 𝘈𝘭-𝘔𝘢𝘸𝘢𝘩𝘪𝘣 𝘈𝘳-𝘙𝘢𝘣𝘣𝘢𝘯𝘪𝘺𝘢𝘩 '𝘢𝘯 𝘢𝘴'𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘢𝘭-𝘑𝘢𝘸𝘪𝘺𝘢𝘩 yang telah disunting, berisi tentang jawaban Syaikh Ibnu 'Allah kepada Sulthan Abul Mafakhir Mahmud 'Abdul Qadir. Dicetak tahun 2022 oleh Maktabah Turmusy, di Jakarta. Koleksi Pedir Museum.

Gambar 10. Foto manuskrip asli 𝘈𝘭-𝘔𝘢𝘸𝘢𝘩𝘪𝘣 𝘈𝘳-𝘙𝘢𝘣𝘣𝘢𝘯𝘪𝘺𝘢𝘩 '𝘢𝘯 𝘢𝘴'𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘢𝘭-𝘑𝘢𝘸𝘪𝘺𝘢𝘩 yang menyebutkan nama/gelar Abi Al-Mafakhir 'Abdul Qadir Al-Jawiy, termuat dalam kitab suntingan yang dicetak tahun 2022 oleh Maktabah Turmusy, Jakarta. Koleksi Pedir Museum.

Gambar 11. Kopian lembar naskah dari kitab yang berjudul 𝘛𝘢𝘶𝘥𝘩𝘪' 𝘓𝘪𝘭-𝘔𝘢'𝘢𝘯, sebuah kitab jawaban dari Syaikh Nuruddin Ar-Raniry untuk sultan Banten yang tersimpan dalam koleksi Teungku Muhammad Iqbal di Banda Aceh. Dalam naskah ini gelar/nama sultan ditulis dengan As-Sulthan Abul Mafakhir 'Abdul Qadir. Koleksi Pedir Museum.


Posting Komentar

0 Komentar