Kontrak Dagang Aceh - Belanda Tahun 1009 H/1600 M

Gambar salinan surat kontrak dari Arsip Nasional Belanda:
Inventarisasi Arsip Perusahaan Hindia Timur, 1594-1603. Nomor Inventaris 172.
Taqiyuddin Muhammad

Kontrak Dagang Tahun 1009 H (1600 M)

(1)

Bandar Aceh, Rabu, 20 Jumadil Akhir 1009 Hijriah (26 Desember 1600). Pada hari itu Syahbandar Tun Jawa membuat kesepakatan dengan Paulus van Caerden dan Adam Vlaming menyangkut harga lada.

Syahbandar adalah titel penguasa pelabuhan. Nama Syahbandar Tun Jawa mengingatkan Gampong Jawa, sebuah kampung yang hari ini berada di wilayah Kecamatan Kuta Raja, Kota Banda Aceh.

Kampung atau Gampong Jawa adalah toponimi kuno yang mengacu ke sebuah area berada di tepi kiri sungai Aceh (selanjutnya, Krueng Aceh) di kawasan Kuala Aceh (muara sungai Aceh). Kekunoan toponimi ini sama sekali tidak terkait nama "Pulau Jawa" yang populer sejak dalam masa imperialisme Barat sampai dewasa ini. Lain halnya dengan apa yang disebut sebagai abjad Jawi dan Bahasa Jawi (Arab: Al-Jawiyyah; Aceh: Jawo). Keduanya terkait erat dengan toponimi kuno di wilayah utara Pulau Sumatra. Sumber-sumber geografi Arab-Persia yang kuno (sebelum imperialisme Barat) menyepakati apa yang disebut sebagai "Jawah", جاوه, adalah suatu wilayah (pangkalan) terletak di bagian utara pulau Sumatra.

Dalam abad ke-11 Hijriah (ke-17 Masehi), Syaikh 'Abdur-Ra'uf Al-Fanshuri memaknakan "Al-Jawiyyah Asy-Syumathraniyyah",  الجاوية الشمطرنية dengan: "Bahasa Jawi yang dibangsakan kepada Bahasa Pasai" (Fanshuri: Manuskrip). Ungkapan ini menyatakan keidentikan Bahasa Jawi dengan Bahasa Pasai, atau Bahasa Jawi berasal dari Bahasa Pasai.

Pasai sendiri adalah sebuah kota kuno yang jejak-jejaknya, sampai sekarang, ditemukan di sebuah daerah di tepi kanan dan kiri sungai Pasai (Aceh: Krueng Pasee) dalam wilayah Kecamatan Meurah Mulia dan Nibong (selatan kota kuno Syumuthrah).

Kendati identik dengan Bahasa Pasai, atau bahkan berasal dari Bahasa Pasai, Bahasa Jawi untuk waktu kemudian sampai dewasa ini tidak pernah disebut sebagai Bahasa Pasai sebagaimana diperkenalkan oleh Al-Fanshuri. Satu sebutan lain yang muncul dalam masa imperialisme Barat di Asia Tenggara menjadi lebih populer: Bahasa Melayu. "Jawi", pada waktu kemudian, baik orang maupun bahasanya, berarti orang Melayu dan Bahasa Melayu (Werndly, 1786). Menurut Marsden, Bahasa/Bhasa Jawi adalah dialek asli Bahasa Melayu, tanpa campuran Arab (Marsden, 1812).

Dalam komunikasi kuno di Aceh, Jawa lebih dimaksudkan sebagai Melayu. Bahasa Jawa atau Jawi (Aceh: Jawo) adalah Bahasa Melayu.

"Jawa ngen Aceh loen peu jampu, nyoe ban laku sya'e Jawa (Syair Melayu ini saya gubah dengan mencampurkan Bahasa Melayu dengan Bahasa Aceh)," demikian tulis pengarang Hikayat Banta Beuransah (Djajadingrat, 1934).

Kampung (Gampong) Jawa berasal-usul dari permukiman dengan mayoritas penduduknya adalah orang-orang Melayu-Sumatra. Di seluruh Aceh, setidaknya 17 gampong mewarisi toponimi kuno ini. Paling penting di antaranya adalah Gampong Rayeuk Jawa di Kecamatan Geureudong Pase, Kabupaten Aceh Utara. Rayeuk Jawa termasuk daerah hulu Krueng Pase, terletak di antara Krueng Pase dan satu anak sungai di kirinya yang sejak masa lampau dikenal dengan Krueng Jawa. Dalam sejarahnya, daerah ini merupakan bagian kenegerian Blang Mangat. Sumber informasi bertanggal 30 Desember 1902, bahkan, menyebutkan bahwa di sebuah cekungan Krueng Jawa, disebut dengan Alue Minyeuk, eksploitasi sumber minyak tanah telah dilakukan sejak lama. (Departement van Koloniën, 1904: 597). Sejumlah permukiman kuno yang ditandai dengan batu-batu nisan kubur, juga ditemukan di sepanjang tepi kanan-kiri Krueng Jawa ini.

(2)

Tun Jawa, barangkali, adalah tuan yang menjalankan pemerintahan di wilayah terkenal sebagai permukiman Melayu-Sumatra di Bandar Aceh. Pastinya, ia seorang syahbandar. Jabatan ini tampaknya memang terkait dengan daerah hukum dalam kewenangannya di tepi Krueng Aceh (Gampong Jawa). Dengan kata lain, Syahbandar Tun Jawa, boleh jadi, adalah syahbandar yang memerintah dan berkantor di Gampong Jawa; di tepi Krueng Aceh. Jika asumsi ini layak dipertimbangkan, ini bisa menjadi informasi tambahan menyangkut fungsi Krueng Aceh di zaman lampau.

Informasi yang dikumpulkan sementara ini cenderung mengarah pada kenyataan bahwa aktifitas pelabuhan dan perdagangan maritim telah dipusatkan di wilayah hilir Krueng Aceh.

Di wilayah itu, berbagai komoditas dapat dikumpulkan dan didistribusikan lewat jalur transportasi air, selain lewat jalur darat. Krueng Aceh menghubungkan bandar (kota pelabuhan) dengan wilayah-wilayah  di hulunya (pedalaman Aceh Rayek). Sementara di pesisir, Krueng Arusan menghubungkan wilayah pesisir barat (Meraksa dll.) dengan Krueng Aceh, dan Krueng Cut menghubungkan wilayah pesisir timur (Tibang, Pohama, dll.) dengan Krueng Aceh.

Untuk perhubungan bandar dengan lepas pantai, badan Krueng Aceh merupakan laluan utama. Dengan mempertimbangkan perairan di depan Kuala Aceh yang tidak aman untuk kapal-kapal besar, bahkan, untuk sekoci-sekoci yang melakukan bongkar-muat, semua aktifitas pelabuhan tampaknya telah dipusatkan di badan Krueng Aceh. Dermaga-dermaga untuk bongkar-muat disediakan di tepi kanan dan kirinya, begitu pula kantor-kantor (furdhah) untuk para syahbandar. Sementara pasar utama (principal market), sepertinya, sudah sejak lama menempati lokasi yang ditandai dalam peta Belanda sebagai "Peukan Aceh" (Krijgsgeschiendenis van Nederl. Indie, 1883). Lokasi tersebut terletak di tepi kiri Krueng Aceh yang hari ini berada dalam wilayah Gampong Peuniti, Kecamatan Baiturrahman, Kota Banda Aceh.

(3)

Dalam kontrak dagang pada Rabu itu, Syahbandar Tun Jawa adalah pihak pertama. Pihak lainnya adalah Paulus van Caerden dan Adam Vlaminck (Vlaming; Vlamingh). Keduanya berasal dari Kerajaan Belanda.

Menyangkut pihak kedua dalam kontrak, Ronkel (1908) merujuk De Jonge: De Opkomst van het Nederlandsch gezag in Oost-Indië 1595-1610 (Kemunculan Otoritas Belanda di India Timur 1595-1610), terbit 1864. Ia mengikhtisarkan isi halaman 229-235 dari jilid II karya itu sebagai berikut:

"Dalam tahun 1599, Perusahaan Nieuwe Brabantsche mengirim armada pertamanya ke India Timur. Van Caerden dan Adam Vlaming tiba di Aceh pada 21 November (1600 M), dan yang pertama menyampaikan hadiah kepada sultan. Oleh Sultan, ia diarahkan kepada Syahbandar dan Penghulu untuk penetapan harga lada. Kesepakatan menyangkut harga lada dicapai pada 28 Desember. Sultan berjanji untuk memasok 1800 bahar lada dalam waktu 4 bulan, dan akan dibayar saat pengiriman." (Ronkel, 1908)

Kesepakatan, sebenarnya, terjadi pada Rabu, 21 Jumadil Awal 1009 Hijriah, yang bertepatan dengan 26 Desember 1600 Masehi.

Ronkel juga mengutip catatan dari dokumen lebih tua berjudul "Cerita singkat atau jurnal perjalanan yang dilakukan ke India Timur dengan 4 kapal.. Dilakukan oleh Kapten Paulus van Caerden". Jurnal perjalanan ini merupakan bagian dari Begin ende Voortgang Vande Vereenigde Neederlandtsche Geoctroyeerde Compagnie, Deel I (Permulaan dan Perkembangan Perusahaan Carteran Belanda Bersatu, Bagian I), yang terbit pada 1646.

Kontrak pada Rabu, 26 Desember 1600, antara Syahbandar Tun Jawa di satu pihak, dan  Van Caerden dan Adam Vlaming di pihak lain, dengan demikian, dikonfirmasi dan meyakinkan.

Kronologi sampai terjadinya kesepakatan atau kontrak tersebut, berikut perkembangan peristiwa selanjutnya, dibeberkan De Jonge. Untuk menambah kejelasan tentang peristiwa ini, akan disorot beberapa informasi De Jonge menyangkut Paulus van Caerden dan pelayarannya ke Aceh dalam misi dagang.

Tergiur oleh saratnya muatan kapal-kapal yang kembali ke Belanda dari Timur India pada April 1599, sebuah perusahaan dengan nama Nieuwe-Brabantsche didirikan di Amsterdam dalam tahun itu juga. 21 Desember 1599, Nieuwe-Brabantsche mengirim armada pertamanya yang terdiri dari 4 kapal (Nederland; Vereenigde-landen; Nassau; Hof van Holland) dikomandani Laksamana Pieter Both van Amersfoort. Paulus van Caerden, di samping menjabat sebagai wakil laksamana, ia adalah kapten untuk Vereenigde-landen. Sementara Adam Vlaming adalah saudagar (Belanda: koopman) di kapal itu. Setelah keempat kapal berlayar bersama sampai 26 April 1600, mereka kemudian berpisah. Dua kapal di bawah Laksamana langsung menuju Banten. Dua lainnya dipimpin Van Caerden singgah di Madagaskar, dan untuk kemudian melalui Maladewa menuju Selat Sunda. Keempat kapal bertemu kembali di Banten, dari mana kemudian, pada 25 Agustus 1600, Van Caerden dengan 2 kapalnya bertolak menuju pantai barat Sumatra. Ia mengunjungi berturut-turut Pariaman, Tiku dan Pasaman.

Mengenai kunjungan-kunjungan tersebut, informasi berikutnya dari De Jonge perlu digaribawahi. Van Caerden, kata De Jonge, telah gagal membangun hubungan perdagangan di semua tempat itu! Ia juga mengungkapkan alasan kegagalan itu disebabkan ketidakpercayaan, permusuhan, dan itikad buruk dari penduduk dan kepala suku, selain sedikitnya persediaan komoditas. Reaksi-reaksi seperti itu, tampaknya, bukan karena Van Caerden seorang yang baik-baik saja. Berdagang adalah untuk memperoleh manfaat dan keuntungan bagi kedua belah pihak, tapi Van Caerden tampaknya telah memperlihatkan sikap-sikap mencurigakan yang mengakibatkan kegagalannya.

Dalam masa Van Caerden berada di pantai barat Sumatra, gempa bumi di darat dan di laut terjadi. Fenomena alam tersebut merupakan pengalaman pertama Belanda dalam pelayarannya di pantai barat Sumatra. Setelah gempa, Van Caerden memutuskan untuk berlayar ke Aceh. Apakah ia mencoba mengabaikan peristiwa bentrokan berdarah antara Aceh dan Belanda akibat sikap kurang ajar Cornelis de Houtman di tahun sebelumnya (1599), atau ia memang memendam rencana lain? De Jonge menyinggung tentang adanya tiga orang Aceh di kapal Van Caerden. Apakah mereka memberitahukan Van Caerden bahwa Aceh tidak menaruh dendam kepada semua orang Belanda, dan kasus De Houtman hanyalah sebuah kasus pelanggaran yang mesti ditindak dan diadili? Apapun itu, keputusan Van Caerden untuk berlayar ke Aceh mesti karena dia yakin dapat menjalankan rencananya di Aceh.

Van Caerden dengan kedua kapalnya tiba di pelabuhan Aceh pada 21 November 1600. Tepat seperti prediksinya, di Aceh, ia disambut dan diterima oleh Sultan Aceh. Meski pelayaran-pelayaran pertama Belanda ke Timur India tidak memberikan citra baik bagi Belanda, sehingga mereka dengan mudah menjadi target hasutan dari bangsa-bangsa Eropa lainnya, tetapi Aceh bukan kerajaan lemah yang tidak mampu menindak dan menghukum setiap pelanggaran yang dilakukan oleh siapapun. Di tahun sebelumnya, Belanda telah meninggalkan kesan buruk yang memperlihatkan bahwa berbagai hasutan terhadap mereka memiliki dasar. Penerimaan Van Caerden di Bandar Aceh, karena itu, justru menunjukkan otoritas Aceh siap menanggulangi apapun bentuk bahaya potensial. Aceh sama sekali tidak keberatan untuk membuka lembaran baru dengan siapa pun dalam rangka membangun hubungan baik.

Perihal misi dagang Van Caerden untuk membeli lada, ia telah diarahkan untuk melakukan negosiasi dengan Syahbandar Tun Jawa. Negosiasi dilakukan pada Rabu, 26 Desember 1600 (De Jonge: 28 Desember 1600), dan mencapai kesepakatan. Sebuah surat kontrak dibuat. Lada yang akan dibeli senilai 144.000 Dirham (dengan harga emas dewasa ini: sekitar Rp. 71.971.200.000‬), atau 28.800 Dolar Spanyol (dengan harga perak dewasa ini: sekitar Rp. 7.488.000.000). Dalam kontrak disebutkan, pihak Van Caerden dan Adam Vlaming berjanji membayar setiap pasokan lada dalam tempo 4 bulan, mulai Rajab sampai Syawwal. Tapi anehnya, De Jonge malah menulis informasi berbeda menyangkut waktu pembayaran. Ia menginformasikan bahwa sesuai kesepakatan, pembayaran akan dilakukan setelah semua lada senilai 144.000 Dirham atau 28.800 Dolar Spanyol diantarkan. Karena itu, otoritas Aceh dianggap telah mungkir ketika baru tiga hari setelah kontrak, Van Caerden sudah diminta membayar 1000 Real (Dolar Spanyol) sebagai uang muka! Ia juga menyebutkan bahwa Sultan Aceh terus-menerus meminta uang muka sehingga Van Caerden tertekan!  

Apakah informasi tersebut masuk akal? Benarkah pembayaran itu sebagai uang muka?

Pertama sekali mesti diluruskan informasi De Jonge mengenai kejadian 3 hari setelah kontrak. Kata De Jonge, otoritas Aceh telah menuntut Van Caerden dengan apa yang disebutnya sebagai uang muka setelah 3 hari sejak kontrak. Menurut De Jonge, kontrak terjadi pada 28 Desember. 3 hari setelahnya adalah 31 Desember, dan hari itu bersamaan dengan 25 Jumadil Akhir 1009. Sementara kontrak baru akan dijalankan setelah memasuki bulan Rajab atau mulai 5 Januari 1601. De Jonge, tampaknya, telah memelintir informasi yang sebenarnya untuk mendukung tuduhan bahwa otoritas Aceh telah menuntut pembayaran uang muka. Dalam Kort Verhael yang terbit 1646 (hal. 12), tuntutan pembayaran 1000 Real (Dolar Spanyol) adalah cerita untuk tanggal 8 Januari 1601. Tanggal tersebut bertepatan dengan 4 Rajab 1009 Hijriah di mana seluruh kesepakatan dalam kontrak harus mulai dijalankan baik oleh pihak Aceh maupun Belanda. Tanggal 4 Rajab atau 8 Januari merupakan hari ke-13 setelah kontrak yang dilakukan pada 20 Jumadil Akhir 1009 H atau 26 Desember 1600 M. Penyimpangan 13 (Belanda: dertien) ke 3 (Belanda: drie) adalah suatu ketidakcermatan yang mengherankan dari De Jonge!               

Karena tuntutan pembayaran itu terjadi pada 4 Rajab (8 Januari; 13 hari setelah kontrak), hari mana kesepakatan harus sudah mulai dilaksanakan, maka apa yang paling masuk akal dan sesuai klausul dalam kontrak, itu merupakan tagihan pembayaran lada yang pertama sekali didrop untuk Van Caerden dalam bulan Rajab. Jadi, sama sekali bukan uang muka. Dalam hal ini, apa yang terjadi pada 4 Rajab (8 Januari) juga menunjukkan komitmen otoritas Aceh untuk segera memenuhi jatah lada yang diminta pihak Van Caerden. Tapi, Van Caerden hanya membayar 1000 Real (Dolar Spanyol) dari tagihan yang tampaknya jauh lebih besar sehingga otoritas Aceh harus menagihnya berkali-kali. Tidak komitnya pihak Belanda terhadap perjanjian pastilah mengecewakan pihak Aceh. Di saat pihak Belanda melakukan preorder lada dan menyetujui jumlah lada yang akan dibeli itu senilai 144.000 Dirham atau 28.800 Dolar Spanyol, tentu saja yang dibayangkan, pihak Belanda memiliki uang sejumlah itu. Lantas apa yang menyulitkan mereka melunasi tagihan drop lada yang pertama?! Sukar dipercaya jika sikap Van Caerden tidak menimbulkan kecurigaan pihak Aceh.  

Menurut De Jonge, Van Caerden mengklaim kerugiannya akibat pembayaran "uang muka" sebesar 5994 Real (Dolar Spanyol). Jika jumlah tersebut bisa dipercaya, maka akan lebih meyakinkan apabila itu sebagai pembayaran sebagian tagihan lada yang didrop pertama kali untuk Van Caerden! 5994 Real baru sekitar 20% dari nilai pembelian lada yang disebutkan dalam kontrak; jumlah yang kiranya masih terlalu kecil untuk menjadi tekanan dan alasan komplain bagi seorang yang berani membuat kontrak senilai 28.800 Dolar Spanyol. Lagi pula, untuk mencapai target selama 4 bulan, wajar jika otoritas Aceh harus menyediakan lada rata-rata sampai 25% dari permintaan di setiap bulannya, yakni lada senilai 7.200 Dolar Spanyol.

Van Caerden telah memutarbalikkan fakta dan membawa berita palsu ke negerinya! Untuk apa? Sudah pasti sebagai dalih bagi aksi kejahatan yang dilakukannya setelah sekitar 52 hari berada di Aceh, 34 hari sebelum kontrak dan 17 hari setelahnya. 52 hari adalah waktu yang cukup baginya untuk mempelajari keadaan, meyusun rencana, dan mempersiapkan segala sesuatu untuk aksi kejahatan di hari terakhir Belanda berada di Aceh. Kontrak yang dibuat pihak Belanda dengan otoritas Aceh tampak tidak lebih dari bagian rencana yang klimaksnya adalah pada 12 Januari 1601.

Pada 12 Januari 1601, Belanda memanipulasi keadaan di pelabuhan untuk mengalihkan perhatian. Mereka membuat diri mereka seolah-olah sedang diserang sehingga harus terburu-buru melarikan diri ke laut di mana kedua kapal mereka berjangkar. Di laut, dalam waktu yang sama, Van Caerden memimpin perompakan 9 kapal dagang. Dengan menggunakan kekerasan, ia mengosongkan seluruh muatan kapal-kapal tersebut. 5 di antaranya kapal Turki; 3 kapal berlayar dari Gujarat, 2 lainnya berlayar dari Bengal. Van Caerden kemudian berlayar ke Banten setelah beberapa waktu bersembunyi di Pulau Weh.  

"Kesan buruk Belanda sebagai bajak laut, dengan begitu, telah dikonfirmasi oleh Belanda sendiri," tulis De Jonge.

Pernyataan itu diungkapkan sekalipun De Jonge menyebelah dan menerima alasan yang dibuat-buat Van Caerden bahwa perompakan yang dia dilakukan adalah akibat tekanan "uang muka" yang dialaminya di Aceh, dan untuk menggantikan kerugiannya.  

Alasan Van Caerden sangat naif. Pantas saja jika De Jonge, kemudian, menginformasikan bahwa kasus perompakan dan tindak kekerasan yang dilakukan Van Caerden menimbulkan proses yang panjang dan rumit di Belanda. Pada waktu itu, terang De Jonge, Kuasa Usaha Arab dari para pemilik kapal Muslim turun tangan. Tanpa intervensi Belanda, Kuasa Usaha tersebut menuntut Perusahaan Nieuwe-Brabantsche, yang mempekerjakan Van Caerden, untuk membayar ganti rugi sebesar 50.000 Dolar Spanyol (dengan harga perak dewasa ini: Rp. 13.000.000.000).

Informasi mengenai turun tangan Kuasa Usaha Arab dalam perkara itu dikutip De Jonge dari Emanuel van Meteren: Historie der Nederlandscher. Tapi "Arab" yang dimaksud dalam konteks informasi tersebut tidak dapat dibatasi dalam ruang lingkup 22 negara Arab dewasa ini. Jika bukan karena alasan bahwa Arab dalam pandangan Barat hampir selalu identik dengan Muslim, terutama sebelum kebangkitan nasionalisme Arab di permulaan abad ke-20, maka alasan lainnya ialah karena sebutan Arab dalam konteks informasi tersebut tidak mesti mengacu kepada orang-orang yang tinggal di kawasan geografi Arab, tapi umum kepada orang Arab yang tinggal di mana pun tempat di dunia.

Karena kasus Van Caerden terjadi di pelabuhan Aceh, maka adalah suatu hal yang sangat masuk akal apabila Kuasa Usaha Arab itu berasal dari Aceh. Suatu hal lagi yang semestinya juga sangat jelas bahwa Kuasa Usaha itu bertindak atas dasar instruksi otoritas Aceh. Sebab, sangat mustahil jika para pemilik kapal korban perompakan Van Caerden tidak mengadukan kejahatan tersebut kepada penguasa Aceh, dan sebaliknya, sangat mustahil pula apabila penguasa Aceh memilih tinggal diam terhadap kejahatan yang akan berdampak pada menurunnya reputasi Aceh sebagai bandar dagang yang aman. Karena itu, suatu hal yang tampaknya sangat meyakinkan apabila Kuasa Usaha Arab itu bertindak atas instruksi langsung dari otoritas Aceh, termasuk menyangkut jumlah ganti rugi sebesar 50.000 Dolar Spanyol yang dituntut kepada Perusahaan Nieuwe-Brabantsche.

Dalam rekonstruksi peristiwa pelayaran kedua Belanda ke Aceh, kiranya, dapat ditambahkan sebuah asumsi berhubungan dengan dasar penolakan pelabuhan-pelabuhan pantai Barat (Pariaman, Tiku dan Pasaman) untuk berdagang dengan Van Caerden atau Belanda. Belajar dari pengalaman Aceh ketika berurusan dengan pelayaran pertama Belanda yang dikomandoi Cornelis de Houtman pada 1599, dan juga dengan mempertimbangkan citra buruk Belanda yang ditiupkan oleh bangsa-bangsa Eropa lainnya, penguasa Aceh mungkin saja telah menginstruksikan berbagai pelabuhan dan teluk di Sumatra untuk tidak melayani misi dagang Belanda, dan agar mereka hanya diarahkan ke Aceh. Instruksi ini dimaksudkan untuk melindungi pelabuhan-pelabuhan di Sumatra dari bahaya potensial yang dapat disebabkan oleh kapal-kapal Belanda. Sementara di Aceh, bahaya potensial semacam itu dapat ditanggulangi. Di sisi yang lain, Aceh juga memiliki jaringan dagang dan diplomasi yang luas, yang memungkinkannya untuk melakukan pengejaran terhadap pelaku kejahatan semisal perompakan dan lain sebagainya.

(4)

Kontrak dagang tahun 1006 itu tidak berlanjut seperti direncanakan dalam perjanjian. Terutama, karena bagi Van Caerden atau pihak Belanda, itu tidak lebih dari kedok untuk menyembunyikan rencana sebenarnya. Dengan menuduh pihak Aceh akan menimpakan kerugian dan celaka kepadanya, dia pikir, aksi kejahatannya akan dinilai sebagai sebuah tindakan heroik, dan ia kembali ke negaranya sebagai pahlawan yang membawa pulang banyak keuntungan.

Van Caerden rupanya tidak berpikir keras. Sebab, orang akan bertanya, jika Aceh memang berniat untuk membuat dia rugi dan celaka, mengapa harus menunggu setelah sekitar 52 hari sejak kedatangannya. Dua kapal Belanda yang tidak diinginkan di perairan teluk Aceh tentu terlalu mudah untuk ditenggelamkan kapan saja jika kehadiran mereka memang tidak disukai! Namun nyatanya, Van Caerden dengan awak kapal-kapalnya disambut baik di Aceh. Ia sendiri berkesempatan menghadap dan berbicara dengan Sultan. Pada hari ke-35, misi dagangnya diperkenankan dengan penuh ketulusan dan perhatian. Hal ini barangkali akan dianggap mengada-ada jika kontrak dagang pada Rabu, 26 Desember 1600, tidak direkam dalam sebuah surat kontrak, dan juga akan dikira sebagai omong kosong jika isinya tidak diketahui secara akurat di masa sekarang.  

Isi surat kontrak yang dibuat pada Rabu, 26 Desember 1600, nyatanya, masih dapat dibaca dan dipelajari sampai dengan waktu ini. Pihak-pihak yang telah ikut merawat dokumen ini patut diapresiasi, begitu pula mereka yang telah mempublikasikannya. Sebelum publikasi Ronkel berjudul Een Maleisch Contract van 1600 pada 1908, isi kontrak telah dipublikasikan pada tahun sebelumnya dalam bagian pertama Corpus Diplomaticum Neerlando-Indicum oleh J. E. Heeres.

Surat kontrak didahului penyebutan hari dan tanggal terjadinya kontrak: Rabu, 20 Jumadil Akhir 1009 Hijriah (26 Desember 1600). Berikutnya adalah pembukaan di mana dinyatakan bahwa pada hari dan tanggal tersebut telah dicapai kesepakatan menyangkut harga lada antara pihak Syahbandar Tun Jawa dan pihak Kapten Belanda Paulus van Caerden (Palu Wan Kardan) dan Kapten Adam Vlaming (Adam Walaming).

Isi kontrak adalah mengenai:

1. Kedua pihak menyetujui harga lada dalam transaksi jual-beli yang akan dilakukan nantinya: 8 tahil Dirham per satu bahar lada. 1 tahil sama dengan 10 Dirham (6 gram emas) atau 2 Dolar Spanyol (52 gram perak). 8 tahil Dirham sama dengan 80 Dirham (48 gram emas) atau 16 Dolar Spanyol (416‬ gram perak). Sedangkan, 1 bahar sama dengan 560 lb (Marsden, 1812). Jika dikonversi ke kilogram, 560 lb sama dengan 254 kg. Dengan demikian, 254 kg lada dijual dengan harga 80 Dirham atau 16 Dolar Spanyol. Jika harga lada hitam dewasa ini sekitar Rp. 55.000 per kilogram, 1 bahar (254 kg) lada bisa sekitar Rp. 13.970.000. Dalam kontrak ini, 1 bahar lada seharga 48 gram emas. Dengan harga emas dewasa ini, itu kira-kira bisa senilai Rp. 39.984.000.

2. Paulus van Caerden dan Adam Vlaming (pihak kedua) berjanji membayar masuk lada dari bulan Rajab sampai Syawwal; empat bulan. Klausul ini dengan terang menyatakan tidak ada pembayaran yang bersifat sekaligus. Pembayaran oleh pihak kedua dilakukan lewat transaksi jual-beli secara bertahap menurut jumlah lada yang didrop untuk pihak kedua dalam rentang waktu yang dibatasi hanya 4 bulan lamanya. Dengan kata lain, kedua pihak menyepakati proses jual-beli lada dengan harga 8 tahil Dirham per 1 bahar lada sampai dengan batas jumlah lada yang ditentukan pihak pembeli tercapai dalam waktu paling lama 4 bulan, mulai Rajab sampai Syawwal. Proses jual-beli sebagaimana disepakati dalam kontrak menjamin transparansi dan bebas risiko bagi kedua belah pihak. Sementara klaim Paulus van Caerden, atau apa yang disimpulkan De Jonge, bahwa cara pembayaran yang disepakati adalah sekaligus setelah semua lada diterima, tidak memberikan apapun makna bagi klausul ini, bahkan kontradiktif. Satu hal yang sebenarnya sudah sangat jelas: kontrak atau perjanjian tersebut sama sekali bukan transaksi jual-beli. Lagi pula, transaksi jual-beli dengan uang muka (down payment), atau transaksi yang disebut dalam fiqh Islam sebagai Bai'ul-'Arabun, بيع العربون, tidak sah menurut Jumhur 'Ulama (Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi'iyyah) sebab mengadungi peluang bagi penipuan yang disebabkan ketidakjelasan (gharar), berisiko (mukhatharah) dan pengambilan harta orang lain dengan tanpa kompensasi (Wizaratul Auqaf, 1983: 9/93-94). Jual-beli dengan uang muka adalah transaksi yang batil (invalid) menurut mazhab Syafi'iyyah yang umum diikuti di Aceh sejak masa lampau. Dari sini, dapat dipastikan bahwa cerita Van Caerden yang tertekan dengan uang muka yang terus-menerus dimintakan oleh otoritas Aceh tidak saja tanpa dasar tapi juga konyol.

3. Paulus van Caerden dan Adam Vlaming (pihak kedua) menentukan jumlah lada yang akan dibelinya adalah 1800 bahar. Ini berarti 457,200 kg, atau 457,2 ton. Harga total lada yang akan dibeli dengan Dirham (koin emas Aceh), dengan demikian, adalah 144.000 Dirham. Rinciannya: harga 1 bahar lada adalah 8 tahil Dirham. 8 tahil = 80 Dirham (1 tahil = 10 Dirham). Harga 1800 bahar lada, dengan demikian, adalah 144.000 Dirham (1800x80). 144.000 Dirham = 86,400 gram emas (86,4 kg). Dengan harga emas dewasa ini jumlah tersebut bisa sekitar Rp. 71.971.200.000‬.

4. Patokan harga adalah dengan Dirham (mata uang emas Aceh), namun pembayaran dapat dilakukan dengan dua mata uang: Dirham dan Real (Dolar Spanyol). Dengan Real atau Dolar Spanyol yang merupakan koin perak, 1 Dolar Spanyol (26 gram perak) setara dengan 5 Dirham (3 gram emas). Harga 1800 bahar lada dengan Dolar Spanyol, dengan demikian, adalah 28.800 Dolar Spanyol, yakni 748,800 gram perak (748.8 kg). Dengan harga perak dewasa ini, jumlah tersebut bisa sekitar Rp. 7.488.000.000.

5. Pungutan 'usyur dari nilai total 144.000 Dirham adalah 5 per seratus (5%) sebagaimana ketetapan 'usyur dalam Islam. 'Usyur atau Al-'Usyr, العشر, (1/10) adalah pemungutan yang diambil dari harta perdagangan non-Muslim ketika mereka memasuki negeri Islam. Dasar hukumnya adalah Sunnah, Ijma' dan logika. Menurut Syafi'iyyah, jumlah 'usyur yang dipungut ditetapkan oleh penguasa (imam) sesuai kepentingan umum, baik itu 1/10 atau lebih rendah dari itu, atau boleh juga tidak dipungut bila non-Muslim membawa dagangan berupa kebutuhan pokok (Wizaratul Auqaf, 1983: 30/102-105). Kontrak dagang ini memberitahukan jumlah 'usyur yang dikenakan untuk perdagangan non-Muslim di Aceh, yaitu 1/5 atau 5%. 'Usyur yang dipungut dari 144.000 Dirham, dengan demikian, adalah 7.200 Dirham. Total biaya yang mesti dikeluarkan pihak Belanda untuk pembelian lada sejumlah 1800 bahar (457,2 ton) adalah 151.200 Dirham (sekitar Rp. 75.569.760.000 dengan harga emas dewasa ini), atau 30.240 Dolar Spanyol (sekitar Rp. 7.862.400.000‬ dengan harga perak dewasa ini).

6. Syahbandar Tun Jawa (pihak pertama) berkomitmen untuk memprioritaskan pemenuhan jumlah lada yang telah ditentukan oleh Paulus van Caerden dan Adam Vlaming (pihak kedua), yaitu 1800 bahar (457,2 ton), karena keduanya telah mengikat kontrak dengan pihaknya.

Pada penutup surat diterangkan nama saksi-saksi dalam kesepakatan tersebut.

Saksi pertama: Penghulu Keureukon Mu'allim Mardan.

Penghulu, secara umum, berarti tuan (Aceh: pangulee; Arab: sayyid). Sebagai gelar, penghulu merupakan gelar untuk seorang yang memiliki kekuasaan, otoritas dan pengaruh, atau seorang pemimpin dan kepala, atau seorang master. Keurkon atau Keureukon menurut Djajadiningrat berasal dari Persia: "karkun", berarti panitera (Inggris: registrar). Di masa lampau Aceh, seorang sekretaris kerajaan bergelar Keureukon Katibul-Muluk (panitera penulis bagi para raja). Gelar itu pada awalnya disandang seorang penulis rahasia kerajaan,كاتب السر, tapi kemudian secara turun-temurun diperuntukkan untuk pejabat istana dari golongan Ulebalang Poteu (hulubalang Tuan kita)(Djajadiningrat, 1934). Mu'allim (Aceh: mu'allem) adalah gelar nakhoda atau juru mudi kapal--di sini, bukan bermakna pengajar atau guru! Dalam teks sastra Aceh: "Keu peuguna kapai raya, meu ka hana mu'allem ngon sarang" (apa guna kapal besar, apabila tidak ada nakhoda dan kepala kelasi!)(Djajadiningrat, 1934). Sementara Mardan, tentu dapat dimengerti sebagai nama. Jika nama ini berasal dari Bahasa Persia, maka akan berarti kesatria atau pahlawan (Steingass, 1963: 1212). Nama ini mengingatkan nama tokoh lain yang ditemukan pada batu nisan kubur di Gampong Oboh, Kecamatan Rundeng, Kota Subulussalam: Imam Syah Mardan, ayah dari Syaikh 'Abdur-Rauf, Syaikh Fanshuri (Mapesa, 2020). Dengan demikian, tokoh bernama Mardan ini adalah seorang mu'allim (nakhoda) yang menjabat sebagai panitera kepala atau sekretaris bergelar Penghulu Karkun (Aceh: Pangulee Keureukon).

Saksi kedua: Sri Raja Khan

Sri Raja Khan adalah gelar tokoh saksi kedua; bukan namanya. Sri adalah gelar kehormatan bermakna: yang penuh harapan, yang menjanjikan kebahagiaan. Raja-Khan adalah gelar yang mengombinasikan dua gelar bermakna sama: penguasa. Ini sama seperti gelar Malik-Syah (Arab-Persia); malik berarti raja atau penguasa dalam Bahasa Arab, dan Syah juga memiliki arti yang sama dalam Bahasa Persia. Raja adalah gelar yang lebih umum digunakan di India dan kepulauannya, sementara gelar Khan digunakan di utara India. Kombinasi Raja-Khan (selatan-utara India) barangkali untuk memperkenalkan tokoh raja turunan khan (tokoh selatan yang berdarah utara) atau menandakan seorang pangeran utama. Tentang kedudukan dan peran tokoh dengan gelar ini belum dapat dijelaskan. Tapi menariknya, lewat tokoh saksi dalam surat kontrak ini, kita diberitahu bahwa gelar Raja-Khan ternyata masih digunakan sampai dengan awal abad ke-11 Hijriah (ke-17 Masehi). Yaitu, setelah sekitar dua setengah abad sebelumnya diperkenalkan di Sumatra-Pasai. Setidaknya, ada 3 batu nisan kubur yang menyebutkan gelar Raja-Khan; satu batu nisan berasal dari abad ke-8 Hijriah (ke-14 Masehi), dua lainnya berasal dari paruh awal abad ke-9 H.   

Selain disaksikan oleh kedua tokoh itu, kesepakatan juga dihadiri dan disaksikan oleh sekumpulan orang-orang budiman (jama'atul khair).

Surat kontrak diakhiri kalimat: Was-salam bil khair (semoga Allah menganugerahkan kedamaian beserta kebaikan), dan penulisnya adalah Nakhoda Muhammad.

(5)

Surat kontrak dengan tulisan asli Nakhoda atau Mu'allim Muhammad belum ditemukan sampai dengan waktu ini. Tapi, salinan (reproduksi; facsimile) dari surat kontrak asli dapat dipastikan keautentikannya. Salinan tidak dibubuhi apapun cap atau tanda lain yang mencirikan surat asli. Gaya tulisan memang sangat jauh dari apa yang bisa dikatakan bagus, dan penyalin tampak bersusahpayah dalam membentuk huruf-hurufnya. Ia sering memperbaiki huruf-hurufnya. Beberapa kali, ia harus mencoret/menghapus (syathb; write off). Banyak huruf dan kalimat dalam bentuk kurang akurat yang terpaksa ia biarkan (sebab sudah merupakan terbagus yang mampu ia lakukan). Tulisannya dengan terang menunjukkan bahwa ia bukan seorang juru tulis atau "katib" seperti Mu'allim Muhammad. Tapi, ia bukan tidak paham menulis Arab/Jawi sama sekali. Ia hanya tidak terlatih dan kurang terbiasa. Sehingga, walaupun dengan susah payah, ia telah menyalinnya dengan jujur. Tulisannya relatif tidak menimbulkan salah baca. Teks salinannya dapat diyakini 100% akurat sebagaimana asli.

Surat kontrak disalin pada halaman sepotong kertas dilipat dua. Di halaman sebaliknya terdapat transkripsi dalam abjad latin. Rouffaer telah membaca transkripsi latin yang menurut Ronkel ditulis dengan ejaan yang aneh dan tidak dapat dipahami (Ronkel, 1908). Ini kiranya dapat memastikan bahwa salinan dibuat untuk kepentingan Paulus van Caerden atau pihak Belanda. Transkripsinya ke abjad latin adalah supaya mudah diucapkan dan dikutip oleh seorang Eropa semisal Paulus van Caerden.

Dokumen salinan kontrak disumbangkan ke Rijksarchief (Arsip Nasional Belanda) oleh keluarga Van Foreest pada 1902 (Bijlsma, 1927: 220). Van Foreest adalah keluarga bangsawan Belanda utara. Salah satu di antara mereka, Dirk van Foreest (1676-1717), adalah walikota Hoorn (Belanda utara) dan pernah menjabat sebagai direktur Perusahaan Hindia Timur Belanda (Vereenigde Oostindische Compagnie;VOC). Pada 1692, ia membeli dokumen salinan kontrak dari lelang firma R.W.P. de Vries di Amsterdam dan didaftarkan sebagai akuisisi nomor ke-27 sejak itu (Ronkel, 1908).

(6)

Transkrip:

هجرة سريب سمبيلنْ تاهنْ ڤد يوم الاربعا دوّ ڤوله هار بولن جمادي الأخر. ديوسئيت بهو شهبندر تن جاو برڤوتس هرݢ لاد دڠن كڤـتن ولندا برنام ڤالو وَانْ كَردنْ دان كڤـتن اَدَمْ وَلاَمِنْ. ادڤون هرݢ لاد دبليپ ايت ڤد سبهار هرݢاپ دولاڤن تاهلْ درهم. جنج مريكئيت مماير ماسق لاد درفد بولن رجب داتڠ كڤد بولن شوال كيركيرا امڤـت بولن لماپ. قِيمت لاد يڠ دبليـپ ايت سريب دولاڤن راتس، قيمت درهم هرݢاپ سلقسَ امڤـت ريب امڤـت راتس، دان هرݤا ڤرق ڤد سبيج ليم امش، دان عشور درڤدپ ڤد سراتس ليم سڤرت عادة عشور اسلام ديمبل درڤدڀ ايت. سبرمول اڤبيل ماسُق لاد دهُول دباير اكن كڤـتن كدواپ ايت دان كمدين اكن اورڠ يڠ لاينْ دلمْپ سوات حجّة تياد. تتكالئيت هداڤن ڤڠهول كركون معلم مردانْ دان سر راج خان دان جماعة الخير سكلينپ. والسلام بالخير. كاتبه معلم محمد 

(7)

Transliterasi:

Hijrah seribu Sembilan (1009) tahun pada yaum al-arbi’a, duwwa puluh (20) hari bulan Jumadil Akhir.

Diwasa itu bahwa Syahbandar Tun Jawa berputus harga lada dengan Kapitan Wulanda bernama Palu wan Kardan dan Kapitan Adam Walamin.

Adapun harga lada dibelinya itu pada se-bahar, harganya dulapan (8 ) tahil.

Janji mereka itu: memayar masuk lada daripada bulan Rajab datang kepada bulan Syawwal; kira-kira empat bulan lamanya.

Qimat lada yang dibelinya itu seribu dulapan ratus (1800 bahar)

Qimat dirham harganya: Se-laksa empat ribu empat ratus (144.000 dirham).

Dan harga perak pada se-biji: lima (5) emas.

Dan ‘usyur daripada-nya: pada seratus (100), lima (5), seperti ‘adat ‘usyur Islam diambil daripada-nya itu.

Sebermula apabila masuk lada, dahulu dibayar akan kapitan keduanya itu, dan kemudian akan orang yang lain dalamnya suatu hujjah tiada.

Tatkala itu hadapan Penghulu Keureukon Mu’allim Mardan dan Sri Raja Khan, dan jama’atul khair sekaliannya.

Wassalam bil-khair.

Katibuhu Mu’allim Muhammad.

Gambar salinan surat kontrak dari publikasi Ronkel, 1908: Een Maleisch Contract van 1600.


( 8 )

Glosarium:

Adam Walamin: Adam Vlaming (Vlamingh; Vlaminck)

Bahar: berasal dari “buhar” dalam Bahasa Arab yang berarti pikulan. Bahar merupakan satuan berat dengan bobot yang bervariasi menurut tempat dan komoditas. Untuk pinang, 1 bahar sama dengan 3 pikul/pikulan (Aceh: pikoi). 1 pikul Aceh sama dengan 100 kati (Aceh: katoe). 100 kati Aceh: ± 97,5 kilogram. 1 bahar pinang, dengan demikian, sekitar 292,5‬ kilogram (Djajadiningrat, 1934). 1 bahar juga dapat berbobot 500 lb atau 560 lb.  Dengan begitu, 1 bahar bisa berbobot 226.8 kilogram sampai 254 kilogram (Marsden, 1812). Untuk penjelasan berat 1 bahar lada dalam teks surat kontrak diambil ukuran berat yang sama dengan 254 kilogram.

Dirham: mata uang emas Aceh.

Hujjah (Arab): bukti.

Kapitan (Inggris: captain): orang yang memimpin di atas kapal.

Katibu-hu (Arab): penulisnya.

Palu wan Kardan:  Paulus van Caerden

Perak: koin Dolar Spanyol; Real.

Qimat (Arab): jumlah, nilai.

Selaksa: seratus ribu (100.000)

Syahbandar (Persia): raja atau kepala pelabuhan.

Tahil:  satuan berat emas; 1 tahil (Aceh: tahe) sama dengan 10 Dirham (emas). 1 Dirham: rata-rata 0,6 gram. 1 tahil: 6 gram emas. 1 tahil atau 10 Dirham sama nilainya dengan 2 koin perak Dolar Spanyol (Aceh: Riyal; Ringgeit Meuriyam). 1 Dolar Spanyol: 26 gram perak.  

‘Usyur (Arab): secara etimologi berarti sepersepuluh (1/10). Terminologi (hukum Islam): pungutan yang dikenakan pada harta perdagangan non-Muslim di pelabuhan negeri Islam.

Wulanda (Belanda: Hollands): orang Belanda.

Yaumul Arbi’a (Arab): hari Rabu.

Punge Blangcut, 1 Rabi'ul Akhir 1444.

Referensi:

Bijlsma, R. 1927. Algemeen Rijksarchief, de Archieven van de Compagnieen op Oost-Indie 1594-1603. ’S-Ghavenhage: Algemeene Landsdrukkerij.

Commelin, Isaac. 1646. Begin ende Voortgang Vande Vereenigde Neederlandtsche Geoctroyeerde Oost-Indische Compagnie, I. Amsterdam.

Departement van Koloniën. 1904. Mededeelingen Over de Atjehsche onderhoorigheden. Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde van Nederlandsch-Indië, 2/2.

Djajadingrat, Hoesein. 1934. Atjèhsch-Nederlandsch Woordenboek. Batavia: Landsdrukkerij.

Fanshuri, ‘Abdur Ra’uf. (?). Mir’atuth Thullab. Manuskrip.

Heeres, J. E. 1907. Corpus Diplomaticum Neerlando-Indicum, I, 1596-1650.  Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde van Nederlandsch-Indië, 7/3. ’S-Gravenhage: Martinus Nijhoff.

Jonge, J. K. J. De. 1864. De Opkomst van het Nederlandsch gezag in Oost-Indië 1595-1610, II. ’S Gravenhage: Martinus Nijhoff.

Krijgsgeschiedenis van Nederl. Indie. 1883. Overzichtskaart van het Westelijk Middengedeelte van Groot-Atjeh in 1883 (Peta gambaran umum bagian Barat Tengah Aceh Besar tahun 1883). Batavia-Den Haag: G. Kolff.

Marsden, William. 1812. A Dictionary of The Malayan Language. London.

Ronkel, PH. S. Van. 1908.  Een Maleisch Contract van 1600. Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde van Nederlandsch-Indië, 6/2. ’S-Gravenhage: Martinus Nijhoff.

Steingass, F. A. 1963. Comprehensive Persian-English Dictionary, London.

Werndly, George Henrik. 1786. Maleische Spraakkunst, Amsterdam.

Wizaratul Auqaf. 1404 H (1983 M)

وزارة الأوقاف والشؤون الإسلامية الكويت. 1404 (1983). الموسوعة الفقهية. الكويت: وزارة الأوقاف 

Gambar judul "Kort verhael ofte journael van de reyse gedaen naer de Oost-Indien met 4 schepen"
(Cerita singkat atau jurnal perjalanan yang dilakukan ke India Timur dengan 4 kapal).



Posting Komentar

0 Komentar