Adakah yang Mendengar?
Suara itu telah lama disampaikan. Yang dituju adalah agar kita dapat benar-benar memahami persoalan. Sehingga, kita mampu merekayasa sejumlah tindakan yang tepat dalam usaha merekonstruksi sejarah Aceh, dari satu tahap ke tahap lainnya, dari satu langkah ke langkah lainnya. Dan ini akan menjadi salah satu "item" dalam agenda kebudayaan yang memiliki sasaran yang jauh dalam rangka pembangunan manusia Aceh Darussalam abad ke-21.
Dalam seminar Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh dan Nusantara yang diselengggarakan di Aceh Timur tahun 1980, Sejarawan Rusdi Sufi dan Muhammad Ibrahim menyampaikan:
"Untuk merekonstruksi sejarah kerajaan-kerajaan di wilayah yang sekarang termasuk bahagian dari Indonesia pada periode sebelum tahun 1500, tidak dapat terhindar dari kesulitan-kesulitan, terutama yang menyangkut dengan masalah keterbatasan sumber. Pada umumnya ada dua jenis sumber yang digunakan untuk itu, pertama, sumber-sumber luar/asing, dan kedua, sumber-sumber setempat/lokal. Namun kedua jenis sumber ini belum dapat menyempurnakan perekontruksian itu. Hal ini di satu pihak karena tidak lengkapnya sumber-sumber asing memberitakan tentang kerajaan-kerajaan itu, di lain pihak karena adanya sifat mistis legendaris yang melekat pada sumber-sumber lokal tradisionil yang regio-sentris tentang kerajaan-kerajaan itu. Dan meskipun dalam pengkajian kedua jenis sumber tersebut telah diusahakan dengan sikap hati-hati dan kritis, tetapi juga masih harus menggunakan imajinasi historis yang spekulatif. Hal ini tentu sebagai kelemahan yang disadari, sehingga dengan demikian hasil daripada rekonstruksi tersebut tidak lebih dari suatu gambaran historis yang sifatnya masih tentatif (masih dapat berubah), yang perlu disempurnakan kembali."
Rusdi Sufi juga menyatakan bahwa dari sejumlah objek-objek kepurbakalaan di Aceh yang telah diinventarisasi hingga sekarang sebagian besarnya belum diteliti secara teratur guna mendapatkan informasi dan agar dapat dinikmati oleh seluruh bangsa khususnya rakyat di daerah Aceh. Ia juga menyebutkan beberapa masalah yang perlu dipikirkan dan ditanggulangi menyangkut kepurbakalaan di Aceh:
1) Mengingat banyaknya objek-objek kepurbakalaan yang menyebar di seluruh Aceh, maka sangat dirasakan perlu akan kehadiran suatu Balai Pusat Penyimpanan dan Penelitian Kepurbakalaan;
2) Kurangnya tenaga yang trampil dan ahli dalam bidang arkeologi, maka tampak adanya kesenjangan antara masa pemerintahan Hindia-Belanda dengan masa kemerdekaan. Untuk mengatasi hal itu perlu dibina/dipersiapkan ahli-ahli dalam bidang tersebut;
3) Kurangnya alat-alat dan media untuk penelitian di bidang arkeologi di daerah ini;
4) Masih banyak situs-situs kepurbakalaan yang letaknya di hutan-hutan dan paya-paya yang sulit untuk dijangkau dan yang status tanah tidak jelas pemiliknya;
5) Biaya dari pemerintah dan non-pemerintah yang sangat terbatas;
6) Kurangnya partisipasi masyarakat untuk ikut bertanggung jawab atas peninggalan-peninggalan sejarah dan purbakala;
7) Masih banyak peninggalan sejarah dan purbakala yang perlu diselamatkan dari kehancuran dan kemusnahan.
Demikian saran-saran yang pernah disampaikan Sejarawan Rusdi Sufi dalam tulisannya "Penelitian Arkeologi di Aceh". Adakah yang mendengar?
0 Komentar