Habis Kata

Habis Kata

Tidak jarang datang perasaan seolah-olah kita telah habis kata, habis cara, untuk menyampaikan serta mengingatkan tentang apa yang kita miliki, apa yang kita warisi, dan betapa berharga dan mahalnya itu semua.
Kita tidak hanya mewarisi alam yang indah dan kaya dari para pendahulu, tapi juga sekian gagasan, sekian hasil kreativitas, sekian warisan materiil, dan sekian semangat luhur yang menjelma dari dalam berbagai peristiwa sejarah. Istimewanya lagi, itu semuanya memiliki pengaruh yang mengarus ke berbagai masyarakat di kawasan yang luas.
Semua itu perlu diteliti, dikaji, dipelajari untuk kemudian dijadikan pengetahuan bersama yang dapat melahirkan perspektif yang tepat tentang diri kita, lalu tentang langkah-langkah yang sepatutnya diambil di berbagai lapangan kehidupan. Hal itu tidak saja demi kebaikan kita, tapi juga demi kebaikan mereka yang menjadikan Aceh sebagai teladan dan ikutan.
Aceh adalah pemilik semangat kemerdekaan yang telah lama mengakar di kedalaman sejarahnya. Ketika Aceh dipukul dan dicoba cabut dari semangatnya itu, ia pasti balik memukul dengan segala kekuatan yang dimilikinya sekalipun kemudian ia harus menerima kenyataan sepahit apapun. Di sisi yang lain, Aceh (rakyatnya) selalu siap sedia mengabdi kepada persatuan dalam arti yang sesungguhnya, namun ia akan menentang setiap persatuan yang merupakan selubung bagi eksploitasi dan kesewenang-wenangan, apalagi penjajahan dan penindasan. Aceh (rakyatnya) selalu menjunjung persatuan orang-orang merdeka dan menjauhi diri dari persatuan budak andai kata budak mengenal persatuan.
Semangat kemerdekaan seperti itu merupakan modal utama yang diperlukan untuk melampaui berbagai rintangan di jalan meraih kebaikan bagi bangsa dan Ummah yang besar ini. Andai kata semangat tersebut luntur dan pupus, maka Aceh sesungguhnya telah dikosongkan dari makna dan sejarahnya, dan hanya tinggal sebuah nama yang sama sekali tidak memiliki keistimewaann apapun.
Tapi! Betapapun beralasannya isi dua alinea terakhir untuk diungkapkan, itu tetap saja akan tampak tidak lebih dari sebuah retorika, bahkan semata-mata sesumbar, ketika untuk mengetahui tentang diri kita saja, kita harus bergantung dan menunggu orang lain, peneliti asing, memberitahukan berbagai hal tentang kita, yang lalu kita sambut dengan penuh rasa pasrah serta decak kekaguman. Semangat kemerdekaan macam apa yang kita miliki andai kita memilikinya?!
Wawancara yang dipetik berikut ini tidak ditujukan untuk mengagumi siapa pun, bahkan tidak untuk mengagumi warisan yang kita miliki oleh sebab telah menarik perhatian orang lain untuk menelitinya, tapi untuk menjadi sebuah bahan introspeksi sejauh mana kita telah memberi perhatian untuk apa yang mesti diberi perhatian apabila dibandingkan dengan perhatian orang lain. Wawancara ini telah dirilis sejak 13 tahun yang silam, dan poin-poin pokok yang disampaikan dalam wawancara, kiranya, masih berlangsung, dan kita masih jauh dari apapun bentuk kesadaran.
Akhirnya, kembali ke kalimat awal, sering sekali perasaan kehabisan kata dan cara itu datang menghampiri, bahkan tak jarang, perasaan itu memuncak dan meledakkan ucapan keputusasaan: andai kata kita tidak punya masa lalu istimewa yang dapat membangkitkan kita!
Wawancara Faisol Riza bersama Daniel Perret
Dirilis Perspektif Baru dalam Edisi 504, 01 November 2005, dengan tajuk:
"Daniel Perret: Batuan Membuka Masa Silam Indonesia"
Riza:
Kita tahu arkeologi bukan sesuatu yang akrab di telinga masyarakat Indonesia walau sebenarnya sejarah Indonesia sangat kuat dan sangat banyak dengan masalah arkeologi. Saya ingin bertanya kepada Daniel satu hal yang penting karena membaca satu pengantar buku berjudul batu Aceh yang Anda tulis. Apa itu batu Aceh dan bagaimana kira-kira sejarahnya secara arkeologi di Indonesia?
Perret:
Saya sebagai peneliti sejarah Indonesia sejak sekitar 10 tahun yang lalu dan kini bertugas di Indonesia khususnya dalam bidang sejarah kuno. Batu Aceh memang sedang mendapat perhatian dari sejumlah peneliti termasuk saya baik di Indonesia maupun di Malaysia. Secara kebetulan penelitian saya tentang batu Aceh sampai sekarang lebih ke Malaysia karena saya pernah bertugas sebagai perwakilan EFEO di Kuala Lumpur selama 6 tahun. Di sana saya sempat membuat banyak survai di seluruh Semenanjung Malaysia untuk mencari sejenis monumen yang disebut Batu Aceh. Itu diperkirakan berasal dari satu tradisi kesenian yang muncul di Aceh. Untuk penelitian ini saya sempat bekerja sama dengan sebuah lembaga di Malaysia yang bernama Yayasan Warisan Johor, suatu yayasan yang bergerak di bidang kebudayaan khususnya sejarah.
Riza:
Apa kesenian Aceh yang berkaitan dengan batu Aceh ?
Perret:
Ini masih satu tanda tanya yang besar karena sejarah monumen ini masih belum jelas. Seperti semua orang tahu, penelitian sejarah di Aceh belum begitu maju karena sudah lama para peneliti susah untuk masuk ke daerah Aceh sehingga penelitian sejarah di sana agak terbengkalai.
Riza:
Mengapa batu tersebut harus bernama Aceh dan bagaimana bentuknya?
Perret:
Istilah Batu Aceh digunakan untuk sejenis batu nisan pada makam Islam. Tingginya sekitar 40 cm sampai 2 meter. Ada beberapa jenis atau tipe batu nisan tersebut yang sempat kami indentifikasikan. Dan yang menarik sekali dengan Batu Aceh ialah keaneka ragaman bentuk dan seni yang boleh dikatakan tidak ada pada bentuk batu nisan lainnya.
Riza:
Apakah itu berbeda dengan yang saya saksikan di sini? Misalnya, banyak orang-orang Tionghoa membuat kuburan mereka dengan batu tertentu, apakah itu berbeda?
Perret:
Itu berbeda sekali. Yang menarik dari Batu Aceh adalah batu nisan merupakan tradisi kesenian pada makam yang boleh dikatakan paling kuno dan yang masih kelihatan sampai sekarang karena dari batu. Mungkin pernah ada kesenian batu nisan lain tapi dari kayu dan sekarang sudah tidak ada lagi.
Riza:
Itu pada abad berapa?
Perret:
Ini masih menjadi soal yang belum terpecahkan. Sampai beberapa tahun yang lalu masih dipercaya bahwa tradisi itu mulai pada akhir abad ke 13 dengan adanya semacam fosil pedoman batu nisan pada makam Sultan Almalikus Saleh di Pasai. Persoalannya sekarang apakah batu nisan yang tidak ada angka tahunnya tersebut sezaman dengan kematian sultannya. Ini masih belum jelas dan memang diperlukan penelitian yang lebih mendalam di daerah Lhokseumawe tempat sekitar Kerajaan Pasai dulu untuk memecahkan soal ini. Jadi untuk sementara adalah kesenian Batu Aceh ini berkembang pada abad ke 15 karena ada peninggalan di Malaysia dari Abad tersebut, sedangkan untuk ke zaman sebelumnya masih menjadi tanda tanya.
Riza:
Pembaca, Batu Aceh adalah salah satu proyek dari EFEO untuk melakukan penelitian arkeologi di Indonesia dan Dr Daniel Perret adalah direktur EFEO sekarang. Apa itu sebenarnya EFEO?
Perret:
EFEO merupakan kepanjangan dari Ecole francaise d’Extreme-Orient, yaitu pusat penelitian Timur Jauh Francis yang didirikan sekitar 100 tahun lalu. Lembaga penelitian ini awalnya di Indo Cina dan lama kelamaan kami membuka cabang di beberapa negara Asia dan sekarang ada sekitar 15 cabang dari India sampai Jepang termasuk satu cabang di Jakarta. Lembaga ini bekerja dalam bidang ilmu sosial pada umumnya. Untuk arsitektur, misalnya, EFEO mempunyai cabang di Kamboja di mana beberapa candi yang sedang dipugar sedang diteliti oleh peneliti dari EFEO. Ada juga orang antropolog, ahli bahasa, ahli sastra, arkeolog, dan sejarahwan.


Oleh Musafir Zaman
Dikutip dari group Mapesa

Posting Komentar

0 Komentar