Leiden

Leiden 

“Kalau ingin mengkaji sejarah Aceh, kita mesti ke Leiden.” Ungkapan yang terus terdengar diulang-ulang. Sayangnya, tanpa mengikuti perkembangan. Sehingga, sedikit terkesan apologetik. Atau lebih banyaknya, tampak seperti ingin menyembunyikan sikap yang sesungguhnya. Sikap menganggap sejarah Aceh tidak begitu perlu dipedulikan! Sikap yang apabila disuarakan, bunyinya akan sesinis ini: untuk apa sejarah Aceh?! Apa untungnya?! Apa bisa mengenyangkan atau mencukupi keperluan hidup?!

Sejarah Aceh, bagi orang yang bersedia sabar mengamati dalam-dalam ke rentang waktu Aceh yang lampau, hakikatnya, bukanlah sejarah etnik atau kesukuan. Lebih bukti untuk meyakini sejarah Aceh adalah bagian dari sejarah Ummah, dan dengan sendirinya, adalah bagian dari sejarah Islam. Apapun menyangkut Islam, kemudian, adalah penting. Apalagi berkenaan dengan memori atau ingatan Ummahnya.

Ingatan yang kacau sama sekali tidak akan memberikan apapun kesempatan untuk bergerak dan melangkah ke arah yang tepat, jika tidak mengakibatkan kelumpuhan total.

Dengan ingatan yang kacau, berbagai gerak atau langkah yang terlihat, yang walaupun dirasakan seperti sedang bergerak maju, sudah pasti, tidak lebih dari langkah yang tidak tentu arah, gontai, terombang-ambing, dan tentu saja, tidak akan pernah menentukan serta membentuk wajah masa depan.

Kepedulian terhadap sejarah Aceh—dalam berbagai bentuk aktivitas yang dapat dilahirkan dari makna peduli—dari itu, tidak dapat ditafsirkan sebagai suatu ‘kerja kurang penting (sampingan)’ demi mengangkat isu-isu lokal, kedaerahan, kesukuan, maupun nasional. Itu penafsiran yang nyata naif dan dangkal.
 
Pada saat kepedulian itu memiliki, sedikitnya, dua tujuan: pertama, memperjelas peran Islam dalam mengangkat derajat manusia, serta menyinari mereka dengan nur yang mengantarkan mereka kepada kebaikan hidup di dunia dan akhirat—meski mereka yang berada jauh di ujung dunia sekalipun; dan kedua, untuk menapaki jalan perbaikan kondisi sebuah masyarakat Islam lewat penyembuhan ingatan yang kacau oleh banyak faktor penyebabnya, maka kepedulian tersebut adalah sebuah kerja syar’iy yang mesti dilakukan dan dipikul (fardhu kifayah).

Mengulang-ulang ungkapan ‘mengkaji sejarah Aceh, harus ke Leiden’ sesungguhnya tidak cukup selain juga sama sekali tidak mengesankan suatu kepedulian. Ditambah dengan tidak mengikuti perkembangan informasi, mengulang ungkapan yang klise itu justru memperlihatkan kedunguan—sementara yang diinginkan barangkali sebaliknya; untuk unjuk diri berwawasan.   
Lagi pula, bagaimana menemukan sejarah Aceh di Leiden jika pada hal-hal yang sederhana saja, semisal pada nama-nama dan istilah-istilah yang digunakan oleh orang Aceh, sejarah Aceh tidak mampu ditemukan. Nama-nama seperti Muhammad, ‘Abdullah, Hasyim, Muthallib, ‘Abdurrahman, Ibrahim, Musa, Harun, Tajuddin, Jalaluddin dan lain semisalnya, begitu pula istilah-istilah seperti sultan, malik, qadhi, wazir, syahbandar, kerani, khanduri dan banyak lagi lainnya, semuanya berawal dari pengetahuan sebelum kemudian popular dan menjadi tradisi. Bahkan, setelah menjadi tradisi, pengetahuan itu ikut pula bersamanya. Semua itu, secara umum, memberitahukan jenis pengetahuan yang berkembang di masa lampau Aceh. Apabila dewasa ini, nama-nama dan istilah-istilah seperti itu tampak makin surut, itu berbanding lurus dengan surutnya jenis pengetahuan yang pernah berkembang di masa lampau Aceh.
 
Apabila pada hal-hal yang sederhana, yang relatif masih melekat dan belum keluar dari Aceh, sejarah Aceh tidak mampu ditemukan, lantas bagaimana cara menemukannnya di Leiden?!  
Sejarah Aceh, pada hakikatnya, mesti ditemukan terlebih dahulu, dan pada tingkat pertama, dalam sejarah Islam. Tanpa penguasaan yang memadai terhadap sejarah Islam, sejarah Aceh sulit—sebenarnya saya lebih suka mengatakan, mustahil—untuk ditemukan. Atau, yang ada hanyalah cerita-cerita yang diklaim sebagai sejarah Aceh; pseudo-sejarah (sejarah palsu) yang dengan mudah memperoleh kehormatan untuk diyakini sebagai sejarah oleh karena keawaman terhadap sejarah Islam serta karakteristik yang dimilikinya.

ولم يعرضوا على أصولها ولا قاسوها بأشباهها ولا سبروها بمعيار الحكمة والوقوف على طبائع الكائنات وتحكيم النظر والبصيرة في الأخبار فضلوا عن الحق

“... dan mereka tidak mengajukan [cerita-cerita serta peristiwa-peristiwa yang dinukilkan itu] kepada sumber-sumbernya yang asli, tidak membandingkannya dengan hal-hal yang serupa, dan tidak pula mengukurnya secara mendalam dengan neraca kebijaksanaan, tidak memperhatikan dengan teliti berbagai watak dari segala yang ada, serta tidak mengandalkan penyelidikan dan pengetahuan mendalam (kesadaran)dalam memeriksa pelbagai riwayat, sehingga mereka tersesat jauh dari kebenaran...” tulis Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya.
 
Apabila sejarah Islam adalah bidang pengetahuan yang paling lemah dalam struktur pengetahuan di Aceh, lantas bagaimana sejarah Aceh akan ditemukan?! Apakah kita akan membuka semisal karya-karya Descartes, Voltaire, Montesquieu, Kant dan lain semisalnya, atau semisal Nagarakretagama, Pancasila, UUD ’45, KUHP, Di Bawah Bendera Revolusi dan lain semacamnya, untuk menemukan jawaban historis mengapa nama-nama semisal ‘Ali, Zainal ‘Abidin, ‘Ala’uddin, Tajuddin, Jalaluddin, Syafi’i, Nawawi dominan digunakan di Aceh?!

Ingin ke sejarah Aceh, untuk mendekati dan menemukannya, sejarah Islam mesti terlebih dahulu dalam genggaman. Sejarah Aceh merupakan sambungan dan bagian yang tidak terpisahkan darinya. Islam adalah ruhnya. Ruh dari semua yang kisah berawal di Makkah dalam Tahun Gajah lalu di Gua Hira’. Dari sana alur sejarah Islam—di mana sejarah Aceh bercabang darinya—berhulu dan terus mengalir menyusun teks utama. Lain itu, semisal asal-usul orang Aceh dan kebudayaan sebelum Islam (yang biasanya diistilahkan dengan kebudayaan zaman klasik), sesungguhnya adalah teks tambahan dan catatan pinggir.

Tegasnya, hanya dalam konteks sejarah Islam, sejarah Aceh dapat ditemukan serta menemukan kepentingan dan manfaatnya bagi hari ini dan masa depan yang dekat maupun jauh. Dan, hanya dalam konteks sejarah Islam, sejarah Aceh dipaparkan. Nyatalah haluan. Didengar oleh orang yang mendengar, atau dibelakangi oleh orang yang membelakangi.

Oleh Musafir Zaman
Dikutip dari group Mapesa

Posting Komentar

0 Komentar