Pedir Museum


Pedir Museum
Pedir Museum adalah sebuah cita-cita yang wujudnya terbentuk secara bertahap. Penggagas dan pendirinya adalah Ananda Masykur Syafruddin, anak muda kelahiran Lueng Putu, Pidie Jaya.
Dengan membawa nama lama sebuah negeri bersejarah yang kini terbelah menjadi dua kabupaten, yakni Pidie dan Pidie Jaya, kecambah museum ini tampak tumbuh dengan baik, dan diharapkan nantinya akan memiliki masa depan yang terang.
Investasi yang mengalir dari setiap batin tulus, tentu, masih sangat diharapkan demi kelanjutan pengembangan wujud cita-cita mulia tersebut. Dan dalam hal ini, Masyarakat Peduli Sejarah Aceh (Mapesa) akan selalu mengawal cita-cita itu sampai suatu hari kemudian dapat terwujud secara utuh dan kukuh di bumi kenyataan.
Akta Waqaf Haji Habib bin Buja' Al-Asyi
Dalam kesempatan pameran di ruang edukasi Museum Negeri Aceh selama hari-hari Pekan Kebudayaan Aceh ke-7 tempo hari, pada hari penutup, Pedir Museum telah merilis dan memamerkan satu fotokopi arsip yang penting dimaklumi oleh masyarakat Aceh secara umum. Kepentingannya tidak saja dari sisi sejarah, tapi juga dari sisi keterkaitannya dengan suatu manfaat yang masih diterima oleh orang Aceh sampai dengan hari ini, bahkan sampai ke masa depan.
Fotokopi arsip tersebut berasal dari fotokopi arsip yang dipegang oleh Pemerintah Aceh sejak sekian lama tapi tampaknya tidak pernah dipublikasikan secara utuh kepada masyarakat. Pedir Museum lewat pamerannya tempo hari telah mempublikasikan fotokopi arsip tersebut secara utuh disertai suntingan dan terjemahan teksnya.
Saya telah mencermati publikasi itu, dan untuk kemudian, saya tidak pernah dihinggapi sedikit pun kesangsian bahwa fotokopi arsip tersebut memang merupakan hasil reproduksi fotografis terhadap arsip asli. Sebagai salah satu hasil dari pencermatan, patut pula, di sini, saya menyatakan bahwa Pedir Museum sepenuhnya benar dan tepat dengan pemberian tajuk publikasinya: Arsip Surat Pengesahan Waqaf Haji Habib bin Buja' Al-Asyi (Orang Aceh) oleh Qadhi Makkah Al-Musyarrafah, Syaikh 'Abdul Hafizh bin Darwisy Al-'Ujaimi (wafat 1246 Hijriah) pada 18 Rabi'ul Akhir 1224 Hijriah.
Dari sana, saya kemudian disadarkan pula terhadap sebuah kenyataan mengecewakan di mana beberapa penulis yang sebelumnya pernah membahas seputar masalah ini telah bertindak gegabah dan mengkhianati amanah ilmiah. Pewaqaf yang disebutkan dalam surat pengesahan atau akta itu tidak lain adalah Al-Haj (Haji) Habib bin Buja' Al-Asyi. Mengenai riwayat hidup Haji Habib bin Buja' Al-Asyi memang belum diketahui, namun pewaqaf yang dimaksud dalam akta itu mustahil orang selain orang yang bernama Habib (bukan panggilan ataupun julukan, tapi nama), putera dari seseorang bernama Buja' (nama orang, bukan nama tempat).
Pedir Museum dan "CEO"-nya, Ananda Masykur Syafruddin, dan begitu pula Mapesa, tidak memiliki apapun kepentingan selain menginformasikan perihal arsip tersebut sebagaimana adanya, meluruskan dan mengembalikan segala hak kepada empunya, sambil berupaya mengalihkan pandangan kepada satu kesimpulan penting, yang jika dipadatkan dalam satu kalimat singkat, maka akan berbunyi: "Betapa hebatnya kekuatan waqaf!"
Lain dari itu, maka sama sekali bukan urusan Pedir Museum atau Mapesa, di samping juga tidak pernah punya niat untuk mengganggu apapun "permainan". Maka teruslah bermain orang-orang yang hendak bermain-main!
كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ
"Setiap pribadi bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya." (Al-Mudatstsir: 38)
Namun sekadar untuk mengingatkan, kiranya, juga perlu disampaikan:
الحق أحق أن يتبع والرجوع إلى الحق فضيلة
Kebenaran adalah sesuatu yang lebih pantas untuk diikuti, dan kembali kepada kebenaran merupakan suatu keutamaan.
Ijazah Syaikh Muhammad Marhaban bin Muhammad Shalih
Menyusul publikasi dokumen waqaf tersebut, kini Pedir Museum merilis dan mempublikasikan satu di antara koleksinya yang teramat penting terkait sejarah pendidikan Islam atau dayah di Aceh. Bahkan, saya harus mengatakan bahwa seseorang tidak dapat berbicara dan menulis tentang sejarah pendidikan Islam atau Dayah di Aceh sebelum mencermati dokumen-dokumen serupa ini.
Inilah satu dokumen yang takkan dapat tergantikan dengan seberapa pun jumlah harta benda, dan saya merasa amat berbahagia dapat memberitahukan perihal ini kepada Tuan-tuan Pembaca.
Dokumen yang dimaksud berupa ijazah dari seorang ulama Aceh terkemuka dalam abad ke-13 Hijriah (ke-19 Masehi), Syaikh Muhammad Marhaban bin Muhammad Shalih, kepada muridnya yang dipanggil dengan Teungku Lam Pucoek.
Bagian paling istimewa dalam dokumen ijazah yang diperoleh dan disimpan oleh Ananda Masykur Syafruddin dalam koleksi Pedir Museum-nya itu adalah bagian pendahuluan sebelum pernyataan ijazah.
Syaikh Muhammad Marhaban telah membuka ijazahnya dengan pernyataan yang kuat.
"Pujian bagi [Tuhan] Yang Maha Menguatkan syari'at Muhammad di sepanjang masa, dan Yang Maha Menguatkan agama hanifiyyah (Islam) lewat mata pena para ulama yang besar, sehingga agama ini teristimewakan dengan tidak dimasuki apapun ketimpangan."
Allah telah meneguhkan agama-Nya melalui tulisan dan karangan para ulama. Sebuah pernyataan kuat di mana ulama Aceh terkemuka ini telah mengawali pengungkapannya tentang ilmu pengetahuan dan para ulama.
Dengan kalimat-kalimat Arab yang terbilang cukup indah untuk seseorang yang tidak dilahirkan sebagai orang Arab, dan lewat kata-katanya yang singkat-padat, Syaikh Muhammad Marhaban telah memberikan satu gambaran umum yang dapat dikatakan komplit dan utuh mengenai dunia pendidikan Islam pada masa lampau. Ia, dengan demikian, telah mengungkapkan fakta yang dapat diterima kebenarannya dan juga dapat dijadikan sebagai ukuran, standar, acuan dalam pembicaraan mengenai pendidikan Islam di Aceh pada masa lampau.
Dokumen ijazah ini, dengan demikian, mampu memperlihatkan serta mengantarkaan kita kepada keadaan-keadaan faktual di masa lalu Aceh menyangkut dunia ilmu pengetahuan dan para ulamanya.
Syaikh Muhammad Marhaban mengatakan:
"[Dalam hal ini,] para ulama mengikat diri mereka pada metode menerima dan memahami langsung (tallaqiy) dari guru-guru mereka. Dari guru-guru itulah mereka meriwayatkan. Kepada guru-guru itulah mereka menyandarkan. Dan untuk orang-orang setelah merekalah, mereka memilih sudut-sudut (zawiyah) [untuk mengajarkan]. Mereka menjauhi enaknya tidur, meninggalkan lezatnya makanan, demi melaksanakan tugas itu dengan sebaik-baiknya di sepanjang zaman. Mereka meninggalkan kampung halaman, dan berpisah dengan handai taulan dan saudara mereka. Semua itu demi mencari tambahan perolehan ilmu pengetahuan, dan demi melestarikan rantaian (silsilah) sanad-sanad."
Ungkapannya tentang para ulama yang telah memilih sudut-sudut (zawiyah/zawaya) untuk mengajarkan ilmu pengetahuan yang telah mereka timba, secara serta merta menampilkan pemandangan proses belajar-mengajar yang tidak saja dalam ruang mesjid, meunasah, balai-balai, tapi juga dalam ruang negeri yang luas; di semua tempat, di seluruh pelosok. Dayah, dengan demikian, merupakan sudut-sudut (zawiyah/zawaya) dalam ruang negeri yang luas ini di mana para ulama telah mengabdikan ilmu pengetahuan mereka.
Lewat ungkapan itu pula, kemudian, kita menemukan satu alasan kuat mengapa Aceh tidak pernah dapat dipisahkan dari Islam. Tentu saja itu karena setiap sudutnya tidak pernah kosong dari kehadiran dayah dan para ulama, dari generasi ke generasi, di sepanjang zaman. Ia dengan demikian telah menjadi rukun utama negeri ini.
Sekali lagi, dokumen ijazah ini dan semisalnya adalah dokumen yang tidak pernah sebanding nilainya dengan seberapa pun jumlah harta benda.
Karena itu, di sini, saya juga ingin mengambil kesempatan untuk menghimbau kepada agen-agen penjual kekayaan warisan intelektual dan kebudayaan Aceh, dan juga kepada para juru foto manuskrip Aceh untuk kepentingan lembaga-lembaga di berbagai negara asing: berhentilah!
Berhentilah, dan mulailah berpikir untuk mengembalikan Aceh ke tempat yang semestinya sebagai menara ilmu pengetahuan dan da'wah.
Dan kepada setiap kaki-tangan, jadilah orang merdeka. Atau, jika begitu berat bagimu untuk menjadi orang merdeka, maka beralihlah kepada tuan yang akan menjaga anak-cucumu di masa depan. Jika itu pun tidak pernah kauperdulikan, maka engkau adalah bala yang semua orang berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk menjauhkan segala bala.
Berikut ini, saya hanya menukilkan terjemahan teks ijazah Syaikh Muhammad Marhaban kepada Teungku Lam Pucoek untuk menjadi pengetahuan bersama. Sementara untuk mengamati manuskrip ijazah dan membaca suntingan teks secara menyeluruh, itu hanya dapat diakses atas izin Direktur Pedir Museum, Ananda Masykur Syafruddin, atau silakan kunjungi ruang pameran permanen sekretariat Masyarakat Peduli Sejarah Aceh (Mapesa) di Banda Aceh.
Kuta Malaka, 18 Zulhijjah 1439.

Terjemahan Teks Ijazah Syaikh Muhammad Marhaban bin Muhammad Shalih kepada Teungku Lam Pucoek:
Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Pujian bagi [Tuhan] Yang Maha Menguatkan syari'at Muhammad di sepanjang masa, dan Yang Maha Menguatkan agama hanifiyyah (Islam) lewat mata pena para ulama yang besar, sehingga agama ini teristimewakan dengan tidak dimasuki apapun ketimpangan.
[Goresan] mata pena para ulama itu lantas dihafal, dibariskan (disalin), di-taqrir (diselidiki dan diperjelas; konfirmasi) dan di-tahrir (disunting/diedit). Dipetik buahnya dari berbagai kebun indah lembaran-lembaran. Diambil cahayanya dari langit pelbagai jiwa. Dinukilkan oleh para ulama dari generasi ke generasi. Dikerahkan unta-unta dari berbagai kawasan yang luas untuk menuju ke jurusannya. Cahayanya yang terang benderang dijadikan penerang ketika datang gelap keraguan. Bintang-bintangnya yang bersinar dijadikan petunjuk jalan. Awan-awannya yang menurunkan hujan dijadikan sumber air. Untuknya, segenap hati menghafal serta menjaganya, dan semua telinga mendengarkannya. Dan ia menghimpunkan kebaikan dunia dan akhirat.
Aku memuji Dia, Tuhan Yang Maha Suci. Bagi-Nya seluruh rasa syukur dan terima kasih, dan bagi-Nya pula keabadian yang sempurna lagi tiada terhingga, serta seluruh kebajikan.
Dan aku mengucapkan shalawat dan salam kepada Rasul-Nya yang teramat agung dan Nabi-Nya yang teramat mulia. Beliaulah pegangan yang teramat kukuh. Barangsiapa yang berlindung (berpegang teguh) pada petunjuknya, maka ia tidak akan pernah merana dan tersesat, dan barangsiapa yang melupakan serta membelakangi petunjuknya, maka orang itu akan selalu berada dalam kehinaan di dunia, dan di akhiratnya nanti, ke neraka jahannam-lah ia dilemparkan.
Untuk beliaulah, shalawat yang tidak pernah putus serta salam yang harum mewangi dari Tuhan dan Pemiliknya Yang Maha Meninggikan maqamnya (kedudukannya) yang mulia, dan Yang telah Memartabatkannya dengan segala sesuatu yang layak dengan kedudukannya yang agung. [Shalawat dan salam begitu pula] kepada keluarga beliau, yang telah mendahului kita dalam keimanan, dan telah melakukan upaya terbaik dalam rangka membela agama Allah serta meninggikan kebenaran 'aqidahnya.
Para ulama, kemudian, men-taqrir-kan berbagai masalah syari'at, men-tahrir-kan dalil-dalilnya yang bersifat yaqiniyyah, menggiatkan diri mereka dengan kerja meriwayatkannya, serta berusaha sekuat tenaga untuk membukukannya. [Dalam hal ini,] para ulama mengikat diri mereka pada metode menerima dan memahami langsung (tallaqiy) dari guru-guru mereka. Dari guru-guru itulah mereka meriwayatkan. Kepada guru-guru itulah mereka menyandarkan. Dan untuk orang-orang setelah merekalah, mereka memilih sudut-sudut (zawiyah) untuk mengajarkan. Mereka menjauhi enaknya tidur, meninggalkan lezatnya makanan, demi melaksanakan tugas itu dengan sebaik-baiknya di sepanjang zaman. Mereka meninggalkan kampung halaman, dan berpisah dengan handai taulan dan saudara mereka. Semua itu demi mencari tambahan perolehan ilmu pengetahuan, dan demi melestarikan rantaian (silsilah) sanad-sanad. Dengan itu semua, bagi mereka balasan pahala yang besar. Dengan itu pula, keharuman yang menebar di alam semesta telah pula mewangikan kita. Lewat mereka, merekahlah dan menyebar kebaikan zaman, dan musnahlah orang yang tidak bertuhan dalam keadaan tidak berdaya serta hati yang dipenuhi kebencian.
Kemudian dari itu, sesungguhnya seorang yang cerdas lagi utama, adib (sastrawan) lagi sempurna, Teungku Lam Pucuk ibni Jalaluddin - semoga Allah Mengampuninya - telah mempelajari dari saya sejumlah bidang ilmu pengetahuan, dan mengaji kepada saya sekumpulan kitab-kitab dan matan-matan, sedangkan saya adalah hamba yang faqir (sangat memerlukan) kepada Allah, Muhammad Marhaban ibni Muhammad Shalih. Ia juga telah belajar dari selain saya sekian banyak ilmu pengetahuan, dan adalah pemuncak dalam belajar baik dari sisi kecerdasan maupun dari sisi kepahaman. Ia telah meminta ijazah dari para ulama yang besar-besar dan utama di zaman ini, dan mereka telah menganugerahkan ijazah itu kepadanya serta memberikannya hak untuk meng-ijazahkan ke jalan (sanad) mereka.
Ia telah meminta kepada saya untuk meng-ijazahkannya sekalipun saya tidaklah termasuk ke dalam barisan para ulama yang besar-besar dengan berbagai ilmu yang mereka peroleh dan kumpulkan. Bersama matahari, sungguh sinar bintang akan menghilang, dan bunga-bunga di taman sesungguhnya tidak akan dipetik bersama alang-alang. Kepada orang semisal saya, manakala ada para ahli ilmu pengetahuan, sungguh tidak layak untuk dimintakan ijazah. Manalah ada yang dapat dipegang dari seorang yang tidak lebih dari gambaran (bayang) seorang pelajar?!*
Tetapi ketika saya tidak menemukan cara untuk melepaskan diri dari keharusan memenuhi keperluannya, dan tidak ada pula jalan untuk membantahnya, maka saya segera memenuhi permintaan tersebut dan melaksanakan keinginannya. Saya telah memperkenankan permintaan itu ketika dimintakan dan segera melakukannya supaya tidak lagi menanti-nanti dan berharap-harap, dan dalam rangka meneladani budi pekerti para tokoh yang utama lagi istimewa. Dari itu, saya menyatakan: saya telah mengijazahkan Teungku Lam Pucoek tersebut seluruh ilmu yang saya peroleh dari guru-guru saya - semoga Allah melipatgandakan pahala mereka - baik itu merupakan periwayatan maupun pembacaan, dan ia mesti berbuat taqwa kepada Allah, karena sesungguhnya itu merupakan cahaya hati dan batin. Semoga pula ia tidak melupakan saya dalam doa-doanya, sebab sesungguhnya saya adalah seorang hamba yang sangat banyak memiliki cela dan keburukan. Semua itu seraya memohon dengan kemurahan dan anugerah Allah, semoga Ia memberikan taufiq (kemudahan) bagi diri saya dan dirinya, dan semoga Allah menutup umur saya dan umurnya dengan amal-amal yang baik sekaligus dengan memperoleh segala hal yang didambakan. Amin.
Ditulis pada hari Selasa, 3 Rajab yang Asham** 1259
Selesai
*Ini merupakan penggalan syair mu'allaqat Umru'ul Qais yang semestinya diterjemahkan: "Manalah ada gunanya menangisi puing-puing yang telah lenyap!" Akan tetapi di sini, penulis juga tidak ada salahnya menggunakan penggalan tersebut untuk makna lain, yang juga tepat. Dalam syair, "rasm daris" (pola na't-man'ut) bermakna bekas-bekas yang telah lenyap, dan mu'awwil bermakna jerit tangis. Sedangkan dalam teks ini, rasm": gambaran atau lukisan; "daris": pelajar, "rasm daris" (pola idhafah) bermakna gambaran (bayangan) pelajar; dan "mu'awwal": pegangan atau sandaran. Senada dengan kalimat-kalimat sebelumnya, di sini, penulis ingin mengungkapkan kerendahan hatinya.
**Asham: tuli; disebut untuk bulan Rajab bulan yang tuli karena merupakan bulan haram dan tidak terdengar pekikan perang.




Oleh Musafir Zaman
Dikutip dari group Mapesa

Posting Komentar

0 Komentar