Setia Kawan
Kesetiakawanan bukan suatu yang mudah untuk dijumpai dalam lingkungan kehidupan normal. Kecenderungan untuk lebih mementingkan diri sendiri, di sisi yang lain, suatu hal yang sulit diubah. Lebih memilih diri sendiri adalah watak yang umum. Dalam kerumunan yang dengan berapi-api dan emosional meneriakkan cita-cita sosial sekalipun, kesetiakawanan adalah hal yang nadir.
Lingkungan di mana kesetiakawanan tampak sering tampil adalah lingkungan di mana individu-individunya benar-benar bisa merasakan kehidupan senasib-seperjuangan. Para prajurit di medan perang, misalnya, atau kelompok-kelompok rentan di mana saling menjaga dan peduli menjadi asas keberlangsungan. Perasaan senasib-seperjuangan menyemangatkan kesetiakawanan. Tapi, perasaan itu sendiri sulit tumbuh dalam kehidupan terkungkung ambisi-ambisi pribadi.
Namun, baik dalam lingkungan kehidupan senasib-seperjuangan maupun di luarnya, sikap kesetiakawanan adalah anugerah yang Allah berikan kepada pribadi-pribadi yang dikehendaki-Nya. Pribadi-pribadi yang selalu bisa merasakan kebersamaan, dan menyadari tujuan-tujuan bersama; selalu dapat menghayati kehidupan senasib-seperjuangan, dan menjadikan kesetiakawanan sebagai salah satu prinsip hidupnya.
Saya membayangkan pribadi seperti itu setelah baru saja selesai menilik (melihat dengan sungguh-sungguh) bunyi inskripsi pada satu batu nisan di Gampong Punge Blangcut, Kota Banda Aceh.
Inskripsi dengan kaligrafi indah itu berbunyi:
هذا القبر المعفو الحسيب النسيب العبيد الله المسمى تن حامية الله
ابن محمد شاه تو[في] ليلة الجمعة إنثا عشر من جماد الأخر والله يعازيه الله
(Inilah kubur orang yang [mudah-mudahan] dima'afkan Allah, berketurunan mulia, 'abid, yang bernama Tun Hamiyatu-Llah ibnu Muhammad Syah, meninggal pada malam Jum'at, 12 Jumada-l-Akhir, semoga Allah selalu menjadikannya sabar. Allah!)
Bagian Inskripsi pada batu nisan Tun Hamiyatu-Llah yang berada di kompleks makam Tuan Di Kandang Punge Blang Cut, Jaya Baru, Kota B. Aceh |
Tahun wafat Almarhum tidak ditemukan pada batu nisan, tapi dari tahun wafat saudara perempuannya, Sitti Rasyidah binti Paduka Raja Muhammad Syah yang wafat pada 934 H, dan dimakamkan dalam kompleks kubur yang sama, dapat diyakini bahwa dia juga telah hidup dalam paruh pertama abad ke-10 H (ke-16 M).
Nama Almarhum yang disebutkan pada batu nisan adalah Tun Hamiyatu-Llah تن حامية الله. Tun merupakan gelar, dan Hamiyatu-Llah terdiri dari dua kata: hamiyah حامية, dan Lafzhu-l-Jalalah, الله.
Kata yang membuat saya membayangkan pribadi setia kawan ialah حامية (Hamiyah).
Dalam Lisanu-l-'Arab (لسان العرب):
والحامِيَةُ: الرجلُ يَحْمِي أَصحابه فِي الْحَرْبِ
(Al-hamiyah adalah laki-laki yang menjaga kawan-kawannya dalam perang)
Nama Almarhum Hamiyatu-Llah حامية الله, dalam bentuk kombinasi seperti ini berarti Hamiyah-nya Allah, sama seperti bentuk kombinasi nama 'Adilu-Llah عادل الله, orang adil-nya Allah, yang merupakan nama seorang sultan Aceh dalam abad ke-10 H (ke-16 M). Makna dari nama Hamiyatu-Llah, dengan demikian, dapat dipahami bahwa ia adalah seorang laki-laki yang setia kawan, menjaga kawan-kawannya dalam perang dan saat-saat sulit, yang dianugerahkan oleh Allah Subhahanu wa Ta'ala untuk orang-orang di masanya.
Boleh jadi, Hamiyatu-Llah adalah nama lahir Almarhum yang diberikan karena terilhami oleh seorang tokoh yang terkenal dengan sikap setia kawan. Namun, saya lebih condong untuk meyakini bahwa nama tersebut diperoleh Almarhum lantaran menonjol dengan sikap tersebut di masa hidupnya. Dia adalah tokoh yang tersohor dengan kesetiakawanannya. Kata al-musamma المسمى yang berarti "bernama" dapat juga berarti bergelar, lagi pula nama juga dapat diberi, ditambahkan, atau diganti setelah dewasa. "Engkau adalah Sahl," sabda Rasulullah Shalla-Llahu 'alaihi wa Sallam kepada kakek Ibnu-l-Musayyab menggantikan nama Hazn yang diberikan ayahnya.
Nama Hamiyatu-Llah diperoleh Almarhum oleh karena sikapnya yang masyhur itu, tampaknya juga didukung oleh kalimat doa di akhir epitaf: والله يعازيه.
Seingat saya, kalimat doa tersebut baru hanya ditemukan di batu nisan ini. يعازي adalah bentuk fi'il mudhari' dari عازى dalam wazan فاعل. Kata ini berasal dari عزاء yang berarti sabar; dibentuk dengan wazan فاعل, di sini, untuk memberikan makna "menjadikan" (للصيرورة), yakni semoga Allah menjadikannya orang yang memiliki kesabaran, seperti kalimat عافاه الله, semoga Allah menjadikannya orang yang memiliki 'afiat.
Doa والله يعازيه mengesankan apa yang selalu dijalani Almarhum dalam hidup, yakni menjalani kesabaran. Dan sudah pasti, orang yang memiliki sifat kesetiakawanan mesti memiliki kesabaran yang tidak tanggung-tanggung. Untuk tidak membasahi lidah dengan setetes air sebelum kawan pulih hausnya adalah suatu kesabaran yang hanya Allah Yang Maha Kuasa untuk menganugerahkannya!
Semoga Allah Mengampuni Almarhum, dan Merahmati kita dengan amal shalih yang telah Almarhum perbuat untuk Islam dan umatnya.
Indrapuri, 25 Muharram 1446.
Foto-foto: Tuan Mizuar Mahdi Al-Asyi
Oleh Musafir Zaman
Kompleks makam Tuan Di Kandang Gampong Punge Blang Cut, Jaya Baru, Banda Aceh |
Nisan kaki milik Tun Hamiyatu-Lllah bin Muhammad Syah Gampong Punge Blang Cut, Jaya Baru, Banda Aceh |
0 Komentar