Zawiyah dan Khanqah dalam Khazanah Pendidikan Islam

Bangunan Zawiyah di Gampong Miruk, Aceh Besar (Foto: Syahrul)

Oleh: Aridho Hidayat Alif
Peneliti di Masyarakat Peduli Sejarah Aceh

Zawiyah/زاوية (bentuk tunggal), Zawaya/زوايا (bentuk jamaknya) menurut bahasa bermakna "Bagian pojok dari rumah atau Masjid, sebagai tempat berkhalwatnya para sufi tarekat", namun kemudian definisi ini berkembang menjadi tempat pengajaran ilmu Islam, pendidikan/tarbiyah kejiwaan, pengarahan keagamaan dan seterusnya. 

Zawiyah dipimpin oleh seorang Syaikh thariqat tertentu, dan dibantu sejumlah muqaddam/para murid senior yang sudah memperoleh ijazah tarbiyah dan thariqat dalam ranah pengajaran, tarbiyah bagi para murid.

Zawiyah/Zawaya hadir sebagai salah satu institusi pendidikan dan pengajaran Ilmiah dalam khazanah warisan Islam. Tercatat dalam sejarah, Zawiyah pertama kali hadir di abad ke-5 H/9 M, pada awalnya zawiyah dikenal dengan istilah Dar al-Karamah/دار الكرامة, "Rumah Kemuliaan", ini karena Zawiyah tidak sebatas berfungsi sebagai lembaga pengajaran dan pendidikan keagamaan, tetapi juga sebagai tempat singgah bagi siapapun, walhasil Zawiyah akan mengkhidmah kebutuhan istirahat, makanan dan lain-lain bagi para tetamu yang berada di sana.

Pendanaan keberlangsungan Zawiyah umumnya adalah hasil Infaq, hadiah dari para donatur, seperti Sulthan, pejabat kesultanan, orang kaya dan para dermawan. 

Zawiyah tersebar di hampir Semenanjung Jazirah Arab, Asia Barat, Afrika Utara dan Tengah. Untuk konteks Mesir, Zawiyah baru hadir tersebar di sana pada era Dinasti Ayyubiyyah pada akhir abad 6-7 H/12 M, kemudian pada era Dinasti Mamlukiyyah (7- 10 H/13-16 M), era Dinasti Ustmaniyyah (setelah tahun 922-923 H/1517 M). 

Istilah Zawiyah dikenal juga dengan sebutan Khanqah/Khanqawat kedua istilah ini berfungsi sebagai lembaga pengajaran dan pendidikan Islam, khususnya yang berafiliasi kepada thariqat shufiyyah tertentu.

Zawiyah dan Khanqah tidak dapat dibendung pengaruh besarnya di kalangan masyarakat Islam Mesir, sehingga para Sulthan, Putra Mahkota, Pejabat kesultanan mengambil peranan strategis dalam pembangunan, pengelolaan lembaga tesebut. 

Peranan Zawiyah/Zawaya di Mesir beredar pada 3 ranah utama. 

1. Ilmu/علم, peranan keilmuan, pengajaran, pendidikan bagi para murid dan masyarakat. 

2. Dzikir/ذكر, sisi kerohanian Islam yg murni. 

3. Khidmat/خدمة, perkhidmatan sosial masyarakat, bangsa dan negara, tanpa melihat latar belakang perbedaan dalam madzhab, warna, bahasa, pemikiran, agama dst. 

Sebenarnya ada sejumlah istilah yang digunakan untuk lembaga ilmiah tersebut, di Mesir kita kenal dengan sebutan Zawiyah/Zawaya, Khanqah/Khanqawat, di Afrika Utara/Barat Jauh dunia Islam,  disebut dengan Zawiyah/Zawaya, di Yaman disebut dengan Rubath/Ribath/Arbithah, di Irbil, Kurdi Irak dikenal dgn sebutan Hujrah/Hujurat dst. 

Sulthan Asyraf Barsybay al-Jasyinkir (Sultan ke-12 Dinansti Mamlukiyyah Burjiyyah, W 709 H/1309 M) membangun Masjid dan Khanqahnya di Kairo pada tahun 707 H/1307 M, Khanqah tersebut bernama al-Khanqah al-Baibarsiyyah, beliau mengelolanya dengan telaten, kata Sejahrawan al-Maqriziy dalam buku Khuthathnya (W 845 H/1442 M) tentang Khanqah tersebut "-al-Khanqah al-Baibarsiyyah-hadir sebagai khanqah teragung di Kairo... "

Imam Jalaluddin as-Suyuthiy asy-Syafi'iz asy-Syadziliy Ra (W 911 H/1505 M) di antara yang pernah berkhalwat suluk di sana, bahkan Imam as-Suyuthiy menulis tiga risalah terkait hal ihwal al-Khanqah al-Baibarsiyyah ini.

Al-Khanqah al-Baibarsiyyah Kairo,  yang berdiri pada 707 H/1308 M,
200 tahun kemudian Imam Jalaluddin as-Suyuthiy pernah menjadi
murid dan menghuni salah satu dari ruang zawiyah tersebut

Di abad ke-19 dan 20 Zawiyah tidak hanya sebatas lembaga keilmuan dan pembinaan jiwa muslim yang ideal, tetapi sebagai tempat mengatur strategi perang melawan kolonial penjajahan, kita sebut saja az-Zawiyah as-Sanusiyyah di Libya, Syaikh Sa'id an-Nursiy dengan Madrasah Nurnya di Turki.

Hingga hari ini peranan Zawiyah Mesir Khususnya, dan di negara-negara Islam lainnya senantiasa masih sangat berarti, peranan keilmuan, keagamaan, sosial masyarakat, bangsa dan negara begitu nyata, kita mungkin dapat menuliskan berjilid-jilid buku terkait itu. 

Di Aceh khususnya apakah wujud lembaga tersebut?

Dengan melihat sisi definisi dan fungsi, Dayah sangat memenuhi syarat untuk itu, walhasil sering kali kata Dayah disebutkan adalah turunan atau perubahan pelafadzan dari kata zawiyah. 

Untuk konteks Indonesia, istilah Pesantren pun sangat setarik garis lurus dengan maksud dan fungsi zawiyah tersebut. Kita tidak perlu menjelaskan bagaimana peranan Dayah dan Pesantren dalam dunia keilmuan, pendidikan dan sosial kemasyarakatan, berbangsa dan bernegara, biarkan Dayah, Pondok Pesantren sendiri menjelaskan dan menceritakan tentang dirinya sendiri.

Baca juga: Zawiyah Miruk, Aceh Besar: Jejak Masa Lampau Tasawuf di Aceh

Sisa masjid tua Baanten
Foto: Haji Sariat Arifia

Contoh dari Khanqah, ruangan-ruangan tersebut digunakan oleh para murid untuk berkhalwat dalam thariqat tertentu, khanqah ini dikenal dengan nama al-Khanqah al-Baibarsiyyah, salah satu ruangannya pernah ditempati oleh Imam as-Suyuthiy Ra, mihrab tersebut adalah mihrab untuk Imam dalam shalat jama'ah.

Sanking cinta dan berkesannya Imam as-Suyuthiy dengan Zawiyah/Khanqah tersebut, beliau menyusun tiga buah risalah ringkas terkait al-Khanqah al-Baibarsiyyah tersebut, dicetak oleh Lembaga Umum Perbukuan Mesir-Kementerian Kebudayaan.

Syaikh al-Khathib asy-Syirbiniy Ra (W 977 H/1570 M), sekarang berada di kompleks pemakaman al-Mujawirin, depan Masyakhah/Diwan Grand Syaikh al-Azhar, Kairo. Foto ini adalah bagian mihrab zawiyah beliau berbentuk persegi empat, makam Syaikh asy-Syirbiniy berada di depan mihrab zawiyah ini. Syaikh al-Khatib asy-Syirbiniy pemilik karya kitab:
- al-Iqna' (syarah matan Abi Syuja')
- Mughni al-Muhtaj (syarah bagi kitab Minhaj ath-Thalibin)


Zawiyah Syaikh Abdurrauf al-Munawiy (W 1031 H/1622 M),
di antara ulama besar bermadzhab Syafi'iy.


Zawiyah Syaikh al-Khatib asy-Syirbiniy Ra dari dalam,
tampak makam beliau di bagian depan para santriwati al-Azhar asal Aceh,
dan di belakang para santriwan tersebut adalah mihrab zawiyah yang menghadap kiblat.

Tempat khalwat Sayyidah Nafisah binti al-Hasan bin Zaid bin al-Hasan bin 'Ali bin Abi Thalib.
Sayyidah Nafisah (145-208 H/ 762-864 M) kelahiran Makkah, era dinasti 'Abbasiyyah, beliau seorang Ahli Fiqh, Hadist, Al-Quran kenamaan yang mewakili  tokoh perempuan Islam dalam sejarah, beliau bergelar Nafisah al-'ilmi/نفيسة العلم, gelar yang sangat agung yang disematkan kpdnya karena penguasaan dan pemahaman akan ilmu secara mendalam.
Suami beliau adalah Sayyiduna Ishaq bin Ja'far ash-Shadiq Ra.
Pada tahun 193 H/809 M beliau dan keluarga besarnya melakukan perjalanan rihlah ilmiah ke  negeri Mesir, ketika masyarakat Mesir mengetahui kedatangan beliau, masyarakat Mesir menyambut beliau di negeri 'Ariys (sekarang ibu kota Prov. Sinai Utara, berjarak 344 ke Timur Laut dari Kairo), dengan sambutan yang penuh suka cita dan kemeriahan, berharap segera dapat mereguk madu ilmu dari beliau.


Wali/ Gubernur Dinasti 'Abbasiyyah untuk Mesir ketika itu bernama as-Sariy bin al-Hakam, menghibahkan rumah besar untuk Sayyidah Nafisah dan segenap keluarganya.
Dua hari dalam sepekan masyarakat mengunjungi beliau demi menuntut ilmu langsung/bertalaqqi dan meminta nasehat dari beliau, sisa lima hari dalam sepekan, beliau khususkan dirinya untuk beribadah dan berkhalwat di tempat khalwat ini.
Tahun 198 H/814 M, Imam kita Muhammad bin Idris asy-Syafi'iy Ra memasuki negeri Mesir, Imam asy-Syafi'iy berguru langsung pada tokoh wanita ini, hubungan ilmiah antara mereka berdua begitu kuat, Imam asy-Syafi'iy rutin singgah di kediaman beliau, apalagi Masjid Fusthath (Masjid pertama di Mesir, disebut juga dengan Masjid Sayyidina 'Amr bin 'Ash) tempat Imam asy-Syafi'iy mengajar melewati kediaman Sayyidah Nafisah.
Bahkan di bulan Ramadhan, sering Imam asy-Syafi'iy yang mengimami shalat tarawih untuk sayyidah Nafisah di kediamannya bersama keluarga dan murid.

Diriwayatkan oleh Sayyidah Zainab binti Yahya al-Mutawwij (keponakan Sayyidah Nafisah) "Aku telah mengkhidmah, membersamai Bibiku, Sayyidah Nafisah selama 40 tahun, tak pernah ku saksikan beliau tidur di waktu malam, dan berbuka puasa, kecuali di dua hari raya dan hari tasyriq... Bibiku adalah seorang Hafidzah Al-Quran, ahli Tafsirnya, setiap beliau membaca Al-Quran senantiasa air matanya mengalir."
Diriwayatkan juga, bahwa beliau menggali lubang kuburannya dengan kedua tangannya sendiri, lubang itu kini menjadi titik beliau dimakamkan sekarang.

Ini adalah titik makam, liang kuburan yang beliau gali sendiri, tempat Sayyidah Nafisah bersemayam di bilangan Fusthath lama-Kairo. Di titik ini disebutkan ulama ahli thabaqat, beliau mengkhatamkan Al-Quran sebanyak 190 khataman, ditambah dengan ibadah lainnya, seperti shalat. Beliau kerap menangis tersedu-sedan dalam pelaksanaan ibadahnya tersebut. 
Imam adz-Dzahabiy dalam Siyar A'lami an-Nubala'nya menceritakan biografi beliau begitu memukau, demikian juga Imam Abdul Wahhab asy-Sya'raniy dalam Thabaqat Kubranya menjelaskan tentang itu
.


Sejaran As'ad 'Ali dalam karya ini mencatatkan bagaimana kuatnya peran sufi, thariqat zawiyah dalam usaha bela agama, bangsa dan tanah air, kita mungkin boleh menambahkan bagaimana Dayah, para ulama, sufi, thariqat ikut andil dalam usaha mulia tesebut.

Ada ratusan Zawiyah, Khanqah di Mesir dalam lintasan era dinasti-dinasti Islam yang beredar. Sejarawan Mesir Ibn Duqmaq al-'Alaiy (W 809 H/1406 M) menuliskan karya yang berjudul "az-Zawaya bi al-Jami' al-'Atiq bi Mishra al-Fusthath", Zawiyah-zawiyah di Masjid Tua, Mesir Fusthath, masih dalam bentuk manuskrip. 

Rujukan ilmiah terkait sejarah madrasah, lembaga keilmuan Islam, fokus utama terkait era Ayyubiyyah dan Mamlukiyyah. Karya Sejarawan Islam abad 10 H,  Syaikh Abdul Qadir an-Nu'aimiy ad-Dimasyqiy Ra (W 927 H/1520 M), Cetakan Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah : Beyrut).

Rujukan ilmiah terkait Arbithah/Ribath/Rubath keilmuan di Makkah yang mulia, era Mamlukiyyah. Cetakan Lembaga al-Furqan : London : Inggris.

Rujukan ilmiah terkait Arbithah/Ribath/Rubath keilmuan di Makkah yang mulia, era Utsmaniyyah. Cetakan Lembaga al-Furqan : London : Inggris.


Untuk pedoman mengenal warisan bangunan tinggalan sejarah Islam yang pernah hadir di Mesir, dari era Abbasiyyah hingga Ustmaniyyah, mulai dari Masjid, Zawiyah, Khanqah, Madrasah, Kuttab, Istana, Villa, makam, perpustakaan, jalan, lorong, sarana dan prasana umum, dll, maka karya 8 jilid Sejarawan Mesir, Hasan Qasim Ra ini yang sangat kita rekomendasikan. Karya ini begitu bernas dan detail dalam merekam itu semua, ditambah lagi dengan foto dokumentasi lama klasik, dan gambar sketsa para pelancong eropa abad 16, 17, 18 Masehi. 


Karya masa kini, Guru kami, Sejarawan Prof. Dr. Khalid 'Azb Ha, satu jilid tebal, terkait kajian arsitektur Islam, definisi, ragam, corak dan filsafat seni bangun Islam.
Cetakan ad-Dar al-Mishriyyah al-Lubnaniyyah : Kairo.


Posting Komentar

0 Komentar