Lhokseumawe dalam Lintasan Sejarah

SEJARAH AWAL 


NISAN ahli Pelayaran/navigator bernama 
Idapun Ahmad bin Idapun Ahmad. 
Pada batu nisan terpahat kalimat-kalimat tauhid
 dengan kaligrafi yang dibentuk sedemikian rupa
 menyerupai bentuk-bentuk kapal/jung 
yang populer di masa itu. 
Nisan ini bersama ratusan nisan-nisan makam 
bersejarah lainnya berada di Alue Lim, 
Kecamatan Blang Mangat. 
Foto: Repro CISAH 
LHOKSEUMAWE adalah daerah yang terletak di sebuah teluk laut Selat Malaka, di pesisir utara Provinsi Aceh. Pada zaman lampau, daerah ini lebih dikenal dengan nama Teluk Samawi sebab erat kaitannya dengan sejarah Samathar (Sumatra/ Samudra).

Para ahli purbakala menyebutkan bahwa manusia telah menghuni daerah ini sejak zaman batu. Ini dibuktikan dengan penemuan kerang sampah dapur (Kjokkenmoddinger) yang berasal dari masa mesolithikum (Zaman Batu Tengah) di Lhokseumawe. 

Namun awal kemashuran Teluk Samawi yang sesungguhnya adalah sejak ia menjadi sebuah bandar dan dermaga yang ramai di jalur pelayaran Selat Malaka pada zaman Kerajaan Samudra Pasai/Sumatra (abad ke-13 M s/d ke-16 M).


Dalam masa itulah, daerah ini secara khusus menjadi daerah pemukiman para pelaut dari Kerajaan Samudra Pasai yang terkenal sebagai pengembang Islam ke seluruh Asia Tenggara. Hal ini telah dibuktikan oleh adanya situs-situs pemakaman kuno di mana beberapa nama ahli pelayaran dan navigator disebutkan pada batu nisan makam. 

Dari itu dapat diyakini pula bahwa berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkaitan dengan pelayaran serta manajemen pelabuhan telah dikembangkan di daerah ini sejak zaman tersebut, dan telah menjadi suatu sumbangan penting bagi peradaban Islam.


MASA KEMUDIAN 

MAHARAJA Mangkubumi bersama para tokoh dan rakyat Bandar Teluk Samawi
(Lhokseumawe) pada tahun 1894. Sumber foto KITLV.
DALAM masa Kerajaan Aceh Darussalam, Lhokseumawe atau Teluk Seumawe memiliki kedudukan yang penting dalam kerajaan sebab rajanya mempunyai pertalian darah langsung dengan sultan sebagaimana diungkapkan oleh G. P. Tolson dalam tulisannya mengenai Aceh. 

Dalam tulisan yang terbit pada 1880, Tolson mengatakan, "Di antara semua raja- raja negeri yang berada di pesisir utara dan timur Aceh, satu-satunya raja yang mengalir darah kesultanan Aceh di dalam nadinya hanyalah Tengku Maharaja Teluk Samawi, dan ia secara resmi memegang kekuasaan atas negeri-negeri di sepanjang pesisir timur, serta bertindak sebagai wakil sultan dalam mengumpulkan pembayaran pajak mereka." 






SURAT izin pelayaran yang dikeluarkan 
Tengku Maharaja Mangkubumi, 
penguasa Bandar Teluk Samawi, 
kepada Nakhoda Teuku Mat Amin. 
Sebagaimana tertera, surat itu dikeluarkan 
pada tahun 1242 H/1826 M., 
dan segel Teungku Maharaja Mangkubumi 
Bandar Teluk Samawi yang dibubuhi atas 
surat izin pelayaran. Inskripsi: 
"Ini 'alamah (cap?) 
Bandar Teluk Samawi, sanah .31. 
(Sumber foto: Adi Fa/Atjeh Gallery).
Sebagai sebuah pelabuhan di tepi laut Selat Malaka, Teluk Seumawe juga telah dipuji-puji oleh seorang Kapten Laut Belanda, von Schmidt, sebagai sebuah daerah pelabuhan yang aman, nyaman, tenang dan sehat, dan secara keseluruhan merupakan pelabuhan terbaik di pesisir utara Aceh, dan sama sekali tidak kalah dengan pelabuhan Cilacap.


 PETA Lhokseumawe yang dilampirkan seorang Kapten Laut Belanda, Von Schmidt, dalam bukunya yang berjudul 
Telok Semawe De Beste Haven op Atjeh's Noordkust (Teluk Semawe Pelabuhan Terbaik di Pesisir Utara Aceh) 
pada tahun 1887.






TUAN Syaikh Muhammad Al-Kalali, 
seorang tokoh terkenal di Asia Tenggara 
berasal dari Hadramaut, yang kemudian 
bermukim di Kota Lhokseumawe sampai 
dengan wafatnya pada 1365 H (1946). 
Ia adalah penerbit Majalah Al-Imam, 
majalah Islam pertama di Asia Tenggara.
 Prof. HAMKA dan ayahnya pernah berkunjung 
ke kediaman Al-Kaiali di Lhokseumawe pada 1930. 
(Sumber foto: KITLV).






***Dikutip dari brosur terbitan Cisah (Central for Information of Samudra Pasai Heritage) kerjasama Dinas Syariat Islam Kota Lhokseumawe pada pameran MTQ ke XXXII Tingkat Provinsi Aceh di Nagan Raya.