Tahun-Tahun Menjelang Perang Aceh Dengan Belanda

(Catatan pinggir untuk tajuk ini: Merupakan suatu kenyataan sejarah tatkala banyak negeri Islam yang lain di Asia Tenggara telah melepaskan diri dari Khilafah Islamiyyah, secara terpaksa maupun sukarela, Aceh Bandar Darussalam justru masih sangat setia. Maka, adalah sesuatu yang sangat diharapkan pada hari di muka adanya sebuah kajian serius tentang “Aceh dan Khilafah Islamiyyah” yang akan menjadi hidangan pemikiran baru bagi kita.)
Ketegangan antara Aceh dan Belanda semakin memuncak setelah kepulangan Sultan Manshur Syah bin Sultan Jauharul ‘Alam Syah ke rahmatullah (1870).
Mohammad Said menukilkan keterangan dari George Kepper di mana yang terakhir ini mengatakan ia mengutip dari “Juwaib”, sebuah surat kabar berbahasa Arab, yang menurutnya (Kepper), paling berpengaruh di Turki—Said sebelum itu memberi catatan begini: “.. jika benar yang apa yang dikutip George Kepper dalam bukunya.”
Di antara isi keterangan itu ialah:
“Dalam tahun 1288 H (1871 M), Belanda menuntut beberapa pulau wilayah Aceh sekaligus izin untuk membangun mercusuar di tempat-tempat yang diinginkannya. Terhadap tuntutan ini Aceh menjawab, Belanda tidak dapat menuntut apapun juga kecuali seizin Sultan Kerajaan Utsmaniyah. Dan mengenai mercusuar, Sultan menjawab bahwa itu akan dibangun oleh Aceh atas biaya sendiri. Terhadap jawaban itu Belanda tidak puas, lalu dilancarkannya ancaman-ancaman. Karena itu pemerintah Aceh meminta pertimbangan Sultan Turki dengan mengirimkan utusannya Abdurrahman Az-Zahir Effendi, bersama salah seorang terkemuka di negeri itu, Haji Abbas Effendi. Setelah keberangkatan utusan ini, yang juga adalah berpangkat Mangkubumi dari Sultan Aceh, Belanda melancarkan serangannya. Sudah umum diketahui bagaimana orang Aceh telah berhasil memukul mundurnya.”
Kiranya, perihal yang dimaksud dalam keterangan tersebut adalah tentang pengiriman surat ini (lihat: gambar) dan beberapa lainnya, berikut persoalan-persoalan yang termaktub di dalamnya .
Teks surat ini akan menambah jelas peristiwa yang terjadi—bahkan meluruskannya—selain juga memuat beberapa data sejarah yang penting, yang semua itu—untuk sementara—dipercayakan kepada kecermatan para pembaca untuk mengetahuinya.
Surat yang dikirimkan oleh utusan sultan Aceh Sayyid 'Abdurrahman Az-Zhahir Efendi kepada Wali Hijaz supaya menjadi perantara antara Aceh dan Turki
Berikut teks surat:
[1] حضرة سعادة سيدنا سيد الجميع أمير مكة المكرمة دولتلو سيادتلو أفندم حضرتلري دام مجده وعلاه أمين اللهم أمين
[2] كما هو عند حضرتكم معلوم قد تكررت المراسلات والإفادات والمكاتبات بيننا في خصوص إجراء منسوبيتنا على الدولة العلية ولم تزل سماعنا إلى ما أشرفوا إليه ناظرة
[3] وأذهاننا بالتفكير فيه كل وقت حاضرة وفي الحقيقة أن مملكتنا أرض آجه بحدودها المعلومة ملكنا الموروث عن أبائنا وأجدادنا من قديم الزمان سالكون خلفا بعد سلف
[4] على ما قرره الأقدمون من وقتهم إلى الآن مستقلون بمملكتنا متميزوم بصولتنا ليس لنا تعلق بأحد من الدول الأجنبية وبحكام ولا لنا ارتباط مع أحد مطلقا بل مملكتنا
[5] مستقلة في أمرها في خيرها وشرها وعسرها ويسرها مع علمنا بأن السلطان الأعظم هو سلطان المسلمين والإسلام وهو صاحب الخلافة العظمى على جميع الأنام
[6] ولا يكون لنا بعد الله اعتمادا إلا عليه ولا التجاء إلا إليه فانتماءنا الأعظم وارتباط أمرنا الأتم والألزم إنما لخصوص الدولة العلية العثمانية أدامها بالعز والإقبال رب البرية فإن
[7] بها عز الإسلام والإيمان في جميع الأماكن والبلدان والدليل على انتمائنا إليها ومنسوبيتنا ومحسوبيتنا عليها في السابق واللاحق صدور أمرنا على حكومتنا
[8] بما هو لأصولهم موافقة كنشر بنادر الدولة العثمانية في الأساطل والمراكب ووقوع ذكرهم والدعاء لهم في الجامع والمواكب وإنما عند حصول التباعد والانقطاع لم تشح
[9] نفوسنا بذلك ولم تطمئن قلوبنا بما هنالط فصار القرار والاتفاق من الأمير والمأمور في جميع مملكتنا من أهل السفر والمقام على أن يرسلوا رسولا للدولة العلية مستعينين
[10] بعونكم ونهجتكم السنية يعبر عن مطلوبنا ويكشف خبر مرغوبنا وهو أن يدوم لنا وللرعايا الانتماء إلى سلك الدولة العلية العثمانية والظل بظل سلطنتها السامية
[11] البهية وتكون مملكتنا تحت نظر الدولة العلية وحمايتها وتصرفها فينا بما تشاء وتختار بوقايتها وتقوم الدولة الشاهانية بما تطلب منا في كل عام من
[12] جميع الوجوه على أحسن قيام لتأمين على ديننا وأنفسنا من كل وجه ونحن طائعون منقادون لمن ترسله الدولة العلية العثمانية من أمرائها علينا
[13] لإجراء ما تقتضيه أنظارها السامية فينا فتعين لدينا إرسال وكيلنا المتصرف المطلق المفوض في أمرنا مدبر الملك السيد عبد الرحمن الزاهر
[14] للسعي بهمتكم في تمام المطلوب على الوجه المرغوب وها هو حامل خطنا المعتمد وواصل به لأعتابكم واعتمادنا في تمام هذا الأمر على الله ثم عليكم وهو
[15] تأميننا جميعا من كل مكروه حسب إفادتكم السابقة لأنه ليس لنا واسطة مع الدولة العثمانية غيركم فالمأمول من مكارمكم وعلو همتكم مساعدته و
[16] ملاحظته من سيادتكم ليحصل الأمن لنا وللمسلمين ولكم الأجر من رب العالمين ثم إن استحسن نظر دولتكم مع حضرة والي باشا قضاء مطلوبنا من طرفكم سريعا
[17] بإرسال مركب وابور (؟) وفيه واحد مأمور لأجل الكشف والتحقيق فإذا وجد الأمر كما أفدناكم يجري اللازم أو ليعود لحضرتكم بما يراه وإن رأيتم خلاف ذلك فقد أصحبنا
[18] السيد المومئ إليه عريضه للدولة العثمانية في خصوص ما ذكر ونرجوكم عدم المؤاخذة في طول المدة فلا زلتم مبلغينا المرام بحرمة سيدنا محمد عليه
[19] أفضل الصلاة والسلام والكعبة والمسجد وبحرمة الحرام أفندم حرر في 27 شوال سنة 1289
أمير دوا فوله انم
خاتم : سري ايمام مودا فغليما دوا فوله انم سنة 1278
أمير دوا فوله دوا
خاتم :سري مودا فركسا
Hadarat yang mulia penghulu kami, penghulu semua kami, Amir Makkah Al-Mukarramah, Daulatlu (Devletlu: pemilik negara) Siyadatlu (Siyadetlu: pemilik kekuasan) Hazretleri (hadarat tuan) Afandim—semoga berkelanjutan kejayaan dan ketinggiannya. Amin. Ya Allah, Amin.
Sebagaimana hadarat Tuan maklumi, telah berulang kali berbagai surat-menyurat, pemberitahuan dan (korespondensi) yang telah berlangsung di antara kita menyangkut proses ketergolongan kami dalam Daulah Al-‘Aliyah (Utsmaniyyah), dan masih saja pendengaran kami menanti suara jawaban yang akan diucapkan kepadanya, begitu pula pikiran kami masih saja sedang memikirkannya dalam setiap waktu.
Pada kenyataannya, kerajaan kami, bumi Aceh ini, dengan batas-batasnya yang sudah dimaklumi merupakan milik kami, yang kami warisi dari para orang tua dan kakek moyang kami sejak zaman dahulu.
Dari satu generasi ke generasi berikutnya, kami telah menjalankan ketetapan-ketetapan yang diberlakukan oleh para pendahulu kami semenjak zaman mereka sampai dengan hari ini. Kami merdeka dengan kerajaan kami, teristimewakan dengan kekuasaan kami. Kami tidak mengikuti negara asing dan pemerintah mana pun. Dan kami sama sekali tidak punya keterikatan dengan siapa pun.
Kerajaan kami mengurus diri sendiri, apakah itu dalam keadaan baik maupun buruk, dalam susah maupun senang, dengan disertai kesadaran bahwa sultan agung adalah sultan Islam dan kaum muslimin, dan dialah pemilik khilafah yang agung atas seluruh umat manusia. Ia adalah satu-satunya tempat kami berpegang dan berlindung setelah Allah, tentunya.
Kesetiaan kami yang besar serta keterikatan kepentingan kami yang sempurna dan penuh komitmen secara khusus hanyalah kepada Daulah Al-‘Aliyah Al-‘Utsmaniyyah—semoga Tuhan semesta alam mengekalkan kemuliaan dan keberlanjutannya. Berkat Daulah inilah, sesungguhnya, Islam dan Iman telah tinggi di berbagai tempat dan negeri.
Sebagai bukti atas kesetiaan kami serta ketergolongan dan keterhitungan kami dalam Daulah Utsmaniyyah baik di masa lampau maupun akan datang, adalah dengan kami mengeluarkan aturan kepada pemerintah kami atas dasar-dasar yang sejalan dengan dasar-dasar mereka (Daulah Al-‘Aliyah Al-‘Utsmaniyyah) seperti mengenai penyebaran bandar-bandar (pangkalan-pangkalan?) Daulah Al-‘Utsmaniyyah dalam armada-armada dan kapal-kapal, serta penyebutan nama mereka sekaligus doa untuk mereka di mesjid dan dalam berbagai pawai perayaan (arak-arakan).
Bahkan manakala terjadi kerenggangan dan ketidakharmonisan [antara kami dan Daulah ‘Utsmaniyyah], kami juga tidak pernah meninggalkan semua itu, dan hati kami pun tidak nyaman dengan apa yang terjadi. Maka dari itu lahirlah keputusan dan kata sepakat antara pemerintah dan rakyat di seluruh kerajaan kami, baik itu penduduk asli maupun perantau, untuk mengirim seorang utusan kepada Daulah Al-‘Aliyyah seraya memohon bantuan dan langkah upaya Tuan yang cemerlang, agar utusan tersebut dapat menyampaikan permintaan serta mengungkapkan kemauan kami, yaitu:
Agar kami dan rakyat kami selalu setia di jalur Daulah Al-‘Aliyyah Al-‘Utsmaniyyah serta bernaung di bawah naungan kesultanannya yang luhur dan megah.
Supaya kerajaan kami berada di bawah perhatian dan perlindungan Daulah Al-‘Aliyyah, dan kebijakannya terhadap kami adalah sebagaimana dikehendaki dan dipilihnya untuk menjaga kerajaan kami.
Agar Daulah Syahaniyah (‘Utsmaniyyah) dengan berbagai rupa tuntutannya kepada kami pada setiap tahun, diharapkan dapat menunaikan tugasnya sebaik mungkin dalam melakukan pengamanan atas diri dan agama kami dari berbagai sisi.
Dan kami patuh serta menurut kepada siapa saja Amir yang diutus oleh Daulah Al-‘Aliyyah Al-‘Utmaniyyah kepada kami untuk melakukan langkah-langkah yang menurut pandangannya yang mulia perlu diambil menyangkut kondisi kami.
Dari itu, rasanya perlu bagi kami untuk mengirim duta kami yang berkuasa penuh dan negosiator untuk kepentingan kami, Mudabbir Al-Mulk (pengurus kerajaan; mangkubumi) Tuan ‘Abdurrahman Az-Zahir untuk berupaya memperoleh tekad kuat Tuan dalam rangka mewujudkan permohonan kami sebagaimana yang diinginkan. Inilah dia pembawa surat yang telah kami kukuhkan dan penyampainya ke Jenjang-jenjang tangga Tuan.
Dalam penyelesaian perkara ini kami menyandarkan diri kepada Allah dan kemudian kepada Tuan. Yakni dalam mengamankan kami dari segala marabahaya sebagaimana yang telah dilaporkan terdahulu. Sebab, tidak ada perantara lain antara kami dan Daulah ‘Utsmaniyyah selain daripada Tuan. Maka yang kami idam-idamkan dari berbagai kemurahan hati dan ketinggian tekad Tuan ialah membantu duta kami tersebut serta memperhatikannya supaya dapat tercapailah keamanan bagi kami dan kaum Muslimin, dan semoga pahala dari Tuhan semesta alam terlimpahkan kepada Tuan.
Kemudian dari itu, apabila dipandang baik dalam pandangan daulat Tuan beserta hadarat Wali Pasha untuk memenuhi permohonan kami lewat pihak Tuan, maka mohon segera dikirimkan kapal Wabur dengan disertai di dalamnya seorang suruhan untuk memeriksa dan menyelidiki. Apabila keadaan [di sini] benar sebagaimana yang kami laporkan kepada Tuan, maka hendaklah dilakukan apa yang sudah semestinya, atau [jika tidak seperti dilaporkan,] ia dapat kembali kepada Tuan memberitakan apa yang ia saksikan.
Namun jika Tuan berpandangan lain dari itu, maka telah kami sertakan dengan Tuan yang kami sebutkan tadi (Sayyid ‘Abdurrahman Az-Zahir) bahan pemaparannya kepada Daulah ‘Utsmaniyyah menyangkut hal-hal yang telah disebutkan. Maka dari itu kami mohon untuk dimaafkan atas lamanya waktu [yang diambil untuk mengurusi hal ini], dan sungguh kami masih yakin Tuanlah perantara kami untuk mencapai tujuan dengan kehormatan Penghulu kita Muhammad—ke atas beliau seutama-utama shalawat dan salam—Ka’bah dan Masjidil Haram, serta dengan kehormatan Tanah Haram. Afandim. Ditulis pada 27 Syawwal 1289.

Dua Cap milik Amir Dua puluh Enam dan Amir Duah puluh Dua yang dibubuhi pada Surat
Amir (hulubalang) Dua puluh Enam
Cap: Seri Imam Muda Panglima Dua puluh Enam sanah 1278
Amir (Hulubalang) Dua puluh Dua
Cap: Sri Muda Perkasa



Oleh: Musafir Zaman
(Dikutip dari akun facebook Musafir Zaman di Group Mapesa)