Aset Kebudayaan Aceh Dari Biduen

Bidun (Pelacur)**

Jika Anda hanya tertarik dengan pembicaraan soal uang, maka mari bicara soal uang, dan lupakan soal ilmu pengetahuan, soal visi kebangsaan, soal moral, cita-cita luhur, dan apapun nilai yang tinggi-tinggi lainnya. Mari bicara soal uang jika menurut Anda, yang riil itu hanya uang, dan lainnya hanya omong-kosong belaka. Sebab kita pun bukan pahlawan yang berani menyumbangkan hidup di jalan keyakinan. Biarlah mereka yang sudah mati saja jadi pahlawan. Kita yang masih hidup tidak perlu ikut-ikutan. Maka mari bicara soal uang!
 
Umumnya yang teramati oleh saya selama ini, bicara soal uang adalah bicara soal sumber daya alam mana yang dapat kita kelola untuk menghasilkan uang dan kekayaan. Ada sumber daya alam yang wajar untuk kita kelola, bahkan Agama pun menyuruh mengelolanya supaya menjadi sumber-sumber kemakmuran dan kesejahteraan. Namun, dewasa ini, kita sering jadi panik sehingga yang tak wajar pun kita berdayakan. Kita jadi kalap dan lepas kendali sebab orang lain sudah punya mobil dan rumah mewah, sudah bisa menyekolahkan anak-anaknya di lembaga-lembaga pendidikan bergengsi, pelesiran ke tempat yang “wow!”, “wah!”, “keren!”, dan lainnya. Kita tunggu apa lagi?! Maka kita kemudian bersedia merubah kepribadian, dari pengelola menjadi penghancur. Yang penting uang dan kekayaan, sedangkan yang lain-lainnya itu urusan belakangan.
 
Baiklah, jika demikian adanya kita hari ini, uang dan kekayaan sudah menjadi kiblat ke mana selalu kita menghadapkan arah kita, maka mari kita cari sumber daya lain yang mungkin kita kelola selain alam, dan sekali lagi yang perlu diingat: mari fokus di uang!
 
Hakikatnya, ada sebuah potensi yang luar biasa kayanya namun masih sangat jarang dilirik sebab ambisi kita untuk memperoleh kekayaan pun tanggung-tanggung, bahkan terkadang hanya seukuran batok kepala kita, sehingga potensi yang kaya, yang sebenarnya kita miliki itu, tidak pernah mendapat perhatian. Yaitu potensi kebudayaan, atau tepatnya aset kebudayaan kita.
 
Memang, sebelumnya, perlu diakui bahwa kebudayaan yang kita warisi memiliki karakter yang agung dan menjunjung tinggi nilai-nilai yang luhur. Tapi itu tidak jadi soal. Kita tidak perlu sensitif sekali, dan tetap fokus pada uang. Apalagi, kita sudah terlatih dan terbiasa dengan kemunafikan. Kita juga sudah lumayan terbiasa menjual apa saja asalkan bernilai ekonomis dan menghasilkan uang.
 
Jadi kita tidak perlu resah soal warisan kebudayaan yang berkarakter agung selama bernilai ekonomis. Bahkan, sedikit banyak kita sudah punya pengalaman dalam bisnis kebudayaan ketika membisniskan beberapa warisan kebudayaan, mulai dari saman sampai dengan timphan.
 
Namun ada aset kebudayaan yang dapat dikatakan sama sekali belum kita rambah. Belum kita bisniskan dengan baik dan benar. Padahal, dapat dijamin memiliki prospek yang baik, plus juga dapat memberi makan orang Aceh, menambah lapangan kerja, dan khususnya bagi kita yang sudah lihai dengan cara-cara mengeruk keuntungan sudah tentu memperoleh limpah ruah kekayaan. Malah bukan saja kekayaan, tapi juga pengakuan dan popularitas yang jika kelak kita ingin mencalonkan diri menjadi eksekutif atau legislatif, kita tentu bisa menggunakannya.
 
Aset kebudayaan yang dimaksud adalah warisan atau peninggalan sejarah Aceh. Alangkah luar biasa istimewa dan kayanya! Aset tersebut, andaikata kita dapat mengelolanya sesuai prosedur-prosedur dan petunjuk-petunjuk yang diarahkan oleh beberapa disiplin ilmu pengetahuan yang berkenaan dengan peninggalan sejarah, sungguh akan mendatangkan keuntungan besar, selain juga akan disanjung-sanjung oleh berbagai masyarakat dunia. Dan bukankah itu yang kita mau?
 
Agar tidak meraba-raba, perlu diinformasikan tentang salah satu wilayah yang memiliki aset kebudayaan ini. Sepanjang garis pantai Banda Aceh, mulai Ujoeng Bate di timur sampai dengan Ujoeng Pancu di barat adalah salah satu kawasan peninggalan sejarah Aceh, mulai permukiman, kota dan pelabuhan kuno terhampar sepanjang garis pantai dan masih sangat banyak meninggalkan sisa-sisa kebudayaan. Kawasan itu ibarat lembaran-lembaran yang bersusun lapis memuat sejarah kehidupan di Aceh, mulai zaman yang sangat kuno sampai dengan permulaan abad ke-20 silam. Tidak saja sejarah raja-raja tapi juga sejarah sosial masyarakat yang hidup dalam zaman-zaman tersebut. 
 
Lembaran-lembaran ini, demi Tuhan saya yakin, mempunyai nilai jual dan akan laris di pasar nasional maupun internasional. Dengan pemilihan trademark yang tepat, satu atau lebih, atau dapat diperbaharui dari waktu ke waktu, semisal Kota Maritim Asia Tenggara, Bandar Kebudayaan Asia Tenggara, Kota Sejuta Nisan, Tujuh Keajaiban Aceh atau lain-lainnya—mulai trademark bodoh sampai trademark cerdas, yang penting terjual—sungguh ini akan menuai hasil yang memuaskan. Dan mengenai hal ini tinggal dipulangkan saja kepada ahli pemasaran.
 
Selembar dari lembaran-lembaran tebal itu akan saya tunjukkan sebagai bukti dari apa yang saya katakan. 
 
Bidun, sekarang disebut Bidoek, adalah sebuah kampung di pesisir Banda Aceh, tepi kanan Krueng Aceh. Dari mulut beberapa warga yang ditemui di sekitarannya, kampung itu dulunya disebut dengan Bidun. Ketika ditanya maksud bidun itu apa, seorang warga menjawab, lonte (perempuan jalang; wanita tunasusila; pelacur). Saat ditanya mengapa senista itu penyebutannya, dijawab karena dulu (zaman kolonial Belanda) pernah menjadi tempat lokalisasi wanita-wanita yang menjual kehormatan dirinya untuk cari uang. Sebuah label buruk yang ditinggalkan oleh Belanda dan masih melekat dalam memori sebagian warga, dan ini jelas-jelas bukan aset kebudayaan Aceh yang dimaksudkan untuk dikelola meskipun saya tahu bahwa bagi kita yang hanya berfokus pada uang, ini termasuk suatu hal yang menarik untuk dikembangkan, namun dengan insting kemunafikan yang kita miliki, kita juga tahu bisnis seperti itu tidak akan berjalan lancar di Aceh jika kita tidak punya relasi yang kuat dengan para pembesar.
 
Aset kebudayaan Aceh yang sesungguhnya dimiliki oleh kawasan ini, mulai Bidoek sampai dengan Tibang, ialah permukiman kuno Bandar Aceh Darussalam yang nyata-nyata ramai dan padat. Dalam batas geografis Gampong Bidoek saja masih terdapat bekas-bekas peninggalan sejarah yang sangat menarik, dan jika dikelola dengan baik dan benar, kita bisa memperoleh uang yang kita cari.
 
Berikut ini akan ditunjukkan gambar-gambar yang merupakan aset kebudayaan yang terdapat di Gampong Bidoek, Banda Aceh, dan mari kita bicara tentang uang!
 
**Telah sampai kabar bahwa lahan tambak di Gampong Bidoek, Banda Aceh, akan dibebaskan untuk pembangunan infrastruktur penunjang TPI Lampulo, maka mohon diperbanyak maaf, saya terpaksa menurunkan kegundahan ini. (Hana ku tu’oh peugah le ngen cara laen! Ka habeih ayat, ka habeih hadih! Nyan keuh ngen “haba paleih” nyoe nyang jeut ku peugah!)



 

 


Oleh: Musafir Zaman
(Dikutip dari akun facebook Musafir Zaman di Group Mapesa)