Bidun (Pelacur)**
Oleh: Musafir Zaman
(Dikutip dari akun facebook Musafir Zaman di Group Mapesa)
Jika Anda hanya tertarik dengan pembicaraan soal uang, maka mari bicara
soal uang, dan lupakan soal ilmu pengetahuan, soal visi kebangsaan,
soal moral, cita-cita luhur, dan apapun nilai yang tinggi-tinggi
lainnya. Mari bicara soal uang jika menurut Anda, yang riil itu hanya
uang, dan lainnya hanya omong-kosong belaka. Sebab kita pun bukan
pahlawan yang berani menyumbangkan hidup di jalan keyakinan. Biarlah
mereka yang sudah mati saja jadi pahlawan. Kita yang masih hidup tidak
perlu ikut-ikutan. Maka mari bicara soal uang!
Umumnya yang
teramati oleh saya selama ini, bicara soal uang adalah bicara soal
sumber daya alam mana yang dapat kita kelola untuk menghasilkan uang dan
kekayaan. Ada sumber daya alam yang wajar untuk kita kelola, bahkan
Agama pun menyuruh mengelolanya supaya menjadi sumber-sumber kemakmuran
dan kesejahteraan. Namun, dewasa ini, kita sering jadi panik sehingga
yang tak wajar pun kita berdayakan. Kita jadi kalap dan lepas kendali
sebab orang lain sudah punya mobil dan rumah mewah, sudah bisa
menyekolahkan anak-anaknya di lembaga-lembaga pendidikan bergengsi,
pelesiran ke tempat yang “wow!”, “wah!”, “keren!”, dan lainnya. Kita
tunggu apa lagi?! Maka kita kemudian bersedia merubah kepribadian, dari
pengelola menjadi penghancur. Yang penting uang dan kekayaan, sedangkan
yang lain-lainnya itu urusan belakangan.
Baiklah, jika demikian
adanya kita hari ini, uang dan kekayaan sudah menjadi kiblat ke mana
selalu kita menghadapkan arah kita, maka mari kita cari sumber daya lain
yang mungkin kita kelola selain alam, dan sekali lagi yang perlu
diingat: mari fokus di uang!
Hakikatnya, ada sebuah potensi yang
luar biasa kayanya namun masih sangat jarang dilirik sebab ambisi kita
untuk memperoleh kekayaan pun tanggung-tanggung, bahkan terkadang hanya
seukuran batok kepala kita, sehingga potensi yang kaya, yang sebenarnya
kita miliki itu, tidak pernah mendapat perhatian. Yaitu potensi
kebudayaan, atau tepatnya aset kebudayaan kita.
Memang,
sebelumnya, perlu diakui bahwa kebudayaan yang kita warisi memiliki
karakter yang agung dan menjunjung tinggi nilai-nilai yang luhur. Tapi
itu tidak jadi soal. Kita tidak perlu sensitif sekali, dan tetap fokus
pada uang. Apalagi, kita sudah terlatih dan terbiasa dengan kemunafikan.
Kita juga sudah lumayan terbiasa menjual apa saja asalkan bernilai
ekonomis dan menghasilkan uang.
Jadi kita tidak perlu resah soal
warisan kebudayaan yang berkarakter agung selama bernilai ekonomis.
Bahkan, sedikit banyak kita sudah punya pengalaman dalam bisnis
kebudayaan ketika membisniskan beberapa warisan kebudayaan, mulai dari
saman sampai dengan timphan.
Namun ada aset kebudayaan yang dapat
dikatakan sama sekali belum kita rambah. Belum kita bisniskan dengan
baik dan benar. Padahal, dapat dijamin memiliki prospek yang baik, plus
juga dapat memberi makan orang Aceh, menambah lapangan kerja, dan
khususnya bagi kita yang sudah lihai dengan cara-cara mengeruk
keuntungan sudah tentu memperoleh limpah ruah kekayaan. Malah bukan saja
kekayaan, tapi juga pengakuan dan popularitas yang jika kelak kita
ingin mencalonkan diri menjadi eksekutif atau legislatif, kita tentu
bisa menggunakannya.
Aset kebudayaan yang dimaksud adalah
warisan atau peninggalan sejarah Aceh. Alangkah luar biasa istimewa dan
kayanya! Aset tersebut, andaikata kita dapat mengelolanya sesuai
prosedur-prosedur dan petunjuk-petunjuk yang diarahkan oleh beberapa
disiplin ilmu pengetahuan yang berkenaan dengan peninggalan sejarah,
sungguh akan mendatangkan keuntungan besar, selain juga akan
disanjung-sanjung oleh berbagai masyarakat dunia. Dan bukankah itu yang
kita mau?
Agar tidak meraba-raba, perlu diinformasikan tentang
salah satu wilayah yang memiliki aset kebudayaan ini. Sepanjang garis
pantai Banda Aceh, mulai Ujoeng Bate di timur sampai dengan Ujoeng Pancu
di barat adalah salah satu kawasan peninggalan sejarah Aceh, mulai
permukiman, kota dan pelabuhan kuno terhampar sepanjang garis pantai dan
masih sangat banyak meninggalkan sisa-sisa kebudayaan. Kawasan itu
ibarat lembaran-lembaran yang bersusun lapis memuat sejarah kehidupan di
Aceh, mulai zaman yang sangat kuno sampai dengan permulaan abad ke-20
silam. Tidak saja sejarah raja-raja tapi juga sejarah sosial masyarakat
yang hidup dalam zaman-zaman tersebut.
Lembaran-lembaran ini,
demi Tuhan saya yakin, mempunyai nilai jual dan akan laris di pasar
nasional maupun internasional. Dengan pemilihan trademark yang tepat,
satu atau lebih, atau dapat diperbaharui dari waktu ke waktu, semisal
Kota Maritim Asia Tenggara, Bandar Kebudayaan Asia Tenggara, Kota Sejuta
Nisan, Tujuh Keajaiban Aceh atau lain-lainnya—mulai trademark bodoh
sampai trademark cerdas, yang penting terjual—sungguh ini akan menuai
hasil yang memuaskan. Dan mengenai hal ini tinggal dipulangkan saja
kepada ahli pemasaran.
Selembar dari lembaran-lembaran tebal itu akan saya tunjukkan sebagai bukti dari apa yang saya katakan.
Bidun, sekarang disebut Bidoek, adalah sebuah kampung di pesisir Banda
Aceh, tepi kanan Krueng Aceh. Dari mulut beberapa warga yang ditemui di
sekitarannya, kampung itu dulunya disebut dengan Bidun. Ketika ditanya
maksud bidun itu apa, seorang warga menjawab, lonte (perempuan jalang;
wanita tunasusila; pelacur). Saat ditanya mengapa senista itu
penyebutannya, dijawab karena dulu (zaman kolonial Belanda) pernah
menjadi tempat lokalisasi wanita-wanita yang menjual kehormatan dirinya
untuk cari uang. Sebuah label buruk yang ditinggalkan oleh Belanda dan
masih melekat dalam memori sebagian warga, dan ini jelas-jelas bukan
aset kebudayaan Aceh yang dimaksudkan untuk dikelola meskipun saya tahu
bahwa bagi kita yang hanya berfokus pada uang, ini termasuk suatu hal
yang menarik untuk dikembangkan, namun dengan insting kemunafikan yang
kita miliki, kita juga tahu bisnis seperti itu tidak akan berjalan
lancar di Aceh jika kita tidak punya relasi yang kuat dengan para
pembesar.
Aset kebudayaan Aceh yang sesungguhnya dimiliki oleh
kawasan ini, mulai Bidoek sampai dengan Tibang, ialah permukiman kuno
Bandar Aceh Darussalam yang nyata-nyata ramai dan padat. Dalam batas
geografis Gampong Bidoek saja masih terdapat bekas-bekas peninggalan
sejarah yang sangat menarik, dan jika dikelola dengan baik dan benar,
kita bisa memperoleh uang yang kita cari.
Berikut ini akan
ditunjukkan gambar-gambar yang merupakan aset kebudayaan yang terdapat
di Gampong Bidoek, Banda Aceh, dan mari kita bicara tentang uang!
**Telah sampai kabar bahwa lahan tambak di Gampong Bidoek, Banda Aceh,
akan dibebaskan untuk pembangunan infrastruktur penunjang TPI Lampulo,
maka mohon diperbanyak maaf, saya terpaksa menurunkan kegundahan ini.
(Hana ku tu’oh peugah le ngen cara laen! Ka habeih ayat, ka habeih
hadih! Nyan keuh ngen “haba paleih” nyoe nyang jeut ku peugah!)
Oleh: Musafir Zaman
(Dikutip dari akun facebook Musafir Zaman di Group Mapesa)