Cinta di Ujung Selatan


ESOK hari genap sepekan ia berada di Kota Subulussalam, dan akan menjadi hari terakhir keberadaannya di sana untuk kedatangannya kali ini. Besok, ia akan meninggalkan wilayah di selatan Aceh itu dan kembali ke pesisir utara Aceh, ke wilayah Pasai.


Teungku Amad (panggilan akrab Muhammad bin Ilyas; Ahmad Akhirat) tak mau meninggalkan wilayah yang acap kali dikunjunginya itu tanpa terlebih dahulu melakukan peninjauan ke beberapa kampung yang memiliki peninggalan sejarah. Ia selalu berharap ada informasi baru yang dapat disampaikannya kepada CISAH.

Laki-laki muda ayah dari dua orang putri ini, Niswatul Amira dan Nuril Alya, memang sudah dipesankan untuk menjaring dan menghimpun berbagai informasi dari sana, terutama wilayah Kecamatan Rundeng. Sebab, CISAH berasumsi, wilayah ini merupakan salah satu wilayah bekas Fansur kuno yang terkenal di dunia zaman lampau. Dan untuk waktu sekarang ini, satu-satunya anggota CISAH yang dapat menjangkau wilayah di ujung selatan itu hanya Muhammad.

Meskipun harus seorang diri melakukan pelacakan, tapi tekad pemuda asal Peurlak, Aceh Timur, ini tidak pernah goyah, kecintaannya kepada sejarah negerinya di seluruh penjuru mata angin tidak pernah luntur walaupun sesaat.


Sore hari Kamis, 10/9/2015, selesai salat ‘Ashar, Teungku Muhammad memacu motornya dari pusat kota Subulussalam menuju arah barat, ke Rundeng, yang berjarak sekira 12 km. Di dinding benaknya sudah tergantung gambar samar-samar dari sebuah kompleks pemakaman yang disebut dengan makam Batu 44. Menurut informasi yang pernah diterimanya, di kompleks pemakaman itu terdapat makam-makam dengan batu nisan kuno.


Setengah jam kemudian ia telah tiba di tempat yang dimaksud. Namun sayang, setelah ia memeriksa kompleks pemakaman itu ternyata tidak ada makam yang berbatu nisan kuno. Tapi laki-laki tamatan dayah ini tidak mau segera kembali. Ia justru menambah jarak tempuhnya sore itu untuk perjalanan 3 km lagi. Ia ke Kampung Binanga, yang masih dalam wilayah Kecamatan Rundeng.

Sebuah situs pemakaman kuno dari era Aceh Darussalam di Kampung Binanga sudah pernah dikunjunginya satu tahun silam. Ia ingin mengunjunginya kembali untuk melengkapi informasi yang telah pernah disampaikan kepada CISAH.

Pemakaman itu berada dalam kompleks masjid, di sebelah utaranya. Dalam kompleks yang sama juga terlihat bangunan Madrasah Ibtidaiyah dengan halamannya yang lumayan luas. Saat tiba di lokasi, Muhammad melihat ramai sekali anak-anak yang sedang bermain bola. Untuk beberapa saat, ia berdiri memperhatikan permainan mereka dan kemudian langsung menuju batu-batu nisan peninggalan sejarah itu. Ia memeriksa kembali beberapa batu nisan bersurat dengan kaligrafi Arab di pemakaman yang disebut warga setempat dengan makam Raja Ade.

Tidak berapa lama kemudian, tiba-tiba beberapa anak sudah menghentikan permainan mereka dan menghampirinya. Mereka menanyakan apa sedang dilakukan lelaki dari luar kampung mereka itu. Muhammad lalu menjelaskan ia sedang memeriksa batu nisan makam ini. “Makam ini makam bersejarah!” Muhammad menambahkan penjelasannya.


Mendengar itu, anak-anak semakin ramai berkumpul, mereka semakin antusias. Salah seorang dari mereka jadi ingat bahwa Teungku Muhammad pernah datang ke makam itu tahun lalu. “Abang yang datang tempo hari kan?” tanyanya yang dibalas Teungku Muhammad dengan anggukan dan seulas senyuman.


“Siapa nama orang di makam itu, Bang?” anak yang lain bertanya.
“Kalau namanya kita belum tahu,” jawab Teungku Muhammad, “sebab tulisan di makam ini belum dibaca. Makanya, sekarang badan nisan yang tertutup tanah harus nampak semua terus kita foto dulu yang lengkap baru kemudian kita bawa ke Pasai, di wilayah utara sana. Nanti baru bisa ketahui siapa nama yang dalam kubur ini.”
“O ya, bang! Foto ini betul akan dibawa ke Pasai? Ke Pasai, bang?” tanya bocah itu lagi tidak dapat menutup kegirangannya.

“Iya, betul. Malah nanti gambar ini akan dilihat di seluruh dunia,” ucap Teungku Muhammad yakin.
“O, begitu bang, ya! Betul dibawa ke Pasai kan. Kalau begitu saya ikut kerok tanahnya, bang! Nanti abang kasih tahu ya, saya yang menemukan nisan ini ya. Abang fotolah, biar nampak saya lagi menemukan nisan ini!”

Teungku Muhammad pun tidak menyia-nyiakan lagi kesempatan ini. Ia menjepret beberapa foto sementara anak-anak itu beramai-ramai sedang menyingkirkan tanah yang menutupi badan nisan untuk dapat digambar dengan lengkap.

Mereka tampak giat sekali. Ini nisan sejarah, dan foto mereka menemukan nisan bersejarah ini akan dibawa ke Pasai. Mereka tampak sangat bahagia, Teungku Muhammad apalagi! Tak pernah ia menyangka akan memperoleh bantuan demikian sempurna di sore hari itu.

Teungku Muhammad telah melihat cinta di mata mereka; cinta kepada sejarah negeri mereka, cinta kepada saudara-saudara mereka di wilayah yang jauh di utara, dan cinta kepada dirinya. Betapa bahagia hatinya dianugerahi cinta yang demikian lengkap, cinta di ujung selatan. Dan cinta itu direkam telah direkam dalam gambar ini.

Maka berkatalah Musafir Zaman: Sejuta salam sejahtera kepada anak-anakku di ujung selatan. Saksikanlah bahwa hati ini selalu diisi rindu kepada kalian.


Sebagai catatan tambahan sebagaimana disampaikan Teungku Muhammad, umum warga Gampong Binanga adalah warga yang telah berpindah dari gampong asal mereka di Tualang yang berjarak sekitar 6 km dari kota Kecamatan Rundeng ke arah pedalaman. Mereka dihijrahkan ke Gampong Binanga pada masa konflik bersenjata di Aceh disebabkan situasi tidak aman di Tualang.



 

 


 

 
 
Oleh: Musafir Zaman 
(Dikutip dari akun facebook Musafir Zaman di Group Mapesa)


Posting Komentar

0 Komentar