Gelar Syarif bi ‘Inayatillah di Kota Sumatra dan Aceh Darussalam

Syarif bi ‘Inayatillah

Batu nisan makam Sultan Muzhaffar bin 'Inayah Syah bin 'Abdullah Al-Malikil Mubin, Wafat 902 H/1496 M. Biloy, Darul Kamal (?), Aceh Besar. Terlihat pada baris 1 & 2, nama 'Inayah Syah ibn 'Abdullah Al-Malikil Mubin. Foto: Musafir Zaman

DALAM publikasi sebelumnya, saya telah mencoba menyampaikan sebatas yang saya tahu mengenai sebuah gelar yang digunakan para sultan Aceh dalam abad ke-16 M, yakni gelar “Al-Makhshush bi Mughayatillah, Al-Makhshush bi ‘Inayatillah, Al-Makhshush bi Ri’ayatillah” yang juga lazim digunakan dalam bentuk yang disingkatkan: Mughayah/Mughayat, ‘Inayah/’Inayat, Ri’ayah/Ri’ayat.

Mengingat gelar semisal ini, sejauh yang diketahui, hanya digunakan oleh para sultan Aceh, terutama dalam abad ke-16 M, maka muncul pertanyaan tentang latar belakang yang mengilhami penggunaan gelar-gelar semisal itu.

Sungguh belum dapat dipastikan jika gelar ini berawal dari era sejarah sebelum Aceh Darussalam abad ke-16 M, atau dengan kata lain, apakah ia merupakan sebuah perkembangan baru dari model gelar yang sudah ada sebelumnya. Namun, satu hal yang menarik berikut ini perlu kiranya dicermati.

Sejak awal 2008, dari hasil pembacaan inskripsi pada nisan-nisan makam yang terdapat dalam kompleks pemakaman Samudra Pasai yang disebut warga setempat dengan Jirat Sareih di Gampong Kuta Krueng, Samudera, Aceh Utara, telah diketahui ada satu nisan makam yang pada epitafnya disebutkan nama: Maulana Qadhi Ibrahim Syarif bi ‘Inayatillah (Tuan kami Qadhi Ibrahim orang yang mulia dengan pertolongan Allah), dan dinyatakan pula bahwa ia terkenal dengan sebutan demikian.

الشهير بمولانا قاضي إبراهيم شريف بعناية الله

Tokoh besar ini telah wafat pada hari Sabtu 4 Shafar 914 H/3 Juni 1508 M (bunyi epitaf secara lengkap akan diturunkan di akhir tulisan).

Gelar ini terang sekali menekankan makna bahwa orang yang disanjung tersebut memperoleh kemuliaannya atas pertolongan Allah, bukan disebabkan diri maupun keturunannya, tapi karena ‘inayah Allah Ta’ala kepadanya. Kemudian diamati pula bahwa gelar ini diletakkan setelah nama, yakni menduduki posisi “badal” dalam i’rab, yang dengan demikian Syarif bi ‘Inayatillah adalah gelar yang sudah dijadikan sebagai nama. Artinya, ia dapat dipanggil dengan Maulana Qadhi Ibrahim atau Maulana Syarif bi ‘Inayatillah sebab keduanya adalah nama, atau dapat juga dipanggil secara lengkap sebagaimana tedapat pada nisan.

Sejauh ini, kita belum tahu tentang sesuatu yang mengilhami penggelaran semisal ini sekalipun kandungan maknanya telah dapat dimaklumi dan sangat mengesankan. Namun sebagaimana jelas teramati gelar Syarif bi ‘Inayatillah dan Al-Makhshush bi ‘Inayatillah memiliki keserupaan dan makna yang berhampiran sehingga dapat dikatakan keduanya berasal dari “satu keluarga”. Jika ada perbedaan adalah karena berbeda profesi, tugas dan wewenang. Syarif bi ‘Inayatillah adalah gelar seorang Qadhi atau hakim. Ia mestilah seorang yang telah memperoleh kemuliaan ilmu pengetahuan dan akhlak yang membuatnya layak untuk mengadili dan memutuskan hukum. Sementara Al-Makhshush bi ‘Inayatillah, orang yang dikhususkan dengan inayah Allah, ini adalah gelar sultan. Sebagai sultan, ia selalu mengambil kebijakan dan bertindak, dan karena itu dalam kerjanya ia selalu memerlukan pertolongan dan ‘inayah Allah. Jadi, perbedaan antara keduanya adalah disebabkan perbedaan tugas dan fungsi masing-masing tokoh yang digelarkan.

Sebagaimana telah dibicarakan dalam publikasi sebelumnya bahwa gelar Al-Makhshush bi ‘Inayatillah Syah yang terdapat pada nisan diletakkan pada bagian sebelum nama dan setelah kalimat As-Sulthan Ibn As-Sulthan Ibn As-Sulthan. Namun pada saat gelar ini dipendekkan menjadi ‘Inayah, Ri’ayah dan Mughayah, maka letak gelar berubah posisi dari sebelum nama ke setelah nama, dari “shifah” (na’t) menjadi “badal” dalam ‘irab, semisal ‘Ali Mughayah Syah, ‘Ala’uddin Ri’ayah Syah, ‘Ali Ri’ayah Syah. Sehingga tokoh-tokoh tersebut dapat dipanggil dengan Sultan ‘Ali atau Sultan Mughayah Syah, Sultan ‘Alauddin atau Sultan Ri’ayah Syah, Sultan ‘Ali atau Sultan Ri’ayah Syah, dan juga dapat dipanggil dengan lengkap.

Sekalipun gelar Syarif bi ‘Inayatillah berasal dari era Kerajaan Samudra Pasai yang lebih awal dari Aceh Darussalam namun sampai saat ini, data-data sejarah yang diperoleh masih jauh dari cukup untuk mengatakan, gelar Al-Makhshush bi ‘Inayatillah merupakan pengaruh dari Samudra Pasai. Malah boleh jadi, sebaliknya lebih benar. Ini dikarenakan nama ‘Inayah Syah muncul pada peninggalan sejarah di kawasan Darul Kamal, Aceh Besar, dalam permulaan abad ke-10 Hijriah, yaitu pada nisan makam Sultan Muzhaffar Syah yang wafat pada 902 Hijriah di Gampong Biloy. Sesuai inskripsi pada nisan, ‘Inayah Syah adalah ayah dari Sultan Muzhaffar Syah dan putra dari ‘Abdullah Al-Malikil Mubin. Ini berarti nama atau gelar semisalnya sudah digunakan di Aceh Darussalam dalam abad ke-9 hijriah. Sayang sekali, makam Abdullah Al-Malikil Mubin dan putranya ‘Inayah Syah, ataupun dokumen-dokumen lain mengenai keduanya, sampai dengan waktu ini belum diketemukan.

Batu nisan makam Sitti Hur, Lamno, Aceh Jaya. Terlihat pada baris 2 & 3, nama Sultan As-Salathin 'Alauddin Ri'ayat Syah bin Raja (Yambah?) Bad Syah bin 'Abdullah Al-Malikil Mubin. Foto Musafir Zaman

Kemudian, satu tokoh lagi yang teramat penting sebelum Sultan ‘Ali Mughayat Syah dan keturunannya yang dimakamkan di Baiturrijal, Banda Aceh, dan beberapa sultan lain keturunan Syamsu Syah yang dimakamkan di Gampong Pande, Banda Aceh juga, adalah Sultan ‘Alauddin putra dari Raja (Yambah?) Bad Syah bin ‘Abdullah Al-Malikil Mubin yang berpusara di Lamno, Aceh Jaya. Meskipun pada nisan makamnya tidak didapati gelar Ri’ayah, dan hanya menyebut Sultan ‘Alauddin Syah, tapi pada nisan putrinya, Sitti Hur, dengan terang disebutkan Sultan As-Salathin (sultan dari para sultan) ‘Alauddin Ri’ayat Syah (kali ini tulisan ri’ayah bahkan dengan ta’ bukan dengan ta’ marbuthah: ri’ayat). Sultan ‘Alauddin Ri’ayat Syah bin Raja (Yambah?) Bad Syah bin ‘Abdullah Al-Malikil Mubin wafat pada Jum’at, 7 Rajab 913 H/12 November 1507 M, sebelum tujuh bulan kemudian Maulana Qadhi Ibrahim Syarif bi ‘Inayatillah wafat di Samudra Pasai.

Sampai dengan waktu ini, satu-satunya tokoh yang ditemukan memiliki gelar Syarif bi ‘Inayatillah atau semisalnya di bekas kawasan Samudra Pasai hanya Maulana Qadhi Ibrahim. Tidak sebagaimana halnya beberapa gelar lain yang terkesan populer di Samudra Pasai, gelar Syarif bi ‘Inayatillah adalah sebuah gelar yang terbilang asing.

Memang, pantas juga untuk diakui bahwa dari data-data sejarah yang dipegang sementara ini hanya tercatat beberapa nama qadhi yang makam-makamnya berada di kawasan situs Lamreh, sementara dari kawasan lembah Aceh, mulai Kajhu di timur sampai dengan Ujoeng Pancu di barat, dan mulai Kuala Aceh di utara dan Indra Puri di selatan, belum tercatat nama-nama tokoh berpredikat qadhi di Aceh Darussalam—selain ‘Abdurra’uf bin ‘Ali, tentunya. Namun saya dirasuki keyakinan bahwa andaikata suatu hari ditemukan makam tokoh-tokoh qadhi tersebut di kawasan lembah Aceh, maka gelar semisal Syarif bi ‘Inayatillah akan ditemukan.

Nisan makam Malik Ibrahim, Ilie, Ulee Kareng, Banda Aceh. Foto: Musafir Zaman
Secara pribadi, saya condong untuk mengatakan bahwa Maulana Qadhi Ibrahim Syarif bi ‘Inayatillah ini adalah tokoh besar yang berasal dari Aceh Darussalam. Apalagi dengan adanya beberapa baris syair pada nisan Maulana Qadhi Ibrahim, yang seingat saya terhitung langka, telah didapati pula pada nisan Malik Ibrahim yang wafat pada 930 Hijriah dan telah dimakamkan di Ilie, Ulee Kareng, Banda Aceh.

Sebelum saya mengakhiri pembicaraan mengenai ini, ada baiknya juga saya menyinggung hubungan gelar ini dengan tokoh yang disebut dengan Syarif Hidayatullah. Terus terang, saya belum pernah melihat dokumen-dokumen tepercaya untuk seluruh kisah yang dituturkan tentang tokoh ini.

Dari cerita yang beredar dan sudah populer, ia disebut-sebut sebagai pembangun Jayakarta atau Jakarta sekarang. Namanya juga sudah diabadikan menjadi nama sebuah perguruan tinggi terkemuka.

Namun saya menyangsikan “Syarif” pada awal namanya itu sebagai gelar Ahlul Bait. Dari pola nama yang demikian, saya lebih condong untuk mengatakan bahwa yang tepatnya adalah Syarif bi Hidayatillah (orang yang mulia dengan petunjuk Allah), dan tokoh ini memiliki hubungan dengan Samudra Pasai dan Aceh Darussalam. Apakah tokoh yang disebut-sebut sebagai pendiri Jayakarta ini adalah seorang yang berasal dari Aceh Darussalam sebagaimana Maulana Qadhi Ibrahim Syarif bi ‘Inayatillah? Tentu hanya bukti-bukti sejarah yang dapat memutuskannya.

Berikut ini adalah bunyi epitaf pada nisan makam Maulana Qadhi Ibrahim Syarif bi ‘Inayatillah:

Batu nisan makam Maulana Qadhi Ibrahim Syarif bi 'Inayatillah, Wafat 914 H/1508 M. Kuta Krueng, Samudera, Aceh Utara. (Nisan sebelah kaki, sisi utara). Foto: Khairul Syuhada

أ
١. هذا القبر الحسيب النسيب الشريف الكريم العالم
٢. الزاهد التقي النقي الحليم الشهير بمولانا قاضي
٣. إبراهيم شريف بعناية الله نوّر الله الملك الرحيم قبره

Terjemahan:
A.
  1. Inilah kubur orang yang berasal dari keturunan terhormat dan terkenal, mulia, pemurah lagi alim
  2. orang yang zuhud, bertaqwa, bersih (jujur) lagi lemah lembut yang terkenal dengan Maulana (Tuan kami) Qadhi
  3. Ibrahim Syarif bi ‘Inayatillah (mulia dengan pertolongan Allah). Semoga Allah Yang Maha Memeliki lagi Maha Pengasih menerangi kuburnya.
Batu nisan makam Maulana Qadhi Ibrahim Syarif bi 'Inayatillah, Wafat 914 H/1508 M. Kuta Krueng, Samudera, Aceh Utara. (Nisan sebelah kaki, sisi timur). Foto: Khairul Syuhada

ب.
١. توفي إلى رحمة الله وكرمه يوم السبت
٢. وقت العصر الرابع من شهر صفر ختمه الله بالخير

٣. والظفر سنة أربعة عشر وتسعمائة من هجرة خير البرية

Terjemahan:
B.
1. Diwafatkan ke rahmat dan kemurahan Allah pada hari Sabtu
2. waktu ‘Ashar hari keempat (4) bulan Shafar, semoga Allah menutup bulan ini dengan kebaikan
3. dan kemenangan pada tahun 914 dari hijrah sebaik-baik makhluk.

* Oleh: Musafir Zaman, Penulis adalah Pembina Mapesa. Pertama diposting di GroupFacebook)


Posting Komentar

2 Komentar

Safar mengatakan…
Bagai mana kisahnya pendiri jaya karta Syarih Hidayatullah berasal dari Aceh
Safar mengatakan…
Bagai mana kisahnya pendiri jaya karta Syarih Hidayatullah berasal dari Aceh