Pecahan Zaman

SEPERTI pecahan yang berserakan di mana-mana!
Saat mencarinya sesekali terasa seperti sedang bermain menyusun gambar, dan alangkah gembiranya andai kata itu hanya sebuah permainan di atas meja! Satu pecahan (fragmen) diharapkan dapat disambungkan dengan pecahan-pecahan yang lain sehingga makin memperjelas bentuk gambar. Dan pada giliran akhirnya sebuah gambar yang relatif utuh dapat diperoleh.

Namun disadari kemudian gambar utuh yang dicita-citakan itu ternyata sulit diperoleh, malah sangat jauh dari jangkauan. Pecahannya terkadang bertebaran dalam ruang luas yang antara satu dan lainnya berada dalam jarak yang jauh. Pecahan yang baru ditemukan terkadang juga bukan bagian yang dapat disambungkan dengan pecahan-pecahan yang telah ditemukan sebelumnya, tapi malah merupakan pecahan yang sama sekali baru dan memerlukan pecahan lain untuk menjelaskannya.

Semua ini tidak saja menuntut peran generasi hari ini dengan berbagai bidang keilmuannya tapi juga menghendaki keterlibatan beberapa generasi ke depan. Sebabnya sederhana saja, ialah karena ia sama sekali bukan sebuah permainan santai di atas meja, tapi sebuah kerja di medan yang berat, berliku dan sukar dilampaui.

Mengapa? Mengapa pecahan-pecahan itu mesti dicari, dikumpulkan dan disusun kembali (direkonstruksi) untuk dapat diperoleh gambar yang utuh?

Tidak lain adalah karena ia merupakan pecahan-pecahan dari gambar masa lalu bangsa; karena ia adalah pecahan-pecahan yang berserakan dari zaman yang kita ingin mengetahuinya secara lebih sempurna, mengenalinya dengan baik, dan diharapkan dapat mengilhami. Gambar yang kacau, yang memperlihatkan kaki di bagian kepala, kepala di lutut dan seterusnya, itu selamanya tidak akan pernah menjadi sumber ilhaman yang baik, malah menyesatkan pikiran dan jiwa.

Namun sampai di sini, pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya sudah membosankan untuk dijawab kembali mencuat: benar-benar perlukah kita kepada gambar masa lalu yang relatif utuh itu? Pentingkah bagi kita gambar masa lalu yang tersusun dari fakta dan yang menjelaskan kebenaran itu? Bukankah itu zaman lampau yang sudah lama berlalu, tidak perlu dibincangkan lagi selain barangkali untuk mengisi waktu kosong dan rihat atau untuk hanya sekadar menyalurkan hobi dan minat, sementara yang benar-benar penting kita pikirkan hanyalah bagaimana kita bisa hidup di waktu ini dan mendatang? Mengapa masa lalu yang sudah usang itu perlu dijadikan sumber ilhaman? Tidakkah cukup dengan kemodernan dan kemajuan teknologi yang telah dicapai oleh negara-negara maju itu saja yang menjadi sumber ilhaman? Apa perlunya kita kepada masa lalu?

Saya tidak akan menjawab pertanyaan-pertanyaan ini sebagaimana jawaban para ilmuwan sebab itu sudah tentu dapat dibaca di buku-buku ilmu sejarah, malah di buku-buku pelajaran sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah. Saya percaya, jawaban-jawaban para ilmuwan mampu meyakinkan bahwa pengetahuan tentang masa lalu adalah sesuatu yang teramat penting, dan mengenai itu mereka telah mengupasnya dengan panjang lebar.
Tapi saya ingin menjawabnya sebagai seorang anak yang telah menyusu pada ibundanya, seorang wanita yang terlahir di sebuah kampung kecil di tepi Krueng Peusangan, Aceh, di mana kemudian beliau melahirkan saya.

Sebuah jawaban yang sangat subjektif, tentunya, dan ini karena dua alasan: pertama, karena saya sedang tidak berusaha meyakinkan Anda sebagaimana para ilmuan; saya hanya ingin memberitahukan jika Anda ingin menjawab seperti saya, sebagai anak yang telah menyusu pada ibundanya, maka saya kira itu juga adalah hak Anda. Kedua, saya percaya, sesuatu yang objektif di luar diri kita tidak akan mampu menggerakkan apapun yang di dalam diri kita selama ia belum memasuki ruang subjektif atau beralih menjadi sesuatu yang subjektif, dan apa gunanya sesuatu yang objektif jika tidak mampu menggerakkan apa-apa?!




Mengulang pertanyaan tadi, apa perlunya kita kepada masa lalu? Bagi saya, yang justru jadi masalah bukanlah apa perlunya kita kepada masa lalu, tapi bagaimana kita dapat lepas dari masa lalu?

Bagaimana saya bisa melepaskan diri dari masa lalu sementara saya yakin bahwa sampai kini saya hidup dan menikmati berbagai kebaikan hidup adalah berkat doa ibunda saya yang diistijabahkan.

Aceh, sekalipun namanya tidak lagi bersinar seperti di zaman lampau, tetapi masih hidup dan berlanjut dalam berbagai kebaikan oleh karena doa para pendahulunya yang diperkenankan. Maka bagaimana kita bisa melepaskan diri dari masa lalu sementara kita telah hadir di masa lalu dalam harapan-harapan serta doa-doa yang mereka angkat ke langit, dan Tuhan Yang Maha Mulia lagi Maha Pemurah telah memperkenankan sebagiannya dan menunda sebagian yang lain sebab Dialah Yang Maha Berbuat apa saja yang Dia kehendaki.

Bagaimana kita bisa melepaskan diri dari masa lalu sedangkan kita berada dalam pelupuk mata mereka, dalam pikiran dan hati mereka, saat setiap kali mereka membaca firman Allah dalam surat Al-Furqan ayat 74 yang terjemahannya: Dan orang orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.”

Lain dari itu, bahkan mungkin lebih dari itu, kita juga hidup di atas pilihan-pilihan yang telah mereka pilih. Terpenting dan paling menentukan di antara seluruh pilihan yang telah mereka pilih adalah pilihan mereka untuk memeluk Islam dan mendekapnya erat-erat sepanjang hayat. Tidak ada yang terlebih penting dari itu!

Mereka telah memilih Islam, mengikuti dan menetapkan hati dalam tuntunan ‘aqidah dan ‘ubudiyyahnya, dalam tuntunan kebaikan dan keadilannya di berbagai bidang kehidupan. Sebuah pilihan yang senantiasa melayakkan segala puji bagi Allah yang telah menunjuki mereka dan kita kepadanya, dan sungguh mereka dan kita tidak akan terpetunjuk apabila Allah tidak menunjukinya.

Mereka telah bertekad untuk mewariskan Islam kepada kita. Saya telah melihat nyata dengan mata kepala sendiri sebesar mana daya upaya mereka untuk itu, sampai terkadang tampak dalam mata saya mereka seolah demikian panik dan khawatir kita meninggalkan warisan tak ternilai harga itu. Mereka memahat kalimat “Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad Rasulullah” pada ribuan batu nisan yang mereka tinggalkan seolah seperti hendak mengatakan, kami mati dan musnah dari dunia fana ini, dan hanya inilah yang kami pusakakan kepada kalian! Andaikan saja pahatan pada batu itu merupakan suara maka ia adalah suara tahlil dan tahmid yang bergema di seluruh pelosok Aceh di setiap waktu di sepanjang masa. Demikian kuat mereka menginginkan kita untuk berpegang teguh kepada pilihan yang takkan pernah dapat digantikan ini.

Jadi, apakah saya dapat melepaskan diri dari masa lalu sementara masa lalu itu telah datang menghadirkan kepada saya sesuatu yang paling bermakna dalam kehidupan ini, dan terus mengawal kelestariannya? Tentu, tidak.

“Masa lalu” ternyata salah satu dimensi dari diri kita hari ini sama seperti halnya dengan “masa depan”, dan karena itu kita perlu memahaminya dengan baik sekalipun harus dengan cara mencari pecahan-pecahannya yang berserakan, mengumpulkan dan menyusunnya kembali menjadi gambar yang relatif utuh, dan dapat mengilhami.

Gambar 1-8: Kegiatan CISAH, 18/3/2015, di Alue Lim, Blang Mangat-Lhokseumawe. Gambar direkam Khairul Syuhada & Adi Alamphotograph Aceh.

Oleh: Musafir Zaman

(Dikutip dari akun facebook MusafirZaman di Group Mapesa)