MUHAMMAD Thahir Al-Kurdiy dalam Tarikh Al-Khath
Al-‘Arabiy wa Adabuh (Sejarah Khath Arab dan Keseniannya) menjelaskan Thughra
sebagai tulisan kecil nan indah dengan khath Tsuluts dalam bentuk yang khusus.
Pada dasarnya, Thughra merupakan tanda kesultanan atau simbol kemaharajaan yang
diciptakan untuk dibubuhkan pada surat perintah kesultanan, mata uang dan
lainnya. Di situ disebutkan nama sultan atau raja, nama ayahnya, serta gelarnya
(Al-Kurdiy, 1939: 122).
Kata
Thughra pertama sekali muncul berkaitan dengan nama Penyair Abu Isma’il
Al-Husain yang dikenal dengan Ath-Thugra’iy (W. 515 H), dan pernah menjabat
sebagai menteri di Kota Arbil untuk beberapa lama sebelum kemangkatannya.
Sebagaimana dikutip Yahya Al-Jabburiy (1994: 162), Ibnu Khallikan mengatakan bahwa
At-Thughra’iy adalah sebutan bagi orang yang menulis Thughra, yakni tanda yang
ditulis di bagian atas surat, di atas Bamallah, dengan mata pena yang tebal,
yang isinya menyebutkan sifat-sifat raja pengirim surat itu. Dan Thugra
(Thurrah) merupakan kata dalam bahasa Persia.
Dalam
bahasa Persia, Thughra adalah muradif kata Nisyan yang berarti tanda.
Padanannya dalam bahasa Arab adalah tauqi’ (tanda tangan). Ini sebagaimana
dijelaskan Shalih bin Ibrahim Al-Hasan dalam Al-Kitabah Al-‘Arabiyyah min
An-Nuqusy ila Al-Kitab Al-Makhthuth (Tulisan Arab: Dari Inskripsi sampai
Manuskrip)—(2003: 306).
Shalih
Al-Hasan juga menyebutkan bahwa Thughra telah dikenal oleh para tokoh Seljuk
yang agung dan Bani Seljuk Rum (Romawi) di Asia Minor. Thughra juga telah
digunakan oleh Dinasti Mameluk Mesir dan orang-orang Islam di Bengal. Sementara
para seniman Muslim di wilayah-wilayah semisal Haidarabad dan Bijavur di Anak
Benua India, dalam abad-abad kejayaan Islam telah menggunakannya dalam
pemahatan berbagai inskripsi. Namun demikian, menurut Shalih Al-Hasan, Thughra
tetap saja merupakan simbol khusus bagai Dinasti Utsmaniyyah (Ottoman) yang
hampir bisa dikatakan mulai sejak awal sejarahnya sampai dengan masa-masa akhir
sejarahnya yang panjang.
Dari
informasi-informasi kesejarahan mengenai khath Thughra yang telah ditulis
sementara ini, tampaknya, masih sedikit sekali orang yang tahu bahwa di
Aceh—sebuah daratan yang dipisahkan laut luas dari daratan Benua Asia—Thughra
telah berkembang pesat, baik pada era Samudra Pasai (Syumuthrah) maupun pada
era Aceh Bandar Darussalam.
Perkembangan
Thughra di Aceh dalam kedua era tersebut tampaknya telah melampaui
perkembangannya di berbagai bagian dunia yang lain, kuantitas dan kualitasnya.
Hal ini dapat dicermati dari inskripsi pada ribuan batu nisan kuno di Aceh di
mana inskripsi-inskripsi itu memamerkan ragam variasi dan tipe Thughra yang
masing-masing mewakili zamannya.
Gambar
yang ditampilkan ini adalah inkripsi nisan yang menggunakan Thughra. Batu nisan
ini ditemukan di Gampong Kuta Krueng, Samudera, Aceh Utara, dalam kondisi patah
dan tidak lagi berada di konteksnya. Dari inskripsi penanggalan yang terdapat
pada batu nisan diketahui bahwa ia berasal dari paroh pertama abad ke-9 hijriah
(ke-15 M).
Inskripsi
pada nisan merupakan penggalan ayat Al-Qur’an dalam surah Al-Baqarah: 137, yang
berbunyi:
(فسيكفيكهم الله وهو السميع العليم ( حميد عزم؟
Terjemahannya:
“Maka Allah Mencukupkan engkau (Muhammad) terhadap mereka (dengan
pertolongan-Nya). Dan Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui.”
Bunyi
inskripsi yang saya letakkan dalam kurung belum begitu meyakinkan, namun jika
benar seperti bacaan saya, maka kedua kata itu barangkali adalah nama atau
gelar dari kaligraf (khaththath) yang memahat inskripsi Thughra tersebut. Ini,
tentunya, sesuatu yang unik dan untuk sementara waktu belum pernah ditemukan
inskripsi yang menyebutkan seniman pemahatnya.
Batu
nisan tersebut telah ditemukan pada Juni 2007 dan saat ini masih tersimpan
dalam ruang pribadi saya. Gambar direkam oleh Fotografer CISAH pada 14 April 2013.
Harapan!
Dalam
kesempatan ini saya juga ingin menyampaikan sebuah harapan kepada Tim Mapesa
yang semoga kiranya dapat diluluskan.
Menurut
saya, Blog Mapesa sudah saatnya memiliki seksi Bahasa Arab dan Bahasa Inggris
yang menyiarkan konten-konten (content) terpilih dalam kedua bahasa tersebut
sehingga muatan yang dikandung Blog Mapesa mampu menyebar ke berbagai bagian di
dunia dalam rangka menghasilkan kontak-kontak ilmu pengetahuan dan kebudayaan
yang menguntungkan bagi Aceh.
Demikian
harapan itu Adinda-adinda saya yang budiman: Muhajir
Ibnu Marzuki, Mizuar
Mahdi Al-Asyi, Dina
Heryuni, Deasi
Susilawati. Terima kasih atas perhatiannya, dan saya mohon dukungan
Tuan Panglima
Maharadja Sjahbandar untuk harapan tersebut.
Oleh: Musafir Zaman
(Dikutip dari akun
facebook Musafir Zaman di Group Mapesa)